tag:blogger.com,1999:blog-73561243783721100752024-02-07T09:39:50.165-08:00www.gats_shmhKeteladanan Lebih Utama dari Sejuta NasehatGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.comBlogger43125tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-6101738590415921532009-08-28T21:08:00.000-07:002009-08-28T21:11:20.210-07:00KEADILAN MELALUI “MAJORITY DECISION” Analisis Filosofis-Yuridis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBFxONChAh_7mO00jiHzBGq05PWDL1B5ECdm5N30rM1WU4MIhWz1ROFc6HffJOv1t6pVK-yCoRScIQEgAjXeFxIdJmGqVhpi565m8i7B0IKPho5bXkrBTVpxXj9t6bub8CXNKqa7qXvNk/s1600-h/dewi-keadilan.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 124px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBFxONChAh_7mO00jiHzBGq05PWDL1B5ECdm5N30rM1WU4MIhWz1ROFc6HffJOv1t6pVK-yCoRScIQEgAjXeFxIdJmGqVhpi565m8i7B0IKPho5bXkrBTVpxXj9t6bub8CXNKqa7qXvNk/s200/dewi-keadilan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5375233442997497410" /></a><br /><br />A. PENDAHULUAN<br /><br />Sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah: Sumum ius summa in iuira (keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan yang tertinggi). Artinya, adil tidaknya sersuatu tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Misalnya, pihak keluarga korban pembunuhan akan merasakan keadilan bilamana tersangka pembunuhan dihukum dengan hukuman yang sangat berat, akan tetapi tersangka akan merasakan ketidakadilan bilamana ia mendapatkan hukuman yang sanagat berat tersebut. Demikian pula sebaliknya, keluarga korban akan merasakan ketidakadilan bila tersangka dijatuhi keputusan bebas, namun tersangka mungkin akan merasakan keadilan bila hakim memberikan putusan bebas itu kepadamnya.<br />Antonius sujata, membuat perumpamaan keadilan tersebut sebagai pedang karena membuat luka bagi siapapun. Keadilan dirasakan tajam pada saat dipergunakan, namun bermanfaat sebagai alat untuk mencegah ketidakadilan. Pedang tersebut dapat menjadi tidak adil bagi kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban, bahkan mungkin masyarakat (termasuk kelompok korban), manakah pihak yang menangani, yaitu penegak hukum, menyalahgunakan kewenangannya dengan berbuat tidak adil sehingga merugikan semua pihak.<br />Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antarakepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat dari adanya keluhan-keluhan para pihak ataupun reaksi dari masyarakat.1<br /><br />B. HUKUM DAN KEADILAN<br />1. Fungsi Hukum<br /> John Austin (1790-1859) seorang tokoh positivisme, membagi hukum menjadi dua bentuk, yakni:<br />a. Hukum Allah, hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam arti yang sejati.<br />b. Hukum Manusia, yaitu segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri<br />Namun, katanya disini juga harus dibedakan antara:<br />a. Hukum yang sungguhj-sungguh (proferly so called). Hukum ini adalah undang-undang yang berasal dari suatu kekuasan politik. Atau peraturan-peraturan pribadi-pribadi swasta yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.<br />b. Hukum yang sebenar-benarnya bukan hukum (improferly so called). Hukum ini adalah peraruran-peraturan yang berlaku bagi suatu klub olah raga, bagi suatu pabrik, bagi suatu karya-karya ilmiah, dan sebagainya. Peraturan-peraturan yang berlaku di bidang-bidang ini bukan hukum dalam arti yang sungguh-sungguh.2<br /><br />2. Keadilan<br />Keadilan merupakan tujuan akhir dari hukum dan merupakan tujuan tertinggi dari pembahasan filsafat hukum. Cita-cita keadilan merupakan cita-cita hukum yang sudah sabgat tua, dan mendapat tempat utama dalam pembahasan para pemikir-pemikir hukum.<br />Plato dalam buku Republiknya mengatakan bahwa keadilan mengandung arti hubungan harmonis dengan berbagai bagian organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan sesuatu yang paling sesuai dengan sifat alamiahnya. Sedangkan Aristoteles mengkaji keadilan dengan cara yang berbeda. Menurutnya, keadilan itu mempunyai suatu unsur kesamaan, dan menuntut bahwa benda-benda yang adadi dunia ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum.<br />Aristoteles membagi kadilan tersebut ke dalam dua bentuk keadilan, yaitu; keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan korektif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat Undang-undang, yang distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip-prinsip kesamaan proforsional. Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang menjamin, mengawasi dan memalihara distribusi ini melawan serangan-serangan yang ilegal. Fungsi keadilan korektif pada prinsipnya diatur oleh hakim dan mengestabliskan kembali status quo, dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi kepadanya atas miliknya yang hilang.3<br /><br />C. KESIMPULAN<br />1. Keadilan melalui “majority decision’ hanya cocok dilaksanakn melalui sistem perwasitan, dan bersifat kuantitatif (yang dapat diukur dengan hitungan angka-angka) dan merupakan putusan final yang tidak dapat dianulir.<br />2. Keadilan melalui”majority decision” adalah tidak tepat dijadikan pilihan untuk memutus kasus yang bersifat abstrak, normatif dan kualitatif.<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Antonius Sujata, 2000, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta.<br />Muhammad Muslihuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta.<br />Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, yogyakarta.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-42826384324589851082009-08-22T22:07:00.000-07:002009-08-22T22:15:14.341-07:00ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS DARI BANGUNAN ILMU HUKUM<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdgGpDMf2Vc0gFnVW8yOjtlxdEM0uQR-l90_Se9TV6-ajfV83IyDVc-NYgXFcZlLNRQ_y2pwJE-tS1oJ5RUpcQvkw51wfsCrg0NnbUd97jTnCLWQXlPOuMHtTCiSpi9Qe6TOCFJ4HPe90/s1600-h/Foto048.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdgGpDMf2Vc0gFnVW8yOjtlxdEM0uQR-l90_Se9TV6-ajfV83IyDVc-NYgXFcZlLNRQ_y2pwJE-tS1oJ5RUpcQvkw51wfsCrg0NnbUd97jTnCLWQXlPOuMHtTCiSpi9Qe6TOCFJ4HPe90/s200/Foto048.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5373023356005767490" /></a><br /><br />Oleh: Moch. Fatich<br />ABSTRAK<br /> Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral. Kata Kunci: aspek, aksiologi, epistimologi, aksiologi <br />Pendahuluan <br />Manusia dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. (Mertokusumo; 1999: 10). Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan. Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan. Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara (Mertokusumo, 1999: 12). Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo (2000: 17) kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontologi dari bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya? bagaimanakah dengan aspek epistemologinya? bagaimana pula dengan aspek aksiologinya, terutama dalam menjawab persoalan euthanasia? <br />Aspek Ontologis dari Ilmu Hukum <br />Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar. Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan. Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum. Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach). Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji (Hartono, 1989: 13-20). Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri (Mertokusumo, 1999: 115). Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas (Loudoe; 1985: 124-125). Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada (Scholten, 1992: 67). Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan). Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu: <br />1. Hukum perdata barat (Eropa).<br />2. Hukum pertdata Islam.<br />3. Hukum perdata Adat. <br />Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.<br /> Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada (Suriasumantri, 1990: 93) yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit (Fadjar; 2007: 1-2).<br /> Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal (Rasyid, 1991 : 6) yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.<br /> Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa (Fadjar; 2007: 1-2), yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.<br /> Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan (Fadjar, 2007: 1-2). Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adapt (Mertokusumo, 1999: 126), sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik. <br /><br />Aspek Epistemologis dari Ilmu Hukum Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan (Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, 2007: 4) (Suriasumantri, 1990: 106). Ia membahas tentang sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah, serta tolok ukur bagai sebuah kebenaran dan kenyataan ilmiah. Sarana ilmiah dalam epistemologi adalah akal atau akal budi, pengalaman atau kombinasi diantaranya, serta intuisi (Fadjar, 2007: 4). Dalam konteks keindonesiaan dengan plularisme hukumnya, aliran epistemologi yang dianut oleh hukum barat yang positivistik dan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan (Mertokusumo, 1988: 165-167) menurut hemat penulis adalah idealisme atau rasionalisme dengan menekankan peranan akal sebagai sumber pengetahuan. Aliran epistimologi yang dianut oleh hukum adat yang bersifat riil, terang atau jelas dan kontan, serta menitik beratkan pada kebiasaan atau perilaku masyarakat (die normatieve kraft des factischen demikian kata Jellineck), menurut hemat penulis adalah realisme atau empirisme dengan menekankan peranan indra dan pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan. Adapun aliran epistemologi dari hukum Islam menurut hemat penulis tidak dapat dikatakan idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal. Demikian pula tidak dapat dikatakan realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra dan pengalaman empirik (realitas), sebab Hukum Islam yang berasal dari Ajaran Agama Islam bersumberkan kepada wahyu (lihat Anshari, 1987: 128-130) sebagai sumber pengetahuan, baik yang didasarkan kepada kitab suci Al-Qur’an yang berkedudukan sebagai wahyu primer maupun Al-hadist yang berkedudukan sebagai wahyu sekunder. Keduanya dalam agama Islam dikenal sebagai sumber hukum atau dalil Naqli (Khallaf, 1980: 24-50). Disamping itu hukum Islam juga mengakui peranan akal (al-ra’yu) sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai sumber hukum yang dalam agama Islam disebut sebagai sumber hukum atau dalil Aqli, tetapi kedudukanya tergantung dari sumber hukum atau dalil Naqli, yakni untuk menjelaskan sumber hukum Naqli tersebut apabila tidak ditemukan kejelasannya. Dengan catatan sumber hukum Aqli tersebut yang berupa ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qias (analogi) tidak boleh menyimpang dari ketentuan sumber hukum Naqli (Khallaf: 65-75). Dan apabila dikaitkan dengan penggunaan indra atau pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan dalam hukum Islam, maka menurut hemat penulis hal itu pun dijumpai seperti pada asas hukum (kaidah ushul fiqih) al-aadatu al- muhakkamah (kebiasaan atau adat yang melembaga). Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui sarana akal atau akal budi, indra atau pengalaman empirik (realitas) dan lain sebagainya, telah menghasilkan beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu metode induksi, deduksi, positivisme, kontemplatif dan dialektika (Fadjar, 2007: 5) (lihat juga Shah, 1986: 33). Hukum sebagai ilmu pengetahuan dalam menyusun obyek atau bahan ilmunya ke dalam struktur ilmu hukum yang konstruktif dan sistematis, juga menggunakan metode-metode tersebut. Metode Induksi adalah metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum, sedangkan metode deduksi bersifat sebaliknya, yaitu metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Metode positivisme yang dipelopori oleh August Comte berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif serta menolak diluar yang positif termasuk metafisika. Sedangkan metode kontemplatif mengakui metode lain berupa intuisi dan perenungan mengingat keterbatasan indra dan akal. Apabila ditarik ke dalam dunia peradilan yang dikuasai oleh postulat keadilannya Aristoteles, bahwa peristiwa yang sama diperlakukan sama (analogi) dan peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario), maka ada dua sistem untuk merealisir pokok pikiran tersebut yaitu sistem Anglo-Amerika dan Sistem Eropa Kontinental. Sistem Anglo-Amerika mengikat hakim pada precedent (The binding force of Precedent). Hakim Amerika akan berfikir secara induktif, yaitu berfikir dari yang khusus kepada yang umum (Hukumnya dalam matematika dirumuskan dengan dalil jika X : Y dan Y : Z, maka X : Z). Ia menemukan peraturan yang dijadikan dasar putusannya dari deretan putusan-putusan sebelumnya (reasoning by analogy, reasoning from case to case). Sedangkan Sistem Eropa Kontinental bertujuan mewujudkan postulat kesamaan dengan mengikat hakim pada undang-undang, yaitu peraturan yang sifatnya umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu yang sama diputus sama. Dalam hal ini hakim terikat pada jalan pikiran deduktif, yaitu berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Ia harus mengkonkritisasi peraturan dan harus mengabstraksi peristiwa. Subsumpsie dan sillogisme atau dialektika merupakan ciri khas dari cara berfikir deduksi. Dalam sillogisme atau dialektika bunyi pasal undang-undang adalah premis mayor atau thesenya, fakta atau peristiwa atau kasus konkritnya adalah premis minor atau antithesenya dan bunyi putusan hakim adalah konklusi atau sinthesenya. Dengan demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk untuk membenarkan putusan, sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan analogi dan acontrario (Mertokusumo, 1999: 167). Dalam bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology (Sumardjono, 1989: 3) dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang karena dibantu oleh riset yang dilakukan secara terus menerus. Riset atau penelitian tersebut memiliki dua ciri khas yaitu penggunaan logika dan pengamatan empirik. Penggunaan logika meliputi baik logika deduksi maupun induksi. Logika deduksi digunakan manakala hendak menyusun hipotesis, logika induksi digunakan manakala hendak melakukan genaralisasi empirik dengan melakukan abstraksi, sedangkan pengamatan empirik digunakan manakala hendak melakukan uji hipotesis dengan melakukan observasi di lapangan. Hal tersebut dalapat dilihat pada bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana telah digambarkan oleh L. Wallace berikut ini. Siklus Ilmu PengetahuanOleh: L.Wallace <br />Teori<br />Hipotesis<br />Observasi <br />Pengamatan Empirik<br />Generalisasi Empirik<br />induksi<br />deduksi<br /> Aspek Aksiologi Ilmu Hukum dalam Persoalan Euthanasia Aksiologis merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value) (lihat Suriasumantri, 1990: 231) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang menampakkan diri dalam tiga dimensi yaitu ilmu sebagai masyarakat, ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk (Fadjar, 2004: 5). Ilmu sebagai produk adalah bebas nilai, namun ilmu sebagai masyarakat dan sebagai proses senantiasa terikat oleh nilai sehingga harus tepat nilai, tepat guna dan tepat sasaran. Nilai tersebut dalam konteks filsafat adalah meliputi keindaha (estetika), kebaikan (etika), kebenaran (logika) dan bahkan kesakralan (agama) (Supadjar dalam Fadjar, 2007: 6). Dalam konteks aspek aksiologis ilmu hukum, salah satu materi kontroversial yang paling banyak menyita perhatian kaum intelektual sejak dulu hingga kini dan dapat dipastiakan juga untuk jangka waktu ke depan adalah masalah “euthanasia” atau hak untuk mati. Kontroversi yang panjang tersebut melibatkan terutama kaum filosof, teolog, ahli kedokteran dan ahli hukum. Kaum filosof dan teolog misalnya, cenderung menganggap euthanasia sebagai pilihan manusia yang tidak dapat dibenarkan., sebaliknya para ahli kedokteran dan hukum, paling tidak menurut pandangan yang lebih progresif relatif lebih dapat menerimanya.Silang pendapat tersebut memperlihatkan kepada kita, betapa komplek sesungguhnya permasalahan itu kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai sebagai konsekuensi dari implikasi sosial dan etika yang disandangnya. Menyinggung soal etika, berarti kita berbicara tentang baik atau buruk, susila dan asusila. Benar, bahwa agamapun berbicara soal yang sama, namun ukuran yang dipakai berbeda dengan etika. Etika sebagai bagian dari filsafat menghendaki ukuran yang umum dan universal. Kendati antara agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya kedua obyek tersebut tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti permasalahan euthanasia yang menjadi topik tulisan ini. Karena itulah membicarakan euthanasia sebagai aspek aksiologis ilmu hukum, maka selain dimensi hukum dan etika, dimensi agama dengan nilai kesakralannya (sekalipun hanya sekilas) tidak dapat diabaikan begitu saja. Menyadari luasnya cakupan etika, maka dibatasi pembahasannya hanya pada etika dalam bidang kedokteran dan hukum saja. Bagaimanapun juga dua lapangan inilah yang paling banyak terlibat dalam permasalahan euthanasia tersebut. Berdasarkan latar belakang itulah pembahasan selanjutnya akan diarahkan kepada masalah pokok, yaitu bagaimana euthanasia dalam dimensi hukum dan etika? Tentu saja dimensi hukum yang dimaksud sedikit banyak berpijak pada kundisi di Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Terminologi Euthanasia dan Pengertiannya Istilah “Euthanasia” secara etimologi berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos” yang berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk kematian dengan tanpa mengalami penderitaan (Martha, 1988: 1). Dalam berbagai kepustakaan ditemukan sebutan lain untuk euthanasia seperti “mercy death”, “mercy killing”, “hak untuk mati”, “kemerdekaan untuk mati”, “mati secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan diri dengan bantuan” dan “bunuh sayang”. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan yang paling mapan (Rahardjo, 1989: 1). <br /> Dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, euthanasia diartikan sebagai (bringing about of) easy and painless death (for persons suffering from an incurable and painful disease). Blacks Law Dictionary mendefinisikan euthanasia sebagai the act or practice of painlessly putting to death person suffering incurable and distressing disease as an act of mercy. Batasan-batasan tersebut mirip dengan rumusan dalam kode etik kedokteran (kodeki) Indonesia yang menyatakan euthanasia adalah perbuatan untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien, yang menurut ilmu kedokteran tidak akan sembuh lagi. (Adji, 1986: 130).<br /> Demikian pula dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG (semacam IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln, 1984 : 4).<br /> Tindakan euthanasia terjadi bilamana dokter mengambil nyawa (mematikan) si penderita (pasien) atas permintaan yang bersangkutan, yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis, atau merasa sakit secara fisik akibat penyakit yang dideritanya, yang tidak dapat disembuhkan secara medis (sahetapy, 1989: 2). Pada perkembangan selanjutnya pengertian euthanasia mengalami modifikasi disana-sini, disertai bobot sesuai dengan aspek tinjauannya. Dari beberapa batasan tersebut, para ahli lalu membedakan euthanasia dalam 2 kategori. Dilihat persetujuan pihak korban, dikenal adanya euthanasia sukarela dan tidak sukarela (Vrijwillige-Onvrijwillige Euthanasia). Euthanasia sukarela adalah suatu penerapan euthanasia secara sungguh-sungguh (Uitdrukkelijik en ernsting) dengan persetujuan dari pihak korban dan sebaliknya pada euthanasia tidak sukarela, adalah yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban. Dari kedua kategori tersebut yang dekat dengan rumusan pasal 344 KUHP adalah jenis pertama (Adji, 1989: 131). Di samping kategori berdasarkan persetujuan tersebut, masih dikenal lagi adanya euthanasia aktif (positif) dan pasif (negatif). Kategori ini lebih banyak didasarkan pada bentuk tindakan dokter. Euthanasia aktif adalah bila si pelaku (in casu dokter) mengusahakan agar korban cepat menemui ajalnya dengan cara yang tidak menimbulkan sakit, sehingga orang tersebut terbebas dari penderitaan yang berkelanjutan atau berkepanjangan, yang disebabkan oleh penyakit yang tidak tersembuhkan lagi (Jakob, 1989: 12). Adapun teknik yang digunakan pelaku biasanya memberikan obat-obatan atau suntikan tertentu kepada korban. Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan sang pelaku dengan menghentikan segala usaha yang telah dijalankan guna menyembuhkan korban. Dengan penghentian tersebut, diharapkan korban lebih cepat meninggal dan berarti pendritaannya karena penyakit yang tidak sembuh-sembuh itupun akan cepat berlalu. <br /> Berpijak dari pembagian itu, A.M. Capron (1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice, kemudian memerinci euthanasia dalam epat jenis yaitu :<br />1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)<br />2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)<br />3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)<br />4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasie)<br /> Masalah euthanasia sebenarnya sudah dipersoalkan orang seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Di sisi lain, euthanasia pun tidak dapat dipisahkan dengan persoalan agama, filsafat dan hukum, khususnya dalam menyoroti esensi hidup dan pandangan mereka terhadap perbuatan bunuh diri. Dalam sejarah agam Kristen misalnya, dikenal adanya pembuangan bagi orang-orang yang menderita suatu penyakit tertentu seperti lepra atau kusta, para penderitanya diasingkan secara khusus di pulau atau tempat terpencil. Di tempat pembuangan tersebut, di tengah-tengah ketiadaan fasilitas medis, hampir dipastikan para penderita tadi hanya menunggu saat ajal menjemput mereka. Tetapi seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, pandangan agama terhadap para penderita penyakitpun mulai berubah. Banyak penyakit yang semula dipandang incurable ternyata dapat disembuhkan. Kemajuan ilmu kedokteran telah membawa banyak perbaikan terhadap kondisi kesehatan manusia. Bersamaan dengan itu, kesadaran manusia untuk mempertahankan hidupnya juga semakin tinnggi. Kendati demikian, seberapapun usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya agar semakin tinggi, namun kematian tetap harus dihadapi setiap mahluk yang benyawa. Bukankah dengan arif agama mengajarkan bahwa tiap mahluk yang bernyawa akan mati juga? Keinginan untuk mempertahankan hidup dan kenyataan bahwa manusia harus menghadapi maut, menjadi bahan perdebatan yang sengit. Para ahli kedokteran seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa si pasien (secara medis) tidak lagi dapat disembuhkan, atau hanya dapat dikatakan hidup berkat bantuan alat-alat medis semata, namun di sisi lain mereka dihadapkan pertimbangan etis apabila sengaja mengakhiri hidup pasiennya. Di luar profesi kedokteran juga terjadi kontroversi yang tidak kalah serunya. Berbagai kasus yang muncul di pengadilan membuktikan adanya gerakan pendulum etika dalam menilai euthanasia ini. Menyimak pada yurisprudensi yang ada di negeri Belanda dan Belgia, dapat diamati bahwa perkembangan euthanasia bergerak dari sikap melarang ke sikap membolehkan. Dari putusan-putusan pengadilan yang terkumpul antara tahun 1952 hingga tahun 1981, hampir semuanya memandang euthanasia sebagai perbuatan kriminal. Diantara perkara euthanasia yang dibawa pengadilan dalam kurun waktu itu, hanya satu perkara (1962) yang memberikan putusan bebas bagi terdakwanya. Pada tahun 1973, sebuah putusan lainnya pernah membuat persyaratan bagi seorang ahli medis untuk dapat dilepaskan dari pemidanaan karena euthanasia. Sedangkan untuk kasus Indonesia, sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang secara khusus menyangkut permasalahan euthanasia. Kasus-kasus yang bersangkutan yang berkaitan dengan dunia kedokteran biasanya lebih banyak berkenan dengan malapraktek. Konsep Etika <br /> Etika yang dipungut dari bahasa yunani yaitu “Ethikos” (moral) dan “Ethos” (karakter), mencakup pengertian sebagai upaya manusia untuk menilai, atau memutuskan suatu perbuatan atau sikap, atau bagaimana suatu perbuataan harus dilaksanakan, yaitu perbuatan atau sikap mana yang baik dan yang buruk (Dewabrata, 1989: 4). Sebagai ilmu, etika mencari kebaikan. Sebagai filsafat, etika mencari keterangan (baik) yang sedalam-dalamnya, sehingga ada yang menyebut etika itu sebagai filsafat kesusilaan (poedjawiyatno,1984 : 6). Ada juga yang merumuskan etika sebagai a sitematic reflection upon human action, institution and character (Krammer, 1988: 12).<br /> Etika dengan demikian berusaha untuk memberi pentunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang senantiasa kita ajuakan. Pertama, apakah yang harus aku/kita lakukan dalam situasi konkret yang tengah dihadapi? Kedua, bagaimana kita akan mengatur pola koeksistensi kita dengan orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia apakah kita ini? Dalam konteks ini etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya “fracticida” yang secara legendaris dan historis mewarnai sejarah manusia (Rahmat, 1992: 6). Sementara itu, fungsi etika dalam perkembangan ilmu pengetahuan berwujud sebagai pengendali, penyaring, pengemudi dan persemain ide-ide baru (Boedijah, 1992: 7). Etika berusaha dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh aliran etika yang secara global dapat dibagi menjadi 2, yaitu aliran deontologis (etika kewajiban), dan aliran teleologis (etika tujuan atau manfaat). Menurut etika deontologis (dari kata deon, yang berarti kewajiban), suatu tindakan dipandang benar bila tindakan itu sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Etika deontologis sangat menekankan perlunya law and order dalam kancah kehidupan bermasyarakat, yang hanya akan terjadi bila manusia mematuhi peraturan, baik aturan tuhan, alam, negara dan seterusnya. Kesulitan yang membelit etika deontologis terletak pada pengandaiannya (asumsi) bahwa fakta identik dengan das sollen, akibatnya etika deontologis sering memberi kesan kaku, legalitik, dan konservatif karena melestarikan status quo. Etika teleologis (dari kata teleos,yang berarti hasil atau tujuan), tindakan yang benar adalah tindakan yang berhasil mencapai tujuan tertentu. Jadi dari buahnaya kita harus menilai benar tidaknya suatu tindakan. Kesulitan yang membelit etika teleologis adalah kecenderungannya yang kuat untuk menempuh jalan pintas, yakni tujuan menghalalkan segala cara : (Rahmat, 1992: 6-7). Sebagaimana dipaparka sebelumnya, bahwa etika menghendaki ukuran-ukuran yang umum (universal). Inilah yang membedakannya dengan agama, tetapi agama sendiri tidak lalu harus dipertentangkan dengan etika. Agama menjadi salah satu sumber bagi etika disamping sumber-sumber lain seperti adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa atau negara. Bagi bangsa Indonesia, sumber etika yang paling penting untuk diterapkan di Indonesia tentu saja Pancasila. Dari etika yang cakupannya sangat luas tersebut, dijabarkan lagi menjadi bagian-bagian yang lebih spesifik dan sektoral. Karena itulah, kemudian kita mengenal istilah seperti etika kedokteran, etika jurnalistik, etika bisnis dlsb. Etika tersebut ada yang masih berupa norma-norma sosial yang tidak mengikat, tetapi ada pula yang sudah dirumuskan dalam bentuk kode etik. Dengan demikian kita lalu mengenal pula banyak kode etik seperti kode etik kedokteran (kodeki), yang dijadikan sebagai a systematic reflection upon human action, institution and characternya kaum ahli di bidang kedokteran, demikian juga kode etik ahli hukum seperti kode etik advokat, kode etik hakim, kode etik jaksa dan kode etik notaris, serta lainnya. Etika, seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak saja berfungsi sebagai pengendali dan penyaring, tetapi juga sebagai sumber persemaian ide-ide baru. Dalam pembahasan selanjutnya akan diuraikan bahwa dalam kaitannya dengan euthanasia, etika memegang peranan penting maupun sebagai persemaian ide-ide baru yang dimaksud. Euthanasia dalam Perspektif Etika dan Hukum Etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, atau yang susila dan asusila serta dalam kerangka itulah euthanasia akan dinilai dalam perspektif etika. <br /> Etika deontologis memberi pedoman bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan norma sosial yang dijadikan sebagai acuan. Padahal norma sosial itu tidaklah tunggal. Norma agama, norma kesusilaan., norma sopan santun dan norma hukum adalah bagian dari norma sosial itu (Purbacaraka, 1978: 16). Dengan demikian tindakan euthanasia baru dianggap etis apabila telah dapat diterima oleh semua norma sosial tersebut. Jika mengacu pada konsep etika teleologis yang semata-mata mengutamakan tujuan dan kemanfaatan juga sangat relatif sifatnya. Tujuan dan kemanfaatan menurut siapa? Apakah mengacu kepada the greatest good for the greatest number yang terbukti berat sebelah itu? (Metokusumo, 1999: 61).<br /> Karena sulitnya mencapai ukuran menurut dua aliran etika tersebut, maka kita sebaiknya menghindar dari dikotomi antara etika deontologis dengan teleologis tersebut, dengan menggali kembali situasi primordial yang telah menggodok lahirnya kepekaan dan keprihatinan etis. Keprihatinan utama etika bukanlah melestarikan norma-norma sosial atau merealisasikan aneka macam tujuan subyektif, melainkan melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan manusia. Dengan kata lain titik tolak konkrit etika bukanlah tertib umum yang tidak boleh diganggu gugat atau tujuan subyektif yang terasa mendesak, melainkan protes terhadap kesengsaraan dan penindasan manusia yang selalu terjadi. Ancaman dan pemerkosaan terhadap humanum yaitu kemanusiaan yang layak dirindukan akan membakar kepekaan etis manusia. Dengan demikian dua prinsip utama etika adalah prinsip benefience (berbuatlah baik terhadap sesama) dan prinsip nonmalefience (janganlah berbuat jahat terhadap sesama), sehingga ukuran baik dan buruk suatu tindakan manusia adalah penderitaan sesama manusia agar ia dapat menjadi penjaga dan bukannya menjagal atas sesamanya. Manusia yang etis adalah yang dapat bertanggung jawab terhadap nasib sesamanya. E.Levinas mengatakan respondeo ergosum (aku bertanggungjawab, jadi aku sungguh ada). Dihadapkan pada konteks penderitaan manusia, rasa tanggung jawab untuk berbuat baik dan mencegah kejahatan, maka tindakan yang benar (ortopraxis) didasarkan pada dua tindakan (praxis) yaitu tindakan yang nyata guna membebaskan manusia dari situasi hidup yang gawat dan rawan (praxis liberasi) dan tindakan yang nyata guna menciptakan perdamaian diantara pihak yang bertentangan (praxis rekonsiliasi). Apabila kedua praxis tersebut diterapkan terhadap kasus euthanasia, kiranya dapatlah dijawab bahwa euthanasia dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama, euthanasia harus dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil, terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan jauh lebih menderita lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan analisis ilmiah bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari alasan untuk kepentingan korban saja?. Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum warisan kolonial belanda yaitu pasal 338, pasal 359 dan pasal 345 KUHP yang tidak secara langsung menunjuk kepada euthanasia. Satu-satunya pasal yang agak dekat kaitannya adalah pasal 344 KUHP. Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Redaksi pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan (Sahetapy, 1989: 4). Namun demikian terbukti pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada putusan mengenai euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 s/d 1981 disebutkan bahwa euthanasia dapt dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat tertentu bahkan putusan pengadilan tinggi di Luik pada tahun 1962 pernah membebaskan dokter yang melakukan euthanasia terhadap pasiennya (Adji, 1986: 132). Dalam konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto Rahardjo dkk dari Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden yang terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari responden sarjana hukum menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia. Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab setuju, sedangkan dari 25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang menyetujui euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan euthanasia sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan oleh korban sendiri (36%) dandan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang menarik adalah pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa euthanasia adalah masalah kemanusiaa (8%), masalah agama (8%), masalah kedua-duanya (84%). Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi tadi membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan para dokter yang terikat kode etik kedokteran dan sumpah dokter yang memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih permisif jika dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat masukan-masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil persemaian ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia. Proses yang saling mendukung dan mempengaruhi ini berlangsun dalam suatu siklus yang tidak pernah berhenti. Kesimpulan Filsafat hukum Indonesia dan teori hukum Indonesia yang hendak dibentuk dan digagas serta dikembangkan hingga ilmu hukum Indonesia secara sistematis tentunya didasarkan pada nilai pandangan filsafat pancasaila yang memiliki aspek ontologi monodualisme atau mono plularisme. Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum Indonesia, teori hukum Indonesia. Demikian pula dengan aspek epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas, dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal juga akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai pandangan Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk) juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral Dalam implementasinya pandangan nilai keseimbangan dari filsafat Pancasila tersebut saat ini telah mengalami distorsi karena perkembangan masyarakat Indonesia sendiri yang telah mengalami trasformasi sosial budaya, yaitu yang dulunya sebagai masyarakat agraris yang bersifat paguyuban (gemeinschaft) menuju ke arah masyarakat industri yang bersifat patembayan (gesselschaft), serta adanya pengaruh dari globalisasi dunia yang sulit untuk ditolak, sehingga nilai-nilai spiritualisme telah tergerus oleh nilai-nilai materialisme. DAFTAR PUSTAKA<br /> A.Muktie Fadjar., Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang, 2007. <br />A.B. Shah., Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.<br />A.Wahab Khallaf., Ushul al Fiqh (Edisi Bahasa Indonesia oleh Tolchah Mansoer dan Nur Iskandar), 1980, Yogyakarta.<br />Agus Rahmat., Titik Sentuh antara Etika dan Ekonomi, Pro Justitia No.2 Tahun X, April 1992, Bandung.<br />Aroma Elmina Martha., Pengkajian Hak Untuk Mati padaMasyarakat Indonesia, Maka pada seminar regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajya Yogyakarta pada 24-25 April 1989. <br />Charles L. Krammer., Ethics and Liberation, Orbit Books, New York, 1988.<br />Dewabrata., Makna Kode Etik, Kompas 13 Mei 1989, Jakarta.<br />Endang Saifuddin Anshari., Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu,1987, Surabaya.Fred Ameln., Euthanasia Ditinjau dari Segi Yuridis, seminar BPHN November 1984 di Jakarta.<br />L.R. Pudjawiyatna., Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta 1984.<br />John Z Loudoe., Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.<br />Jujun S Suriasumantri., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan, Jakarta, 1990. <br />J.E. Sahetapy., Euthanasia Suatu Kajian terhadap Legalitik Positivistik, Makalah seminar Regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.<br />Maria SW Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, FH UGM, Yogyakarta,1989.<br />Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Gadjah Mada University Press, Jogyakarta, 1992.<br />Purnadi Purbacaraka dan Soeryono Soekanto., Perihal Kaedah Hukum,Alumni,Bandung, 1978. <br />Roihan A Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991. <br />Satjipto Raharjo., Tinjauan Sosiologis terhadap Hak untuk Mati, Makalah Seminar Regional Mahasiswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.-------., Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. <br />Siti Sumarti Hartono., Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989 Hal. 13-21. <br />Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988. -------., MengenalHukum Suatu Pengantar, Liberty,Jogyakarta,1999. Teuku Jacob., Hak untuk Mati: Aspek Biomedis, Makalah Seminar Regional Maha Siswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 19889. Umar Seno Adji., Euthanasia (Dalam Varia Peradilan No.14 Bulan November 1986), Jakarta. ---------------------------------*Moch. Fatich, SH.M.Hum, penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unisma dan sedang menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukum di PPS UnibrawGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-65196797251339829412009-08-22T22:01:00.000-07:002009-08-22T22:07:12.153-07:00Cerita Motivasi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB8NK88cXg8UluAuky8aLStEJYSZ4CjfX2IIMQSh9NNF2X-BKwh-ma6B1ZHRW-_5b0fdwU5dgXdAA1-V1r4e97RQJ_kgbfA-IWo1vwB3nTWsUonpw1l7htdFMdtXGAQW5YVwH53t8R6F4/s1600-h/kera+silat.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 192px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB8NK88cXg8UluAuky8aLStEJYSZ4CjfX2IIMQSh9NNF2X-BKwh-ma6B1ZHRW-_5b0fdwU5dgXdAA1-V1r4e97RQJ_kgbfA-IWo1vwB3nTWsUonpw1l7htdFMdtXGAQW5YVwH53t8R6F4/s200/kera+silat.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5373021230548934866" /></a><br />Segelas Susu<br /><br />Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar. Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.<br />Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.<br />Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, “berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini ?” Wanita itu menjawab: “Kamu tidak perlu membayar apapun”. “Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan” kata wanita itu menambahkan.<br />Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :” Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda.”<br />Bertahun-tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yang sangat kritis. Para dokter dikota itu sudah tidak sanggup menganganinya. Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.<br />Dr. Howard dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Howard. Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut. Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu.<br />Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu.<br />Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan… Wanita itu sembuh !!. Dr. Howard meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr. Howard melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.<br />Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus diangsur seumur hidupnya. Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi..”Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu !!” tertanda, Dr. Howard Kelly.<br />Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa:<br />“Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dan tangan manusia.”Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-78817835260412497082009-08-21T22:29:00.000-07:002009-08-21T22:35:51.753-07:00PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVyidbhKJsyOM1RDfUsq8TCuGtVJB17-Sii-Awk10ERrGoAkJ1BQA1d_8oVABH6mmGW98-qYmjbDogDkBKzECf3KHq_2Xff9mzJkdpOc82WypPG8xa0mOVaEYl7d3BCpwevdvMsE424lo/s1600-h/Foto048.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVyidbhKJsyOM1RDfUsq8TCuGtVJB17-Sii-Awk10ERrGoAkJ1BQA1d_8oVABH6mmGW98-qYmjbDogDkBKzECf3KHq_2Xff9mzJkdpOc82WypPG8xa0mOVaEYl7d3BCpwevdvMsE424lo/s200/Foto048.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5372657564247769138" /></a><br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br />Manusia dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan. <br />Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan. <br />Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara. <br /> Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontology, epistemologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya terutama dalam menjawab permasalahan pornografi? <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />HAKEKAT HUKUM DAN MASALAH PORNOGRAFI<br /><br />A. Hakekat Hukum kajian Ontologis<br />Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar. <br />Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan. <br />Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum. <br />Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach). <br />Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji . Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri. <br />Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas. Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada. <br />Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan). <br />Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu: <br />1. Hukum perdata barat (Eropa).<br />2. Hukum pertdata Islam.<br />3. Hukum perdata Adat. <br />Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.<br /> Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit. <br /> Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari. <br /> Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa, yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.<br /> Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat, sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik. <br /> <br />B. Masalah Pornografi<br />Problem hukum dan moralitas merupakan subyek perdebatan yang hangat dikalangan pengacara di Inggris, setelah adanya keputusan daro House of Lords dari kasus tuan Shaw melawan the Director of public Prosecution pada tahun 1962. tuan Shaw telah menyusun seuah brosur yang berjudul “ladies Director” yang mendaftar nama-nama dan alamat-alamat pelacuran termasuk fotografi telanjang dan petunjuk singkat dari praktekpraktek seksual mereka yang khusus.<br />Terlepas dari kesalahan karena menerbitkan artikel cabul, tuan Shaw juga dihukum karena pelanggaran bersekongkol merusak moral masyarakat. Ini merupaka formulasi pelanggaran terakhir yang dilakukan oleh para ahli hukum inggris yang mendorong adanya diskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang fundamental: apakah ini merupakan fungsi hukum untuk menyelenggarakan ukuran-ukuran moralitas konvensional dengan menghukum penyimpagan-penyimpangan darinya; khususnya dalam kasus imoralitas seksual secara pribadi yang tidak ada alasan merugikan atau melanggar orang lain. <br />Hukum islam memasukkan prinsip pelaksanaan moralitas seksual yang keras, hal itu menjelaskan tentang hukuman yang ditetapkan bagi pelanggaran zina. Menurut hukum ingris hubungan seksual di luar perkawinan bukan merupakan pelanggaran hukum kecuali kalau diperburuk oleh keadaan seperti tidak adanya ersetujuan antara keduanya, seorang gadis muda usia, ada hubungan darah dengan orang yang bersangkutan, atau tingkah laku yang tidak alami, sama dengan pelanggaran kriminal karena perkosaan, berzina dengan saudaranya, sodomi. Begitu juga hukum di indonesia. Yang mengatakan bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perenpuan yang keduanya atau salah satunya belum terikat tali perkawinan tidak dikatakan zina. Dilain pihak hukum islam menganggap hubungan seksual bentuk apapun adalah merupakan kejahatan kecuali kalau hal itu antara suami dan istri atau masa lalu antara tuan dan selir budaknya.<br />Dalam sumber material primer syariah Al-Qur’an, tidak ada pembedaan yang jelas dan konsisten antara moral dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika dalam hukum islam, Al-Qur’an menetapkan masalah-masalah pokok untuk membedakan yang benar dari yang salah, baik buruk, pantas dan tidak pantas, atau biasanya hal itu tidak diteruskan pada tingkat skunder menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus , memang benar , sanksi-hukum yang tepat dijatuhkan karena perbuatan atau kelalaian seperti hukuman dera (cambuk) bagi orang yang menfitnah secara serius, atau hukum potong tangan bagi pencuri.<br />Hidup dalam tatanan masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera merupakan dambaan setiap manusia, munculnya tindakan-tindakan amoral/ asusila merupakan konsekuensi dari globalisasi yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Fitrah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna adalah makhluk yang bermoral dan mampu berprilaku susila/baik, karena telah dikaruniai akal sebagai bekal untuk berpikir dan bertidak dengan koridor-koridor yang menjadi acuan hidup berperilaku, baik yang merupakan aturan tingkah laku yang tak tertulis (Conduct Norm) maupun aturan yang telah disepakati sebagai hukum tertulis.<br />Namun demikian manusia sebagai makhluk yang sempurna juga memiliki nafsu yang ikut berperan mengarahkan atau mempengaruhi perilakunya sehingga ada kecenderungan manusia melakukan perbuatan-perbuatan ammoral/ tidak bermoral dan asusila/ tidak susila. Keberadaan akal dan nafsu dalam diri manusia tersebut menimbulkan suatu keadaan perilaku yang mengarah kepada perbuatan baik dan buruk seorang manusia. Manusia sebagai obyek bermuaranya dua faktor berpengaruh mengharuskan manusia mampu memilih dan mengarahkan setiap tindakan yang akan dilakukan agar tidak dikuasai oleh nafsu sebagai salah satu faktor berpengaruh dalam diri manusia. Idealnya manusia itu mampu menekan nafsunya menggunakan akal yang dimilikinya agar setiap perilakunya menjadikan perilaku yang bermoral dan terarah.<br />Harapan akan idealitas kehidupan terkadang tidak dapat terwujud manakala manusia dikuasai oleh nafsunya, sehingga manusia cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan yang tidak susila. Manusia diciptakan didunia selain sebagai makhluk personal juga sebagai makhluk sosial sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan harus juga memperhatikan kepentingan orang lain yang berada dilingkungannya.<br />Bangsa Indonesia sebagai salah satu unsur dari negara juga tidak pernah lepas dari perilaku yang dipengaruhi oleh nafsu, sehingga muncul perbuatan-perbuatan yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai perbuatan yang buruk. Fenomena pornografi dan pornoaksi misalnya, Tindakan pornografi dan pornoaksi dinilai memberikan andil besar atas kemerosotan moral bangsa Indonesia dari hari ke hari. Sebagaimana diberitakan Kantor Berita Associated Press (AP), Indonesia berada pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi . <br />Indonesia merupakan negara peringkat kedua di dunia setelah Swedia dalam peredaran majalah dan VCD pornografi dan pornoaksi, sehingga kedepannya akan berdampak buruk pada masyarakat luas. "Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan," kata Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Univesitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno.selanjutnya dia juga mengungkapkan bahwa,,"Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama" . <br />Selain itu juga hilangnya kepekaan moral seperti perasaan menjijikkan, amoral dan menyesatkan, namun menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima serta mulai memandang orang lain sebagai obyek. Pada prinsipnya semua pihak sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi yang tersebar dewasa ini, tanpa ada pengontrolan yang baik akan berdampak pada generasi muda, Hal itu tidak bisa dipungkiri seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kegiatan yang menjurus ke hal itu juga ikut berkembang. Sebab perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dan mengalir ke rumah tangga tanpa batas. <br />Pro dan kontra berkaitan dengan pengaturan tindakan pornografi dan pornoaksi ini, merupakan permasalahan pula bagi negara untuk dapat mewujudkan peraturan perundang-undangan mengenai pornografi dan pornoaksi. Yang kontra terhadap pengaturan pornografi dan pornoaksi beralasan bahwa, masalah pornografi tidak dapat diatur dalam UU karena akan menimbulkan ketegangan sosial dan mengancam kreativitas serta negara tidak memiliki hak untuk ikut mencampuri urusan personal/individual warga masyarakatnya. Sebaliknya, beberapa kalangan, mulai para ulama, da’i, ibu-ibu rumah tangga dan para pendidik sangat berharap terhadap pengesahan dan pemberlakuan UU Anti pornografi dan Pornoaksi. Mereka meyakini dengan pemberlakukan UU ini akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi .<br />Peneltian secara komprehenshif terhadap permasalahan hubungan moralitas dan hukum khususnya yang berkiatan dengan fenomena pornografi belum banyak dilakukan, sehingga muncul dugaan-dugaan serta perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan masyarakat berkaitan pentingnya sarana hukum untuk mengatur moralitas bangsa. Indonesia sebagai negara hukum memberikan konsekuensi bahwa hukum sebagai sarana mengatur dan mengotol masyarakat diharapkan benar-benar memiliki andil agar moralitas bangsa menjadi baik. Selain itu hukum juga harus mampu memberika kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat. <br />Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa indonesia harus dijadikan rujukan dalam mewujudkan peraturan perundangan. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum, sebagai suatu negara hukum, didalamnya terdapat sejumlah peraturan prundang-undangan/hukum yang keseluruhan merupakan satu kesatuan yang terseusun secara tertib hukum.(Legal Order atau Rechtsodnung). Suatu tertib hukum akan terlihat sebagai suatu bangunan yang tersusun secara hirearkis, atau tertib hukum derajat/tertib tingkat, dimana dalam susunan tersebut terdapat hukum yang berperan sebagai dasar dan sumber dari segala sumber hukum negara <br />Pertanyaan apa sebenarnya pornografi dan pornoaksi itu? Tidak dapat segera dapat dijawab dengan mudah, oleh karena sampai saat ini tidak ada kesepakatan mengenai pengertian pornografi dan pornoaksi. Sebagai gambaran tentang beberapa pendapat yang mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.<br /> Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya. <br />Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor. <br />Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual. <br />Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu: <br />1. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.<br />2. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih. <br /><br />Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat. <br />Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.<br />Pornografi adalah materi baik berupa tulisan atau gambar yang dengan sengaja maupun tidak sengaja di buat atau dirancang dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi/ seks. Namun dikecualikan untuk tulisan atau gambar yang dirancang untuk keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sedangkan pornoaksi dapat penulis devinisikan sebagai tindakan penggambaran dalam bentuk gerakan, liukan tubuh yang dapat membangkitkan nafsu birahi/seks. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENDEKATAN ALTERNATIF ATAS PERMASALAHAN PORNOGRAFI<br /><br />A. Kriminalisasi Pornografi di Indonesia<br /> Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya. <br />Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor. <br />Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual. <br />Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu: <br />3. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.<br />4. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih. <br />Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat. <br />Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.<br />Dampak-dampak serta fakta-fakta yang mungkin dapat dijadikan dasar berpijak sebelum membahas apakah kriminalisasi terhadap pornografi dan pornoaksi ini sudah sangat urgen?.Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan. <br />Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Universitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno. selanjutnya beliau juga mengungkapkan bahwa, Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama". <br />Hal yang telah disampaikan di atas hanya sebagian kecil, dari sejumlah kasus yang terjadi yang disebabkan oleh maraknya pornografi dan pornoaksi di Indonesia, namun ini cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa pornografi dan pornoaksi memiliki dampak buruk, bahkan nyaris tidak ada dampak positifnya. Sehingga dari gambaran di atas tidak berlebihan jika persoalan pornografi dan pornoaksi perlu mendapatkan perhatian serius.<br />Terhadap persoalan mendasar apakah urgensi kriminalisasi tindakan pornografi dan pornoaksi, dalam kacamata politik hukum pidana dapat dikemukakan analisis sebagai berikut: <br />1. Bahwa suatu kejahatan atau tindak pidana selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan permasalah sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest social problem. Menghadapi masalah ini, dalam sejarah peradapan manusia telah banyak dilakukan berbagai upaya (kebijakan rasional) untuk menanggulanginya. Kebijakan rasional menanggulagi kejahatan inilah yang populer disebut dengan politik kriminal. Konggres PBB ke-6 tentang The Prevention of crime and the treatment of offender di Jenewa Swiss tahun 1981 hingga konggres ke-9 tentang hal yang sama di Havana Cuba tahun 1990, ditegaskan bahwa kebijakan menanggulangi suatu kejahatan hendaknya dilihat sebagai bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Mengingat kebijakan menanggulangi kejahatan tidak akan banyak artinya jika kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor Criminogen dan Victimogen. Selain itu ditegaskan pula bahwa upaya menanggulangi kejahatan haruslah dilakukan secara terpadu (integral) antara penggunaan sarana Penal (membuat serta menegakkan aturan hukum pidana) dengan sarana non penal (pendekatan selain hukum pidana misalnya politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain). Hal ini mengingat selain kebijakan penanggulangan kejahatan bukanlah semata-mata masalah hukum pidana, juga karena huku pidana sendir hakekatnya memiliki batas-batas kemampuan. <br />2. Dilihat dari segi sifatnya yang represif dan bobot sanksinya yang paling berat dibanding bidang hukum lain, maka dalam doktrin dikenal ajaran bahwa hendaknya fungsionalisasi hukum pidana benar-benar harus mempertimbangkan asas Ultimum Remidium. Artinya huku pidana mestinya diterapkan sebagai sarana terakhir setelah mempertimbangkan sanksi yang diberikan melalui bidang hukum lain atau melalui optimalisasi kaidah sosial lainnya dipandang tidak cukup berhasil dalam mengatasi (mencegah dan menanggulangi) masalah sosial yang dihadapi. Asas Ultimum Remidium ni penting, tidak hanya dierhatikan pada waktu melakukan kriminalisasi saja tetapi juga pada saat menerapan undang-undang itu sendiri dalam praktek penegakan hukum. Secara lebih rinci Muladi dan Barda Nawawi Arif menjelaskan bahwa konsep penggunaan undang-undang hukum pidana berdasarkan asas ltimum remidium tersebut maknanya adalah sebagai berikut: <br />a. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata,<br />b. Hukum pidana pun hendaknya janga digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya,<br />c. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut,<br />d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampaingan (by Product) yang ditimbulan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasikan,<br />e. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak dapat efektif (unforceable),<br />f. Penggunaan hukum pidana pun hendaknya harus menjaga keserasian anara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan,<br />g. Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan,<br />h. Dan akhirnya penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat no penal (Prevention without punishment).<br />Bertolak dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam menghadapi suatu problem sosial bernama kejahatan, solusi berupa kebijakan dengan membuat dan menggunakan aturan hukum pidana untuk menanggulanginya pada prinsipnya tidak ada yang salah (sah-sah saja). Sepanjang kebijakan tersebut masih dalam koridor doktrin hukum pidana sebagai Ultimum Remidium.<br />3. Berkaitan dengan pemerintah untuk mengkriminalisasikan pornografi , pertanyaan yang muncul adalah apakah perumusan undang-undang sudah memenuhi doktrin ultimum remidium? Sehubungan dengan hal ini maka perlu dicermati hal-hal sebagai berikut: <br />a. Bahwa fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi dengan segala bentuk dampak yang ditimbulkan adalah fakta yang tak terbantahkan. Kasus VCD “Bandung Lautan Asmara”, Casting Iklan Sabun Mandi, Artis ganti pakaian, yang melibatkan “korban” beberapa artis seperti sarah ashari, rachel maryam, femmy permatasari dan lain sebagainya, beredar bebasnya sejumlah tabloit atau koran beraliran “Syur” yang mengumbar gambar-gambar model dengan pose seronok, berita-berita seperti perzinaan, pelecehan seksual bahkan perkosaan yang ramai menghiasi media masa akhir-akhir ini, dengan pengakuan yang sangat mengejutkan bahwa mereka melakkan perbuatan itu karena setelah habis menonton VCD porno atau sehabis melihat pertunjukan yang berbau pornoaksi. Ini hanyalah sekedar contoh sekaligus indikasi yang menunjukkan betapa sangat memprihatinkannya dan seolah tidak dapat dikendalikan lagi fenomena pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Dalam kondisi demikian, maka masalah moralitas bangsa ke depan tentu menjadi taruhannya.<br />b. Semetara itu, upaya untuk menanggulanginya dengan pendekatan moral susila keagamaan (seperti yang terlihat dengan tumbuh suburnya berbagai majlis ta’liem maupun publikasi dan sosialisasi nila-nilai budi luhur warisan budaya bangsa yang mengkritik dan mencela fenomena pornografi dan pornoaksi tersebut) dalam kenyataannya tampak berlalu saja tanpa hasil yang berarti. Pengajian hanya merupakan kegiatan rutin keagamaan dan nilai-nilai budaya pun seolah-olah hanya bernasib sebagai warisan yang tidak diminati oleh generasi sekarang. Budaya trend dengan penampilan yang pornoaksi tampak lebih menjadi panutan. Ini fakta sehari-hari yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan benar-benar agama, serta nilai budaya nyaris tak berdaya.<br /><br />B. Pendekatan dalam Kriminalisasi Tindakan Pornografi <br />Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. <br />Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu: <br />1. Crininal Law Aplication;<br />2. Prevention Without Punishment;<br />3. Influencing Views of society on crime and punishment.<br />Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. <br />Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law. <br />Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana. <br />Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. <br />Permasalahan pornografi dan pornoaksi bukanlah permasalahan yang sederhana sehingga memerlukan keseriusan serta kebijakan yang mampu meminimalisir perbedaan pendapat, hal ini dikarenakan bahwa, di indonesia terjadi pro dan kontra berkaitan penanggulangan pornografi dan pornoaksi ini, yang mana masing-masing pihak yang pro dan kontra tetap mempertahankan argumentasi masing-masing.<br />Negara sebagai organisasi pemerintahan yang memiliki peran utama guna menanggulangi pornografi dan pornoaksi seyogyanya memilik strategi yang efektif. Yang diharapkan dengan tindakan baik represif maupun prefentif dengan tanpa mengabaikan pendapat-masing-masing yang pro dan kontra sebagai wujud dari negara demokrasi.<br />Upaya Negara dalam menanggulangi tindakan pornografi dan pornoaksi jika dilihat dari kebijakan yang ada dapatlah dikatakan bahwa Negara sebenarnya sudah mengambil strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), hal ini dapat ditunjukkan dengan munculnya undang-undang pornografi.<br />Namun demikian strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi yang dilakukan oleh Negara menggunakan hukum pidana bukanlah sesuatu yang mudah, karena kriminalisasi terhadap perbuatan pornografi dan pornoaksi terjadi pro dan kontra, yang semua tetap teguh pada argumentasinya masing-masing.<br />Pro dan kontra seputar pornografi ini berada pada tataran substansi dari isi rancangan-undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Namun menurut penulis bahwa sebenarnya argumentasi masing-masing yang pro dan yang kontra terakadang lebih mengedepankan emosi sehingga semakin memperkeruh persoalan.<br />Terlepas dari strategi negara dalam rangka mengkriminasilasikan tindakan pornografi dan pornoaksi tersebut, penulis berusaha memberikan solusi dalam rangka meminimalisasi permasalahan pro dan kontra UU Pornografi. Menurut penulis, permasalahan pro dan kontra pornografi tidak terlepas dari persoalan nilai yang berusaha dibangun oleh masing-masing pihak. Pihak yang pro berada pada tataran nilai etika dan moral sedangkan yang pro berada pada tataran nilai estetika dan hak asasi manusia (HAM).<br />Perbedaan paradigma tentang nilai inilah sebenarnya merupakan pertarungan ideologi mana masing-masing mempertahakan kebenaran ideologinya masing-masing. Sehingga berlanjut menjadi satu permasalahan yang selalu muncul diberbagai sektor, baik sektor ekonomi bisnis, politik, hukum dan lain-lain. Pro dan kontra diberbagai sektor ini sebaiknya pemerintah menyikapi dengan arif dan bijaksana dengan mencari titik kompromi sehingga perbedaan serta perselishan mampu diselesaikan. <br />Tindakan pemerintah dalam mencari titik kompromi ini memerlukan strategi agar dapat berhasil. Persoalan pornografi dan pornoaksi tersebut menurut hemat penulis pro dan kontra lebih banyak berada pada tataran seni dan kreatifitas yang berada pada nilai estetika dan bisnis dengan kepatutan dan kesopanan pada nilai etika dan moral. Sehingga negara dalam mencari titik kompromi guna mewujudkan undang-undang yang membatasi tindakan pornografi dan pornoaksi memerlukan strategi dengan melihat akar persoalan tersebut.<br />Strategi yang harus dilakukan adalah dengan meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan masukan kepada pemerintah berkaitan dengan hal ini. Selanjutnya negara dalam hal ini pemerintah dalam hal ini legislatif sebagai seorang formulator harus memasukkan kedua nilai tersebut dengan cara mengambil salah satu nilai yang dijadikan paradigma perumusan undang-undang dengan juga memperhatikan nilai yang lainnya. Dua nilai dalam perdebatan tersebut adalah nilai estetika dan etika, dimunculkan salah satu nilai tersebut menjadi paradigmanya misalnya nilai etika yang dimunculkan sebagai paradigma namun tanpa harus memasung nilai kreatifitas. Atau sebaliknya nilai estetika yang dijadikan paradigmanya namun estetika dan kreatifitas sebagai paradigma jangan sampai melanggar etika moral yang menjadi conduct norm atau aturan tingkah laku.<br />Jika kompromi dangan cara tersebut belum berhasil, maka diperlukan sikap tegas dan keberanian pemerintah untuk mengambil sikap memilih salah satu paradigma dengan mencari dampak buruk yang terkecil. Namun sebenarnya hasil pertemuan yang sering dilakukan di lembaga legislatif lebih banyak yang pro atau mendukung segera disahkanya RUU PP sebagai undang-undang dibandingka dengan yang kontra. Dengan alasan itu sebenarnya negara sudah dibenarkan untuk mengambil kebijakan. Perbedaan pasti akan tetap muncul, yang perlu dipahami adalah bahwa suara mutlak tidak akan pernah terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Sehingga perlu dilakukan pengambilan kebijakan dengan berdasarkan suara mayoritas.<br />BAB IV<br />KEBIJAKAN PENAL DALAM MASALAH PORNOGRAFI<br /><br />Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. <br />Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu: <br />4. Crininal Law Aplication;<br />5. Prevention Without Punishment;<br />6. Influencing Views of society on crime and punishment.<br />Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. <br />Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law. <br />Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana. <br />Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. <br />Nilai-nilai normative yang dijadikan dasar acuan untuk penanggulangan pornografi merupakan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk kebijakan penal penanggulangan pornografi di ndonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UU pornografi maupun undang-undang pornografi itu sendiri.<br />Peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum lahirnya undang-undang pornografi yang memungkinkan dijadikan dasar acuan penanggulangan pornografi adalah:<br />a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai delik kesusilaan sebagaimana terdapat dalam pasal 281, 282, 283, 532, 533, 534 dan pasal 535.<br />b. UU No. 40/1999 tentang Pers terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pers nasional berkewajiban memberitakan eristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Dan ketentuan pasal 13 huruf a yang menegaskan: “pers nasional dilarang memuat pemberitaan atau iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.<br />c. Kode etik jurnalistik terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 2 angka 2 huruf c yang menegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.<br />d. UU No. 27 Tahun 2002 Tentang Penyiaran terutama yang berkait dengan ketentuan pasal 36 yang antara lain pada ayat (1) menegaskan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hibuan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan seta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sedangkan pada ayat (5 huruf b) melarang tegas isi siaran yang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, pejudian, penyelahgunaan narkotika dan obat terlarang.<br /> Berkaitan dengan efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih belum dapat berlaku efektif karena hal tersebut terbukti dengan masih maraknya tindakan pornografi dan penyebaran pornografi di Indonesia, melihat kenyataan masih maraknya pornografi di masyarakat mengharuskan Negara mengambil kebijakan penanggulangan pornografi dalam bentuk kebijakan penal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi. <br />Undang-undang tersebut merupakan acuan normative dalam melakukan penanggulangan terhadap pornografi di Indonesia. Memang dalam prakteknya belum dapat dilihat ekektifitasnya namun dasar yang paling tepat dalam melakukan penanggulangan adalah Undang-unddang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB V<br />KESIMPULAN<br /><br />Ilmu hukum sebagai sebuah kajian sarat akan nilai-nilai moral sehingga pada setiap praktek penegakan hukum selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai moralitas, permasalahan pornografi merupakan fenomena yang harus disikapi dengan arif, karena hal ini terkait dengan permasalahan nilai moralitas dan budaya bangsa. Pro dan kontra terhadap permaalahan pornografi merupakan bukti adanya kepedulian bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai moralitas dan hak asasi manusia. <br />Namun demikian permasalahan pornografi sudah demikian komplek sehingga pemerintah harus menentukan alternative penyelesaian masalah tersebut, kebijakan yang diambil Negara dalam hal ini adalah kebijkan penal yaitu kebijakan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Sehingga pemerintah mengesahkan RUU menjadi undang-undang yakni UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang dijadikan acuan normative penyelesaian permasalahan pornografi.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abdul Kholiliq. AF. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, Makalah diskusi panel bertema “membahas RUU APP Secara akademik dan proporsional. Diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hukum dasar bekerja sama dengan Departemen hukum pidana UII, Yogyakarta Tanggal 16 maret 2006.<br />A.Muktie Fadjar.2007, Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang<br />A Rasyid.1991, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers<br />Barda Nawawi Arif,2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Citra Aditya Bakti<br />-------------------------, Upaya non penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, Makalah seminar Nasional kriminologi VI, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang tangal 16-18 september 1991<br />Benedict A. Alper, Changing Concept of crime and criminal Policy, Resource Material Series No. 7, Tokyo: UNAFEI, 1973<br />Bungin Burhan, 2005, Pornomedia, Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Kencana<br />Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1998,Jakarta<br />G Peter Hoefnagels, 1973,The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer Holland<br />H.L.A., Law; Liberty, and Morality (London: Oxford University Press, 1963)<br />Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi ( Seri Pemulihan Diri),Yogyakarta: Yayasan Gloria<br />John Z Loudoe.1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta:PT Bina Aksara<br />Jujun S Suriasumantri.1990, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Hara Pan<br />J.M. Van Bemmelen, Hukum Pdana I: Hukum pidana materiel bagian umum (terjemahan), Bandung: Bina Aksara<br />Mac Ancel, 1965, Social Defence, AModern Approach to Criminal Problems, London: Rautledge<br />Mardjono Reksodipoetro,1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Jakarta: Universitas Indonesia.<br />Muladi dan Barda Nawawi Arif1992, , Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni<br />Moch Fatich, TT, Aspek ontologism, epistimologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, makalah,<br />Musthafa Kamal Pasha Et all 2003, , Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri<br />Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press<br />Satcipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.<br />Siti Sumarti Hartono.1989, Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989<br />Sudarto,1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Bandung: Sinar Baru<br />Sudikno Mertokusumo, 1999, MengenalHukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty<br />Teguh Prasetya dan Abdulhalim Barkhatullah,2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Yogyakarta:Pustaka Pelajar<br />(Zubaedi, Artikel “UU Porngrafi Perlukah?, www.google.com)<br />Yahya S Hamid, (www.dwp.or.id) <br />http://www.kapanlagi.com/h/0000127902.html).<br />Republika 17 Juli 2003Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-63641439438055946102009-08-21T22:23:00.000-07:002009-08-21T22:29:14.445-07:00PRINSIPPRINSIP ASURANSI DALAM ISLAM<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgroX0EIKUeSda43HlqePXMrIyxYHdvIdjPq315aNFIhPcUkkPAurOPz3ypGDzBKxFsl2yrmibjW0wXfjd7CAaIfYlvs8PXrmnt5-GCsn89Qulpgj7lSikVR8a1bT6ch0jcGW-eWOkiRuY/s1600-h/gats1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 166px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgroX0EIKUeSda43HlqePXMrIyxYHdvIdjPq315aNFIhPcUkkPAurOPz3ypGDzBKxFsl2yrmibjW0wXfjd7CAaIfYlvs8PXrmnt5-GCsn89Qulpgj7lSikVR8a1bT6ch0jcGW-eWOkiRuY/s200/gats1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5372655591286515314" /></a><br />PRINSIP-PRINSIP <br />HUKUM ASURANSI DALAM ISLAM <br />Oleh: Gatot Sugiharto <br /><br />A. PENDAHULUAN.<br />Hukum islam adalah ikhtisar pemikiran islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup muslim, serta merupakan inti dari sari pati islam itu sendiri. Harus diakui bahwa penekanan-penekanan teologis dalam sumber-sumber Al-Qur’an dan Hadist tentang keharusan mematatuhi hukum membuat umat islam menempatkan hukum pada posisi yang dipentingkan dalam kebudayaannya. Oleh karena itu, dari sudut historis dapat dikatakan bahwa hukum islam adalah salah satu warisan cultural umat islam yang penting. <br />Pada saat ini umat islam dihadapkan pada persoalan-persoalan ekonomi kontemporer, akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan IPTEK (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). Dalam kehidupan kontemporer sekarang, khususnya tiga dasawarsa terakhir, hukum islam terutama dibidang keperdataan semakin mempunyai arti penting, terutama dengan lahirnya apa yang disebut ekonomi, perbankan dan asuransi, yang erat kaitannya dengan hukum muamalat. Perkembangan institusi-institusi baru tersebut secara nyata mendorong pengembangan fiqh muamalah sebagai landasan yang memberikan kerangka acuan terhadap lembaga-lembaga tersebut dari sudut syar’i.<br />Permasalahannya adalah bagaimana hukum islam sebagaimana misalnya dalam masalah asuransi dapat dikembangkan sehingga mampu memberikan jawaban atas kenyataan actual persoalan ekonomi. Belakangan, para ahli fiqh kontemporer memandang bahwa aspek yang perlu digali dai hukum muamalat itu adalah asas-asas hukumnya bukan aturan-aturan detail. <br />Tulisan ini melakukan penggalian sederhana terhadap asas-asas hukum dengan menfokuskan pada permasalahan asuransi terutama berkaitan dengan prinsip-prinsip hukum asuransi (legal principles of insurance).<br /><br />B. PEMBAHASAN<br />1. Problematika dan Perkembangan Pemikiran Asuransi Islam.<br />Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/kliennya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji, atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya. <br />Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan slah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain: pertama, tertanggung yaitu orang atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda. Dan kedua penanggung, dalam hal ini perusahaan asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung resiko atas kerugian yang menimpa harta benda yang diasuransikan.<br />Asuransi masih menjadi perdebatan ulama bila dilihat dalam sudut pandang islam. Mengungat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia serta diperkirakan umat islam banyak terlibat d dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang hukum islam. Dikalangan umat islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari ramat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-galanya dan memberikan rezeki kepada makhlukNya sebagaimana firman Allah yang artinya: “dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya” dalam Qs. An Naml 64 juga disebutkan “ dan siapa pula yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)” selain itu dalam surat Al Hijr ayat 20 “ dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan keperluan hidup, dan kami meniptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekalikali bukan pemberi rezeki kepadanya”.<br />Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluknya, termasuk manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari figh muamalah. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu: <br />a. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya termasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqii (Mufti Yordania) Yusuf Qardhawi dan Muhammad bakhil al muthi (mufti Mesir). Diharamkannya asuransi didasarkan dengan alas an-alasan sebagai berikut:<br />1) Asuransi sama dengan judi;<br />2) Asuransi mengandung unsure-unsur tidak pasti;<br />3) Asuransi mengandung unsure riba/renten;<br />4) Asuransi mengandung unsure pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bias melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang presmi yang sudah dibayar atau sudah dikurangi;<br />5) Premi-premo yang sudah dibayarkan akan digunakan dalam praktek-praktek riba;<br />6) Asuransi termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak tunai;<br />7) Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.<br />b. Asuransi Konvensional diperbolehkan. Pendapat kedua ini dikemukaka oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa ( Guru Besar Hukum Islam Pada Universitas Cairo Mesir) dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-muamallah al-haditsah wa ahkmuha. Mereka beralasan:<br />1) Tidak ada Nash (Al-Quran dan Sunnah) yang melarang asuransi;<br />2) Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;<br />3) Saling menguntungkan kedua belah pihak;<br />4) Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan membangun;<br />5) Asuransi termasuk akad Mudhrabah (bagi hasil);<br />6) Asuransi termasuk koperasi (syirkah taawuniyah);<br />7) Asuransi dianalogikan (qiyaskan) dengan system pension seperti taspen.<br />c. Asuransi yang bersifat social diperbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan. Pendapat ketiga ini dianut oleh antara lain Muhammad Abduh Zahrah (guru besar hukum Islam pada universitas Cairo). Alas an kelompok ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula pada alas an kelompok ke-dua dalam asuransi social (boleh). Alas an golongan yang mengatakan asuransi subhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram dan tidknya asuransi.<br /><br />Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehinga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat dengan ketentuan hukum yang benar. Kajian awal terhadap masalah asuransi syariah, yang ada di ndonesia dikenal dengan asuransi takaful, telah dilakukan. K.H. Ahmad Azhar Basyir mengemukakan dasar-dasar asuransi secara islami, yang berlandaskan asas tabarru’ (kebijakan). Diuraikan juga system asuransi yang menekankan pada prinsip tolong menolong (ta’awun) dan kerjasama antara penanggung. <br />2. Asuransi Syar‘iah dan konvensional<br />Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan). <br />Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, 'Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW, "Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain," Dan "Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan. Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya.<br /> Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi. Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut: <br />a. Akad (Perjanjian)<br />Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).<br />Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).<br />Akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. <br />b. Gharar (Ketidakjelasan) <br />Definisi gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.<br />Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan. <br />c. Tabarru dan Tabungan<br />Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.<br />Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).<br />Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.<br /><br />d. Maisir (Judi) <br />Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan." Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya. <br />e. Riba<br />Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. <br />Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)<br />f. Dana Hangus <br />Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.<br />Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).<br />Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.<br />g. Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah<br />Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.<br />h. Dewan Pengawas Syariah <br />Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.<br />3. Prinsip-Prinsip Hukum Asuransi dalam Islam<br />Menurut Ismanto asuransi adalah praktik bisnis baru, yang belum ada pada masa silam. Oleh karena itu, para ulama belum memikirkan lebih jauh mengenai konsep, bentuk dan juga hal lain yang berkaitan dengannya. Disamping para teoritikus hukum islam juga tidak membahasnya secara detail, oleh karenanya belakangan persoalan asuransi menjadi pembahasan yang menimbulkan perbedaan pendapat.<br />Asuransi memiliki karateristik khusus. Artinya tidak seperti perjanjian pada umumnya, sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata. Karaterisitik khsusu yang ada dalam perjanjian asuransi adalah disamping perjanjian itu harus memenuhi syarat sahnya perjanjian juga harus memenuhi prinsip-prinsip hukum asuransi. Prinsip-prinsip tersebut adalah kepentingan yang dapat diasuransikan, prinsip indemnitas, prinsip itikad baik sempurna, dan prinsip subrogasi. <br />Menurut Sri Rezeki hartono perjanjian asuransi bias saja diadakan antara tertanggung dengan pihak penanggung, sebab dengan kata sepakat saja perjanjian asuransi dan telah terbentuk karena kata sepakat para pihak merupakan dasar atau landasan ada atau tidaknya perjanjian asuransi. Selain itu di dalam perjanjian asuransi termasuk semua klausul-klausulnya secara material benar-benar ditentukan oleh para pihak sepenuhnya. Berkaitan dengan kebebasan untuk membentuk dan menentukan klausul-klausul dalam sebuah perjanjian dalam hukum islam dikenal denga asas kebebasan berkontrak (Al mabda’ huriyyah at ta’aqud). Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu prinsip hukum bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian macam apapun meskipun belum ada dalam undang-undang dan mengisikan kepentingan apasaja kedalamnya sekalipun berlawanan dengan pasal-pasal hukum perjanjian, didalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban umum. hukum islam mengakui adanya kebebasan berkontrak. Nash-nash Al Qur’an dan Sunnah serta kaedah-kaedah fiqh menunjukkan bahwa hukum islam menganut asas kebebasan berkontrak. Dalam Alquran Allah berfirman dalam Al Maidah ayat 1:<br /><br /> • <br />Artinya:<br />Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.<br /><br />Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa memenuhi akad-akad itu wajib hukumnya. Yang berkaitan dengan akad-akad apasaja baik yang bernama maupun yang tidak. Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian asuransi denga segala klausulnya yang termaktub dalam polis sah adanya menurut asas kebebasan berkontrak (Al-mabda’ huriyyah at ta’aqud) dalam hukum islam hal ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, dimana legalitasnya telah diakui oleh hukum islam.<br />Berkiatan dengan prinsip-prinsip hukum asuransi, menurut Mehr dan Cammack bahwa penerapan ini mungkin tampaknya terlalu kaku atau keras, namun kegagalan menerapkanya dapat sangat tidak adil terhadap pihak lain yang telah bertindak dengan itikad baik dalam berasuransi. Tujuan prinsip-prinsip ini untuk memberikan kerangka kerja dimana semua pihak dari suatu transaksi akan menerima perlakuan yang adil dan layak, dan pelanggaran terhadapnya akan berakibat pada ketidakabsahan kontrak.<br />Hak pokok yang bias digarisbawahi dari keberadaan prinsip-prinsip ini adalah ketidakmampuan memenuhinya dapat menyebabkan batalnya perjanjian. Guna melihat prinsip-prinsip ini dari sudut pandang hukum perjanjian islam, maka menurut penulis, prinsip-prinsip hukum asuransi tersebut ditempatkan sebagai syarat sahnya sebuah perjanjian khususnya perjanjian asuransi. Dalam hukum perjanjian islam, syarat perjanjian (aqad) dibagi menjadi dua. Pertama: syarat adanya (terbentuknya) akad (Surut al-inighat), yaitu dimana apabila syarat ini tidak dipenuhi akad tidak ada atau tidak terbentuk dan akadnya disebut batal. Kedua: syarat sahnya akad, aitu syarat dimana apabila tidak terpenuhinya lanta perjanjian itu tidak ada atau tidak berbentuk. Bias saja akadnya ada dan telah terbentuk karena syarat adanya (terbentuknya) telah terpenuhi, hanya saja akad dianggap belum sempurna dan masih memiliki kekurangan dan dalam keadaan demikian akad tersebut oleh para ahli hukum hanafi disebut dengan akad Fasid dan harus dibatalkan. <br />Syarat syahnya ada lima macam yaitu:<br />1. Tidak ada paksaan,<br />2. Tidak menimbulkan kerugian (darar),<br />3. Tidak mengandung ketidakjelasan (garar),<br />4. Tidak mengandung riba, dan<br />5. Dan tidak mengandung syarat Fasid. <br />Apabila syarat ada , dan syarat sahnya akad telah terpenuhi, maka akad tersebut tergolong akad yang sah. Namun akad sah itu dari segi kekuatan hukumnya masih dibedakan lagi menjadi: (1) akad Mauquf, yaitu akad yang tergantung kepada ijin pihak ketiga, misalnya wali dalam kasus akad yang dibuat anak dibawah perwaliannya; (2). Akad Nafis, yaitu akad yang didalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak; dan (3). Akad lazim, yang merupakan akad yang paling sempurna wujudnya dan bias melahirkan akibat hukum penuh, dimana tidak lagi tergantung kepada ijin pihak ketiga atau tidak lagi mengandung unsure khiyar salah satu pihak. Dalam kerangka terpenuhinya criteria sayarat sahnya perjanjian dalam islam, maka prinsip-prinsip hukum asuransi ditepatkan sebagai akad yng lazim. Jadi apabila perjanjian asuransi yang tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut perjanjian asuransi tidak sah sebagaimana keduduka syarat sah perjanjian dalam hukum islam.<br />Prinsip-prinsip hukum asuransi tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki akad, bahkan sebaliknya dapat menguatkan terwujudnya apa yang dikehendaki akad itu sendiri. Karena syarat tersebut akan lebih memantapkan perjanjian dari unsure-unsur yang dilarang syara’. Adanya prinsip-prinsip asuransi tersebut tidak bertentangan dengan Nass. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan dalil Nass yang tegas atau prinsip syariat adalah syarat yang diperbolehkan.<br />Prinsip-prinsip hukum asuransi itu adalah, (1). Principle of insurable interes; (2). Principle of utmost good faith; (3). Principle of Indemnity; dan (4). Principle of Subrogation, yang ditinjau dari sudut andang islam. Dalam ilmu asuransi, sebenarnya prinsip-prinsip asuransi tidak hanya berjumlah empat, namun lebih dari itu. Prinsip-prinsip diatas secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />1. Principle of Insurable Interest.<br />Prinsip ini dalam kancah hukum asuransi di Indonesia disebut dengan prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan, yang dalam bahasa arab disebut Mabda; al Maslahah at ta’miniyyah. Kerangka kerja dari prinsip ini adalah setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi, harus mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan. Maksudnya ialah bahwa pihak tertanggung mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian. <br />Dalam islam segala transaksi bisnis harus didasarkan pada pertimbangan manfaat dan menghindari mudharat dalam hidup bermasyarakat. Dalam suatu kontrak, objek dari apa yang diakadkan. Pada tiap akad yang diadakan haruslah mengandung manfaat bagi kedua belah pihak. Dalam pengertian manfaat disini jelas dikaitkan dengan ketentuan benda yang nilainya dipandang dari pandangan hukum islam. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dalam perspektif asas manfaat ini berarti seseorang yang ingin mengambil asuransi harus memiliki nilai kemanfaatan atas barang yang dijadikan obyek asuransi. Ia juga harus memiliki keterlibatan sedemikian rupa sehingga bila barang itu musnah ia tidak lagi bias memiliki manfaat atas barang tersebut, misalnya rumah yang diasuransikan bila terbakar maka ia tidak lagi bias mengambil manfaat rumah sebagai tempat tinggal karena terbakar. Oleh karenannya ia dianggap memiliki kemanfaatan yang sepadan dengan kepentingan dalam berasuransi. Bila ia mengikuti asuransi tanpa memerhatikan manfaatnya berarti ia hanya sia-sia saja dan kesiaan (Mulghah) dilarang dalam islam.<br />Berkaitan dengan barang yang diasuransikan, islam telah member batasan bahwa islam mengharamkan akad yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat Mudharat seperti jual beli yang tidak bermanfaat apalagi membahayakan seperti halnya jual beli narkotika dan lain sebagainya.<br />2. Principle Of Utmost Good Faith.<br />Prinsip itikad baik sempurna atau dalam islam disebut dengan Mabda’ husn an-niyah. Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa tertanggung wajib menginformasikan kepada penanggung mengenai suatu fakta dan hal pokok yang diketahuinya, serta hal-hal yang berkaitan dengan risiko terhadap pertanggungan yang dilakukan. Keterangan yang tidak benar dan informasi yang tidak disampaikan dapat mengakibatkan batalnya perjanjian.<br />Sebagi peserta asuransi , maka seseorang harus mengutarakan semua hal yang menjadi pengetahuannya. Adanya kejujuran dalam bertransaski, termasuk dalam hal kontrak asuransi adalah sebagai hal yang fundamen. Kejujuran peserta dalam asuransi sangat dituntut oleh perusahaan asuransi. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan merasa tidak tertipu atas keterangan peserta.<br />Hal terpenting dalam prinsip ini adalah kejujuran peserta atas objek yang dipertanggungkan. Dalam perjanjian islam, kejujuran dianggap sebagai hal pokok terwujudnya rasa saling rela. Kerelaan (an taradzin) merupakan hal yang paling esensi dalam perjanjian islam. Sebab dalam perdagangan islam dinyatakan bahwa perdagangan harus dilakukan dengan penuh kesepakatan dan kerelaan, sehingga jauh dari unsure memakan harta pihak lain secara bathil.<br />Para pihak yang terlibat dalam asuransi harus memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan keinginnanya. Dalam hukum islam suatu akad baru lahir setelah dilaksanakan ijab dan qobul. Ijab adalah pernyataan kehendak penawaran (offer), sedangkan qobul adalah pernyataan kehendak penerimaan (Acceptence). Dalam hal ini diperlukan kejelasan pernyataan kehendak dan harus adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Dan harus ada sifat kerelaan atau suka sama suka.<br />3. Principle of Indemnity.<br />Kontrak asuransi adalah sebuah perjanjian antara pihak penanggung dan tertanggung. Sebagaimana dikatakan bahwa dalam suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Oleh karenanya perikatan ini dapat dikatakan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak melakukan. <br />Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa pertanggungan bertujuan memberikan penggantian atas kerugian dan bahwa penggantian itu tida boleh melebihi kerugian riil tertanggung. Menurut M Anas Zarqa bahwa esensi dari kontrak asuransi adalah indemnitas, yaitu pembayaran kerugian yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. asas indemnitas adalah suatu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena indemnitas merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan member arah tujuan dari perjanjian asuransi. Namun demikian, asas ini hanya khusus ada pada asuransi kerugian, bukan pada asuransi jiwa, perjanjian asuransi memiliki tujuan utama dan spesifik yaitu untuk memberikan suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung. <br />Pencantuman prinsip ini untuk menghindari pertaruhan dan perjudian. Sedangkan batas tertinggi kewajiban penanggung adalah mengembalikan tertanggung kepada posisi ekonomi yang sama dengan posisi sebelum terjadi kerugian, seandainya terjadi kerugian. Perjanjian asuransi yang memungkinkan tertanggung mendapat untung atas terjadinya peristiwa yang diasuransikan itu, berarti melanggar prinsip indemnitas dan dapat merugikan perusahaan asuransi.<br />4. Principle of Subrogation<br />Arti dari prinsip subrograsi adalah penanggung yang telah membayar kerugian terhadap suatu barang yang dipertanggungkan, berarti telah menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya. Akan tetapi, sebab pembayaran tersbut dilakukan atas sebab adanya pihak ketiga. Namun demikian, tertanggung tersebut bertanggungjawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung pada pihak ketiga itu.<br />Prinsip subrogasi ini melengkapi asas indemnitas. Prinsip subrogasi member hak pada penanggung yang telah membayarkan ganti rugi, yaitu segala hak tertanggung terhadap pihak ketiga. Hal itu dilakukan berkenaan dengan terjadinya kerugian itu. Jika rumah seseorang terbakar karena kelalaian tetangga yang membakar sampah dipekarangannya, maka pemilik rumah itu tidak bias menagih keduannya, yaitu perusahaan asuransi dan juga tetangganya. Perusahaan asuransi akan membayar kerugian tersebut tetapi kemudian memperoleh hak tertanggung untuk menagih tetangga tersebut hak subrogasi menempatkan beban pada yang bertanggungjawab memikulnya dan mencegah tertanggung mendapatkan keuntungan dengan menagih dua kali untuk kerugian yang sama. <br />5. Principle of Contribution<br />Principle of contribution berarti seorang tertanggung dapat saja mengansuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun demikian , bila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi berarti apabila penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penanggung berhak menuntut perusahaanperusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda milik tertanggung) untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya. Hal yang penting dipahami dari prinsip ini adalah meskipun tertanggung mendapatkan ganti rugi yang jumlahnya melebhi kerugianriilnya sehingga ia diuntungkan. Atas dasar ini maka prinsip ini diberlakukan dalam rangka mencegah tertanggung untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dari perusahaan asuransi yang terlibat. Bila demikian berarti ada unsure memakan harta orang lain secara bathil. Praktik demikian dalam islam sangat dilarang, sebab melanggar asas keadilan sebagai prinsip ini hamper sama berlakukanya dengan prinsip indemnitas.<br /><br /><br /><br /><br /><br />C. PENUTUP<br />Prinsip-prinsip hukum asuransi yang berupa principle of insurable interest, principle of good faith; principle of indemnity; dan principle of subrogation, adalah prinsip yang harus dipatuhi dalam berasuransi. Sebab sahnya perjanjian asuransi tidak hanya memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai pasal 1320 KUH Perdata, yang berupa kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, cakap, dalam hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Para ahli asuransi sepakat bahwa pelanggaran terhadapnya akan membuat batalnya perjanjian asuransi (illegal contract) dan memunculkan ketidakadilan bagi para pihak.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Ahmad Azhar Basyir.1996. “Takaful sebagai alternative Asuransi islam:, dalam jurnal Ulumul Quran, No. 2 Vol.VII,<br />Kuat Ismanto, 2009, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-asasHukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />M Anas zarqa, Conference paper” outline of comment on Dr Mohammed Daud Bakar paper on”The problem of riskt and insurable interes in takaful.<br />Mehr dan cammack.1981. Managemen Asuransi, Penyadur A. Hasyimi, Jakarta: Balai Aksara.<br />Satrio. 1995. Hukum Perjanjian yang lahir dari perjanjian, Buku I dan II Bandung: PT. Citra aditya Bhakti<br />Sri Rezeki Hartono.1997. Hukum asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta:Sinar Grafika<br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa"<br />Syamsul Anwar. 2000. Teori kausa dalam hokum islam (suatu kajian asas hokum)proyek pergurruan tinggi agama IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta<br />Syamsul Anwar.1991. Rechtvorming in Nederlan:een inleiding, Heerlen: open Universiteit<br />Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh,; az-zarqa Al Fiqh al-amGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-66619814839896822202009-07-30T00:22:00.000-07:002009-07-30T00:24:25.740-07:00FUNGSI HUKUM SEBAGAI ALAT DAN CERMIN PERUBAHAN MASYARAKAT DALAM POLITIK HUKUM INDONESIAOleh: Gatot Sugiharto <br /><br />PENDAHULUAN.<br />Tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi hukum dalam pembangunan menurut Profesor Muchtar Kusumaatmaja menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentang pembangunan ini terdapat suatu kelesuan (melaise) atau kekurangpercayaan akan hukum dan gunanya dalam masyarakat. <br />Namun sebaliknya dan hal ini mungkin menjadi aneh kedengarannya, di puncak malaise ketiadaan kepercayaan mengenai guna bahkan adanya hukum di masyarakat kita ini, terdengar teriakan yang menandakan masih percayanya orang Indonesia terhadap keampuhan hukum. Tidak bosan-bosannya sebagian masyarakat megumandangkan the rule of law dengan harapan yang sering mengharukan bahwa dengan kembalinya ratu keadilan ke atas tahtanya, dengan sendirinya segala sesuatu akan baik kembali dan akan tercapai masyarakat yang aman damai dan sejahtera.<br />Keadaan yang dilukiskan di atas yaitu bahwa orang disatu pihak, acuh tak acuh atau hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi dilain pihak memiliki kepercayaan yang naif terhadap kekuatan yang seakan-akan menjadi Religious magis dari pada hukum mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang hukum.<br />Negara Indonesia sebagai negara hukum memberikan pengertian bahwa segala tindak-tanduk dan sikap tatalaku setiap warga negara maupun pemimpin harus didasarkan oleh hukum. Konsekuensi inilah yang harus dijalankan sebaga negara yang menamakan dirinya sebagai negara hukum. Hukum dibuat dimaksudkan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat walaupun sering pada implementasinya belum secara sempurna dapat dilakukan.<br />Masyarakat suatu negara tidak dapat menghindari perubahan disegala bidang, baik tekhnologi, sosial maupun budaya. Hal ini membawa dampak pada perubahan perilaku masyarakat yang mungkin harus melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi. Biasanya setiap perubahan membawa konsekuensi-konsekuensi yang harus disikapi pula dengan cara yang arif sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang justru menghambat kemajuan dan perubahan dalam masyarakat, karena kemajuan dan perubahan memang sudah seharunya terjadi agar manusia menjadi lebih berkualitas dan lebih baik.<br />Namun demikian, perubahan masyarakat disegala bidang dengan segala konsekuensinya itu perlu ada pengaturan melalui sebuah norma yang disepakati sebagai suatu kaedah yang disebut sebagai norma hukum yang diharapkan dpat mengawal perubahan masyarajat tersebut. Pertanyaan yang harus segera mendapat jawabannya adalah apakah hukum sebagai norma tertulis mampu dijadikan alat untuk melakukan perubahan dalam masyarakat? Dan apakah adanya hukum ini dapat dikatakan sebagai cermin dari perubahan masyarajat tersebut?<br />Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut perlu dilakukan penelusuran agar dapat diketahui bagaimana fungsi hukum itu dalam perubahan masyarakat dan fungsi hukum sebagai cermin perubahan masyarakat.<br /><br />PEMBAHASAN<br />A. Fungsi Hukum dalam masyarakat.<br />Untuk tetap bertahan dalam hidupnya dan untuk mempermudah memenuhi kebutuhannya manusia harus berinteraksi dengan manusia yang lain. Manusia sering kali diidentifikasikan tidak hanya sebagai makhluk biologis saja tetapi juga sebagai makhluk sosial sebagaimana dikatakan oleh Paul Vinogradoff, pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosial. Bagi manusia, melakukan hubungan-hubungan sosial sudah merupakan perintah alam. Hal ini karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam hidup dalam keadaan terisolasi dan terpisah dengan alam dan manusia lainnya karena dia senantiasa membutuhkan orang lain untuk melakukan kerjasama dan saling membantu dengan manusia lain.<br />Pertanyaan mengenai apa arti hukum itu yang sebenarnya dan fungsi hukum dalam masyarakat, dapat dikembalikan pada pertanyaan dasar apaka tujuan hukum itu. Tujuan pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat yang fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.<br />Lepas dari segala hal lain yang menjadi tujuan dari hukum , ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat, maka manusia, masyaraat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. <br />Disamping ketertiban menurut Prof, Muchtar Kusumaatmaja tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda si dan ukuranya, menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi merupakan syarajat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya secara optimal didalam masyarakat tempat dia hidup.<br />1. Hukum sebagai kaedah sosial<br />Adanya hukum sebagai kaedah sosial tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri diatur pula oleh agama , kaedah susila, kaedah kesopanan, adat-kebiasaan dan kaedah-kaedah sosial lainnya. antara hukum dan kaedah-kaedah sosial lainnya in, terdapat jalinan hubungan yang erat yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaedah-kaedah sosial lainnya itu. <br />Akan tetapi dalam satu hal, hukum berbeda dari kaedah sosial yang lainnya, yakni bahwa penataan ketetntuan-ketetntuannya dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur. Artinya, pemaksaan guna menjamin penataan ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tun duk pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanannya. <br />Hal ini tampak dengan jelas dalam suatu negara, pemaksaan itu biasanya berada di tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya. Soal pemaksaan ketaatan terhadap hukum ini membawa kita ke suatu masalah yang pokok bagi penyelamatan dari hakekat hukum, yakni masalah hukum dan kekuasaan.<br />Permasalahan yang menyangkut berfungsinya hukum dalam masyarakat tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Teori-teori hukum memaparkan tiga hal tentang berlakunya hukum sebagai kaedah; pertama.kaedah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya Kedua kaedah hukum tersebut efektif, artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan). Ketiga kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.<br />2. Hukum sebagi sarana Pembangunan Masyarakat<br />Kata pembangunan biasanya diarahkan pada perubahan yang direncanakan dan dikehendaki. Proses perubahan yang direncanakan dapat dilakukan pada bidang-bidang kehidupan tertentu, tetapi dapat juga secara menyeluruh dan simultan. Dalam kenyataannya sangat sulit untuk membatasi perubahan dalam bidang tertentu. Hal ini dapat disadari karena semakin kompleknya permasalahan sehingga perubahan yang terjadi pada suatu bidang cenderung menjalar pada bidang kehidupan yang lain.<br />Pada masyarakat yang sedang membangun perubahan dibidang hukum akan berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu , fungsi hukum disatu pihak dapatlah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dan dilain pihak untuk mempertahankan susunan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi dimasa lalu.<br />Jika mengetengahkan hukum sebagai sarana pembahauan masyarakat yang sedang pada masa transisi, perlu ada penetapan prioritas-prioritas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan suber atau datanya dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian terhadap masyarakat diberbagai bidang kehidupan. Data yang sudah diperoleh kemudian diabstraksikan agar dapat dirumuskan kembali ke dalam norma hukum yang kemudian disusun menjadi tata hukum. <br />Karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi indonesia yaitu masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek, maka akan dihadapkan pada diferensiasi yang berbeda-beda pula yang akhirnya membawa akibat pada struktur masing-masing masyarakat.<br />Masyarakat transisi yang mengalami proses dari yang sederhana ke komplek tidak jarang dihadapkan pada sebagian nilai yang harus ditinggalkan, tetapi ada pula yang harus dipertahankan karena mendukung proses penyelesaian masa transisi. Memang setiap pebangunan maerupakan proses menuju suatu tujuan tertentu melalui berbagai terminal; selama terminal-terminal tadi masih harus dilalui maka transisi masih akan tetap ada.<br />Pada masayarakat yang sederhana, hukum timbul dan tumbuh bersama-sama dengan pengalaman-pengalaman hidup warga masyarakatnya. Disini penguasa lebih banyak mengesahkan atau menetapkan hukum yang sebenarnya hidup dimasyarakat. Akan tetapi hal yang sebaliknya agaknya terjadi pada masyarakat yang kompleks. Kebhinekaan masyarakat yang kompelks menyebabkan sulit untuk memungkinkan timbulnya hukum dari bawah. Diferensiasi yang tinggi dalam strukturnya membawa konsekuensi pada aneka macam kategori dan kepentingan dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak jarang saling bertentangan. Walaupun hukum datang dan ditentukan dari atas, sumbernya tetap dari masyarakat.<br />Dengan demikian peranan nilai-nilai didalam masyarakat harus dipertahankan untuk menetapkan kaedah hukum apabila diharapkan kaedah hukum yang diciptakan itu dapat berlaku efektif. Dengan demikian berhasil atau gagalnya suatu proses pembaharuan hukum, baik pada masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks sedikit banyak ditentukan oleh pelembagaan hukum didalam masyarakat. Jelas bahwa usaha ini memerlukan perencanaan yang matang, biaya yang cukup besar dan kemampuan meproyeksikan secara baik. <br />Di dalam masyarakat seperti Indonesia yang sedang mengalami masa peralihan menuju masyarakat modern tentunya nilai-nilai yang ada mengalami proses perubahan pula. Dengan demikian masyarakat yang melaksanakan pembangunan, proses perubahan tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga pada nilai-nilai dalam masyarakat yang mereka anut. Nilai-nilai yang dianut itu selalu terkait dengan sifat dan sikap orang-orang yang terlibat didalam masyarakat yang membangun. Jadi, perubahan yang terjadi tanpa melibatkan sikap dan sifat yang mengarak pada kehidupan modern tidak mustahil akan berakibat pemborosan dan sedikit sekali ati pembangunan itu. Jadi hakekat pembangunan nasional adaah masalah pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup. Hanya saja masalah yang dipahami adalah nilai-nilai dan sikap yang mana yang harus ditinggalkan dan dipertahankan dan nilai yang mana yang harus digantikan dengan yang baru.<br />Pemuka madzab sejarah mengatakan bahwa hukum itu ekpresi dan semangat dari jiwa rakyat (volksgeis). Selanjutnya dikatakan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Konsep demikian ini memang didukung oleh kenyataan dalam sejarah yaitu pada masyarakat yang masih sederhana sehingga tidak dijumpai perana pembuat undang-undang seperti terdapat pada masayarakat modern.<br />Di Indonesia madzab sejarah ini sangat berpengaruh mulai zaman Hindia Belanda melalui saluran pendidikan dan pemerintahan yang masih terasa hingga sekarang lewat ahli-ahli hukum adat. Madzab ini memainkan peranan penting dalam mempertahankan hukum adat sebagai pencerminan nilai-nilai kebudayaan penduduk pribumi dan berusaha untuk mencegah tejadinya pemaratan yang teralalu cepat.<br />Namun dibalik politik hukum yang diilhmi oleh madzab sejarah ini terdapat segi-segi yang kurang menguntungkan. Politik hukum yang dimaksud melindungi golongan pribumi justru dalam perkembangannnya telah mengislasi golongan ini dengan perkembangan hukum masa kini sehingga mengakibatkan keterbelakangan golongan ini sehingga tidak mampu bersaing dengan golongan lain.<br />B. Hukum sebagai alat dan cermin perubahan masyarakat dalam politik hukum Indonesia.<br />Melihat sub judul di atas mungkin akan muncul sebuah pertanyaan apakah hukum mampu mengubah masyarakat? Andi Amrullah mengamati bahwa para pemikir tentang hukm saat ini masih banyak yang belum dapat memandang atau bahkan menerima hukum suatu sistem yang di samping memiliki komponen-komponen substansif berupa kaedah-kaedah, juga memiliki komponen-komponen struktur dan kultur hukum. Masih banyak sarjana hukum indonesia yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kaedah yang ekslusif dan autonom. Sebagai konsekuensi dari pendangan tersebut banyak sarjana hukum indonesia hanya berfungsi sebagai a tool of social control (alat pengawasan/control masyarakat) yang secara pasif mengikuti perubahan masyarakat; manakala masyarakat berubah, maka hukumpun berubah pula. Jadi hukum disini hanya merupakan stabilisator yang bertugas menjaga keseimbangan hidup masyarakat.<br />Namun sebaliknya, konsepsi yang memandang hukum sebagai sistem yang memiliki komponen substantif (kaedah-kaedah) dan komponen struktural dan kultural memberikan fungsi hukum secara langsung dan aktif sebagai a tool off social engenering yang dapat memaksakan perubahan masyarakat. <br />Pandangan bahwa hukum tidak dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan perubahan dianut leh savigny. Ia dengan tegas menyangkal kemungkinan penggunaan hukum sebagai alat melakukan perubahan. Pendapatnya didasarkan atas konsepsinya mengenai hukum. Yaitu melihat hukum sebagai suatu yang tumbuh alamiah dari pergaulan masyarakat itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa savigny adalah pemuka madzab sejarah dalam hukum yang mengatakan bahwa hukum merupaka perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeis) yaitu bahwa semua hukum berasal dari adat-itiadat dan kepercayaan, dan bukan dari pembentuk undang-undang. <br />Masih banyak sarjana yang menganggap bahwa hukum selalu ketinggalan dari perubahan sehingga hukum tidak dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat, namun apakah keadaannya memang demikian dalam arti bahwa hukum tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat?<br />Kesadaran untuk menggunakan hukum sebagai sarana yang sengaja dipakai untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki, beranjak dari inti pemikiran yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yang dikenal dengan law as a tool off social engenering , yang di Indonesia mulai muncul sekitar tahun 1970 oleh seorang pakar hukum yang pada berbagai kesempatan mencoba untuk menarik perhatian orang mengenai penggunaan hukum sebagai sarana perubahan Dalam masyarakat.<br />Dalam prasaran yang dikemukakan pada seminar lembaga ilmu pengetahuan indonesia mengenai pengaruh faktor sosial budaya dalam pembangunan nasional permulaan tahun 1970, Ia sudah menyampaikan pendapatnya yang mengatakan bahwa hukum tidak dapat memainkan peranan penting dalam proses pembaharuan. Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa adanya ketertiban di dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. Disampiang itu hukum swbagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke dalam tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seyogyanya dilakukan disamping fungsi hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial. <br />Berdasarkan pendapat di atas apabila melalui hukum akan dilakukan perubahan terhadap masyarakat dalam arti bahwa hukum digunakan sebagai sarana untuk menguba masyarakat dan perubahan itu ditujukan ke arah yang baru, berati hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan haus memuat bentuk masyaakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian untuk melakukan perubahan itu maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau yang diinginkan harus dirumuskan terlebih dahulu seta harus memenuhi unsur-unsur masyarakat yang dikehendaki. Jadi apabila akan membentuk masyarakat pancasila yang adil dan makmur, maka masyarakat pancasila yang dil dan makmur itu dirumuskan terlebih dahulu, dan hukum yang akan diberlakukan itu telah memuat rumusan masyarakat pancasila yang adil dan makmur. <br />Untuk melihat sejauh mana peran hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat, mochtar kusumaatmaja menunjuk beberapa contoh tentang putusan dilarangnya pengayauan, larangan pembakaran anda dibali. Dalam bidang hukum internasional mengenai hukum pertambangan, nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, contoh lain dapat pula dilihat dalam UUPA yang dalam banyak hal bertujuan membentuk masyarakat baru dalam bidang pertanahan. Contoh lain dapat pula disampaikan bahwa Keputusan Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 yang menetapkan bahwa anak perempua dan laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta waisan <br />Dengan diundangkankannya UU Nomor 44 Tahun 2008 yang ingin mengubah tatanan masyarakat yang menganggap pornografi sebagai bagian dari budaya dan gaya hidup menjadi tatana masyarakat yang lebih bermartabat serta bermoral dimata manusia dan Tuhan, ini merupakan sebagai dari contoh yang dapat disampaikan berkaitan dengan fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat. Atau dengan kata lain bahwa hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat sangat berperan didalam proses pembaharuan.<br />Hukum di dalam masyarakat juga dapat di gunakan sebagai cermin perubahan, berubahnya masyarakat dapat dilihat bagaimana hukum melakukan perubahan terhadapnya. Dengan melihat sejarah bagaimana hukum di Indonesia cita hukum yang diperjuangkan dalam konteks hukum indonesia adalah cita hukum pancasila. Namun demikian Prof. Mahfud mengatakan sesuatu yang pasti dirasakan adalah bahwa dalam sembilan terakhir sejak era reformasi 1998 gema pancasila sudah sangat mengendur, sebelum era reformasi pancasila selalu dijadikan bahan teriakan dalam berbagai pidato pejabat, slogan di media masa dan alat untuk menyanjung dan menjatuhkan orang.<br />Selanjutnya mahfud mengatakan tetapi setelah gerakan reformasi berhasil menjathkan rezim orde baru yang ternyata penuh korupsi, kolusi dan nepotisme, maka gema pancasila pun nyaris lenyap. Hal ini dimungkinkan karena malu karena memiliki pemerintah yang selalu mendengungkan pancasila namun pada kenyataannya justru melakukan KKN.<br />Mahfud mengatakan bahwa pancasila bukan negara agama dan negara sekuler, ideologi pancasila itu bukan didasarkan pada individualisme dan bukan pada kolektifisme. Penjelasan yang substansinya benar tapi disampaikan oleh penguasa yang tidak konsekuen itu muncul celetukan, kalau pancasila ini bukan yang ini dan yang itu berarti pancasila itu konsep yang bukan-bukan.<br />Pernyataan bahwa pancasila dalam konteks negara bukan negara agama dan bukan negara sekuler serta dalam konteks ideologi bukan individualisme dan bukan kolektivisme menurut mahfud adalah benar adanya. Itu adalah pernyataan yang tepat untuk mengekpresikan kesepakatan para pendiri negara ketika bersepakat mendirikan negara pada tahun 1945.<br />Dengan meminjam istilah yang disampaikan oleh Fred W Rings Mahfud menyebut pancasila merupakan suatu konsep prismatik, Prismatik adalalh suatu konsep yang mengambil segi-segi yang baik dari sua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan masyarakat indonesia dan setiap perkembangannya. Negara indonesia bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi negara pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Negara pancasila adalah sebuah religions nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfaisilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk. <br />Negara pancasila mengakui manusia sebagai individu yang mempunyai hk dan kebebasan, sekaligus mengakui bahwa secara fitrah manusia manusia itu juga adalah mahkluk sosial yang tidak bisa mejadi manusiawi kalau tidak hidup bersama manusia-manusia lain. Dalam konsep keseimbangan yang seperti ini pancasila bukanlah penganut konsep individualisme yang memutlakkan hak dan kebebasan individu, tetapi juga bukan penganut konsep kolektivisme yang mau menyamakan semua manusia begitu saja tanpa menghargai hak dan kebebasan individu. Pengelolaan nilai kepentingan dan nilai sosial dari konsepsi yang seperti ini harus mengarah pada keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan bersama serta nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan. <br />Itulah konsep pancasila sebagai konsep prismatik yang mempertemukan secara integratif segi-segi baik dari berbagai konsep yang dipandang saling bertentangan. Dalam kaitanya dengan pembangunan hukum, Mahfud mengatakan pancasila dapat disebut sebagai bingkai dari sistem hukum pancasila, sebuah sistem yang khas indonesia dan berbeda dengan sistem hukum yang lain. Meski belakangan ini menurut mahfud banyak orang yang merasa kurang gagah untuk menyebut sistem hukum pancasila sebagai sebuah sistem hukum yang khas, namun harus ada keberanian untuk mengangkatnya kembali sebagai paradigma dalam pembangunan hukum kita. Satcipto rahardjo menyebut bahwa hukum pancasila mencerminkan kekhasan bangsa indonesia yang penuh kekluargaan dan gotong-royong yang karenanya memang berbeda dengan sitem hukum yang lain. Oleh sebab itu tisak ada yang salah ketika sistem hukum pancasila disebut sebagai sistem hukum yang khas untuk melayani masyarakat indonesia. Hukum adalah cermin dan pelayan masyarakatnya sehingga sistemnya pun harus sesuai dengan masyarakat yang dilayaninya. Masyarakat yang berbeda tentu dilayani oleh sistem hukum yang berbeda pula.<br />Sistem hukum pancasila berbeda dari sistem hukum eropa kontinental yang hanya menekankan pada legisme, civil law, adminitrasi, kepastian hukum, dan hukum-hukum tertulis yang negara hukumnya disebut Rechtsstaat. Sistem hukum pancasila juga berbeda dari sistem hukum Anglo saxon yang hanya menekankan pada pernan yudisial,Common law dan substansi keadilan yang negara hukumnya disebut The Rule of law.<br />Sistem hukum pancasila mengambil segi-segi terbaik dari Rechtsstaat dan The rule Off law yang didalamnya bertemu dalam sebuah ikatan prismatik dan integratif prinsip kepastian hukum dan keadilan substansial. Dalam penegakan hukum, sistem hukum pancasila menghendaki kepastian hukum bahwa keadilan telah ditegakkan. Sistem hukum pancasila menghendaki penegakan keadilan substansial melalui aturan-aturan hukum yang formal atau mengehndaki kepastian hukum berdasarkan aturan hukum formal yang menjamin terpenuhinya keadilan substansial. Permusyawaratan dan sikap gotong royong yang penuh kekeluargaan ditonjolkan didalam sistem hukum pancasila sehingga membawa perkara kepengadilan hanya akan ditempuh jika penyelesaian dengan kekeluargaan ternyata gagal untuk dicapai. <br />Itulah konsep perismatik sistem hukum pancasila yang sesuai dengan akar buday bangsa yang secara khas telah hidup didalam kenyataan bangsa indonesia sejak-berabad-abad lamanya. Sehingga dengan demikian tidak perlu malu dan segan sebagai bangsa indonesia untuk menganggap pancasila sebagai satu konsep sistem hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar berperilaku dalam mengkonsep tata hukum Indonesia. Karena sistem hukum pancasila sangat mencerminkan kepribadian bangsa indonesia sebagai sebuah sistem hukum.<br /><br />KESIMPULAN.<br /> Hukum sebagai suatu sistem memiliki sub-sistem yang menurut Friedmand ada tiga sub sistem yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Sehingga dalam konteks politik hukum harus mengarah pada ketiga sub sistem tersebut agar produk hukum yang ada dapat berfungsi sebagaimana yang diinginkan. Fungsi hukum didalam masyarakat adalah sebagai alat dan cermin perubahan, sehingga untuk dapat berlaku sebagai alat perubahan hukum harus diformulasikan terlebih dahulu agar dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. Namun demikian fungsi hukum selain sebagai alat perubahan masyarakat tentunya agar mampu juga menjadi efektif serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat perlu adanya satu konsep sistem hukum yang sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa tersebut. Sehingga keberadaan hukum ampu menjadi cermin dalam perubahan masyarakat.<br />Bangsa Indonesia dengan karakater masyarakatnya dalam politik hukumnya tentu harus memiliki konsep sistem hukum yang memiliki kekhasan bangsa indonesia dalam politik hukumnya agar sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia, sehingga bangsa indonesia menganggap pancasila sebagai cita hukum yag harus dipedomani yang telah diangap sesuai dengan kepribadian bangsa indonesiadan mampu menjadi cermin dalam mengawal perubahan masyarakatnya. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Lili Rasjidi, 1985, Filsafat Hukum: Apakah hukum itu?.Bandung: Remaja karya<br />Lili Rasjidi dan Arief Sidarta (Editor), 1998, Fungsi Hukum dalam Masyarakat yang sedang Membangun, andung:Bandung.<br />Mochtar Kusumaatmaja,1976, Fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta.<br />Mochtar Kusumaatmaja, 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni<br />Moh Mahfud, MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara \:Pasca amandemen konstitusi, Jakarta: LP3ES.<br />---------------------------, 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta, UII Press.<br />Satjipto Rahardjo,1986, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni<br />-------------------------,2003, Sisi-sisi lain tentang hukum Indonesia, Jakarta:Kompas.<br />Soeryono Soekanto dan Mustafa Abdullah,1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,Jakarta:Jakarta.<br />Sunaryati Hartono,1981, Politik Hukum Menuju sistem hukum nasional, Bandung: Alumni.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-23959528610374329602009-07-30T00:10:00.000-07:002009-07-30T00:13:30.552-07:00KONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM DALAM SISTEM KETATANEGARAANKONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM<br />DALAM SISTEM KETATANEGARAAN <br />Oleh: Gatot Sugiharto <br /><br />PENDAHULUAN<br />Teori kedaulatan hukum menyatakan bahwa hukumlah yang menjadi sumber dari segala kekuasaan. Negara itu sendiri hakekatnya adalah suatu bentuk hukum, dan oleh karena itu pemerintahan harus dijalankan menurut peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian Negara hukum ialah Negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan atas kekuasaan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarkan ketertiban hukum. <br />Pengertian diatas memberikan pengertian bahwa Negara, termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus didasari oleh kepastian hukum. Dalam kehidupan bernegara yang didasarkan atas hukum maka semua hubungan antara seseorang dengan lainnya, atau antara seseorang dengan alat-alat pemerintahan dan alat-alat Negara diatur oleh peraturan-peraturan hukum.<br />Di dalam pembahasan Ilmu Negara, Negara hukum dapat dibagi menjadi dua, pertama, Negara hukum dalam arti luas yaitu Negara hukum dalam arti meteriil, bukan sekedar dalam arti formal. Kedua Negara hukum dalam arti sempit yaitu Negara hukum yang menjalankan fungsinya sebagaimana tugas “polisi lalu lintas” atau penjaga malam, yang menjaga agar jangan sampai terjadi pelanggaran hukum, dan akan bertindak keras terhadap para pelanggar hukum.<br />Pada umumnya konsep Negara hukum selalu dikaitkan dengan konsep negra hukum barat yaitu Negara hukum menurut konsep eropa continental yang dinamakan Rechtsstaat, model Negara hukum ini diterapkan oleh Negara Belanda, jerman dan perancis. Konsep Negara hukum Rule of law yang diterapkan dinegara-negara Anglo saxson antara lain Inggris dan Amerika. Yang mungkin juga disinggung adalah konsep Socialis Legality yang pernah diterapkan oleh uni soviet. Untuk konsep islam belum banyak di ulas, oleh sebab itu dalam makalah ini mencoba mengulas konsep Negara hukum selain dalam konsep barat juga dalam konsep islam dan konsep Indonesia.<br /><br />PEMBAHASAN.<br />A. Konsep-konsep Negara Hukum<br />Dengan berpegang pada asumsi bahwa istilah Negara hukum merupakan suatu genus begrib, maka melalui penelusuran ditemukan dalam kepustakaan lma macam konsep Negara hukum sebagai spesies begrib yaitu:<br />1. Negara hukum menurut Alquran dan sunnah. Untuk konsep ini penulis cenderung menggunakan istilah nomokrasi Islam dari Malcoml H Kerr. Majid Khudori juga menggunakan istilah nomokrasi untuk konsep Negara dari sudut pandang islam. Namun untuk membedakannya dengan konsep Negara sekuler atau negara hukum menurut konsep barat penulis berpendapat istilah nomokrasi islam lebih tepat.<br />2. Negara hukum menurut konsep eropa continental yang dinamakan Rechtsstaat. <br />3. Konsep Rule of law yang diterapkan di Negara-negara anglo saxon. <br />4. Konsep Socialis legality yang diterapkan Negara unisoviet sebagai Negara komunis.<br />5. Konsep Negara hukum pancasila. <br /> Penjelasan terhadap konsep Negara hukum diatas adaah sebagai berikut:<br />1. Nomokrasi Islam<br />Ibnu khaldun berpendapat, bahwa dalam Mulk Siyasi ada dua macam bentuk Negara hukum yaitu (1). Siyasah diniyah yang penulis terjemahkan dengan istilah nomokrasi islam dan (2). Siyasah agliyah yang sering disebut sebagai nomokrasi sekuler. Cirri pokok yang membedakan kedua macam nomokrasi ini adalah pelaksanaan hukum islam (syariah) dalam kehidupan Negara dan hukum sebagai hasil pemikiran manusia. Dalam nomokrasi islam baik syariah maupun hukum yang didasarkan pada rasio manusia, keduanya berfungsi dan berperan dalam Negara. Sedangkan nomokrasi sekuler manusia hanya menggunakan hukum semata-mata sebagai hasil pemikiran mereka.<br />Nomokrasi islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut: <br />1. Prinsip Kekuasaan sebagai amanah.<br />2. Prinsip Musyawarah,<br />3. Prinsip Keadilan;<br />4. Prinsip Persamaan;<br />5. Prinsip Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,<br />6. Prinsip peradilan bebas;<br />7. Prinsip perdamaian,<br />8. Prinsip kesejahteraan;<br />9. Prinsip ketaatan rakyat.<br />Suatau mis konsepsi atau pemahaman yang tidak benar terhadap konsep Negara dari sudut pandang islam samapai sekarang masih berbekas pada persepsi para sarjana barat. Mereka memahami konsep Negara dalam islam sebagai “teokrasi” berasal dari kata Theos artinya Tuhan dan Kratos artinya kekuasaan jadi teokrasi adalah kekuasaan yang berasal dari tuhan atau yang berkuasa adalah tuhan.<br />Predikat yang tepat untuk konsep Negara dalam islam ialah nomokrasi islam dan bukan theokrasi. Karena theokrasi adalah suatu Negara, sebagai mana yang dirumuskan oleh Ryder Smith yang diperintah oleh tuhan atau Tuhan-Tuhan. Nomokrasi islam artinya kekuasaan yang didasarkan kepada hukum-hukum Allah,’ karena Tuhan itu Abstrak dan hanya hukum Nyalah yang nyata tertulis… Masjid Khaduri mengutif rumusan nomokrasi dari The oxford Dictionary sebagai berikut:” nomokrasi adalah suatu system pemerintahan yang didasarkan pada suatu kode hukum suatu rule of law dalam suatu masyarakat”. rumusan nomokrasi disini masih mengandung atau merupakan genus begrib, karena itu dalam kaitannya dengan konsep Negara menurut islam maka penulis berpendapat bahwa nomokrasi islam merupakan predikat yang tepat. Sehingga disebut sebagai rule of Islamic law.<br /><br />2. Konsep Barat<br />Pemikiran Negara hukum di barat dimulai sejak Plato dengan konsepnya” bahwa penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah nomoi’. Kemudian ide tentang Negara hukum atau Rectsstaat mulai popular kembali pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi social politik di Eropa yang didominir oleh absolutism. Golongan yang pandai dan kaya atau “Menschen von Besitz und bilding” ditindas oleh kaum bangsawan dan gereja. Yang menumbuhkan konsep etatisme menginginkan suatu perombakan struktur social politik yang tidak menguntungkan itu. Karena itu mereka mendambakan suatu Negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing. <br />Dua orang sarjana barat yang berjasa dalam pemikiran Negara hukum yaitu Imanuel kant dan Friedrich Julius Stahl telah mengemukakan buah pikiranya. Kant memahami Negara hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat yang tugasnya adalah menjalankan ketertiban dan keamanan masyarakat, gagasan Negara hukum menurut konsep kant ini dinamakan Negara hukum liberal. <br />Konsep Stahl tentang Negara hukum ditandai empat unsure pokok yaitu : (1). Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2). Negara didasarkan pada teori Trias politika; (3). Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang; dan (4). Ada peradilan administrasi Negara yang bertugas menangani kasus-kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. Gagasan Negara hukum yang beraal dari stahl ini dinamakan Negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang. <br />Padmo wahyono mencatat bahwa dalam perkembangannya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dianggap “lamban” dan karena itu diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan hukum atau prinsip Rechtmatig bestuur . maka dengan demikian Negara hukum yang formil menjadi Negara hukum yang materil dengan cirri Rechtmatig Bestuur . kemudian lahirlah konsep-konsep yang merupakan varian dari rehtsstaat itu, antara lain welvaarstaat dan Verorgingstaats sebagai Negara kemakmuran. <br />Menurut Scheterma unsure-unsur Rechtsstaat adalah (1). Kepastian hukum, (2). Persamaan, (3). Demokrasi, (4). Pemerintahan yang melayani kepentingan umum. Karena konsep rechtsstat di eropa continental sejak semula didasarkan pada filsafat liberal yang indvidualistik, maka cirri individualistic itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum menurut konsep eropa continental itu. <br />Di Negara anglo saxon , berkembang pula suatu konsep Negara hukum yang semua dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) dengan sebutan Rule Of Law. Konsep ini menentukan ada tiga tolak ukur atau unsure utama yaitu: (1). Supremasi hukum (supremacy of law) (2). Persamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law), (3). Konstitusi yang didasarkan atas hakhak perorangan atau The Constitution based on individual rights. Perbedaan yang menonjol antara konsep Rechtsstaat dan Rule of law adalah pada konsep yang pertama peradilan administrasi Negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula cirri menonjol pada rechsstaat itu sendiri. Sebaliknya pada Rule Of Law peradilan administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar kepada peradilan umum. Cirri yang menonjol pada konsep Rule Of Law ialah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat. Karena semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum, maka ordinary court dianggap cukup untuk mengadli semua perkara termasuk perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.<br /><br />3. Konsep Socialist Legality<br />Socialist Legality adalah suatu konsep yang dianut dinegaranegara komunis/sosialis yang tampaknya hendak mengimbangi konsep Rule Of Law yang dipelopori oleh Negara-negara Anglo saxon. Inti dari konsep socialist legality berbeda dengan konsep barat, karena dalam socialist legality hukum ditempatkan di bawah sosialisme. Hukum adalah sebagai alat untuk mencapai sosialisme. “hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan”. <br />Dalam socialist legality ada suatu jaminan konstitusional tentang propaganda anti agama yang memang merupakan watak dari Negara komunis/sosialis yang diwarnai oleh doktrin komunis bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Sebagaimana diketahui, komunisme mengajarkan sikap yang anti Tuhan. Sehingga disimpulkan bahwa socialist legality bertujuan untuk kepentingan Negara, bedanya dengan konsep barat yang bertujuan untuk melindungi individu sebagai manusia yang bermartabat. Maka dalam socialist legality yang terpenting adalah realisasi sosialisme itu sendiri. <br />4. Konsep Negara Hukum Pancasila<br />Indonesia secara tegas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1 yat (3). Sehingga konsekuensi dari bunyi pasal tersebut menandakan bahwa secara tegas Indonesia merupakan Negara hukum, namun pertanyaannya Negara hukum Indonesia ini menganut konsep Negara hukum yang mana Rechtsstaat ataukah Rule Of Law atau justru Sosialist Legality. Untuk menjawab hal tersebut baik kiranya ditelusuri darimana cita hukum Indonesia itu. Oemar seno adji mengatakan Negara hukum Indonesia memiliki cirri-ciri khas Indonesia.<br />Cita hukum Indonesia adalah cita hukum pancasila sehingga konsep Negara hukum yang dibagun pun bukan konsep dari barat ata dari komunis melainkan Negara hukum pancasila. Oleh karena itu pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum. Negara hukum pancasila memiliki cirri pokok adanya jaminan terhadap Freedom of Religion kekebasan memeluk agama. Tapi kebebasan beragama dalam konsep pancasila memiliki konotasi positif artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia.<br />Hubungan antara Negara dan agama di Indonesia tidak ada pemisahan yang rigit dan mutlak,cirri pokok Negara hukum pancasila adalah (1). Ada hubungan yang erat antara agama dengan Negara, (2). Bertumpu pada ketuhanan yang maha esa, (3). Kebebasan beragama dalam arti positif, (4). Ateisme tidak dibenarkan, (5). Asas kekeluargaan dan kerukunan. <br />Ditinjau dari teori kedaulatan, Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945 menganut teori kedaulatan hukum (pasal 1 ayat (3), yang mengakui kedaulatan rakyat pasal 1 ayat (2) dan kedaulatan Tuhan (pembukaan alenia ke 3). Negara Indonesia berdasarkan pancasila merupakan Negara hukum dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan.<br /><br />B. Prinsip-Prinsip Negara Hukum Menurut Al Qur’an dan As Sunnah.<br />Sebelum membahas prinsip-prinsip umum nomokrasi Islam terlebih dahulu perlu diperhatikan salah satu doktrin pokok dalam Al Qur’an tentang siapakah sesungguhnya penguasa hakiki dan mutlak dalam pandangan islam. Terhadap pertanyaan ini, Q.s. Ali Imran ayat 189: <br /> <br />Artinya: kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan Allah maha perkasa atas segala sesuatu.<br />Ayat ini secara jelas menginformasikan bahwa sesungguhnya penguasa hakiki dan mutlak adalah Allah Swt. Kekuasaannya sangat luas dan tidak terbatas, mencakup segala sesuatu yang ada dialam semesta ini.<br /> Prinsip-prinsip umum nomokrasi Islam menurut Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebgai berikut:<br />1. Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah<br />Perkataan amanah tercantum dalam Al Qur’an, surah An Nisaa ayat 58.<br /> <br /> Artinya: Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha melihat.<br /><br />Apabila ayat tersebut dirumuskan dengan menggunakan metode pembentukan garis hukum sebagaimana diajarkan oleh hazairin dan dikembangkan oleh sayuti Thalib, maka dari itu dapat ditarik dua garis hukum yaitu (1). Manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan (2). Menusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.<br />Dalam nomokrasi Islam kekuasaan adalah suatu karunia atau ni’mat Allah artinya ia merupakan rahmat dan kebahagiaan bak bagi yang menerima kekuasaan itu maupun bagi rakyatnya. Ini dapat terjadi, apabila kekuasaan itu diimplementasikan menurut petunjuk Al Qur’an dan tradisi nabi Muhammad, sebaliknya jiia kekuasaan itu diterapkan dengan cara yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip dasar Al Qur’an dan Sunnah maka akan hilanglah makna hakiki kekuasaan yaitu merupakan karunia atau nikmat Allah. Dalam keadaan begini kekuasaan bukan lagi merupakan karunia Allah dan nikmat Allah melainkan kekuasaan yang semacam ini akan menja bencana dan laknat Allah. <br /><br />2. Prinsip Musyawarah.<br />Dalam Al Qur’an ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar nomokrasi islam. Ayat yang pertama surah Al Syuura yang artinya “…adapaun urusan kemasyarakatan diputuskan dengan musyawarah antara mereka”. Ayat ini menggambarkan bahwa setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Dalam sebuah hadist nabi digambarkan sebagai orang yang paling banyak melakukan musyawarah. <br />Beliau melakukan hal ini karena prinsip musyawarah adalah merupakan suatu perintah Allah sebagaimana digariskan dalam ayat yang kedua yang dengan tegas menyebutkan perintah itu dalam surat Ali Imron ayat 159. Yang artinya “…bermusyawarahlah engkau hai Muhammad dengan mereka dalam setiap urusan kemasyarakatan”. Ayat yang terakhir ini apabila dijadikan sebagai suatu garis hukum maka ia dapat dirumuskan sebagai berikut:”hai Muhammad engkau wajib bermusyawarah dengan para sahabat dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan”. Atau secara lebih umum”umat islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan’. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penguasa/penyelenggara kekuasaan Negara dalam melaksanakan kekuasaannya. Lebih lanjut prinsip musyawarah bertujuan melibatkan atau mengajak semua pihak untuk berperan serta dlam kehidupan bernegara. <br /><br />3. Prinsip Keadilan<br />Perkataan keadilan bersumber dari Al Qur’an cukup banyak ayat Al qur’an yang menggambarkan tentang keadilan. Dalam hubungannya dengan paragraph ini akan dikutif dan dibicarakan beberapa ayat yang relevan dengan topic ini. Dalam surat An Nisaa ayat 135 :<br /> <br />Artinya: hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi kerena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atu enggan menjadi saksi, maka sesuangguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan”.<br /><br />Dari ayat diatas sekurangnya dapat dtarik tiga garis hukum yaitu: (1). Menegakkan keadilan adaah kewajiban orang-orang yang berima; (2). Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil; (3). Munisia dilarang mengikuti hawa nafsu, dilarang menyelewenagkan kebenaran.<br />Dalam ayat lain Allah mengulangi lagi kewajiban manusia menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang adil. Ayat ini tercantum dalam surat Al maidah ayat 8.<br /><br />Artinya: hai orang-orang yang beriman hendaknya kamu mejadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi yang adil, dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berbuat tidak adil, bersikaplah adil, karena adil itu lebih dekat keoada takwa dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat mengetahui apa yang kamu lakukan.<br /><br />Marsel A Boisard menegaskan bahwa: dalam doktrin islam keadilan merupakan gerak dari nilai-nilai yang pokok. Maka keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam Al Qur’an. Apabila prinsip keadilan dikaitkan dengan nomokrasi islam, maka ia harus selalu dilihat dari segi fungsi kekuasaan Negara. Fungsi itu mencakup tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara Negara atau suatu pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan yaitu: kewajiban menerapkan kekuasaan Negara dengan adil, jujur dan bijaksana. Seluruh akyat tanpa kecuali harus mendapatkan nikmat. Keadilan yang timbul dari kekuasaan Negara dalam bidang politik dan pemerintahan semua rakyat harus dapat memperoleh hak-haknya secara adil tanpa diskriminasi. Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya.<br /><br />4. Prinsip Persamaan<br />Prinsip persamaan dalam islam dapat dipahami antara lain dari Al Qur’an surah Al Hujurat ayat 13:<br /> <br />Arttinya: hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadilkan kamu bersukusuku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mengenal.<br /><br />Prinsip persamaan dalam nomokrasi islam mengandung aspek yang luas. Mencakup persamaan dalam segala bidang kehidupan. Persamaan itu meliputi ika ada sementara pihak bidang hukum, politik, ekonomi, social dan lainnya. Persamaan dalam bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama terhadap semua manusia tanpa memandang kedudukannya. Prinsip ini telah ditegakkan oleh Rasul Muhammad sebagai kepala Negara Madinah, ketika ada pihak yang menginginkan dispensasi karena tersangka berasal dari kelompok elit. Nabi berkata dalam hal tersebut: Demi Allah seandainya Fatimah putriku mencuri tetap akan kupotong tangannya:” <br />Hadist diatas menunjukkan bahwa hukum harus dilaksanakan terhadap siapa saja, tanpa memandang latar belakang keturunan atau kedudukannya.<br />5. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.<br />Dalam nomokrasi islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Karena itu, dalam hubungan ini ada dua prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Prinsip-prinsip itu secara tegas digariskan dalam Al Qur’an antara lain dalam suat Al Israa ayat 70:<br /> <br />Artinya: dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak adam kami tebarkan mereka didarat dan di laut serta kami anugerahi mereka rezki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna dati pada kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.<br /><br />Prokamasi ayat diatas mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi dalam nomokrasi islam ditekankan pada tiga hal utama yaitu: (1). Persamaan manusia, (2). Martabat manusia (3). Kebebasan manusia, dalam persamaan manusia sebagaimana ytelah dijelaskan dalam paragraph yang lalu Al Qur’an telah menggariskan dan menetapkan suatu status atau kedudukan yang sama bagi semua manusia. Karena itu Al Qur’an menentang dan menolak setiap bentuk perlakuan dan sikap yang mungkin dapat menghancurkan prinsip persamaan, seperti diskriminasi dalam segala bidang kehidupan, feodalisme, kolonialisme, dan lain.lain.<br />6. Prinsip Peradilan Bebas<br />Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi islam seseorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap putusan yang dambil bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Al Qur’an menetapkan suatu garis hukum:’… apabila kamu menetapkan hukum antara manusia hendalah kamu tetapkan dengan adil”. Putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Seorang yuris islam terkenal Abu hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan keputusan pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan bebas dalam nomokrasi islam bukan hanya sekedar cirri bagi suatu Negara hukum, tetapi juga merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim. Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan hukum.<br />Dalam nomokrasi islam, hakim memiiki kedudukan yang bebas dari pengaruh siapapun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan ia memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad dalam penegakan hukum. Ketika muadz bin jabal diangkat oleh nabi sebagai hakim di yaman, nabi sebagai kepala Negara madinah bertanya kepada muadz sebelum ia menempati posnya. Dengan apa engkau mengadilik suatu perkara? Jawab muadz dengan Al Quran, jika didalamnya tidak engkau jumpai ketentuan hukumnya ? kata nabi selanjutnya. Muadz menjawab dengan sunnah Rasul, kalau dalam sunahku juga tidak ada? Saya akan berijtihad dengan menggunakan akal pikiran saya. <br />Prinrip peradilan bebas dalam nomokrasi islam tidak boleh bertentangan dengan tujuan hukum islam. Jiwa Al Qur’an dan sunnah. Dalam melaksanakan prinsip peradilan bebas hakim wajib memperhatikan pula prinsip amanah. Karena kekuasaan kehakiman yang berada di tangannya adalah suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib ia pelihara dengan sebaik-baiknya. Sebelum meutuskan ia pun harus bermusyawarah agar dicapai putusan yang seadil-adilnya. Putusan yanga adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang bebas.<br />7. Prinsip Perdamaian<br />Salah satu tugas pokok yang dibawa rasulullah melalui ajaran islam adalah mewujudkan perdamaian bagi seluruh manusia dimuka bumi ini. Arti perkataan islam itu sendiri kecuali penundukan diri kepada Allah, keselamatan, kesejahteraan dan pula ia mengandung suatu makna yang didambakan oleh setiap orang yaitu perdamaian. Al Qur’an dengan tegas menyeru manusia yang beriman agar masuk kedalam perdamaian;” wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semua dalam perdamaian”. bahng dilarangkan salah satu dari asma Allah adalah perdamaian.<br />Nomokrasi islam harus ditegakkan atas prinsip perdamaian. Hubungan dengan Negara-negara lain harus djalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya sikap permusuhan atau perang merupakan suatu yang terlarang dalam Al Qur’an. Perang hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensive atau membela diri. Al Qur’an hanya mengizinkan tindakan kekerasan atau perang apabila pihak lain memulai lebih dahulu melancarkan. Al Qur’an mengatur hukum perang dan menggariskan sebagaimana digariskan dalam Surat Al Baqarah 194.<br /> <br />Artinya: dan terhadap orang yang menyerangmu, maka seranglah ia seperti ia menyerang kamu”.<br /><br />Begitu juga dalam surat Al Baqarah ayat 190:<br /> <br />Artinya: berperanglah demi Allah melawan orang-orang yang memerangi kamu tetapi janganlah kamu memulai permusuhan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang memulai permusuhan.<br /><br />Apabila tindakan kekerasan atau perang terpaksa dilakukan, maka nabi Muhammad Saw. Telah memberikan beberapa kaedah dalam hukum perang. Dengan menggunakan prinsip kewajaran dan kasih saying terhadap sesama manusia.<br /><br />8. Prinsip Kesejahteraan.<br />Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan social dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara Negara dan masyarakat. Pengertian keadilan social dalam nomokrasi islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materiil atau kebendaan saja. Akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh rakyat. Negara berkewajiabn memperhatikan dua macam kebutuhan itu dan menyediakan jaminan social untuk mereka yang kurang atau tidak mampu. <br />Al qur’an telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan social bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan social dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah Zakat, infaq Sodaqoh, hibah dan wakaf dengan tidak menutup kemungkinan bagi pendapatan pendapatan Negara dari sumber-sumber lain, seperti pajak, bead an lain-lain.<br />Nomokrasi islam keadilan social dan keadilan ekonomi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penimbunan harta ditangan seseorang atau sekelompok orang sementara anggota masyarakat lainnya mengalami kemiskinan. Salah satu misi islam ialah memerangi kemiskinan, sekurangnya menghilangkan kesenjangan antara golongan orang yang mmpu dan yang tidak mampu. Pendiran Al Qur’an mengenai kedudukan harta ialah bahwa harta milik seseorang mempunyai fungsi social karena itu bukan merupakan kepemilikan yang bersifat mutlak. Al Qur’an menegaskan bahwa didalam harta milik golongan hartawan itu ada hak orang lain yang membutuhkannya, maka ada kewajiban zakat sekurangnya 2 .1/2 % dari harta kekayaan.<br /><br />9. Prinsip Ketaatan Rakyat.<br />Al Qur’an telah menetapkan suatu prinsip yang dapat dinamakan sebagai prinsip ketaatan rakyat prinsip itu ditegaskan didalam surah An Nisaa:59 yang artinya: hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya serta orang-orang yang berwenang dianara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu hal maka kembalilah kepada Allah (Al Qur’an) dan rasulnya (sunah) jika kamu benar-benar berian kepada Allah dan hari kiamat, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.<br />Prinsip ketaatan rakyat mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali berkewajiban mentaati pemerintah. Sejauh mana prinsip ini mengikat rakyat ? sarjana hukum islam sependapat bahwa kewajiban rakyat untuk mentaati penguasa atau pemerintah adalah sepanjang penguasa atau pemerintah itu menerapkan prinsip-prinsip nomokrasi, atau dengan perkataan lain penguasa atau pemerintah tidak bersikap dzalim (tiran atau otoriter/dictator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk kepada penguasa atau pemerintah. <br /><br />PENUTUP<br />Konsep Negara hukum secara konseptual dan implementasinya dapat dikatakan hampir sama yang intinya segala tindak-tanduk warga Negara dan pemerintah harus berdasarkan hukum, namun demikian konsep nomokrasi islam sebagai konsep Negara hukum menurut islam memberikan pengaturan lebih detail dan lebih rinci sehingga dapat dikatakan nomokrasi islam adalah sebagai konsep Negara hukum yang tepat untuk dianut dalam konsep Negara hukum modern.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Al Qur’an dan Al Hadist.<br />Arif Sidarta.2008. Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum UII. Yogyakarta.<br />Hazairin. 1982. Hukum Kewarisan bilateral menurut Alquran dan hadist. Jakarta: Tinta Mas<br />JWM. Enggel. 1989. De RechtStaat Herdacht. W.E.J: Tjenk Willink Zwole.<br />Majid Khoduri. 1955. War and peace in the law of islam. London: The John Hopkins Press.<br />Malcolm H Kerr.1996. The political and legal Theoris of Muhammad Abduh and Rashid Ridho. Berkeley and Los Anggles: University Of California.<br />M Daud Ali. 1988. Islam untuk disiplin ilmu hukum social dan politik. Jakarta: Bulan Bintang<br />Muhamad Thaher Ashary. 1991. Negara Hukum studi tentang Prinsip-Prinsip Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.<br />Mustafa Khamal. 2003. Pancasila dalam tinjauan historis, yuridis dfan Filosofis. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.<br />Oemar Seno Adji. 1980. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga.<br />Padmo Wahyono. 1984. Beberapa Teori ketatanegaraan Prof Joko Soetono dalam Guru Pinandito. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI.<br />---------------------. 1988. Konsep Yuridis Negara HUkum Indonesia, Makalah.<br />Rasjidi. 1981. Koreksi terhadap Nurcholis madjid tentang sekulerisme. Jakarta: Bulan Bintang<br />Soedargo Gautama. 1973. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-466686358502018042009-07-30T00:08:00.000-07:002009-07-30T00:10:09.359-07:00NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN KETATANEGARAAN ISLAMNEGARA KESEJAHTERAAN DALAM <br />PANDANGAN KETATANEGARAAN ISLAM <br />Oleh:<br />M. IMAM PURWADI <br /><br />A. Latar belakang<br /><br />Mendiskusikan Negara Kesejahteraan (welfare state) di Indonesia sangat menarik bagi kalangan akademisi dan praktisi ketatanegaraan. Mengapa? Karena, pertama: Indonesia, negara yang memiliki sumberdaya alam yang luar biasa, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan negara dengan jumlah penduduk pluralis yang besar. <br />Kedua, negara yang mempunyai landasan filosofis ketatanegaraan Pancasila yang di dalamnya mengandung nilai-nilai dasar kemanusiaan berdasarkan pada agama, budaya dan adat istiadat setempat.<br />Pertumbuhan ekonomi dewasa ini begitu cepat berkembang. Tuntutan untuk mencapai kemakmuran material menjadi prioritas kehidupan manusia. Segala cara dilakukan untuk meraih kemakmuran material. Dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank terus menjadi incaran masyarakat, baik masyarakat kalangan atas maupun bawah.<br />Di Indonesia pemenuhan kebutuhan masyarakat dilindungi dan dijamin oleh hukum. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan, melakukan kegiatan usaha dan untuk mendapatkan lapangan kerja. <br />Namun, sampai sekarang Indonesia adalah negara yang masih menghadapi persoalan kesejahteran yang serius. Ironisnya, kontribusi negara sebagai institusi yang seharusnya memiliki peran penting dalam mensejahterakan warganya, ternyata masih jauh dari harapan. Berbagai masalah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia seringkali disebabkan oleh kegagalan negara dalam memainkan perannya dengan baik. Seakan-akan negara tidak pernah dirasakan kehadirannya terutama oleh mereka yang lemah (dhaif) atau dilemahkan (mustadh’afin), yang miskin atau dimiskinkan.<br />Belum lama ini, Media Indonesia menyajikan hasil survei Litbang Media Group, terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telefon enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar). Responden ditanya bagaimana pendapatannya sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah dirasakan semakin berat atau ringan? Mayoritas responden (73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat; sebanyak 21% responden merasakan sama saja; dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar responden (89%) merasakan sekarang makin sulit mencari pekerjaan baru; sebanyak 5% responden merasakan sama saja; 4% merasakan makin mudah; dan 2% tidak tahu. <br />Hasil survei ini tidak berbeda dengan laporan mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun mendatang. <br />Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (capabilitas) manusia Indonesia. Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah. Bahkan, karena indikator IPM pada hakekatnya merujuk pada konsep basic human capabilities, dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar saja ternyata masih rendah.<br />Dengan kata lain, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan. Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan. Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari.3 Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk. <br /> Demikianlah, keadaan negara Indonesia yang masih berkutat dalam problema rakyat yang belum sejahtera. Kesejahteraan rayat haruslah menjadi prioritas dalam kebijakan publik. Jika, peran negara dikurangi maka akan timbul problema berkepanjangan, kemiskinan, kesejangan sosial, bahkan konflik sosial dan perang sipil akan muncul. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak asasi manusia, seperti pada tahun 1990 an sampai kini, di Somalia, Kamboja, Sudan, Haiti, Palestina, dan lain sebagainya.<br /> Menurut Fukuyama, bahwa “negara harus diperkuat”, kesejahteraan tidak mungkin dicapai tanpa hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan rakyatnya. <br /> Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Globalisasi dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai faktor penyebab mencuatnya persaingan yang tidak sehat, monopoli dan oligopoli, kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional, kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan keengganan perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan dan pendidikan. <br />Mishra, dalam bukunya “Globalization and Welfare State” menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta. <br />Oleh karena itu, memang negara bukan lah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghargai (to respect) hak-hak dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat Negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat “wajib”. Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat “tanggungjawab” (responsibility). <br />Dari kerangka di atas, tulisan ini hanya akan membahas bagaimana Negara kesejahteraan dalam pandangan Islam. Referensi pembahasan berdasarkan pemahaman singkat atas beberapa literatur saja.<br /><br />B. Pembahasan<br /><br />Konsep Negara Kesejahteraan.<br />Negara kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. <br />Menurut Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” <br />Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya.. Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis. <br />Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya. Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga. <br />Dengan demikian, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis. <br />Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.<br />Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Konsep kegunaan atau manfaat dalam teori ilmu hukum dikenal dengan “Asas kegunaan atau manfaat’“(the principle of utility) yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham. <br />Bentham (1748 – 1832) adalah pejuang yang gigih dalam hukum yang dikodifikaskan dan untuk merombak hukum Inggris yang menurutnya merupakan sesuatu yang kacau. Sumbangan yang terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang dipakai adalah ”apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan?”. Selanjutnya, ia mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap masyarakat secara individual. <br />Sekitar abad 18, di Inggris prinsip tersebut dikenal dengan paham utilitarianisme , yang merupakan bagian dari etika filsafat yang memusatkan perhatiannya pada baik atau buruknya perilaku, sehingga kajian etika dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan moralitas. Utilitarianisme secara sederhana dapat dipahami sebagai paham yang menganggap bahwa kebijaksanaan yang benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Artinya, segala keputusan tentang aktivitas yang dilakukan harus mengarah kepada sejauh mana tindakan yang diambil dapat membawa dampak yang posistif atau kebahagiaan kepada masyarakat lainnya. Dalam hal ini, penggunaan utility menjadi syarat mutlak dalam menentukan kebijakan demi untuk mewujudkan kebahagian bagi keseluruhan ataupun sebahagian besar masyarakat. <br />Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang dikembangkan Bentham, sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).<br />Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi. Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave). <br />Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke Negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompokkelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.<br />Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi: <br />1. Model Universal<br />Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia. <br />2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States<br />Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.<br />3. Model Residual<br />Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum; (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c) pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.<br />4. Model Minimal<br />Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) , UU Kesejahteraan Anak , UU Jamsostek dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan model ini.<br />Negara Kesejahteraan dalam Pandangan Islam<br />Dalam QS, Al-Baqarah: 177, dijelaskan bahwa:<br />”Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan zakat, orang-orang yang menpati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”<br /><br />Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Surat al-Baqarah di atas, sejatinya memiliki nilai mengenai pentingnya kesejahteraan masyarakat ketimbang sekadar menghadapkan wajah kita ke barat atau timur dalam shalat. Tanpa memarginalkan pentingnya shalat, Al-Qur’an mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan kebijakan dan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memberi pesan tentang keimanan, Al- Qur’an mengingatkan penganutnya bahwa pernyataan keimanan kepada Allah, KitabNya, dan Hari Kiamat saja tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kepedulian dan pelayanan kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan musafir serta menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan pertolongan.<br />Sesungguhnya, dengan landasan ini ada satu sistem yang bisa dikembangkan dalam makna kesejahteraan bagi kemanusiaan, yaitu sistem yang bisa menjadi alternatif, sistem negara kesejahteraan Islam (Islamic welfare state). <br />Islam bukan hanya sekadar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan yang memadukan antara aspek material dan spiritual, keduniawian dan keukhrowian. Pada puncaknya, Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan segelintir atau sekelompok orang.<br />Dalam Sistem ekonomi Islam misalnya, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit dalam pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib. <br />Sebagai contoh, zakat merupakan salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu mentransfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba mencegah eksploitasi ekonomi yang merugikan kelompok lemah. Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu memenuhi kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, ”Setiap penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak berjuang dengan keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surga bersama mereka.” <br />Contoh lain, adanya program al-Qardh al-Hasan dalam Perbankan Syariah”. Penerapan program ini diprioritaskan bagi rakyat yang potensial, tetapi tidak memiliki modal selain kemampuan berusaha. Pembiayaan ini bukan kredit biasa, melainkan pembiayaan yang diberikan: a). berdasarkan pada prinsip kebajikan; b). diberikan kepada kelompok tertentu; c). berdasarkan kewajiban sosial; dan d). bersumber dari infaq, zakat dan shadaqah. <br />Dalam praktik Perbankan Syariah, al-Qardh al Hasan lebih sering dikenal sebagai pinjaman yang terbatas dalam jumlah uang tertentu dan dalam masa tertentu dan dikembalikan pada saat jatuh tempo dengan tanpa imbalan. Al-Qardh al Hasan kemudian dipahami sebagai salah satu produk Bank Syariah yang bersifat sukarela atau kebajikan saja. <br />Al-Qardh al Hasan adalah suatu sistem yang berkaitan dengan segala bentuk pinjaman tanpa imbalan yang berasaskan pada hukum al-Qardh al Hasan yang ada pada sistem hukum ekonomi Islam Apabila sistem tersebut dikelola dengan baik, maka akan membentuk sebuah institusionalisasi keuangan yang berdiri sendiri, misalnya Bank Syariah dengan prinsip al-Qardh al Hasan, Koperasi dengan prinsip al-Qardh al Hasan, Gadai dengan prinsip al-Qardh al Hasan, dan beberapa institusi keuangan lainnya. Sehingga, kegunaan atau manfaat al-Qardh al Hasan dapat dinikmati oleh masyarakat. <br />Dalam pandangan Islam, salah satu tujuan negara adalah untuk menegakkan keadilan. Q.S. an-Nisa: 58, 135; Q.S al-Maidah: 9, 45; Q.S.al-A’raf: 29; Q.S. an-Nahl: 90, 152; Q.S. asy-Syuura: 15; dan Q.S. ar-Rahmaan:9. Secara substansial landasan syariah tentang negara berkaitan dengan tujuan negara yang berkeadian, mensyaratkan adanya proses hukum yang adil baik dari segi hukumnya maupun saksi-saksinya.<br />Dalam substansi pembahasan ini, fokus atau sasaran bagi Negera Kesejahteraan dalam upaya membangun kesejahteran nasional melalui berbagai program kegiatan bagi masyarakat, terutama, ditujukan kepada: 1). Kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja dan laju pertumbuhan ekonomi yang optimal; 2). Keadilan sosioekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata; 3). Mobilisasi tabungan untuk pembangunan ekonomi; dan 4). Pelayanan yang efektif dan transparan dari sistem ekonomi Islam. <br />Menurut Umer Chapra, dalam lapangan ekonomi, Islam menganjurkan kesejahteraan ekonomi melalui pemenuhan semua kebutuhan pokok manusia, menghapuskan semua sumber utama kesulitan dan ketidaknyamanan (kemiskinan, pengganguran, kesempatan kerja yang rendah, dsb.), meningkatkan kualitas kehidupan secara moral dan material. Bahkan, Islam menganjurkan penciptaan suatu lingkungan ekonomi yang mampu memanfaatkan waktu dan kemampuan fisik dan skill bagi pengayaan diri, keluarga, dan masyarakatnya. <br /> Oleh karena itu, kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan Islam mempunyai ruang lingkup yang sangat luas baik menyangkut pelayanan publik (public service) maupun pelayanan privat (privat service) dan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan mekanisme, seperti misalnya, zakat, wakaf, infak, shadaqah, pajak, qardh al hasan, jaminan sosial, dan lain sebagainya. <br />Di bawah ini akan dibahas 2 (dua) bentuk dan mekanisme dalam penyelenggaraan kesejahteran sosial sebagai wujud negara kesejateraan dalam pandangan Islam.<br />1. Program Jaminan Sosial.<br />Jaminan sosial sering disebut dengan istilah social security, adalah bantuan ekonomi berupa bantuan finansial yang diberikan oleh Negara bagi warganegaranya yang berada dalam kondisi-kondisi tertentu yang dipersyaratkan. Bantuan finansial atau tunjangan (benefit), misalnya: tunjangan untuk orang jompo (old age benefit), tunjangan untuk orang cacat (disability benefit), dan sebagainya. Sebagai tanggung jawab Negara, maka jaminan sosial ini termasuk salah satu bentuk hak ekonomi rakyat, yaitu hak untuk hidup layak secara ekonomis. <br />Dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dimaksud Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jenis program jaminan sosial meliputi: a). jaminan kesehatan; b). jaminan kecelakaan kerja; c). jaminan hari tua; d). jaminan pensiun; dan e).jaminan kematian. <br />Bentuk lain jaminan sosial di Indonesia selain UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tersebut di atas, ada UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan UU Kesejahteraan Anak merupakan bentuk tanggung jawab Negara dalam pemenuhan dan kebutuhan hak warganegaranya dalam bidang tertentu. Upaya ini, jelas merupakan wujud pelaksanaan negara kesejahteraan (welfare state) dalam arti luas.<br />Program jaminan sosial tersebut, diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.<br />Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.<br />Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut: <br />1. Prinsip kegotong-royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini, jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.<br />2. Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. <br />3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. <br />4. Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. <br />5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara suka rela, sehingga dapat mencakup petani, nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat. <br />6. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.<br />7. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.<br />Dalam pandangan Islam, bentuk perwujudan Negara dalam pemenuhan kebutuhan warganegaranya dipersonifikasikan dalam kepemimpinan atau khalifah atau amir atau imam. Menurut Agus Triyanta, sebagai implementasi perwujudan jaminan sosial memerlukan prinsip-prinsip sebagai berikut:<br />1. Pemimpin bertanggung jawab atas keadaan semua aspek rakyatnya.<br />2. Pelarangan penyalahgunaan kekuasaan.<br />3. Perlakuan sama terhadap semua warganegara. <br />Prinsip-prinsip tersebut memberikan beban sekaligus kewajiban kepada seorang pemimpin agar melayani dan menyangga tanggung jawab kepada rakyatnya. Konsep Islam tentang kepemimpinan ini sangat mendekati konsep modern mengenai pemerintah sebagai pelayan publik (public sevice). Sehingga penggunaan jabatan kekuasaan haruslah demi kepentingan rakyat, sebagaimana perintah Allah dalam Q.S. an-Nisa: 58, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:<br />”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu menetapkan hukum diantara manusia dengan hukum yang adil, sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”<br />Dalam Islam juga tidak pernah terjadi perlakuan diskriminasi, apalagi memberikan keistimewaan pada seseorang, sebagaimana hadis Rasulullah yang menegaskan bahwa ”demi zat yang jiwaku berada ditanganNya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya” <br />Lebih jauh Agus Triyanta menjelaskan, hak warganegara untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhannya sebagai perwujudan jaminan sosial dari negara, dperlukan prinsip-prinsip sebagai berikut:<br />1. Hak untuk mendapatkan bantuan bagi kaum ekonomi lemah.<br />2. Hak untuk saling memikul beban ekonomi.<br />3. Kewajiban akan pembebasan kaum marginal dari keterpinggiran mereka.<br />4. Perhatian terhadap orang yang rawan ekonomi. <br />Demikianlah, dalam Islam telah memiliki prinsip dasar bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat. Negara, sebagai pemegang otoritas bertanggung jawab atas implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan warganegaranya.<br /><br />2. Program al-Qardh al Hasan.<br />Dalam praktik Perbankan Syariah, al-Qardh al Hasan lebih sering dikenal sebagai pinjaman yang terbatas dalam jumlah uang tertentu dan dalam masa tertentu dan dikembalikan pada saat jatuh tempo dengan tanpa imbalan. Al-Qardh al Hasan kemudian dipahami sebagai salah satu produk Bank Syariah yang bersifat sukarela atau kebajikan saja. <br />Istilah al-Qardh, menurut bahasa Arab berarti pinjaman, yang di dalam al-Qur’an ditegaskan dalam surat al-Hadiid ayat 11 , yang artinya kurang lebih sebagai berikut:<br />“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”<br />Dalam kitab Hashiah al-Dasuqi, sebagaimana dikutip oleh Osman Sabran, pengertian al-Qardh disebut juga sebagai al-Qat’ atau potongan. yakni karena al-Qardh merupakan sebagian harta yang dipotong dari milik orang yang memberi potongan.<br />Dalam bahasa Arab, pinjaman juga disebut sebagai al-Salf, yaitu pinjaman yang dibayar balik kepada pemiutang tanpa syarat keuntungan. Peminjam hanya wajib mengembalikan sebanyak jumlah yang telah dipinjamnya. <br />Kata pinjaman juga bermakna memberi hutang (berpiutang), yang dalam bahasa Arab disebut al-Dayn yang berarti hutang, sebagaimana juga dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:<br />“…Apabila kamu berpiutang dengan sesuatu piutang hingga suatu masa yang ditetapkan, hendaklah kamu menulisnya….” <br /> <br />Dalam Kamus Dewan, pengertian pinjaman sebagai “barang yang dipinjam atau dipinjamkan”. Dalam bentuk uang, “pinjaman” adalah uang yang diberikan kepada seseorang, syarikat, atau sekumpulan orang dalam bentuk sementara dan perlu dikembalikan kemudian. <br />Dalam Ensiklopedi Hukum Islam qard adalah mudharabah, qiradh atau Qardh”. yang merupakan salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dan seseorang yang ahli dalam berdagang. Dalam literatur ekonomi syariah, Mirza Gamal memberikan pengertian bahwa Qardh merupakan satu bentuk transaksi kerjasama usaha yang bersifat sosial. Qardh, adalah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Sedangkan, Sutan Remy Sjahdeini memberikan istilah bahwa qard adalah perjanjian pinjaman. Dalam perjanjian pinjaman ini pemberi pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman diberikan. <br />Selanjutnya, Syafi’i Antonio dengan mengutip Sayyid Sabiq memberikan pengertian qardh sebagai berikut: “Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan . Adapun, Adiwarman Karim memberikan pengertian qardh, sebagai aqad meminjamkan uang yang diberikan tanpa mensyaratkan apa pun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu. Perjanjian (akad) qard ini di dalam literatur fiqih klasik, dikategorikan dalam aqad tathawwi atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial. Perjanjian ini dimasukkan ke dalam aqad tabarru’, yaitu perjanjian transaksi nirlaba (not-for profit transaction). <br />Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 19/DSN-MUI/IX/2000, bahwa Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Selanjutnya, dalam fatwa tersebut dijelaskan tentang ketentuan mengenai penggunaan qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS). <br />Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat diberikan batasan bahwa Qard adalah satu bentuk transaksi yang berupa pemberian pinjaman dan bisa diminta atau ditagih kembali tanpa imbalan atau syarat tambahan.<br /> Kelahiran Perbankan Syariah dengan, salah satu, produknya yaitu al-Qardh al Hasan, sejalan dengan perkembangan perkonomian umat Islam Indonesia baik dalam bidang peningkatan pendidikan maupun peningkatan kesejahteraan kemasyarakatan. Perkembangan ini telah memberikan peluang yang lebih besar bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan kekuatan yang ada pada dirinya untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi dan kualitas hidupnya. Perubahan orientasi ekonomi dalam masyarakat dari ekonomi pertanian kepada ekonomi industri atau jasa merupakan indikator yang sangat penting dalam memahami arti penting adanya Perbankan Syariah. <br /> Sebenarnya konsep sasaran pemanfaatan al-Qardh al Hasan sudah dirumuskan dalam berbagai tolak ukur dan berbagai pengkajian ilmu-ilmu terapan yang sudah begitu berkembang. Misalnya, dikenal konsep garis kemiskinan yang mungkin saja akan berubah dari waktu ke waktu . Konsep ini dikembangkan dari berbagai survey untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat. Perbankan Syariah sebagai organisasi yang mengembangkan manajemen secara profesional dalam pemberdayaan dan pengelolaan sumber-sumber dana harus melakukan survey seperti itu untuk mengumpulkan informasi-informasi dalam masyarakat dan menyusun konsep-konsep yang bisa dipakai sebagai tolak ukur profesionalnya.<br /> Berdasarkan orientasi prinsip manfaat sebagai sesuatu yang aktual dalam kehidupan umat Islam, maka ada dua missi utama yang perlu dilaksanakan oleh Perbankan Syariah. Pertama, memahami konsep al-Qardh al Hasan secara tekstual dengan menggali nilai-nilai ilmiah dari ajaran Islam dan memperkaya persepsi masyarakat itu secara kontekstual dengan dimensi baru bahwa al-Qardh al Hasan merupakan suatu kekuatan yang memiliki dampak aktual terhadap kehidupan ekonomi umat Islam. Misi ini dapat diwujudkan melalui pengkajian dan penelitian ajaran al-Qardh al Hasan sebagai kekuatan ekonomi umat Islam tanpa menghilangkan nilai ibadah dalam pemberian tersebut. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk memperkuat landasan ilmiah dari ajaran al-Qardh al Hasan yang lebih berorientasi kepada aktualitas manfaat bagi kehidupan masyarakat.<br /> Kedua, mengembangkan organisasi dan manajemen Perbankan Syariah secara profesional. Keberhasilan al-Qardh al Hasan sebagai suatu gerakan aktual dalam memperkuat ekonomi sangat terkait dengan terorganisasikanya kegiatan tersebut dalam berbagai kelembagaan dengan suatu kepemimpinan dan manajemen yang profesional. Perorganisasian kegiatan al-Qardh al Hasan dilaksanakan melalui berbagai fungsi kelembagaan, seperti fungsi pengumpulan dan penyimpanan sumber-sumber dana al-Qardh al Hasan, fungsi penyaluran, fungsi evaluasi, penelitian dan pengembanyan yang efektif. <br /> Pada akhirnya apa yang bisa dicapai oleh Perbankan Syariah dalam memperdayakan dan pengelolaan al-Qardh al Hasan adalah terkumpulnya sejumlah sumber dana yang diharapkan dapat memberikan pengembangan perekonomian rakyat. Dalam hal ini, Perbankan Syariah diharapkan dapat menjadi lembaga pembiayaan dalam pengembangan manajemen al-Qardh al Hasan secara profesional.<br />Bank Syariah menerapkan prinsip qardh al hasan ini selain dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Juga untuk membantu umat dalam mengembangkan usahanya. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa qardh al hasan adalah pinjaman lunak bagi pengusaha yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada bank, tetapi hanya membayar biaya administrasi saja. Sedangkan, Zainal Arifin mengatakan “.…yang disebut al qardh al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjaman,....” <br />Selanjutnya, Warkum Sumitro menegaskan bahwa pembiayaan qardhul hasan adalah suatu perjanjian antara bank sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai penerima pinjaman, baik berupa uang maupun barang tanpa persyaratan adanya tambahan atau biaya apa pun. Peminjam (nasabah) berkewajiban mengembalikan uang atau barang yang dipinjam pada waktu yang disepakati bersama, dengan jumlah yang sama dengan pokok pinjaman <br />Dengan demikian dapat dipahami bahwa qardh al hasan merupakan satu bentuk aplikasi dari aqad qardh yang ditujukan bagi sektor usaha kecil atau sektor sosial lainnya berupa pemberian pinjaman kepada pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal dan harus dikembalikan sebesar pinjaman yang diberikan tanpa imbalan apa pun.<br /> Yang harus dipahami adalah adanya perbedaan yang siqnifikan antara fungsi ekonomi konvensional dengan ekonomi berbasis syariah. Perbedaan ini menyangkut pada komitmen pada nilai-nilai spritiual, keadilan sosio-ekonomi, dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam ekonomi konvensional, fungsi siapa kuat itulah yang menang, tidak dikenal adanya nilai spiritual, keadilan, dan persaudaraan. Baginya, dengan sistem bunga semua menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan tidak peduli pada sisi sosial bagi orang yang membutuhkan. <br />Sebagai kesimpulan tentang karakteristik perekonomian rakyat dapatlah merujuk pada kerangka di atas, yaitu bahwa perekonomian berbasis kerakyatan berprinsip pada tolong menolong, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.<br /><br />C. Simpulan<br /><br />Negara kesejahteraan dewasa ini sudah terbukti mampu mengembangkan ekonomi sekaligus melakukan perbaikan atas tingkat kehidupan masyarakat. Krisis welfare state yang belakangan ini sering diperdebatkan, baik di Eropa, Amerika Serikat, maupun Australia, hanyalah menyangkut ukuran dan kesanggupannya, dan bukan pada soal keberadaannya. <br />Sistem negara kesejahteraan bukan hal yang baru bagi Islam. Sebelum Barat menerapkannya, Dunia Islam telah mempraktikannya lebih dahulu. Oleh karena itu, jika sekarang ada gagasan untuk menerapkan sistem ini di Indonesia, ini tidak berarti dan tidak perlu mengikuti Barat. Melainkan, hanya merevitalisasi apa yang secara otentik dipesankan Islam dan pernah dipraktikkan oleh Dunia Islam sekian abad silam. Pengalaman penerapan welfare state di Negara Madinah maupun pada masa Kekhalifahan Umar yang kini diadopsi Barat, merupakan referensi yang berharga. <br />Yang menjadi sasaran negara kesejahteraan, orang miskin, jompo, cacat, anak-anak dan kelompok rentan mendapat perhatian dan perlindungan sosial dari negara secara komprehensif sebagaimana diajarkan Islam, justru di negara-negara Islam atau mayoritas penduduknya Islam jaminan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung seringkali malah diabaikan.<br />Oleh karena itu, kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan Islam mempunyai ruang lingkup yang sangat luas baik menyangkut pelayanan publik (public service) maupun pelayanan privat (privat service) dan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan mekanisme, seperti misalnya, zakat, wakaf, infak, shadaqah, pajak, qardh al hasan, jaminan sosial, dan lain sebagainya. <br /><br />-----------------<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abdul Azis Dahlan, et., al., 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve.<br />Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-pokok Perjanjian Islam di Indonesia, cet.1, Yogyakarta : Citra Media. <br />______________, 2007, Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (UU di bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI dan Peraturan Bank Indonesia), cet. pertama, Yogyakarta : UII Press.<br />______________, 2007, Perbankan Syariah di Indoensia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.<br />_______________ dan Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media.<br />Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum dalam Praktik Ekonomi Syariah”, Makalah, 2007.<br />Adiwarman Karim, 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ed. 3 cet. 1 Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. <br />______________, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press.<br />Afzalur Rahman, 2002, Economic Doctrines of Islam (diterjemahkan oleh Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf.<br />Austin M Chinhengo, 1995, Essential Jurisprudence – Essential Law Series, I Title II Series, First Published in Grest Britain by Cavandish Publishing Limited, The Glass House, Wharton Street, London WC1X9PX, .<br />Edi Suharto, 2006, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), Bandung: Alfabeta. <br />__________, 2007, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta. <br />Francis Fukuyama, 2005, State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21), Jakarta: Gramedia (terjemahan). <br />Gufron A. Mas’adi, 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.<br />Merza Gamal, 2004. Qardh Al Hasan : Pola Alternatif Pengembangan Ekonomi Rakyat, REPUBLIKA, Senin, 9 Februari 2004, hlm. 4.<br />Muhammad Syafi’i Antonio,1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Tazkia Institut, Jakarta<br />____________, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press Bekerja Sama Dengan Tazkia Cendekia.<br />M. Imam Purwadi dan Muhaimin, 2003, Penelitian tentang ”Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Qardhul Hasan Bagi Usaha Kecil Dan Menengah (Kajian Ke Arah Dukungan Pemberdayaan Masyarakat Untuk Meningkatkan Perekonomian Rakyat), Laporan Penelitian Dosen Muda DIKTI, Universits Mataram. <br />M. Umer Chapra, 2000, Perkembangan Keuangan dan Moneter dalam Perekonomian Islam (terjemahan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.<br />M.A. Mannan, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan praktik (Islamic Economics: theory and practce), Diterjemahkan oleh Potan Arif Harahap, Jakarta: Intermasa.<br />Osman Sabran, 2001, Urus Niaga al-Qardh al Hasan dalam Pinjaman Tanpa Riba, Kuala Lumpur: Uninersity Teknologi Malaysia. <br />Paul Spicker, 1995, Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall. <br />Ramesh Mishra, 2000, Globalization and the Welfare State, London: McMillan. <br />Rizka Halida, ”Kepemimpinan Nasional: Calon Presiden Muda Bisa Menang” dalam Media Indonesia, 15 Januari 2008.<br />Siswono Yudo Husodo, 2006, “Membangun Negara Kesejahteraan”, makalah disampaikan pada Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, WismaMM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.<br />United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008: Fighting Climate Change, Human Solidarity in a Divided World, New York: Palgrave Mcmillan, 2008.<br />Sayyid Sabiq, 1996, Fikih Sunnah, Bandung: Al Ma’arif..<br />Sudin Haron, 1996, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn Bhd. <br />Suhrawardi K. Lubis, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, <br />Sunardi, “Utilitarianisme dalam Kaitannya dengan Etika Politik”, makalah diskusi Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tanggal 12 Desember 2008,<br />Sutan Remy Syahdeini, 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, , Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. <br />Warkum Soemitro, 2003. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, ed. Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.<br />Zainul Arifin, 2002. Dasar-dasar manajemen Bank Syariah, Cetakan 1, Alvabet, Jakarta<br />____________, 2000, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, cet.3, Jakarta:abet Alvabet.<br />Republika, 2003. Bank Syariah Perlu Dukungan Ulama, Rabu 19 Februari 2003, hlm 13.<br /><br /><br />-------------------Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-73042214408628672082009-06-28T16:51:00.000-07:002009-06-28T16:57:03.821-07:00Membangun kemitraan Untuk Berantas Narkoba<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJMDqG5tuXpeP5-e-EMHI8UFUbGNEXo5IduRcKWvJeOyQAL4sEnQq4pE-NPiPNzBHvh5fuFIxggV6XQQkFExKma3P7jNSWArOYS4M7ID8F-CeEsP5DAxUQ7XyzYkr3Q2K5N5XtiMWCTeg/s1600-h/4648_1169966412533_1329176806_461898_1842780_n.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 133px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJMDqG5tuXpeP5-e-EMHI8UFUbGNEXo5IduRcKWvJeOyQAL4sEnQq4pE-NPiPNzBHvh5fuFIxggV6XQQkFExKma3P7jNSWArOYS4M7ID8F-CeEsP5DAxUQ7XyzYkr3Q2K5N5XtiMWCTeg/s200/4648_1169966412533_1329176806_461898_1842780_n.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5352531683101340850" /></a><br />MEMBANGUN KEMITRAAN UNTUK BERANTAS NARKOBA<br />Gatot Sugiharto,S.H.,M.H.<br /><br />Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba saat ini telah menjadi ancaman serius terhadap berbagai aspek kehidupan, dunia internasional telah menyatakan perang terhadap narkoba, negara anggota komisi obat-obatan narkotik (Commission on Narcotic Drugs) PBB di Wina, Austria. 7 (Tujuh) negara yakni Indonesia, China, Jepang, Malaysia, Thailand, Filipina, Pakistan bersepakat untuk memfokuskan koordinasinya terkait dengan sindikat Afrika Barat yang menggunakan remaja dan wanita sebagai kurir narkoba.<br />Bahaya penyalahgunaan narkoba bukan saja terhadap diri sendiri, namun lebih dari itu bisa membahayakan, keluarga, lingkungan masyarakat, bangsa dan Negara. Yang lebih mengkhawatirkan lagi narkoba bisa merenggut nyawa pemakainya. Angka kematian pecandu narkoba di Indonesia termasuk dalam kategori cukup tinggi,. Survey nasional tahun 2008 lalu, menunjukkan 15 ribu nyawa manusia melayang sia-sia setiap tahunnya yang disebabkan oleh penyalahgunaan narkoba, seperti overdosis, AIDS, Hepatitis, Jantung, Ginjal dan penyakit paru-paru.<br />Kondisi tersebut menunjukkan bahwa narkoba adalah sarana paling efektif untuk menghancurkan dan merusak generasi bangsa dan pilar-pilar Negara, sehingga narkoba seakan bagai monster pembunuh tanpa wajah yang dapat merusak dan menghancurkan masa depan bangsa setiap saat dan waktu. Yang harus disadari adalah keganasan narkoba tidak boleh dibiarkan terus menerus merajalela dan meracuni setiap individu baik dikalangan masyarakat terlebih pelajar dan mahasiswa yang menjadi tumpuan masa depan penerus generasi bangsa.<br />Menyikapi hal tersebut tidak ada pilhan lain bagi seluruh komponen bangsa baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengerahkan segala daya upaya untuk melakukan pemberantasan terhadap penyalahgunaan narkoba. Daerah istimewa Yogyakarta sebagai jargon kota pendidikan, budaya dan pariwisata memiliki potensi dalam segala bidang. Hal ini tentunya harus menjadi sesuatu yang mendapatkan perhatian lebih serius karena kompleksitas yang terdapat di dalamnya baik sosio cultural maupun sosio ekonomi. Sebagai kota pendidikan dengan jumlah perguruan tinggi yang signifikan tentunya juga dengan potensi jumlah mahasiswa yang banyak menjadikan pasar potensial untuk “bisnis” narkoba. <br />Kekhawatiran itu, tentu tidak berlebihan jika melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional bahwa penyalahgunaan narkoba paling banyak berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa, sebagai masyarakat Daerah istimewa Yogyakarta seharusnya prihatin dengan hasil penelitian tersebut yang menunjukan hasil yang mencengangkan bahwa DIY menjadi urutan ke 2 (Dua) setelah DKI Jakarta yang tingkat penyalahgunaan narkoba tertinggi di Indonesia. Yang patut dipertanyakan adalah bagaimana sikap kita sebagai masyarakat DIY melihat kondisi maraknya penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba yang terjadi kota yang memiliki jargon kota pendidikan dan kota budaya ini? Kalau hal ini dibiarkan, akan berdampak pada rusaknya tatanan masyarakat yang berbudaya dan mengancam kelangsungan hidup generasi bangsa yang produktif dan potensial.<br />Melihat kondisi tersebut harus disadari betapa pentingnya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh. Badan narkotika baik ditingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota yang bergerak dalam bidang penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dituntut lebih keras dalam menyusun strategi pemberantasan narkoba. Namun harus dipahami bahwa tugas berat ini bukan hanya menjadi tanggungjawab badan narkotika Nasional, BNP, dan BNK namun menjadi tanggungjawab seluruh komponen pemerintah dan masyarakat. Karena BNN, BNP dan BNK tidak akan mampu melakukan pekerjaan berat ini tanpa harus melakukan koordinasi dengan piha-pihak yang terkait dan komponen masyarakat baik dari kalangan pendidikan (perguruan tinggi dan sekolah) maupun masyarakat secara umum. <br />Menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga terkait, NGO dan komponen masyarakat dengan cara membentuk-kader-kader yang berani dan mampu membentengi diri dan mengkampanyekan bahaya narkoba di lingkungannya sesuai dengan porsinya masing-masing perlu dilakukan secara terus menerus. Langkah-langkah untuk melakukan pembinaan dengan para mitra BNN, BNP dan BNK selama ini memang sudah dilakukan namun bukan berarti hal tersebut sudah cukup dan tidak perlu ditingkatkan, oleh karena modus operandi transaksi dan peredaran gelap narkoba sudah berkembang demikian canggihnya sehingga perlu diimbangi dengan penguatan jaringan yang sadar bahaya narkoba disetiap elemen baik di lingkungan instansi pemerintah, swasta maupun di lingkungan masyarakat.<br />Selain penguatan jaringan kemitraan, perlu juga dikembangkan penyadaran-penyadaran yang sifatnya personal, artinya untuk memberantas narkoba bisa dilakukan dari diri sendiri, Ini menjadi penting, karena kesadaran personal tersebut, jika diakumulasikan menjadi kesadaran komunitas akan sangat ampuh untuk menjadi benteng dalam melawan bahaya narkoba. <br />Hari anti narkoba internasional yang jatuh pada tanggal 26 Juni 2009 menjadi momentum penting dalam rangka mengkampanyekan dan mengajak seluruh komponen masyarakat Indonesia pada umumnya dan DIY pada khususnya untuk bersama-sama menyatakan diri lawan narkoba dan menanamkan penyadaran pada setiap individu tentang bahaya narkoba. Mari bersama Satukan tekad untuk melawan narkoba. salam Anti Narkoba... <br /><br />Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan dan Aktivis sosialGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-1583412712089799862009-04-17T19:24:00.000-07:002009-04-17T19:27:50.874-07:00Ekspresifme Caleg Gagal<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcjwDfg99FQfzyEfQ1dCPNyuxPbWScRPN4F4yc8J27IO9MymxqQU8F6-rQ2OUGut9a3wlhS_8EpMEJSZdJ-3LUz7XKBwoMGos2kuOLIfyihxzZbPHV9D2tLaRnztIjIL0Z5qtamcVcKPc/s1600-h/died.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 177px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcjwDfg99FQfzyEfQ1dCPNyuxPbWScRPN4F4yc8J27IO9MymxqQU8F6-rQ2OUGut9a3wlhS_8EpMEJSZdJ-3LUz7XKBwoMGos2kuOLIfyihxzZbPHV9D2tLaRnztIjIL0Z5qtamcVcKPc/s200/died.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5325852464665425986" /></a><br />CA-LEG:<br />CALON LEGISLATIF VERSUS CALON DELEG-DELEG<br /><br /><br />Pasca pemilu legislatif menyisakan masalah sosial yang harus diselesaikan, tidak sedikit caleg yang tidak sanggup menerima kenyataan dari sebuah “kompetisi politik” di panggung pemilihan umum 9 april 2009 yang lalu. Sejumlah caleg yang merasa gagal dalam pemilu 2009 melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum seperti pengusiran terhadap warga yang tidak memilihnya, meminta kembali karpet yang telah disumbangkan untuk masjid, meminta kembali semen yang telah disumbangkan untuk pembangunan jalan dan tidak sedikit yang akhirnya harus mengalami gangguan jiwa seperti yang terjadi di jawa barat, ada 7 caleg mengalami gangguan jiwa setelah dinyatakan tidak terpilih. Ungkapan seorang teman yang mengartikan “Caleg” menjadi Calon Deleg-deleg (tidak punya daya upaya), merupakan ungkapan yang tidak terlalu salah jika melihat kondisi sekarang dengan banyak caleg yang gagal, dan melakukan tindakan yang tidak terpuji.<br />Pertanyaan yang muncul atas kondisi di atas adalah, apakah yang menjadi tujuan para caleg dalam pemilu 2009? Dan mengapa banyak caleg yang mengalami gangguan jiwa/psikologis karena tidak terpilih?. pertanyaan tersebut perlu kiranya dijawab sebagai refleksi atas kenyataan yang terjadi pasca pemilu legislatif 2009. Pemilu legislatif diselenggarakan sebagai sarana memilih anggota legislatif yang dapat mengemban tugas sebagai wakil rakyat dalam mengawasi kinerja pemerintah yang diharapkan dapat memegang amanah dengan sebaik-baiknya dan menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggungjawab. Tugas sebagai wakil rakyat hendaknya ditafsirkan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat pemilih, selain itu juga “amanah” harus dipahami sebagai sesuatu yang diberikan oleh pemilih/rakyat bukan diminta. Pada saat ini nampaknya terjadi pergeseran paradigma tentang konsep “amanah”, amanah ditafsirkan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dengan cara apapun untuk mendapatkannya.<br />Perubahan paradigma tersebut, ternyata merubah pula pemahaman tentang konsep kedudukan lembaga Legislatif sebagai lembaga perwakilan. Menjadi anggota legislatif dipahami sebagai jabatan yang terhormat, terpandang dan dapat memberikan keuntungan material yang melimpah sehingga untuk meraihnya-pun harus dengan perjuangan keras, cara-cara yang tidak dibenarkan oleh hukum pun terkadang dilakukan oleh sebagian caleg untuk dapat menduduki posisi sebagai anggota legislatif termasuk melakukan money politics, karena mungkin ada yang berkeyakinan setelah duduk menjadi anggota legislatif, akan mudah mengebalikan modal yang sudah dikeluarkan ketika kampanye. Asumsi awal adanya money politics, tidak berlebihan jika melihat kondisi sekarang, sebagian caleg yang sudah yakin tidak terpilih berani “blak-blakan” (berterus terang) kepada media tentang berapa banyak modal yang dikeluarkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, sampai-sampai menjual harta yang dimiliki termasuk tanah, mobil dan lain sebagainya. Hal ini memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa kenyataan money politic pada pemilu 2009 benar-benar terjadi dan bukan hanya dugaan belaka. <br />Dengan dalih sumbangan pembangunan masjid, perbaikan jalan dan lain sebagainya, bahkan tidak jarang pula dengan memberikan sejumlah uang dan imbalan langsung kepada calon pemilih seperti yang terjadi di karanganyar, dua caleg diperiksa berkaitan dengan bagi-bagi uang kepada masyarakat agar memilihnya (Kedaulatan Rakyat Rabu 15 April 2009), pendek kata, banyak dermawan “dadakan” menjelang pemilu legislatif 2009. Sumbangan-sumbangan yang diberikan diharapkan dapat meraih simpati calon pemilih yang nantinya dapat memilihnya pada pemilu legislatif. Namun ternyata masyarakat sudah mulai berpikir realistis, sumbangan-sumbangan dari sebagian caleg diterima karena hal itu merupakan sebuah pemberian yang halal namun urusan memilih merupakan urusan pribadi di bilik suara yang tak seorangpun mengetahuinya, bahkan tidak sedikit yang akhirnya tidak dapat menyalurkan hak pilihnya karena tidak terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif, hal inilah yang dianggap merugikan caleg yang sudah benyak mengeluarkan modal untuk dapat terpilih sebagai anggota legislatif.<br />Jika dengan menggunakan iming-iming uang dengan dalih apapun atau dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum tetap dilakukan oleh sebagian caleg untuk mendulang suara pada pemilu 9 april yang lalu, dan ternyata caleg yang bersangkutan tidak terpilih maka yang terjadi adalah kekecewaan caleg kepada pemilih yang berbuntut kepada tindakan-tindakan melanggar hukum. Dengan demikian siapa yang menang dalam pemilu 9 april 2009 yang lalu? Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa yang menang adalah rakyat. Sudah banyak dana yang dikeluarkan oleh caleg untuk kampanye bahkan tidak sedikit yang harus menggadaikan tanah dan rumahnya, namun kenyataannya justru berbalik dari harapan, sehingga tidak sedikit caleg yang tidak sanggup menerima kenyataan hasil pemilu 2009 mengalami tekanan batin (stress) yang berlebihan dan akhirnya mengalami gangguan jiwa. <br />Namun demikian tidak sedikit pula caleg yang akhirnya menerima hasil perhitungan suara pemilu legislatif yang lalu dengan lapang dada walaupun tidak terpilih, mungkin caleg tersebut sudah siap dengan resiko sebuah kompetisi pada dunia politik. Yang perlu menjadi perhatian dan refleksi bagi kita adalah bagaimana kita memahami esensi “pergulatan” di dunia politik yang mengadung resiko besar jika kita tidak mampu melakukan menejemen diri dengan baik maka kita akan menjadi “korban” permainan politik. Selain itu kejadian-kejadian pasca pemilu legislatif menyadarkan kepada kita bahwa dalam berpolitik dibutuhkan kehati-hatian, kesiapan mental dan spiritual. Hal ini juga menjadi cermin untuk kita semua, agar menjadikan politik sebagai sesuatu yang terhormat dan dijaga kehormatannya dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang dibenarkan oleh hukum terlebih oleh moralitas. Harapannya ke depan bagi masyarakat yang meniatkan diri sebagai caleg hendaknya memahami politik sebagai sesuatu yang baik dan menempuhnya pun dengan cara-cara yang benar, benar secara hukum dan benar secara moral.<br /><br />Gatot Sugiharto,S.H.,M.H.<br />Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan<br />Dan Peserta Program Doktor Ilmu Hukum UIIGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-60968362726236893752009-04-12T09:08:00.000-07:002009-04-12T09:15:53.095-07:00Problem Pasca Pemilu Legislatif 2009<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1M9RikTgTNqw5ByLQwIQeZ0AOu3zjsK1KYXyk7Mr1itwY79pqSTapb1wdtcHmP1xFIFyF6I8f4vHcre45w3LD1ttAeMyq3OtiLf-NTvl4fe8VvzRqX4vJqXbW_VoKPURTls3EhG50mwQ/s1600-h/Foto013.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1M9RikTgTNqw5ByLQwIQeZ0AOu3zjsK1KYXyk7Mr1itwY79pqSTapb1wdtcHmP1xFIFyF6I8f4vHcre45w3LD1ttAeMyq3OtiLf-NTvl4fe8VvzRqX4vJqXbW_VoKPURTls3EhG50mwQ/s200/Foto013.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5323839319337102514" /></a><br />PROBLEM PASCA PEMILU LEGISLATIF 2009<br />Oleh: Gatot Sugiharto,S.H.M.H.<br />Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan<br />Dan Peserta Program Doktor Ilmu Hukum<br /><br />Pemilu legislatif usai sudah, kini beberapa komponen disibukkan dengan perhitungan perolehan suara sementara yang berhasil dihimpun oleh beberapa lembaga survey. Sebagian partai sudah dapat bernafas lega karena partainya sudah memenuhi Parlementary Treshold atau telah mencapai 2.5 % perolehan suara sah nasional (Pasal 202 UU Nomor 10 Tahun 2008) pada pemilu legislatif. Namun tidak sedikit pula yang harus lebih bersabar karana partainya belum mencapai Parlemetary Treshold perhitungan sementara ini belum final karena baru final setelah ada penetapan KPU.<br />Secara sederhana pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April 2009 dapat dikatakan berjalan lancer, namun demikian persoalan-persoalan hukum yang dimungkinkan akan muncul adalah gugatan-gugatan dari partai politik tertentu yang tidak puas dengan hasil pemilu ataupun dari proses sebelum pemilihan umum yang berkaitan dengan banyaknya warga masyarakat yang tidak terdaftar sebagai daftar pemilih tetap pada pemilu 2009.<br />Sudah diduga sebelumnya bahwa persoalan yang akan muncul menyertai pemilihan umum 2009 adalah persoalan banyaknya warga masyarakat yang tidak masuk sebagai daftar pemilih tetap (DPT). Kekhawatiran tersebut ternyata beralasan, pasalnya dalam pelaksanaan pemilu legislatif 9 april lalu terdapat banyak warga yang tidak bias menyalurkan hak suaranya karena belum terdaftar. Pengakuan dari seorang warga di TPS Tertentu terdapat 27 warga yang tidak terdaftar dari 210 warga yang sudah berhak memilih. Dengan demikian berarti terdapat 10 % warga di TPS tersebut yang kehilangan suaranya pada pemilu legislatif yang lalu. Jika kita asumsikan pada setiap TPS terdapat 5 % saja warga yang tidak menyalurkan suaranya dikalikan jumlah TPS seluruh Indonesia maka dapat disimpulkan banyak sekali suara yang hilang haknya pada pemilu legislatif 2009.<br />Ketidakikutan warga masyarakat dalam memilih pada pemilu legislatif 2009 bukan berarti warga tidak ingin memilih atau golput namun demikian mereka tidak masuk dalam daftar pemilih tetap, hal ini sangat kontraproduktif dengan himbauan untuk tidak golput bagi warga masyarakat, akan tetapi syarat administrative yang memaksa masyarakat untuk golput hal ini dibuktikan dengan beberapa TPS menolak warga yang tidak terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap untuk menyalurkan hak suaranya.<br />Tidak berlebihan jika terdapat komponen masyarakat yang mengajukan gugatan kepada KPU yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemilu 2009 karena dirinya atau warga masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Beberapa partai politik bersiapsiap mengajukan gugatan terhadap masalah DPT tersebut yang beralasan bahwa menurunnya perolehan suara partainya disebabkan oleh tidak terdaftarnya simpatisan partai sebagai pemilih tetap.<br />Gugatan yang diajukan parpol maupun warga masyarakat sah-sah saja dilakukan selama hal tersebut merupakan pendidikan politik menuju system pemerintahan yang demokratis, bukan justru akan merusak proses demokratisasi. Masalah-masalah yang muncul pasca pemilu legislatif 2009 perlu disikapi dengan arif oleh berbagai kalangan, mungkin bukan hanya persoalan DPT yang muncul pasca pemilu 2009. Namun permasalahan kecurangan, dan usaha merubah data hasil pemilu sebagaimana yang terjadi di Sumatera Selatan juga perlu di waspadai, mungkin kejadian-kejadian diatas hanya sebagian kecil dari permasalahan yang muncul, dimungkinkan akan ditemukan permasalahanpermasalahan yang lebih besar lagi. <br />Dengan berbagai kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pemilu legislatif 9 april yang lalu hendaknya kita jadikan refleksi dan instropeksi bersama, masyarakat masih berharap pada pemilihan presiden mendatang aka nada perbaikan system penyelenggaraan pemilu. Dengan melihat pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum legislatif 2009, persoalan DPT hendaknya tidak lagi terjadi jika sebelum pemilu KPU sudah mengantsipasinya dengan melakukan pendataan ulang warga di setiap TPS yang tidak terdaftar di DPT, selain itu antisipasi terhadap permasalahan kecurangan dan pelanggaran-pelangaran lainnya yang pernah terjadi pada pemilu legislatif yang lalu, dengan demikian pada pemilu presiden mendatang dapat diminimalisir permasalahan yang muncul pasca pemilu.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-415656395894016532009-04-12T09:02:00.000-07:002009-04-12T09:08:38.989-07:00Kegersangan Isu Narkoba: refleksi pasca kampanye calon legislatif<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2DAdBhZb0hPu8fkdNpjBnru_LfNqr2XLPMWnVyYfJTy-ZpjJq1pJ0MWx0kP87048lSMbP38JFenUwhU6BOkQx3yB_cmE58449huzTblx0kN9ekvANzDiDz3vlynFrRbTxX0WLrJwqIBc/s1600-h/gaul+tanpa+narkoba.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 138px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2DAdBhZb0hPu8fkdNpjBnru_LfNqr2XLPMWnVyYfJTy-ZpjJq1pJ0MWx0kP87048lSMbP38JFenUwhU6BOkQx3yB_cmE58449huzTblx0kN9ekvANzDiDz3vlynFrRbTxX0WLrJwqIBc/s200/gaul+tanpa+narkoba.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5323837459727325954" /></a><br />KEGERSANGAN ISU NARKOBA<br />Refleksi Paska Kampanye Calon Legislatif PEMILU 2009<br /><br />Gatot Sugiharto<br />Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogykarta dan aktivis sosial.<br /><br /><br />Kampanye usai sudah, masih teringat ungkapan para calon legislatif semasa kampanye untuk meraih kursi empuk di DPR baik tingkat kabupaten/kota maupun tingkat Nasional (DPR RI). Visi dan misi para Calon legislatif yang beragam disampaikan dengan berbagai bentuk rencana program, mulai dari program pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, sembako murah, pendidikan gratis, dan masih banyak lagi program lainnya. Upaya meraih simpati masyarakat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dengan metode dialogis sampai kampanye dengan pengerahan masa yang terkadang justru kontraproduktif dengan tujuan kampanye. tujuan kampanye yang diharapkan dapat meraih simpati masyarakat dengan berbagai program programnya namun dengan adanya kampanye yang terkadang mengganggu ketertiban justru menimbulkan ketidak simpatikan warga masyarakat terhadap adanya kampanye. <br /> Yang menjadi menarik disini bahwa dari sekian banyak caleg yang tampil dalam kampanye pemilu legislatif 2009 belum ada yang menyentuh persoalan bagaimana memberantas kejahatan-kejahatan narkoba yang demikian luar biasa pengaruh buruknya bagi keberlangsungan dan keselamatan generasi muda penerus bangsa dikemudian hari. Upaya menyelamatkan generasi bangsa menjadi penting karena masa depan bangsa dan Negara berada ditangan para pemuda-dan pemudi yang kuat dan berkualitas yang mampu melakukan perubahan dan perbaikan sehingga mampu bersaing dengan dunia luar.<br /> Penyalahgunaan narkoba terus berkembang dimasyarakat, Setiap hari media masa baik elektronik maupun cetak terdapat kasus-kasus peredaran narkoba baik yang dilakukan oleh kalangan pejabat, artis sampai dengan masyarakat menengah kebawah bahkan narkoba sudah merambah sampai kepada anak-anak kecil dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Undang-undang menggariskan bahwa narkotika, psikotropika dan obat berbahaya lainnya diatur penggunaannya oleh pemerintah dan hanya dibolehkan untuk dua kepentingan yakni untuk pengobatan dan ilmu pengetahuan, berarti penggunaan narkoba diluar dua kepentingan tersebut merupakan larangan atau penyalahgunaan. Mengapa peredaran narkoba perlu diatur ? Kita tahu bahwa penyalahgunaan narkoba bisa berdampak buruk bagi pelaku maupun bagi masyarakat, lebih luas lagi bagi bangsa dan Negara. Narkoba dapat memicu kejahatan-kejahatan yang lain seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan kejahatan lainnya karena narkoba menyerang susunan syaraf manusia yang memungkinkan terjadi perubahan karakter, perubahan spikologis manusia sehingga menjadi lebih berani melakukan perbuatan-perbuatan amoral karena tidak mampu berfikir secara sehat dan rasional. <br />Melihat dampak buruk penyalahgunaan narkoba tersebut perlu kiranya masyarakat peduli dengan kondisi ini, terlebih para calon pemimpin bangsa yang memiliki kewenangan ikut mengarahkan dan menyelenggarakan pemerintahan. Jika para caleg yang nanti terpilih sebagai anggota legislatif sudah tidak ada yang peduli terhadap maraknya penyalahgunaan narkoba dikawatirkan penyalahgunaan narkoba akan semakin bertambah luas dan mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat yang akhirnya berdampak pada terganggunya stabilitas nasional, yang lebih celaka lagi adalah rusaknya moralitas bangsa yang mengancam keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang disebabkan rusaknya generasi muda penerus bangsa yang berkualitas. Meskipun telah ada instrumen hukum yang mengatur penyalahgunaan narkoba yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, serta Undang-undang kesehatan dan lain sebagainya namun secara factual dapat kita lihat bersama penyalahgunaan narkoba terus merajalela bahkan dapat pula dikatakan semakin meningkat dari tahun-ketahun.<br />Minimnya isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba pada kampanye calon anggota legislatif (caleg) merupakan indicator minimnya kepedulian para calon legislatif (caleg) terhadap masalah masa depan generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu meneruskan perjuangan para pendiri Negara ini menjadi Negara yang kuat aman damai dan sejahtera yang menjadi tujuan utama didirikanya Negara ini. Indicator ini memang sangat sederhana jika dijadikan tolak ukur tidak adanya political will para calon legislatif (caleg) untuk melakukan pemberantasan penyalahgunaan narkoba sebagai bentuk kepedulian para calon legislatif terhadap masa depan generasi penerus bangsa, namun setidaknya dapat pula dikatakan bahwa sedikit sekali calon legislatif yang berani mengatkan berantas narkoba. karena mungkin disadari sepenuhnya bagi para calon legislatif isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba merupakan isu yang tidak dapat dijual dan menguntungkan secara politis dalam kampanye yang dilakukan. Sehingga para calon legislatif lebih suka mengusung isu-isu yang lebih menyentuh secara langsung kebutuhan masyarakat seperti menciptakan lapangan kerja, sembako murah dan lain sebagainya walaupun sebenarnya isu itu pun tidak jelas secara konseptual.<br />Strategi kampanye yang cenderung hanya merupakan konsep-konsep yang juga tidak terlalu jelas bagaimana implementasinya masih dipandang sangat efektif untuk meraih suara pada pemilu mendatang dengan bentuk kontrak politik menciptakan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, pendidikan gratis dan sebagainya. Namun perlu juga disadarai bahwa tidak sedikit pula masyarakat yang sudah mulai tidak peduli dengan program-program yang disampaikan para calon legislatif bahkan ada kecenderungan antipati terhadap kampanye itu sendiri yang menurutnya dianggap sebagai “obral janji tanpa bukti” berbagai slogan disampaikan dalam kampanye untuk maraih simpati masyarakat agar berhasil menduduki kursi di lembaga perwakilan sebagai wakil rakyat namun setelah menjadi anggota legislatif lupa dengan janjinya yang pernah diucapkannya semasa kampanye. Para calon legislatif dalam menyampaikan program-programnya dalam kampanye banyak yang tidak terbebani secara moral dengan kemungkinan keberhasilan implementasi programnya, Terlebih tidak ada sanksi yang jelas terhadap calon legislatif yang tidak memenuhi janjinya dalam kampanye kecuali hanya sanksi sosial yang sebagian masyarakat sudah menganggap itu sanksi yang tidak mampu menghukum dan menakuti secara tegas.<br />Telah disampaikan sebelumnya bahwa isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba menjadi relevan jika diangkat sebagai program kampanye para legislatif. Terlebih jika ada gerakan nyata para calon legislatif sebagi bentuk kepedulian terhadap masa depan generasi muda penerus bangsa. pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang disampaikan dalam kampanye, bisa jadi hanya slogan namun demikian, ketika ada calon legislatif yang mau mengusung isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba penulis berfikir bahwa masih ada yang peduli terhadap kelangsungan generasi bangsa yang berkualitas yang mampu meneruskan tampuk kepemimpinan dan keteladanan bangsa sebagai upaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat dan bermanfaat.<br />Walaupun kampanye telah selesai dilakukan dan isu pemberantasan narkoba tidak dijadikan isu penting yang menjadi program para calon legislatif, namun masyarakat tetap berharap kepada para calon legislatif yang nanti berhasil menjadi wakil rakyat, untuk ikut peduli terhadap masa depan generasi penerus bangsa bukan justru ikut merusak generasi bangsa dengan ikut melakukan perbuatan penyalahgunaan narkoba, harapan masyarakat terhadap para calon pemimpin bangsa ini adalah terciptanya keamanan dan ketertiban bangsa agar dapat mewujudkan kesejahteraan. Kesejahteraan sebagai tujuan utama diselenggarakannya pemerintahan Menjadi sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika jalan menuju kepada kesejahteraan yaitu keamanan dan ketertiban tidak terwujud. Masyarakat akan merasa sejahtera jika dalam setiap aktifitasnya mendapat jaminan keamanan dan ketertiban dari pemerintah.<br />Perasaan aman tertib dan damai tidak mungkin diperoleh jika kejahatan terjadi dimana-mana dan tidak ada penyelesaian secara hukum dengan baik. Telah disampaikan di awal bahwa kejahatan yang terjadi sebagian besar dipicu oleh penyalahgunaan narkoba walaupun dapat dikatakan hal ini bukanlah satu-satunya pemicu kejahatan. Namun narkoba memiliki andil besar dalam terjadinya kejahatan seperti perampokan, pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika narkoba merupakan akar masalah dari permasalahan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, maka perlu ada pemikiran serius bagaimana strategi penyelesaiannya. Jika narkoba dianggap sebagai akar masalah mampu diselesaikan dengan baik, maka keamanan dan ketertiban pun akan terwujud dengan sendirinya, ibarat sebuah alur proses, bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dibutuhkan jaminan rasa aman dan tertib dari Negara, jika Negara aman dan tertib investor akan masuk dengan sendirinya yang membuka peluang bertambahnya lapangan pekerjaan dan dapat mengurangi pengangguran, jika Negara aman masyarakat dapat melakukan aktifitasnya dan berkarya tanpa mendapat gangguan dari siapapun Sehingga taraf hidup masarakat menjadi semakin baik sehingga akan terwujud kesejahteraan.<br />Hal ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua. Benarkah narkoba tidak memiliki pengaruh atau tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kesejahteraan? Ataukan masalah narkoba tidak perlu dibesar-besarkan ?. sebagai calon wakil rakyat tentunya orang yang sudah merasa mampu dan mau untuk melihat realita dan mampu melakukan analisis terhadap masalah sosial kemasyarakatan sehingga diharapkan bisa melihat permasalahan penyalahgunaan narkoba secara utuh dan komprehensif. Dan diharapkan setelah terpilih mampu memberikan kontribusi positif terhadap upaya pemberantasan penyalagunaan narkoba dimasyarakat, bagaimana melakukan kebijakan penal dan non penal terhadap penyalahgunaan narkoba yang sudah meraja lela. <br />Para calon legislatif perlu juga mengkaji bagaimana efektifitas penegakan hukum narkoba yang telah dilakukan selama ini sebagai dasar membuat satu kebijakan pemberantasan penyalahgunaan narkoba di dalam masyarakat. Dapat dipahami Sebagai legislator tentu memiliki kewenangan melakukan revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang dianggap tidak efektif ataukah membuat undang-undang yang efektif untuk menyelesaikan kejahatan penyalahgunaan narkoba. Namun jika undang-undang telah dianggap mampu dijadikan dasar pemberantasan penyalahgunaan narkoba maka sebagai anggota legislatif perlu melakukan control dalam upaya penegakan hukumnya karena diindikasikan bahwa proses penegakan hukum terhadap narkoba tidak sedikit oknum aparat penegak hukum yang ikut bermain di dalamnya. Sehingga keberanian dan kemauan para legislator sebagai wakil rakyat untuk melakukan control terhadap proses penegakan hukumnya diperlukan dalam upaya menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika peran legislatif dilakukan dan dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya maka masyarakat tidak akan kecewa dan antipati lagi terhadap setiap program anggota legislatif.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-39532938965546075172009-03-30T05:40:00.000-07:002009-03-31T21:33:46.020-07:00Lulu<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxtgHT6pBMslPYBLw5gfEsvTBVO7LfRswzawBSqMIDgJTnVZqhZdfXjzevTDaeAhdocp6UbOj6Z3pSW02eqmFgblNDbYA_6m-OesSpQUTf0PiRnoao7OnyXzmMlU_mdoPKMBVhIUiltA0/s1600-h/Nikon+D70+086.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 140px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxtgHT6pBMslPYBLw5gfEsvTBVO7LfRswzawBSqMIDgJTnVZqhZdfXjzevTDaeAhdocp6UbOj6Z3pSW02eqmFgblNDbYA_6m-OesSpQUTf0PiRnoao7OnyXzmMlU_mdoPKMBVhIUiltA0/s200/Nikon+D70+086.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5318963249691747186" /></a><br />Dilahirkan di Ciamis 6 tahun yang lalu. <br />Aktifitasnya: Sekolah, Modeling, les Acting dan Presenter<br />Imas nama Ibunya kerja sebagai Guru sebuah SMA di Yogya<br />Ayahnya: saya doooonk. Gatot...<br />Cita-citanya: Ingin jadi Dosen katanya hihihihi<br />centil amat sihGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-78152760660184217092009-03-03T08:54:00.000-08:002009-03-30T05:22:57.294-07:00HUKUM ACARA PIDANA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiHE_qf3nJnY615j4jB2-NWIALmveqMQxZ1Fg9z-YdOi1D-eHV1J8Wz6uHgarMX2DAxs8Y-wTdN50MjettxN-9aTVyXPysNwG542DRfWLggotdooqFDnuv6VO5qBXVTmjXnEZzpoQKchQ/s1600-h/249.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 213px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiHE_qf3nJnY615j4jB2-NWIALmveqMQxZ1Fg9z-YdOi1D-eHV1J8Wz6uHgarMX2DAxs8Y-wTdN50MjettxN-9aTVyXPysNwG542DRfWLggotdooqFDnuv6VO5qBXVTmjXnEZzpoQKchQ/s320/249.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5318954957131087634" /></a><br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />A. Pengertian Hukum Acara Pidana<br />Undang-undang tidak memberikan pengertian resmi mengenai hukum acara pidana, yang ada adalah berbagi pengertian mengenai bagian-bgian tertentu dari hukum acara pidana, misalnya penyelidikan, Penyidikan, penangkapan dan lain sebagainya.<br /><br />untuk mengetahui pengertian Hukum acara pidana dapat ditemukan dalam berbagai literatur yang dikemukakan oleh para pakar seperti Prof. MULYATNO menyebutkan bahwa HAP (Hukum Acara Pidana) adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan perbuatan pidana.<br /><br />dari pengertian diatas tidak jauh berbeda dengan pengertian-pengertian yang disampaikan oleh pakar-pakar yang lainnya yang intinya bahwa Hukum Acara Pidana itu adalah Keseluruhan aturan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian perkara pidana meliputi proses pelaporan dan pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang pengadilan, putusan dan pelaksanaan putusan pidana<br /><br />Proses dalam Sistem Peradilan Pidana merupakan wilayah HUKUM ACARA PIDANA<br /><br />B. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana<br />Fungsi Hukum acara Pidana dapat di bagi dua yaitu:<br />Fungsi Represif, yaitu Fungsi Hukum acara pidana adalah melaksanakan dan menegakkan hukum pidana. artinya jika ada perbuatan yang tergolong sebagai perbuatan pidana maka perbuatan tersebut harus diproses agar ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam hukum pidana dapat diterapkan.<br /><br />Fungsi Preventif: yaitu fungsi mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan. fungsi ini dapat dilihat ketika sistem peradilan pidan dapat berjalan dengan baik dan ada kepastian hukumnya, maka orang kan berhitung atu berpikir kalau kan melakukan tindak pidana.<br /><br />dengan demikian maka dapat ditunjukkan bahwa antara hukum acara pidana dan hukum pidana adalah pasangan yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang sangat erat, diibaratkan sebagai Dua sisi mata uang<br /><br />Adapun yang menjadi tujuan hukum acara pidana dalam pedoman pelaksanaan KUHAP menjelaskan sebagai berikut:<br />“ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.<br /><br />jika memperhatikan rumusan diatas mak tujuan hukum pidana dapat dikatakan bhwa tujuan hukum acara pidana meliputi tiga hal yaitu:<br />1. mencari dan mendapatkan kebenaran<br />2. melakukan penuntutan<br />3. melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan<br />namun dari ketiga hal tersebut dapat pula ditambahkan yangkeempat yaitu melaksanakan (Eksekusi) putusan hakim<br /><br />menurut hukum acara pidana yang bertugas mencari dan menemukan kebenaran adalah pihak kepolisian dalam hal ini adalah penyelidik dan penyidik. kebenaran yang dimaksudkan adalah keseluruhan fakta-fakta yang terjadi yang ada hubungannya dengan perbuatan pidana yang terjadi.<br /><br />adapun tujuan melakukan penuntutan adalah menjadi tugas dari kejaksaan yang dilakukan oleh JPU. penuntutan harus dilakukan secermat mungkin sehinggapenuntutan itu merupakan penuntutan yang tepat dan benar. sebab kesalahan penuntutan akan berakibat fatal yaitu gagalnya penuntutan yang berakibat pelaku bebas.<br /><br />mengenai tujuan ketiga yakni melakukan pemeriksaan dan membuat dan menemukan putusan menjadi tugas hakim dipengadilan. pemeriksaan harus jujur dan tidak memihak dan putusannya pun harus putusan yang adil bagi semua pihak.<br /><br />tujuan teakhir dari HAP adalah melaksanakan eksekusi putusan hakim, yang secara administratif dilakukan oleh jaksa akan tetapi secara operasionalnya dilakukan dan menjadi tugas lembaga pemasyarakatan kalau putusan itu putusan pidana penjara, namun jika putusanya pidana mati maka langsung dilakukan oleh regu tembak yang khusus disiapkan untuk itu.<br /><br />C. Ilmu-ilmu bantu Hukum Acara Pidana<br />untuk mencapi tujuan hukum acara pidan tidak mudah dilakukan tanpa ada ilmu-ilmu yang membenatu dalm menemukan kebenaran. ilmu-ilmu ini akan sangat berguna bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara ,hakim maupun petugas lembaga pemasyarakatan) oleh karena itu bagi aparat penegak hukum wajib membekali diri dengan pengetahun dari berbagai ilmu bantu.<br /><br />ilmu-ilmu bantu yang dimaksud adalah:<br />1. Logika.<br />ilmu bantu logika sangatdibutuhkan dalam proses penyidian dan proses pembuktian disidang pengadilan. kedua proses ini memerlukan cara-cara berpikir yang logis sehingga kesimpulan yang dihasilkan pun dapat dikatakan logis dan rasional.<br /><br />2. Psikologi<br />sesuai dengn materi pokok ilmu ini, mak ilmu ini dapat berguna didalam menyentuh persoaln-pesoalan kejiwaan tersangka. hal ini sangat membantu penyidik dalam proses interograsi. dan hakim dapat memilih bagaimana dia harus mengajukan pertanyaan sesuai dengan kondisi kejiwaan terdakwa.<br /><br />3. Kriminalistik<br />Peranan ilmu bantu kriminalistik ini sangat berguna bagi proses pembuktian terutama dalam melakukan penilaian fkta-fkta yang terungkap didalam sidang, dan dengan ilmu ini maka dapat dikonstruksikan dengan sistematika yang baik sehingga proses pembuktian akan lebih dapat dipertanggungjawabkan. ilmu ini yang banyak dipakai adalah ilmu tentang sidik jari, jejak kaki, toxikologi (ilmu racun) dan sebagainya.<br /><br />4. Kedikteran Kehakiman dan Psikiatri<br />kedokteran kehakiman dan psikiatri sngat membantu penyidik,JPU dan hakim didalam menangani kejahatan yang berkaitan dengan nyawa atau bdan seseorang atau keselamatan jiwa orang.dalam hal ini hakim memerlukan keterangan dari kedokteran dan psikitri. dan ketika da yang menjelaskan tentang istilah istilah medis hakim jaksa dn pengacara tidak terlalu buta.<br /><br />5. Kriminologi<br />Ilmu ini mempelajari seluk beluk tentang kejahatan baik sebab sebab dan latar belqkang kejahatanya maupun mengenai bentuk-bentuk kejahatan. ilmu akan membentu terutm pda hakim dalam menjatuhkan putusan tidak membabi but, harus melihat latar belakang dan sebab sebab yang menjadikan pelaku melakukan tindak pidana.<br /><br />6. Penologi<br />ilmu ini sangat membantu hakim dalam menentukan alternatif penjatuhan hukuman termnasuk juga bagi petugs pemsyarktan jenis pembinaan apa yng tepat bgi nara pidana.<br /><br /><br /><br />D. Istilah-Istilah umum dalam KUHAP<br />istilah-istilah umum dalam hukum acara pidana da disebutkan secara rinci dalam pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 1981 atau KUHAP. <br /><br />E. Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana<br />Asas-asas yang berlaku dalam Hukum cara Pidana ada yang bersifat umum dan bersifat Khusus. yang bersifat umum berlaku pada seluruh kegiatan peradilan sedangkan yang bersifat khusus berlaku hanya didalam persidangan saja. <br />1. Asas-asas umum<br />a. Asas Kebenaran Materiil<br />bahwa pada pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan kepada penemuan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang sungguh sungguh sesuai dengan kenyataan.<br />prinsip ini terlihat dalam proses persidangan, bahwa walaupun pelku sudah mengakui kesalahannya namun belum cukup dijadikan alasan untuk menjatuhkan alasan. beda dengan di amerika.<br /><br />b. Asas Peradilan Cepat, sederhana dan biaya murah.<br />peradilan cepat artinya. dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselenggarakann sesederhana mungkin dan dalam waktu yang sesingkat-singktnya.<br />Sederhana mengandung arti bahwa agar dalam penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan cara simple singkat dan tidak berbelit-belit.<br />Biaya murah berarti, penyelenggaraan peradilan ditekan sedemikian rupaagar terjangkau bagi pencari keadilan<br />hal ini ada didalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman pada pasal 4 ayat (2).<br /><br />c. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion of inocene)<br />Asas praduga tak bersalah ini menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. pada semua tingkatan berlaku hal yang sama, implementasinya dapat ditunjukan ketika tersangka dihdirkan disidang pengadilan dilakukan dengan tidak diborgol<br /><br />prinsip ini dipatuhi karena telah tertunag dalam UU No. 4 tahun 2004 pasal 8 yang mengatkan “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dituntut dn dihadapkan didepan pengadilan wjib dianggap tidak bersalah sebelum ad putusan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.<br /><br />Asas lain yang sungguh berbeda dengan asas ini adalah sas praduga bersalah (Presmtion of Qualty) asas ini menjelaskan sebaliknya.<br /><br />d. Asas Inquisitoir dan Accusatoir<br />asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti Bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya.<br /><br />asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek. asas ini memperlihatkan pemerinsaan dilakukan secara terbuka untuk umum. dimana setiap orang dapat menghadirinya.<br /><br />diIndonesia memakai asas Inquisatoir yang diperlunak atau dapat pula dikatakan Campuran. karena terdakwa masih menjadi obyek pemeriksaan namun dapt dilakukan secr terbuka dan terdakwa dapat berargumen untuk membela diri sepanjang tidak melanggar undang-undang, dan prinsip ini ada pada asas accusatoir.<br /> <br />e. Asas Legalitas dan sas oportunitas<br />asas legalitas adalah asas yang menghendaki bahw penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dn bgimana keadaan pelakunya.<br /><br />asas oportunitas adalh memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan lasan kepentingan umum. inilah yang dianut Indonesia contohnya seseorang yang memiliki keahlian khusus, dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut.<br /><br />2. Asas-asas Khusus<br />asas khusus ini hanya berlaku didalam persidangan saja. asas-asas yang dimaksud adalah:<br />a. Asas sidang terbuka untuk umum<br />maksud dari asas ini adlh bahwa dalam setiap persidangan harus dilakukan dengan terbuka untuk umum artinya siapa saja bisa menyaksikan, namun dalam hal ini ada pengecualianyya yaitu dalam hal kasus-kasus kesusilaan dan kasus yang terdakwanya adalah ank dibawah umur. dalam hl ini dapat dilihat dalam pasal 153 (3 dan 4) KUHAP yang mengatakan “ untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dn menytakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan tau terdakwanya nk-anak”.<br /><br />“tidak dipenuhinya ketentuan ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan putusan batal demi hukum”.<br /><br />b. Peradilan dilakukan oleh hakim oleh karena jabatannya.<br /> asas ini menghendaki bahwa tidak ada sutu jabatan yang berhak untuk melakukan peradilanatau pemeriksaan hingga mengambil putusan kecuali hanya diberikan pada hakim.<br /><br />c. Asas Pemeriksaan langsung<br />Prinsip ini menghendaki agar pemeriksaan yang dilakukan itu harus menghadapkan terdakw didepan sidang pengadilan, termasuk pula menghdapkan seluruh saksi-saksi yang ditunjuk. langsung artinya hakim dan terdakwa ataupun para saksi berada dalam sidang yang tidak dibatasi oleh suatu tabir apapun..<br /><br />namun dengan perkembangan tegnologi hal ini mungkin saja disimpangi krena sekarang sudah ada telekompren.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />PEMERIKSAAN PENDAHULUAN<br /><br />Hukum acara pidana mengenal beberapa tahapan dalam menyelesaiakan perkara pidana, sekalipun secara tegas tidak ditentukan didalam KUHAP, namun berdasarkan rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHAP maka beberapa ahli hukum acara pidana yang ditemukan dalam berbagai literatur membagi tahapan itu menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu: <br />1. Tahapan pemeriksaan Pendahuluan, <br />2. Tahapan Penuntutan dan <br />3. Tahapan pemeriksaan disidang pengadilan.<br /><br />Menurut S Tanusubroto yang dimaksud dengan Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan sebelum dilakukan di muka persidangan pengadilan. Seperti halnya dengan yang disampaikan oleh Soedjono D. yaitu Pemeriksaan yang dilakukan apabila ada persangkaan, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan sebelum pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan.<br /><br />A. Tentang Penyelidikan. <br />Definisi dari Penyelidikan adalah ada didalam ketentuan umum Pasal 1 butir 5 yang menjelaskan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiw yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini (KUHAP).<br /><br />pertanyaannya sekarang adalah siapa yang berwenang melakukan penyelidikan itu ? jika memperhatikan pasal 4 KUHAP yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah “setiap Pejabat polisi negara Republik Indonesia”. dalam pasal ini ditegaskan hanya polisilah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan pejabt diluar kepolisian tidak diperkenankan oleh undang-undang begitu pula jaksa.<br /><br />dalam pasal 5 KUHAP diatur kewenangan penyelidik meliputi:<br />1. Kewenangan berdasarkan Kewajiban (Hukum)<br /><br />a. Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentng adanya tindak pidana;<br />b. mencari keterangan dan barang bukti;<br />c. menyryh berhenti seseorang yang dicurigai dn menanyakan serta memeriksa tnda pengenal diri;<br />d. mengadakn tindkan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.<br /><br />A.d.a. Kewenangan menerima laporan dan pengaduan<br />informasi awal adnya tindak pidana biasanya berasal dari msyarakat, sehingga dengan dasarinilah penyelidik mengambil tindakan berikutnya sesuai kewenangannya. jika ada laporan atau pengaduan mka penyelidik wajib untuk menerimanya.<br /><br />beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyampaikan laporan dan pengduan yang harus dipenuhi yaitu:<br /> jika laporan pengaduan dilakukan secara tertulis maka harus ditndatangni oleh pelapor dan pengadu;<br /> jika laporan dan pengaduan diajukan secara lisan harus dictat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor/pengadu dan penyelidik;<br /> jika pengadu dan pelapor tidak dapat menulis, hal itu harus dicatat dalam laporan atau pengaduan (pasal 103)<br /><br />yang membedakan antara laporan dan pengaduan adalah:<br />Laporan dapat disampaikan oleh setiap orang dan merupakan kewajibannya, sementara pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang tertentu saja buka kewajibanny tapi merupakan hak.<br /><br />dari segi obyeknya, laporan obyeknya adalah setiap delik/tindak pidana yang terjadi tidak ada pengecualiannya, jadi hal ini berkenaan dengan delik biasa. sementara pengaduan, obyeknya terbatas pada delik-delik aduan saja.<br /><br />Dari segi isinya, laporan berisi tentang pemberitahuan tanpa disertai permohonan, sedangkan pengaduan isinya pemberitahuan disertai dengan permohonan untuk segera melakukan tindakan hukum.<br /><br />Dari segi Pencabutan, Laporan tidak dapat dicabut kembali sementara pengaduan dapat dicabut kembali.<br /><br />A.d.b.Wewenang Mencari Keterangan dan barang bukti<br />mencari keterangan dan barang bukti ini adalah dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan berupa fakta sebagai landasan hukum guna memulai proses penyidikan.<br /><br />dalam mencari dan memperoleh barang bukti hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang profesional dan berdasarkan ilmu penyelidikan dan tidak terkesan yang penting untuk mengejar target penyelidikan saja.<br /><br />yang dimaksud barang bukti adalah barang yang digunakan untuk melakukan atau yang berkaitan dengan tindak pidana.<br /> <br />sedangkan alat bukti disebutkan dalam pasal 184 KUHAP yaitu:<br /> Keterangan saksi<br /> Keterangan ahli<br /> Surat<br /> petunjuk<br /> keterangan terdakwa<br /><br />A.d.c. Kewenangan menyuruh berhenti<br />kewenangan ini penting dimiliki oleh penyelidik , karena berkaitan dengan adanya orang yang dicurigai yang mengharuskan penyelidik mengambil tindakan memberhentikan guna melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan. <br /><br />namun dalam hal orang yang dicurigai tidak mengindahkan peringatan penyelidik maka penyelidik pun tidak dapat melakukan upaya paksa yang dibenarkan undang-undang. karena kalau akan melakukan penangkapan harus ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi misalnya adanya surat perintah penangkapan.<br /><br />A.d.d. Kewenangan penyelidik mengenai melakukan tindakan lain.<br />Kewenangan ini dalah kewenangan yang kabur dan tidak jelas dalam pasal 5 ayat 1 huruf a angka 4 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik guna kepentingan penyelidikan dengan syarat:<br /> tidak bertentangan dengan aturan hukum<br /> selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukanny tindakan jabatan<br /> tindkan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya<br /> atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa<br /> menghormati hak asasi manusia.<br /><br />meskipun telah dijelaskan dalam penjelasan tersebut namun belum memberikan penjelasan yang memuaskan, dan par ahli hukum pun msih berbeda-beda untuk memberikan contoh konkritnya.<br /><br />2. Kewenangan berdasarkan Perintah Penyidik.<br />Kewajiban dan wewenang penyelidik ini muncul manakala ada perintah dari penyidik.<br /><br />tindakan-tindakan yang dimaksud berupa:<br /> penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.<br /> pemeriksaan dan penyitaan surat<br /> mengambil sidik jari dan memotret seseorang<br /> membawa dan menghadapkan seseorang pada penyelidik.<br /><br />B. Tentang Penyidikan<br />Kata Penyidikan hampir mirip dengan penyelidikan namun sesungguhnya itu sangat berbeda.<br />penyidikan diatur dalam pasal 102-136 bagian kedua BAB XIV KUHAP, penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam pasal 6-13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP.<br /><br />perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. penyelidikan pejabat yang melaksanakanya adalah yang terdiri dari pejabat POLRI saja, sedangkan Penyidikan, pejabat yang terdiri POLRI dan Pejabat Pegawai Negeri sipil (PPNS) tertentu.<br /><br />perbedaan lainnya dari segi penekanannya, Penyelidikan penekanannya pada “mencari dan menemukan sesuatu peristiwa” yang diduga sebgai tindakan pidana. sedangkan Penyidikan penekanannya pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang,<br /><br />dari segi pangkat pejabat polri, penyelidikan adalah mereka yang memiliki pangkat Pembantu Letnan dua, sedangkan untuk Penyidik adalah pembantu letnan satu keatas.<br /><br />adapun kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan dapat ditemukan dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:<br />1. menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang danya tindak pidana<br />2. melakukan tindakan pertama pada saat ditempatkejadian TKP<br />3. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tnda pengenal diri tersangka;<br />4. melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;<br />5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat<br />6. mengmbil sidik jari dan memotretseseorang;<br />7. mendatangkan orang ahli diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksan perkara;<br />8. mengadakan penghentian penyidikan<br />9. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.<br /><br />kewenangan penyidik ini terlihat lebih luas dari kewenangan penyelidik<br /><br />yang perlu dijelaskan disini adalah mengenai Penghentian penyidikan, dan dalam hal apakah seorang penyidik mengentikan penyidikannya ? pertanyaan ini dapat dijawab dengn pasal 109 ayat (2) KUHAP, berdasarkan psal ini dapat dikemukakan bahwa penyidik harus menghentikan penyidikan jika:<br />a. apabila ternyata tidak cukup bukti untuk melnjutkan pekerjannya kepengdilan untuk diadili;<br />b. apabila tindakan yang dialkukan oleh seorang tersangka itu ternyata bukan merupakan suatu tindk pidana dan;<br />c. apabila penyidikan tersebut memang perludihentikan demi hukum.<br /><br />dengan adanya penghentian penyidikan ini mengandung konsekuensi yuridis, sebab orang yang yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut kemudian diberi hak oleh undng-undang untuk dapat:<br />a. mengajukan permintaankepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah dan tidaknya penghentian penyidikan yang telah dilakukan penyidik terhadap dirinya.<br />b. mengjukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri untuk mendapatkan gnti rugi dan atau rehabilitasi sebagai akibat dri sahnya penghentian penyidikan yang telah diajukan kepada ketua pengadilan negeri tersebut (pasal 81 KUHAP)<br /><br /><br />C. Tentang Penangkapan<br />1. pejabat yang berwenang<br /><br />Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana (pasal 1 butir 20).<br /><br />berdasarkan bunyi pegertian diatas maka yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik, namun dalam pasal 16 ayat (1) penyelidik dapat juga melakukan penangkapan asalkan terdapat perintah dari penyidik.<br /><br />2. Tujuan dan alasan penangkapan<br />tujuan penangkapan disebutkan dalam 16 KUHAP yankni untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan, sementara itu alasan penangkapan ditentukan dalam pasal 17 KUHP yaitu: adanya dugaan keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. ( bukti permulaan yang cukup minimal satu alat bukti dan satu barang bukti)<br /><br />3. Syarat sahnya penangkapan<br />adapun untuk syarat sahnya penangkapan diperlukan syarat sebagi berikut:<br /> dengan menunjukkan surat tugas penangkapan yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu;<br /> dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan serta tempat ia diperiksa;<br /> surat perintah penangkapan tersebut harus dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan didaerah hukumnya;<br /> dengan menyerahkan tembusan surat perintah penngkapan itu kepada keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan.<br /><br />dalam hal tertangkap tangan maka penangkapan tidak perlu pakai surat perintah, dengan ketentuan bahw penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepadapenyidik ataupenyidik pembantu.<br /><br /><br />4. Batas waktu penangkapan<br />penangkapan ditentukan dalam pasal 19 ayat (1) yaitu dilakukan maksimum satu hari. jika lebih dari stu hari maka sudah terjadi pelangaran hukum dan dengan sendirinya penangkapan dianggap tidak sah. atau jika batas waktu itu dilanggar maka tersangka, keluarganya, penasehat hukumnya dapat memintakan pemeriksaan kepada praperadilan. dan sekaligus dapt menuntut ganti rugi.<br /><br />namun akan jadi msalah jika ksusnya ada di pedalaman, mka untuk jalan keluarnya penangkapan harus dilakukan oleh penyidik sendiri agr pemeriksaannya dapat dilakukan sesegera mungkin ditempat terdekat. atau kalau tidk begitu dapat dilakukan surat perintah menghadap bukan surat perintah penangkapan.<br /><br /><br />D. Tentang Penahanan<br /><br />1. alasan penahanan<br />alasan penahanan dibagi dua yaitu alasan obyektif dan alasan subyektif<br />Alasan Obyektif yaitu: karena undang-undang sendiri yan menentukan tindak pidana man yang akan dikenakan penahanan; hal ini ditentukan dalam pasal 21 ayat 14 ayat (4) KUHAP yaitu:<br /> perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;<br /> perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 335, 351 dan sebagainya.<br /><br />Alasan Subyektif yaitu: alasan yang muncul dari penilaian subyektif pejabat yang yyang menitikberatka pada keadaan dan keperluan penahanan itu sendiri. hal ini ditentukan dalam dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu:<br /> adanya dugaan keras bahwa tersangka terdakwa melakukan tindak pidana berdsarkan bukti permulaan yang cukup;<br /> adanya keadaan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka dan terdakwa kan melarikan diri;<br /> adanyakekawatiran tersangka atau terdakw merusak dan atau menghilangkan barang bukti dn atau mengulangi tindak pidana.<br /><br />Pejabat yang berwenang malakukan penahanan adalah:<br />1. Penyidik<br />2. Penuntut umum<br />3. Hakim pengadilan negeri<br />4. Hakim pegadila Tinggi<br />5. Hakim mahkamah Agung<br /><br />dalam waktu penahanan dan perpanjangannya dapat dirangkum dalam tabel dibawah ini:<br /><br />No Pejabat Penahanan Lama Penahanan Pejabat Perpanjangan Lama Perpanjangan Jumlah<br />1 Penyidik 20 H Penuntut umum 40 H 60 H<br />2 Penuntut umum 20 H Ket. PN 30 H 50 H<br />3 hakim PN 30 H Ket. PN 60 H 90 H<br />4 Hakim PT 30 H Ket. PT 60 H 90 H<br />5 Hakim MA 50 H Ket. MA 60 H 110 H<br /> Total 400 H<br /> <br />rupanya penahanan tersebut pada masing-masing tingkatan masih mungkin diperpanjang lagi sebagaimana diatur dalam pasal 29 KUHAP. dalam hal ini perpanjangan dilakukan dalam hal:<br /> Tersangka atau tedakwa menderita gangguan fisik atau mental berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau<br /> perkara yang diperiksa diancam penjara sembilan tahun atau lebih.<br /><br />dalam hal ini yang memberikan perpanjangan berbeda dengan pada saat pertama, dapat digmbarkan dalam tabel dibawah ini:<br /><br />No Pejabat Penahanan Pejabat Perpanjangan Jumlah Perpanjangan Pertama Jumlah Perpanjangan Kedua Jumlah<br />1 Penyidik Ket. PN 30 H 30 H 60 H<br />2 Penuntut umum Ket. PN 30 H 30 H 60 H<br />3 Hakim PN Ket. PT 30 H 30 H 60 H<br />4 Hakim PT MA 30 H 30 H 60 H<br />5 Hakim MA Ket. MA 30 H 30 H 60 H<br /> Total 300 H<br /><br />2. Penagguhan Penahanan<br /><br />penangguhan penahanan ini sifatnya permohonan, sehingga dikabulkan dan tidaknya sangat tergantung pada pejabat yang menahannya. penangguhan penahanan dalam undang=undang dapat dilakukan dengan jaminan maupun tidak dengan jaminan namun hampir disetiap praktek tidak pernah ada penangguhan yang tidak pakai jaminan.<br /><br />KUHAP membagi jenis penahanan menjadi 3 yaitu:<br />a. Penahanan Rumah Tahanan Negara<br />b. Penahanan Rumah<br />c. Penahanan Kota (pasal 22 ayat (1))<br /><br /> pada tahanan rumah tahanan negara maka masa penahanan itu dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,<br /> untuk tahanan kota pengurangan tersebut seperlima (1/5) dari jumlah lamanya waktu penahanan,<br /> sedangkan dalam tahanan rumah dikurangkan sepertiga (1/3)<br /><br />perhitungannya misalkan:<br />Pidana yang dijatuhkan = 10 bulan<br />Tahanan Rutan = 9 bulan<br />Perhitungannya 10 - 9 bulan = 1 bulan<br /><br />Pidana yang dijatuhkan = 12 bulan<br />Tahanan Rumah = 8 bulan<br />Perhitungannya 12 – (1/3 x 8) bulan = 10 bulan<br /><br />pidana yang dijatuhkan = 11 bulan<br />tahanan kota = 10 bulan<br />perhitungannya 10 – (1/5 x 10) bulan = 8 bulan<br /><br /><br />E. Tentang Penggeledahan<br /><br />pada prinsipnya tak seorangpun yang boleh dipaksa menjalani gangguan secara sewenang-wenang dan tidak sah terhadap kekuasaan pribadinya, keluarganya, rumahnya atau surat menyuratnya. sekalipun demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan demi kepentingan penyidikan.<br /><br />KUHAPmembagi penggeledahan menjadi dua yaitu:penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian dan badan. kedua penggeledahan tersebut harus dilakukan oleh oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik. dan dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip atau syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang.<br />prinsip atu syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan penggeledahan rumah adalah bahwa:<br />1. Penyidik harus mempunyai surat izin dari ketua pegadilan negeri setempat ( pasal33 ayat (1))<br />2. setiap memasuki suatu rumah, seseorang penyidik harus menunjukkan tanda pengenal (pasal 125)<br />3. jika penggeledahan itu dilakukan atas perintah tertulis penyidik maka penyelidik yang menjalankan perintah itu harus menunjukkan surat tugas;<br />4. Penyidik harus ditemani oleh dua orang saksi dalam hal tersangka ataupenghuninya menyetujuinya, jika yang terakhir ini menolak atau tidak hadir penyidik harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan serta dua orang saksi (pasal 33 ayat (3))<br />5. pelaksanaan dan hasil dari penggeledahan rumah itu, penyidik harus membuat suatu berita acara dalam dua hari dan turunannya di sampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (pasal 33 ayat (5)).<br /><br />tempat-tempat yang dikcualikan dan tidak diperkenankan untuk memasukinya adalah:<br /> Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR dan DPR<br /> tempat dmana sedang diadakan /berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;<br /> ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.<br /><br />mengenai penggeledahan badan ini undang-undang tidak menjelaskan, namun dalam hal penggeledahan badan ini termasuk juga pada rongga badan. penggeledahan seorang wanita dilakukan olehseorang wanita juga dalam hal penyidik menganggap perlu untuk menggeledah rongga badan.<br /><br />F. Tentang Penyitaan<br /><br />Penyitaan berbeda dengan penggeledahan walaupun sama-sama merupakan upaya paksa, jikia penggeledahan tujuanya untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan, sedangkan penyitaan tujuanya untuk kepentingan pembuktian terutama ditujukan untuk barang bukti dimuka sidang.<br /><br />penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada tahap penyidikan. sesudah lewat tahap penyidikan tak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk dan atas nama penyidik. karena pasal 38 menegaskan bahwa yang berwenang melakukan penyitaan adalah penyidik.<br /><br />bentuk-bentuk penyitaan dapat dibagi menjadi 3 yaitu:<br />1. penyitaan biasa atau umum;<br />2. penyitaan dalam keadaa perlu dan mendesak;<br />3. penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan.<br /><br />Penyitaan biasa<br />penyitaan biasa adalh penyitaan yang menggunakan atau memlalui perosedur biasa yang merupakan aturan umum penyitaan. <br /><br />adapun tata cara pelaksanaan penyitaan bentuk yang biasa atau umum dilakukan dengan cara:<br /> harus ada surat izin penyitaan dari pengadilan negeri;<br /> memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal;<br /> memperlihatkan benda yang akan disita;<br /> penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dan dua orang saksi;<br /> membuat berita acara penyitaan<br /> membungkus benda sitaan.<br /><br />Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak<br /><br />cara ini sebagai pengecualian dari penyitaan biasa, pasal 38 ayt 2 memberikan pengecualian untuk memungkinkan melakukan penyitaan tanpa menggunakan prosedur baku ataudengan memperoleh surat izin dari PN, hal ini diperlukan untuk memberikan kelonggara bagi penyidik untuk bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan.<br /><br />dalam hal penyitaan tanpa menggunakan izin ini atau dengan katalain penyitaan dalam keadaan perlu dan memaksa, ini hanya dilakukan terhadap benda bergerak dan untuk itu wajib segera dilaporkan kepada ketua pengadilan untuk mendapatkan persetujuan (pasal 38 ayat (2)).<br /><br />Penyitaan dalam hal tertangkap Tangan<br />jenis ini juga pengecualian dari penyitaan biasa. penyitaan dalam keadaan tertangkaptangan ini berdasarkan pasal 40 dapt dikenaklan terhadap benda dan alat:<br /> yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana<br /> atau benda dan alat yang “patut diduga” telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;<br /> atau benda lain yang dapt dipakai sebagai barang bukti.<br /><br />berkenaan dengan benda benda sitaan ini perlu juga memperhatikan ketentuan pasal 45 KUHAP sebagai berikut:<br />1. dalam hal benda sitaan tediri dari benda yang mudah lekas rusak atau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan terlalu lama sampai adanya putusan pengadilan, sehingga dalam kondisi seperti ini sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat mengambil tindakan sebagi berikut:<br /> apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebutdapat dijual lelang atau diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh tersangka dan kuasanya;<br /> apabila perkara sudahditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat dijual oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan yang disaksikan terdakwa dan kuasanya.<br />2. hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti;<br />3. guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda;<br />4. benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan ini misalnya narkoba.<br /><br />adapun tempat penyimpanan barang sitaan adalah rumah penyimpanan benda sitaan negara ataudisingkat dengan sebutan RUPBASAN.<br /><br />BAB III<br />PERIHAL TAHAPAN PENUNTUTAN<br /><br />Ketika pemeriksaan pendahuluan selesai, maka untuk selanjutnya adalah tahapan penuntutan. tahapan ini merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara pidana sebelum hakim memeriksanya di sidang pengadilan. <br /><br />penuntutan itu sendiri adalah kegiatan melimpahkan perkara pidana kepengadilan. didalam melimpahkan perkara itu tidak sekedar membawa perkara kepengadilan tapi ada beberapa hal yang dilakukan sebelum perkara itu disampaikan kepengadilan.<br /><br />menurut martiman prodjohamidjoyo, sebelum jaksa melimpahkan perkara pidana kepengadilan dankemudian melakukan penuntutan, ia wajib mengambil langkah-langkah seperti:<br /><br />1. menerima dan memeriksa berkas perkara;<br />2. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas kepada penyidik dengan memberikan petunjuk untuk penyempurnanya; ( waktunya 7 hari untuk wajib memberi tahukankekurangannya)<br />3. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;<br />4. membuat surat dakwaan<br />5. melimpahkan perkara kepegadilan;<br />6. menyampaikan pemberitahuan kepada ersangka tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada tedakwa maupun saksi-saksi;<br />7. melakukan penuntutan;<br />8. menutup perkara demi kepentingan hukum;<br />9. melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggungjawab sebagi penuntut umum;<br />10. melaksanakan putusan hakim.<br /><br />A. Pra Penuntutan<br /><br />istilah Pra penuntutan ada dalam pasal 14 KUHAP “ mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuarangan pada penyidikan dengan memperhatikanketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaanya penyidikan dari penyidik.<br /><br />waktu yang diberikan kepada penuntut umum untuk “meneliti dan mempelajari” adalah 7 hari.<br /><br /><br />B. Penuntutan<br />Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkar pidna kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurt cara yang diatur oleh undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan. menurut Wirjono menuntut seorang tedakwa dimuka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.<br />tujuan melakukan penuntutan adalah untuk mendapatkan penetapan dari penuntut umum, tentang adanya alasan yang cukup untuk menuntut seseorang terdakwa dimuka hakim.<br />penuntut umumberwenang melakukan peuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadili (pasal 237)<br />yang dimaksud dengan “daerah hukum” daerah dimana menjadi kewenangannya dalam melakukan penuntutan. daerah hukum atau wilayah hukum kejaksaan negeri adalah sama dengan daerah hukum atau wilayah hukum pengadilan negeri.<br />wilayah suatu pengadila negeri adalah Kabupaten/kota.<br />pasal 141 menentukan bahwa penuntut umum dapat menggabungkan perkara dan membuatnya satu surat dakwaan, apabila pada waktu dan saat yang sama atu hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas. penggabungan perkaraini dapat dilakukan apabila memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang. yaitu:<br />1. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan hlangan terhadap penggabungannya;<br />2. beberapa tindak pidanana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;<br />3. bebrapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dlam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.<br /><br />bahwa yang dimasud dengan bersangkut paut satu dengan yang lain itu apabila tindak pidana tersebut dilakukan:<br />1. oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;<br />2. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat mereka sebelumnya;<br /><br /> namun dalam pasal 142 justru memungkinkan melakukan pemisahan perkara, dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa perkara. seperti kasus terorieme dan korupsi yang melibatkan banyak pejabat misalnya<br /><br />Menghentikan Penuntutan<br />menghentikan penuntutan berarti telah terjadi penuntutan namun karena terdapat beberapa hal seperti terdapat dalam pasal 140 ayat (2), karena tidak cukup bukti, ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum.<br /><br />C. Surat Dakwaan<br /><br />Ketika penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat suatdakwan dan setiap penuntut umum melimpahan perkara kepengadilan selalu disertaidengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dipengadilan.<br /><br />KUHAP tidak menyebutkan pengertian surat dakwaan, KUHAP hanya menyebutkan ciri dan isi dari surat dakwaan itu seperti disebutkan dalam pasal 143 ayat (2) yakni.... surat dakwaan yang diberi tangal dan ditandatangani serta berisi:<br />1. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;<br />2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.<br /><br />Bentuk Surat Dakwaan<br /><br />surat dakwaan dapat disusun dalam berbagai bentuk tergantung kepeda perkara yang terjadi. oleh karena itu bentuk dakwaan dapat dibagi menjadi empat macam:<br />1. Dakwan yang disusun secara tunggal (dakwaan tunggal)<br />dakwaan ini dibuat untuk menuntut satu orang atu lebih yang dituduh melakukan satu perbuatanpidana saja, misalnya terdakwa hanya melakukan perbuatan pencurian (biasa) pasal 362 KUHP;<br /><br />2. Dakwaan Kumulatif<br />dakwaan ini dibuat untuk menuntut seorang terdakwa atau lebih yang melakukan lebih dari satu perbuatan pidana, misalnya: disamping i melakukan perbuatan pencurian, ia pula membawa senjata api tanpa izin yang berwajib, artinya terdakwa (terdakwa-terdakwa) didakwa melakukan dua macam perbuatan pidana sekaligus. biasanya dakwaan ini ditandai dengan memberikan nomor urut dari dakwaan misalnya kesatu, kedua dan seterusnya.<br /><br /><br />3. Dakwaan Secara Alternatif <br />dakwaan ini menurut Prof. Bambang Purnomo dibuat untuk menentukan perkara pidana yang terdapat keraguraguan mengenai jenis perbuatan pidana mana yang paling tepat, sehingga dalam penuntutan diserahkan kepada pengadilan untuk memilih secara tepat berdsarkan hasil pembuktian sidang agar mendapat putusan satu jenis perbuatan pidana saja dari beberapa jenis yang dituduhkan. misalnya keragu-raguan untuk menuduh dengan dakwaan “kejahatan pencurian “ ataukah “kejahatan penggelapan”, dengan menunjuk kata “atau” di antara perbuatan-perbuatan yang dituduhkan dari dua pokok perbuatan.<br /><br />4. Dakwaan secara Subsidair<br />dakwaan ini disusun untuk menuntut perkara pidana lebihdari satu dakwaan yang disusun dengan mempertimbangkan bobot pidana, pidana yang berat ditempatkan pada deretan pertama yang disebut sebagai dakwaan primer, kemudian disusul dengan dakwan yang lebih ringan sebagai dakwan subsidair. mungkin masih ada lagi yang lebih ringan dengan dakwaan Lebih subsidair dan seterusnya.<br /><br />sebagai contoh dakwaan subsidair dalam kejahatan yang serupa, misalnya: untuk kasus “pembunuhan berencana” yang bobotnya lebih tinggi/tertinggi, ditempatkan lebih dahulu sebagai dakwaan primer. kemudian untuk “pembunuhan dengan sengaja”yang bobotnya lebih rendah ditempatkan pada dakwaan subsidair, seterusnya untuk “penganiayaan yang mengakibatkan mati” bobotnya lebih rendah lagi ditempatkan sebagaio dakwaan lebih Subsidair.<br /><br />penempatan dakwaan primer, subsidair dan lebih subsidair dimaksudkan agarhakim memeriksa dakwaan primer dahulu, dan jika dakwaan primersudah terbukti maka dakwaan yang lain tidak perlu dibuktikan, namun jika dakwaan primer tidak terbukti maka hakim harus memeriksa dakwaan subsidair begitu seterusnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />PERIHAL PEMERIKSAAN DAN PUTUSAN PENGADILAN<br /><br />A. Kompetensi Pengadilan Pidana<br />kompetensi pengadilan pidana atau sering disebut juga wewenang pengadilan untuk mengadili perkara pidana yang diajukan kepadanya. kompetensi pengadilan dalam teori dibagi dalam dua bagian yakni kompetensi absolut dan kompetensi relatif.<br /><br />1. Kompetensi Absolut (pertanyaanya adalah Pengadilan apa?)<br />kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara berdasarkan atas tingkatan pengadilan lain. tingkatan pengadilan sebagaimana yang dikenal selama ini adalah pengadilan tingkat pertama (PN) dan pengadilan tingkat kedua (PT dan MA) sementara jenis-jenis pengadilan adalah Peradilan Umum, peradilan militer, PTUN dan Pengadilan Agama.<br /><br />atas dasar tinghkatan dan jenis pengadilan inilah maka kewenangan masing-masing pengadilan itu berbeda satu dengan yang lain tedapat beberapa prinsip yang memperlihatkan kewenangan masing-masing.<br /><br />prinsip pertama: Pengadilan Negeri (PN) berwenang mengadili semua perkara pidana yang belum pernah diadili dan belum memperoleh putusan<br />Prinsip kedua: Pengadilan tinggi (PT) berwenang mengadili perkara yang sudah diputus oleh pengadilan negeri.<br />Prinsip ketiga: Mahkamah Agung (MA) berwenang mengadili perkara pidana yang dimintakan kasasi kepadanya.<br /><br />2. Kompetensi Relatif (pertanyaannya adalah Pengadilan Mana ? )<br />kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara berdasarkan wilayah kekuasaanya hukum. wilayah hukum dari satu pengadilan negeri adalah satu wilayah kabupaten/kota.<br /><br />didalam kompetensi relatif terdapat prinsip-prinsip untuk menentukan adanya kewenangan mengadili. prinsip-prinsip tersebuty dapat diketemukan dalam berbagi pasal dalam KUHAP yakni sebagai berikut:<br /><br />Prinsip Pertama<br /><br />prinsip ini dapat dijumpai didalam pasal 84 KUHAP yaitu:<br />1) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.<br />2) Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagaian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;<br />3) apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri tiu masing-msing berwenang mengadili perkara pidan itu;<br />4) terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkutpautnya dan dilakukan oleh orang yang sama dalam derah hukum berbgi pengadilan negeri, diadili oleh masing-msing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.<br /><br />Prinsip kedua<br />prinsip kedua ini ada dalam pasal 85 KUHAP pasal ini menentukan bahwa didalam hal keadaan daerah tidak mengijinkan suatu pengadilan untuk mengadili suatu perkara, maka ats usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, mahkamah agung mengusulkan kepada menteri kehakiman (menteri yang berwenang kalau tidak ada menteri kehakiman mislnya menteri Hukum dan HAM) untuk menetapkan ataumenunjuk pengadilan negeri lain.<br /><br />Prinsip Ketiga<br />Prinsip ketiga ini menentukan bahwa pengadilan yang berwenang mengadili perkara pidana yang dilakukan diluar negeri adalah pengadilan negeri jakarta pusat. hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 86 KUHAP yang bunyinya: apabila seseorang melakukan tindak pidana diluar negeri yang diadili menurt hukum Republik Indonesia maka pengadilan negeri jakarta pusat yang berwenang mengadilinya.<br /><br />B. Pemeriksaan disidang pengadilan<br /><br />Proses pemeriksaan perkara disidang pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam pemeriksaan perkara tergantung pada berat dan ringannya perkaranya yaitu:<br /><br />1. Pemeriksaan dengan acara biasa;<br />2. pemeriksaan dengan acara singkat;<br />3. Pemeriksaan dengan Acara cepat.<br /> <br />proses pemeriksaan dengan acara biasa disidang pengadilan dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap yaitu:<br />a. Tahap pemanggilan<br />b. Tahap pembacaan surat dakwaan<br />c. Tahap eksepsi<br />d. Tahap pembuktian<br />e. Tahap requisitoir/tuntutan pidana<br />f. Tahap Pledoi/pembelaan<br />g. Tahap replik/duplik<br />h. Tahap putusan hakim.<br />1. Tahap Pemanggilan<br />ketika berkas perkara sudah sampai ke Pengadilan, ketua pengadilan menunjukhakim yang akan memeriksa perkara tersebut. selanjutnya hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi-saksi yang akan diajukan ke persidangan <br /><br />pasal 152 ayat (2) KUHAP mengatakan bahwa pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan dengan suratpemanggilan oleh penuntut umum secara sah, dan harus sudah diterima oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Selanjutnya dalam pasal 146 ayat (1,2) menyatakan bahwa surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa mereka dipanggil.<br /><br />sementara menurut ketentuan pasal 145 KUHAP bahwa surat panggilan tersebut hanya dapat dipandang sebagai surat panggilan yang sah apabila surat:<br />• panggilan itu disampaikan kepada terdakwa dialamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, maka disampaikan dialamat kediamannya terakhir;<br />• apabila terdakwa tidak ada ditempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yangbedaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir;<br />• dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara;<br />• penerimaan surat pangilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain, dilakukan dengan tand penerimaan;<br />• apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman digedung pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya.<br /><br /> setelah pemanggilan dilakukan, ada kemungkinan terdakwa tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan. dalam hal terjadi demikian, maka hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. jika terdakwa tidak di-panggil secara sah hakim ketua sidang menunda sidang dan memerintahkan supaya tedakwa dipanggil sekali lagi.<br /><br /> jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah namun tidak hadir tanpa alasan yang sah pula pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilakukan dan hakim memerintahkan agr terdakwa dipanggil sekali lagi. setelah dipanggil sekali lagi tidak hadir juga maka hakim ketua sidang memerintahkan agr terdakwa dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.<br /><br /><br />2. Tahap Pembukaan dan Pemeriksaan identitas terdakwa<br /> tahap pemanggilan telah dilakukan dan selanjutnya adalah tahap pembukaan sidang dan pemeriksaan identitas terdakwa, setelah hakim, penuntut umum dan penasehat hukum menempati tempat duduknya masing-masing. hakim ketua kemudian membuka sidang (dengan ketentuan asas sidang dibuka dan terbuka untuk umum) kecuali dalam hal kasus kesusilaan dan terdakwanya anak kecil. <br /><br /> setelah disang dibuka, kemudian hakim memerintahkan kepada penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa dimuka persidangan. dan dalam pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan asas praduga tak bersalah artinya tidak boleh diborgol. setelah terdakwa duduk dimuka sidang maka hakim bertanya kepadanya tentang : Nama, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal terakhir, agama, pekerjaan. setelah itu hakim ketua kemudian bertanya apakah tedakwa dalam keadaan sehat dan siap diperiksa, kalau jawabannya sehat maka pemeriksaan dapat dilangsungkan, lalu hakim mengingatkan kepada terdakwa supayamemperhatikan segal sesuatu yang didengar dan dilihatnya didalam sidang.<br /><br /><br />3. Tahap Pembacaan Surat Dakwaan<br /> Setelah hakim ketua mengingatkan pada terdakwa maka selanjutnya hakim ketua memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan, dengan dibacakannya surat dakwaan ini maka proses pemeriksan telah dimulai.<br /><br />Secara singkat Surat dakwaan itu harus memuat secara jelas tentang:<br />• Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, agama dan pekerjaan tersangka;<br />• uraian secara singkat, jelas danlengkap perbuatan pidana yang dilakukan dengan menyebutkan waktu dan tempat perbuatan pidana dilakukan.<br /><br />jika pembuatan surat dakwaan tidak memenuhi syarat tersebut maka suratdakwaan dikatakan batal demi hukum, maksudnya dianggap tidak pernah ada surat dakwaan. untuk menghindari surat dakwaan yang demikian maka diperlukan ketekunan, ketelitian dan kecermatan dalam menyusun surat dakwaan.<br /><br />surat dakwaan harus dapst dimengerti oleh terdakwa tetapi apabila penuntut umum tekah membacakan surat dakwaan dan kemudian hakim menanyakan isi suray dakwaan itukepada terdakwa, apakah terdakwa sudah mengerti, kalau belum maka hakim memerintahkan kepada penuntut umum untuk membacakan point-point tertentu dan menjelaskannya kepada terdakwa, atauhakim sendiri yang menjelaskannya. Secara lengkap akan diuraikan dalam perdoman proses beracara di Pengadilan Negeri<br /><br />PROSES PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI<br />dengan acara biasa<br />Gatot Sugiharto<br /><br />A. Personel yang Terlibat dalam Persidangan Pidana<br />Personel yang terlibat dalam Persidangan Pidana di Pengadilan Negeri adalah:<br />A.1. Hakim / Majelis Hakim<br />Pada prinsipnya persidangan pidana dilaksanakan dengan tiga hakim terdiri dari satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Namun dalam hal tertentu dapat terjadi persidangan dilaksanakan dengan satu hakim saja misalnya dalam hal peradilan dengan perkara singkat, cepat. Sedangkan pengertian dari hakim itu sendiri diatur dalam pasal 1 butir 8 yaitu “ Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili “. Mengadili yang dimaksud dalam pasal 1 butir 8 itu adalah “ Serangkaian tindakan Hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang Pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini “(Pasal 1 butir 9 KUHAP).<br />A.2. Jaksa Penuntut Umum<br />Seringkali antara jaksa dan penuntut umum diartikan sama. Namun yang sebenarnya berbeda menurut tugas dan wewenangnya, walaupun antara jaksa dan penuntut umum dijabat oleh satu orang. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pengertian serta tugas dan wewenang dari jaksa dan penuntut umum ini adalah sebagai berikut :<br />Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang (KUHAP) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir (6) poin a ).<br />Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang (KUHAP) untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir (6) poin b).<br />A.3. Penasehat Hukum<br /> Penasehat Hukum dalam hal ini dilakukan oleh Sarjana Hukum dengan profesi advokat dan pengacara praktek yang telah memiliki ijin praktek, namun setelah disahkannya Undang-Undang Advokat tidak ada lagi istilah pengacara praktek, yang ada hanya Advokat. Istilah “Penasehat Hukum” merupakan istilah baku sebagai pengganti dari “Pembela” atau “Pengacara” dalam perkara pidana (Al Wisnubroto, 2002:7). Dalam pasal 1 butir 13 disebutkan bahwa “ Penasehat Hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar Undang-Undang untuk memberi bantuan hukum “.<br /> Dalam beracara tugas penasehat hukum mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya dengan klien yang sedang dibelanya dalam perkara tersebut, sehingga akan terjadi keseimbangan dalam persidangan yang akan berpengaruh pada keputusan Hakim yang adil. Jadi jelaslah tugas dari penasehat hukum dalam peradilan adalah memperjuangkan hak-hak tersangka / terdakwa dengan memperhatikan kepentingan masyarakat atau negara demi tegaknya hukum dan keadilan.<br />A.4. Panitera / Panitera Pengganti<br /> Panitera adalah pejabat pengadilan yang salah satu tugasnya adalah membantu hakim membuat berita acara pemeriksaan dalam proses persidangan (Al Wisnubroto, 2002:7). Oleh karena begitu banyaknya tugas dari panitera ini sangat memungkinkan panitera tidak dapat ikut serta dalam persidangan pidana, maka dengan demikian panitera menunjuk panitera pengganti (PP) sebagai Notulen dalam persidangan pidana, yang tugasnya mencatat setiap kejadian dalam proses persidangan termasuk dalam pokok-pokok dialog antara pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan, misalkan tanya jawab antara hakim, penuntut umum, penasehat hukum dengan saksi dan terdakwa.<br />A.5. Terdakwa<br /> Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di Sidang Pengadilan (pasal 1 butir 15). Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana(pasal 1 butir 14).<br />A.6. Saksi / Saksi Ahli<br /> Keberadaan saksi dalam persidangan pidana sangat menentukan dalam mencari kebenaran hukum. Menurut pasal 1 butir 26 KUHAP saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Untuk selanjutnya saksi ini memberikan keterangan disidang pengadilan mengenai suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia alami sendiri dan ia lihat sendiri, dan keterangan itu dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana yang diajukan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 butir 27 KUHAP.<br /> Saksi ahli merupakan ahli yang memberikan keterangan di sidang pengadilan pidana berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Dalam ketentuan pasal 1 butir 28 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.<br />A.7. Petugas Pendukung Kelancaran Sidang<br /> A.7.1. Petugas Pengawalan<br />Tersangka yang akan dihadapkan ke muka sidang dilakukan pengawalan oleh petugas, karena penuntut umum berasal dari kejaksaan maka petugas pengawalan juga dilakukan oleh petugas dari kejaksaan, namun dalam kasus-kasus tertentu yang mengundang perhatian masyarakat maka pengawalan dibantu oleh petugas keamanan dari kepolisian.<br />A.7.2. Juru Panggil<br /> Juru panggil ini biasanya berasal dari pegawai pengadilan dan atau pegawai kejaksaan, yang tugasnya adalah melakukan pemanggilan terhadap tersangka / terdakwa dan saksi untuk dihadirkan diruang sidang.<br />A.7.3. Juru Sumpah<br /> Juru sumpah biasanya dilakukan oleh pegawai pengadilan, namun bukan berarti juru sumpah ini secara langsung membimbing sumpah terhadap saksi dan terdakwa tapi biasanya dibimbing oleh hakim yang diikuti oleh saksi dan terdakwa yang sedang disumpah. Jadi tugas juu sumpah ini tugasnya hanyalah mempersiapkan perlengkapan misalnya kitab suci Al Quran untuk yang muslim dan kitab lain sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Namun ketentuan dalam KUHAP ada tempat khusus bagi rohaniawan yang tugasnya menyumpah, namun dengan alasan teknis maka hal itu sampai sekarang belum dapat dilaksanakan.<br />A.7.4. Petugas Pengawalan<br /> Petugas pengawalan sangat diperlukan dalam proses persidangan pidana khususnya dalam perkara-perkara tertentu yang mengundang perhatian masyarakat, biasanya dalam hal kasus-kasus besar seperti contoh : kasus dengan terdalwa Amrozi tersangka pengeboman di Bali tahun 2002. Petugas pengamanan ini bertugas menertibkan pengunjung diluar dan didalam persidangan agar jalannya persidangan dapat tertib.<br /><br />B. Tahapan dan Tata Cara Sidang Perkara Pidana di Pengadilan Negeri<br />UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) secara umum mengatur mengenai tata cara sidang, yang secara garis besarnya proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertam di Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara biasa terdiri dari 4 (empat) tahap, namun seringkali tahapan-tahapan dan tata cara dalam persidangandalam prakteknya disesuaikan dengan keadaan berdasarkan kebijakan hakim / ketua majelis hakim atau atas kesepakatan antara pihak –pihak yang terlibat dalam pemeriksaan perkara pidana, sejauh tidak menyimpang dari asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana. Dan tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :<br />B.1. Sidang Pertama Pada Pemeriksaan dengan Acara Biasa<br />Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim / majelis hakim sidang pemeriksaan perkara pidana dibuka seperti ketentuan dalam pasal 152 dan 153 KUHAP, adapun tata cara dan urutannya adalah sebagai berikut:<br />A. Hakim / majelis hakim memasuki ruang sidang<br />Tahap pembukaan dan pemeriksaan identitas tersangka :<br />1. Yang pertama kali memasuki ruang sidang adalah panitera pengganti, jaksa penuntut umum (perorangan atau tim), penasehat hukum terdakwa dan pengunjung sidang, masing-masing duduk ditempat duduk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.<br />2. Sebagai protokol sidang karena keterbatasan tenaga biasanya dilakukan oleh panitera pengganti, yang mengumumkan bahwa hakim / majelis hakim akan memasuki ruang sidang dengan perkataan kurang lebih sebagai berikut : “ Hakim / Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri “ (Pasal 2 PerMenKeh No.M.06.UM.01.06 Tahun 1983).<br />3. Semua yang hadir dalam ruang sidang berdiri untuk menghormati hakim / majelis hakim, termasuk jaksa penuntut umum dan penasehat hukum.<br />4. Hakim / Majelis Hakim memasuki ruang sidang melalui pintu khusus mulai dari yang terdepan hakim ketua diikuti oleh hakim anggota I (Senior) dan hakim anggota II (Junior).<br />5. Hakim / Majelis Hakim duduk ditempat duduknya masing-masing tersebut diatur sebagai berikut : Hakim Ketua ditengah, dan Hakim Anggota I berada disamping kanan dan Hakim Anggota II berada dikiri.<br />6. Panitera mempersilahkan hadirin untuk duduk kembali.<br />7. Hakim ketua membuka sidang dengan kata-kata kurang lebih sebagai berikut :<br />“Sidang Pengadilan Negeri ….(kota tempat pengadilan berada)… yang memeriksa perkara pidana nomor ….(nomor perkara yang bersangkutan)… atas nama terdakwa … pada hari … tanggal …. Dinyatakan dibuka dan TERBUKA UNTUK UMUM “ , diikuti dengan ketukan palu 3 (tiga).<br />B. Pemanggilan Tersangka Supaya Masuk Keruang Sidang<br />1. Hakim ketua bertanya kepada penuntut umum apakah tersangka telah siap untuk dihadirkan pada sidang hari ini. Jika penuntut umum tidak dapat menghadirkan tersangka pada sidang hari ini, maka hakim harus menunda persidangan pada hari yang akan ditetapkan dengan perintah kepada penuntut umum supaya memanggil dan menghadapkan tersangka.<br />2. Jika penuntut umum telah siap untuk menghadirkan tersangka, maka ketua memerintahkan supaya tersangka dipanggil masuk.<br />3. Penuntut umum memerintahkan pada petugas agar tersangka dibawa masuk diruang sidang.<br />4. Petugas membawa masuk tersangka keruang sidang dan mempersilahkan tersangka untuk duduk dikursi pemeriksaan. Jika tersangka tersebut ditahan, maka biasanya dari ruang tahanan pengadilan keruang sidang dikawal oleh petugas pengawalan, sekalipun demikian tersangka harus dihadapkan dalam keadaan bebas (tidak diborgol). Ini adalah salah satu penghormatan satu asas yaitu Presamtion of Inocence (asas praduga tidak bersalah).<br />5. Setelah tersangka duduk dikursi pemeriksaan, hakim ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut :<br />a. Apakah tersangka dalam keadaan sehat dan siap untuk diperiksa ?<br />b. Identitas tersangka (nama,umur,alamat,dan lain-lain) sebagaimana tersebut dalam pasal 155 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya hakim menginggatkan tersangka untuk agar memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam persidangan.<br />6. Hakim bertanya apakah tersangka akan didampingi oleh penasehat hukum.<br />a. Jika tersangka tidak didampingi penasehat hukum, maka hakim menegaskan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum, akhirnya tersangka diberi kesempatan untuk mengambil sikap menyangkut apakah akan maju sendiri, mengajukan permohonan agar pengadilan menunjuk penasehat hukum yang mendapinginya dengan cuma-cuma (Prodeo). Atau minta waktu untuk menunjuk penasehat hukum sendiri.<br />b. Jika tersangka didampingi oleh penasehat hukum maka selanjutnya hakim menanyakan pada penasehat hukum apakah benar dia bertindak sebagai penasehat hukum tersangka, lalu menanyakan surat kuasa khusus dan ijin praktek advokat, setelah ketua melihat lalu ketua menunjukkan pada hakim anggota perihal dokumen tersebut.<br />C. Pembacaan Surat Dakwaan<br />1. Hakim ketua sidang meminta kepada tersangka untuk mendengarkan secara seksama pembacaan surat dakwaan dan selanjutnya mempersilahkan pada penuntut umum membacakan surat dakwaan.<br />2. Mengenal tata cara pembacaan surat dakwaan ada dua cara, cara pertama jaksa membaca dengan berdiri dan kedua dengan cara duduk, namun yang sering dipakai adalah cara pertama alasannya adalah untuk menghormati sidang. Jika dakwaan panjang maka dapat dibaca bergantian (dalam hal penuntut umumnya lebih dari satu).<br />3. Setelah selesai pembacaan surat dakwaan, maka status tersangka seketika itu juga berubah menjadi terdakwa.<br />4. Selanjutnya hakim ketua menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham / mengerti tentang apa yang telah didakwakan padanya. Apabila terdakwa tidak mengerti maka penuntut umum harus membacakan kembali.<br />D. Pengajuan Eksepsi (Keberatan)<br />1. Setelah terdakwah menyaakan paham dan mengerti tentang maksud dakwaan, maka terdakwa puya hak untuk mengajukan eksepsi (keberatan yang menyangkut kompetensi pengadilan.<br />2. Tata caranya, hakim memberi kesempatan pada terdakwa untuk menanggapi berikutnya kesempatan kedua diberikan kepada penasehat hukumnya.<br />3. Apabila ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya tidak mengajukan eksepsi maka sidang dilanjutkan pada tahap pembuktian.<br />4. Apabila terdakwa/penasehat hukumnya akan mengajukan eksepsi, maka ketua menanyakan pada terdakwa dan penasehat hukumnya pakah sudah siap dengan nota eksepsi.<br />5. Kalau ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya belum siap maka hakim memberikan kesempatan untuk mengajukan pada sidang kedua, dan sidang di tunda untuk memberi kesempatan pada terdakwa dan penasehat hukumnya.<br />6. Kalau eksepsi sudah siap, hakim mempersilahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya untuk membacakan eksepsinya.<br />7. Pengajuan eksepsi dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis.<br />8. Apabila eksepsi tertulis, setelah dibacakan maka eksepsi tersebut diserahkan kepada hakim dan salinannya diserahkan pada penuntut umum.<br />9. Dalam hal pembacaan surat dakwaan berlaku juga bagi terdakwa dalam membacakan eksepsi.<br />10. Eksepsi dapat diajukan oleh penasehat hukum saja dalam hal terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya pada penasehat Hukumnya, dapat juga kedua-duanya mengajukan eksepsi menurut versinya masing-masing.<br />11. Apabila kedua-duanya akan mengajukan eksepsi maka kesempatan pertama diberikan pada penasehat hukumnya.<br />12. Setelah selesai terdakwa/penasehat hukumnya membacakan eksepsi, hakim ketua memberi kesempatan pada penuntut umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi (Replik).<br />13. Atas tanggapan tersebut, hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa/penasehat hukum untuk memberikan tanggapan sekali lagi (Duplik).<br />14. Atas eksepsi dan tanggapan-tanggapan tersebut, hakim meminta waktu untuk memeprtimbangkan dan menyusun “putusan sela”.<br />15. Apabila majelis hakim berpendapat bahwa pertimbangan untuk memutuskan eksepsi tersebut mudah/sederhana maka sidang apat diskors selama beberapa waktu untuk menentukan putusan sela.<br />16. Tatacara skorsing sidang ada dua macam yaitu;<br />a. Cara 1: Mejelis hakim meninggalkan ruang sidang untuk membahas/memeprtimbangkan putusan sela di ruang hakim, sedangkan penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum serta pengunjung tetap berada di ruang sidang.<br />b. Cara 2 : hakim tetap berada diruang sidang, jaksa penutut umum, penasehat hukum, dan pengunjung di mohon keluar (cara inilah yang sering dipakai).<br />c. Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan wkatu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.<br />17. Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan waktu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.<br />E. Pembacaan/pengucapan putusan sela<br />1. Setelah hakim mencabut, maka sidang dibuka kembali dengan acara pembacaan/pegucapan putusan sela.<br />2. Tata cara pembacaan putusan sela tersebut dibacakan dan diucapkan oleh hakim ketua sambil duduk dikursinya, dalam hal putusan sela tersebut panjang, dimungkinkan putusan sela dibaca secara bergantian dengan hakim anggota pembacaan amar putusan diakhiri dengan ketokan palu sebanyak 1 (satu) kali.<br />3. Putusan sela biasanya menyangkut 3 kemungkinan yang secara garis besarnya sebagai berikut;<br />a. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum diterima, sedangkan pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan/harus dihentikan.<br />b. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum ditolak maka sidang perkara tersebut dilanjutkan.<br />c. Eksepsi terakwa/penasehat hukum baru dapat diputus.<br />4. Setelah putusan sela selesai dibacakan hakim ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus menyampaikan hak penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum untuk mengambil sikap menerima putusan sela tersebut atau akan mengajukan perlawanan.<br /><br /><br />B.2. Sidang Pembuktian dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa<br />Setelah putusan sela dibacakan dan ternyata sidang harus dilanjutkan maka tahap selanjutnya adalah sidang pembuktian, yakni pemeriksaan terhadap alat buktian barang bukti. Berdasarkan paal 184 KUHP yang masuk sebagai alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan pengertian barang bukti adalah suatu barang/benda yagn dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya barang yang merupakan obyek delik, hasil delik maupun alat/sarana untuk melakukan delik (Al. Wisnubroto, 2002;15). Dalam keseluruhan proses, yang paling penting adalah tahap/proses pembuktian ini, karena pembuktian ini nantinya akan dijadikan daar pertimbangan hakim dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak serta sebagai dasar pemidanaan.<br /><br />Sebelum acara pembuktian dimulai, hakim mempersilahkan terdakwa supaya duduk di kursi terdakwa. Proses dan prosedur pembuktiannya adalah sebagai berikut;<br />A. Pengajuan saksi yang memberatkan (saksi A charge) oleh jaksa penuntut umum.<br />1. Hakim ketua bertanya pada penuntut umum, apakah telah siap untuk menghadirkan saksi-saksi pada sidang hari ini.<br />2. Apabila penuntut umum sudah siap, maka hakim segera memerintahkan pada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi satu demi satu orang saksi ke ruang sidang (pasal 160 KUHP). Menurut pasal 159 KUHP, sebelumnya hakim memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu sama yang lain sebelum memberikan keterangan di sidang.<br />3. Saksi yang pertama kali dihadirkan adalah saksi korban, setelah itu baru saksi-saksi yang lain yang berhubungan dengan perkara. Saksi dapat yang sudah ditentukan dalam surat pelimpahan dapat juga saksi tambahan.<br />4. Tata cara pemerikaan saksi<br />a. penutut umum menyebutkan nama saksi yang akan diperiksa<br />b. petugas membaca saksi masuk ke ruang sidang dan memeprsilahkan saksi duduk dikursi pemeriksaan.<br />c. Hakim ketua bertanya pada saksi tentang<br />1. identitas saksi (nama, umur, alamat, pekerjaan dan lain-lain)<br />2. Apakah saksi kenal dengan terdakwa.<br />3. Apakah saksi memiliki hubungan darah dengan terdakwa, apakah saksi memiliki hubungan suami/istri dengan terdakwa atau dalam hubungan apa saksi dengan korban.<br />5. Hakim meminta agar saksi bersedia disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.<br />6. Tata cara pelaksanaan sumpah yang biasa dilakukan di pengadilan negeri adalah;<br />a. saksi dipersilahkan untuk berdiri<br />b. bagi yang beragama Islam, aksi berdiri dan di atas kepalanya ditaruh kitab suci Al Quran. Untuk beragama Kristen/Katolik petusa membacakan ijil (Alkitab) disebalah kiri saksi saksi, pada saat pengucapan supah tangan kiri diletakkan di atas kitab dan tangan kanan diangkat dengan mengacungkan jari telunjuk (bagi agama katolik) dan bentuk V bagi agama kristen.<br />c. Mengenai lafal sumpahnya dibimbing oleh ketua majelis hakim.<br />d. Lafal sumpah bagi saksi adalah sebagai berikut, “saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya” (tim peneliti/pemeriksa buku II, Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi pengadilan buku II, proyek pembinaan teknis yustisial Mahkamah Agung RI, 1997;166-167).<br />e. Untuk saksi yang beragama Islam, lafal sumpah tersebut diawali dengan : Wallahi/demi Allah”, untuk sak yang beragama katolik dan kristen protestan lafal sumpah (janji) tersebut diakhir dengan ucapan … semoga Tuhan menolong saya”, untuk saksi yagn beragama Hindu lafal sumpah diawali dengan kata “ Om atah parama wisesa …”, untuk saksi yang beragama Budha sumpah diawali dengan ucapan “demi Sang Hyang Adi Budha …” (Al Wisnu Broto, 2002:17).<br />7. Setelah pengucapan sumpah selesai, Hakim mempersilahkan saksi duduk kembali dan mengingatkan agar memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya karena sudah terikat dengan sumpah. Dan memberikan keterangan brdasarkan apa yang dialami sendiri, dilihatnya sendiri dan didengarnya sendiri.<br />8. Selanjutnya Hakim mempersilahkan jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi, dan saksi menjawab dengan berdasarkan apa yang dialami sendiri, rasakan sendiri dan lihat sendiri.<br />9. Setelah jaksa menganggap selesai dalam mengajukan pertanyaan, maka jaksa mengembalikan kepada hakim, lalu hakim mempersilahkan kepada Penasehat Hukum untuk mengajukan pertanyaan.<br />10. Namun sering terjadi hakim juga ikut mengajukan pertanyaan kepada saksi, padahal seharusnya tidak demikian karena hakim fungsinya sebagai wasit bukan sebagai pemain, kalau hakim ikut bermain logikanya sangat wajar kalau terdakwa/penasehat hukumnya merasa dikerosak oleh hakim dan jaksa penuntut umum.<br />11. Setelah pertanyaan dari jaksa penuntut umum dan penasehat hukum dianggap selesai maka hakim harus menanyakan kepada terdakwa, “apakah keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut ebnar atau ada sanggahan? “ apakah keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut benar atau ada sanggahan? “apabila terdakwa menganggap benar maka tidak perlu lagi ditanya mana yang benar, namun jika terdakwa mengatakan ada yang tidak benar maka terdakwa diminta untuk memberikan mana yang dianggap tidak benar.<br />12. Untuk saksi berikutnya juga sama dalam pemeriksaannya seperti yang diatas, pemeriksaan saksi ini sesuai dengan jumlah yang diajukan jaksa penuntut umum, maka semuanya harus diperiksa satu persatu.<br />13. Satu catatan penting yang harus diperhatikan dalam mengajukan pertanyaan adalah tidak boleh mengajukan pertanyaan yang berisfat menjerat mislanya “waktu kamu melakukan pencurian, apakah kamu menggunakan alat ini”.<br />B. Pengajuan Saksi yang meringankan (Adcharge) oleh terdakwa/Penasehat Hukumnya.<br />1. Pemeriksaan saksi yang meringankan ini juga sama dalam hal teknisnya yaitu menyangkut identitas saksi, hakim bertanya pada saksi, apakah saksi ada hubungan darah dengan terdakwa dan lain sebagainya.<br />2. Saksi ini juga disumpah menurut agama dan kepercayaannya bahwa dia akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain daripada yang sebenarnya.<br />3. Dalam hal mengajukan pertanyaan teknisnya sama dengan pemeriksaan saksi diatas.<br />4. Satu hal juga yang paling penting diperhatikan oleh saksi, bahwa dia harus memberrikan keterangan yang sebenar-benarnya oleh sebab itu hakim harus selalu mengingatkan kepada saksi yang sedang diperiksa serta memberitahukan saksi yang harus diterima jika dia memberikan keterangan palsu. Namun apabila saksi tidak mengindahkan peringatan hakim dan tetap pada keterangan palsunya maka hakim ketua sidang karena jabatannya, atau atas permintaan penuntut umum dan atau penasehat hukum terdakwa untuk memerintahkan saksi untuk ditahan serta selanjutnya dituntut karena keterangan palsu (pasal 174 ayat (2)).<br />5. Selanjutnya kalau terjai keterangan palsu oleh saksi maka panitera membuat berita acara yang ditandatangani oleh hakim dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa alasan saksi adalah palsu, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk selanjutnya diselesaikan menurut Undang-undang yang berlaku.<br />6. Jika terdakwa dan saksi tidak bisa berbahasa Indonesia, maka hakim ketua menunjuk juru bahasa dan diminta berjanji untuk memberikan penjelasan dengan sebenar-benarnya. Dalam hal terdakwa dan saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis maka hakim mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terakwa. Atau saksi itu.<br />7. Setelah pemeriksaan saksi-saksi dianggap selesai maka hakim ketua menanyakan kepada terdakwa apakah benar apa yang dikatakan dalam keterangan saksi tadi, terdakwa boleh menjawab tidak benar apabila keterangan saksi memang tidak benar dan menjawab salah jika keterangannya salah.<br /><br />C. Pemeriksaan Terdakwa<br />1. Setelah pemeriksaan terhadap saksi-saksi dianggap selesai maka hakim memerintahkan kepada terdakwa untuk duduk di kursi pemeriksaan untuk diperiksa.<br />2. Dalam pemeriksaan terdakwa ada perbedaan menyangkut sumpah, pada saat pemeriksaan saksi, perlu dilakukan sumpah sedangkan untuk terdakwa tidak perlu sumpah.<br />3. Setelah terdakwa duduk di kursi pemeriksaan, hakim menanyakan apakah terdakwa dalam keadaan sehat tidak menderita sakit apapun terdakwa untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak menyulitkan proses peradilan.<br />4. Selanjutnya ketua majelis hakim mulai menyampaikan pertanyaan-pertanyaan disusul hakim anggota kalau perlu hakim menunjukkan barang bukti untuk memperjelas pemeriksaan, kalau majelis hakim dirasa cukup maka kesempatan selanjutnya diberikan kepada jaksa penuntut umum untuk bertanya dilanjutkan oleh penasehat hukum mengenai tatacara pemeriksaan terdakwa sama dengan ketika pemeriksaan terhadak saksi-saksi.<br />5. Dalam hal terdakwanya lebih dari satu maka pemerisaan dilakukan satu persatu secara bergantian. Hakim dapat menilai kecocokan dari masing-masing keterangan terdakwa.<br />6. Kalau majelis hakim, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum telah selesai. Maka hakim dapat menyatakan bahwa seluruh rangkaian pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim meminta jaksa penuntut umum untuk mempersiapkan tuntutannya yang akan dibacakan dalam sidang tuntutan.<br /><br />B.3. Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana (Requisitioir), Pleeidoi (Pembelaan), Replik dan Duplik (tanggapan-tanggapan).<br />1. Hakim ketua membuka sidang dan menjelaskan bahwa sidang pada hari itu adalah pembacaan tuntutan pidana.<br />2. Hakim bertanya pada jaksa penuntut umum apakah telah siap untuk membacakan tuntutannya? Kalau jaksa penuntut umum telah siap maka ketua majlis hakim mengingatkan pada terdakwa untuk mendengarkan secara cermat bunti tuntutan. Mengenai tacara pembacaan tuntutan sama dengan pembacaan surat dakwaan.<br />3. Setelah selesai pembacaan tuntutan, hakim menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham dengan isi tuntutan, jika perlu hakim sedikit menjelaskan poin-poin tuntutan jaksa, selanjutnya berkas tuntutan/surat tuntutan yang asli diserahkan kepada majelis hakim, dan salinannya diserahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya.<br />4. Hakim bertanya pada terdakwa dan penasehat hukum apakah akan mengajukan pembelaan (pleidooi) kalau akan mengajukan maka hakim meminta kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk memeprsiapkan nota pembelaan yang akan dibacakan pada sidang berikutnya.<br /><br />B.3.2. Pembacaan Pembelaan (Pleidooi).<br />1. Kalau akan mengajukan pembelaan maka dalam hal mengajukan pembelaan terdakwa dapat dengan cara lisan maupun tertulis. Kalau mengajukannya dengan cara lisan maka terdakwa dipersilahkan untuk menyampaikan pembelaannya, namun dalam hal ini panitera harus aktif dan membuat berita acara, selain itu juga hakim harus mencatat poin-poin penting dari pembelaan tersebut. Namun dalam hal pembelaan diajukan dengan cara tertulis maka terdakwa dipersilahkan untuk membacakan pembelaan dengan cara berdiri, setelah selesai berkas atau nota pembelaan yang asli diserahkan kepada majelis hakim salinannya diserahkan kepada jaksa penuntut umum.<br />2. Kalau terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya kepada penasehat hukum, maka hakim pertanya pada penasehat hukum apakah sudah siap dengan naskah pembelaannya?. Kalau sudah siap maka ketua majelis hakim emmpersilahkan penasehat hukum untuk membacakannya. Mengenai tatacara pembacaannya sama dengan tatacara pembacaan eksepsi.<br />3. Setelah pembacaan pembelaan selesai selanjutnya naskah nota pembelaan yang asli diserahkan kepada ketua majelis hakim dan salinannya diserahkan kepada jaksa penutnut umum dan terdakwa.<br />4. Berikutnya hakim bertanya kepada jaksa penuntut umum apakah akan mengajukan tanggapannya (replik) kalau ternyata jaksa penuntut umum akan memberikan tanggapannya maka hakim memebrikan kesempatan untuk menyusun tanggapannya untuk diajukan dalam sidang berikutnya.<br /><br />B.3.3. Pengujian tanggapan-tanggapan (Replik, Dublik, Rereplik, Reduplik)<br />1. Hakim membuka sidang, selanjutnya bertanya kepada jaksa penuntut umum apakah telah siap dengan tanggpannya ? kalau telah siap hakim mempersilahkan jaksa peuntut umum untuk membacakan tanggapannya (replik) tatacara pembacaan sama dengan tata cara pembacaan requisitoir.<br />2. Kesempatan selanjutnya hakim bertanya pada penasehat hukum apakah akan memberitanggapan juga (duplik) kalau akan megnajukan, maka hakim bertanya apakah telah siap dengan tanggapannya, selanjutnya hakim mempersilahkan pada penasehat hukum untuk membacakan tanggapannya. Tatacaranya sama dengan waktu membacakan pembelaan.<br />3. Setelah tanggapan pertama sudah selesai kalau dirasa masih ada yang perlu ditanggapi maka hakim mempersilahkan untuk memberikan tanggapan berikutnya (rereplik dan reduplik) kesempatan pertama diberikan pada jaksa penuntut umum dilanjutkan oleh penasehat hukum.<br />4. Pengajuan tanggapan-tanggapan sudah selesai maka hakim bertanya pada jaksa penuntut umum dan penasehat hukum apakah ada sesuatu lagi yang akan diajukan dalam pemeriksaan. Kalau tidak maka hakim menyatakan bahwa pemeriksaan dianggap selesai dan selanjutnya menutup sidang serta memberitahu bahwa sidang berikutnya adalah sidang pembacaan putusan.<br /><br />B.4. Pembacaan Putusan Hakim (Vonis).<br />Dalam hal putusan hakim diatur dalam pasal 182 KUHP ayat (3) sampai ayat (7) yang secara ringkas dapat dijelaskan bahwa hakim dalam mengambil keputusan harus mendasarkan pada surat dakwaan, eksepsi requisitoir, pleidooi serta tanggapan-tanggapan. Dilakukan dengan cara musyawarah tertutup. Dalam mengajukan analisis serta argument hukum (legal reasoning) maka kesempatan pertama diberikan kepada hakim yuniour selanjutnya diberikan kesempatan kepada hakim senior dan terakhir kesempatan kepada ketua. Dalam mengambil keputusan selalu menggunakan suara terbanyak sebagai hasil putusan kecuali dalam hal tidak tercapai yang diatas maka keputusan diambil berdasarkan pertimbangan yang menguntungkan terdakwa. Putusan dituangkan dalam bentuk naskah dan dibukukan dalam buku khusus di Pengadilan Negeri dan buku ini safatnya rahasia yang sering disebut dissenting opinion. Setelah putusan dianggap siap untuk dibacakan maka urutan pembacaan putusan adalah sebagai berikut:<br />1. hakim membuka sidang selanjutnya terdakwa dipersilahkan untuk duduk dikursi pemeriksaan, hakim mengingatkan terdakwa agar mendengarkan putusan dengan cermat.<br />2. Hakim mulai membacakan putusan yang diawali dengan kata "“engadili"”dan seterusnya. Tatacara pembacaannya sama dengan ketika pembacaan putusan sela.<br />3. Ketika akan membacakan amar putusan diawali dengan kata "mengadili"”terdakwa dipersilahkan untuk berdiri setelah pembacaan amar putusan selesai hakim mengetukkan palu sebanyak IX kali selanjutnya terdakwa dipersilahkan duduk kembali. Selanjutnya hakim sedikit menjelaskan poin-poin dalam putusannya kepada terdakwa meyangkut bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga putusannya penjatuhan pidana atau bebas. Serta menyakan sikap dari terdakwa dan penasehat hukumnya. Apakah akan banding, pikir-pikir dulu. Atau menerima putusan tersebut.<br />4. Kalau terdakwa/penasehat hukum mengatakan pikir-pikir maka hakim memberikan waktu tujuh hari terhitung mulai hari itu untuk pikir-pikir. Namun jika terpidana menyatakan banding, maka hakim memerintahkan terpidana untuk menandatangi nota permohonan banding, kalau terdakwa menerima mka menandatangani berita acara menerima putusan yang telah dipersiapkan oleh panitera.<br />5. Jika majelis hakim menganggap seluruh rangkaian sidang dianggap selesai maka ketua majelis hakim menutup sidang dengan mengucapkan kira-kira “sidang dinyatakan ditutup” dengan ketukan palu 3 kali.<br />6. Selanjutnya panitera sebagai protokol mengucapkan “majelis hakim akan meninggalkan ruangan hadirin dimohon untuk berdiri” lalu majlis hakim keluar ruangan diawali ketua diikuti hakim anggota senior dan dibelakangnya hakim yunior. Namun dalam prakteknya sering kali tidak demikian karena setelah sidang ditutup hadirin sudah keluar sendiri-sendiri bahkan majelis hakim masih duduk dikursinya.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-80320020622274727202009-02-08T19:43:00.000-08:002009-02-08T19:45:16.957-08:00Menuju Pemikiran Hukum Progresif di Indonesia<br />Oleh: Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, SH.<br /><br /><br />A Pendahuluan<br />Memasuki situasi transisi dan perubahan yang sangat cepat saat ini, hukum Indonesia memiliki banyak catatan untuk dikaji. Satu yang hendak kita bicarakan pada bagian ini, yaitu pandangan seorang yang dapat disebut pakar yang selama ini senantiasa melihat hukum melalui cara pandang berbeda. Satjipto Rahardjo, barang kali bukan nama yang asing bagi kalangan praktisi dan akademisi hukum di Indonesia. Buah karyanya dalam berbagai tulisan telah memberikan nuansa baru bagi perkembangan hukum.<br />Ada beberapa alasan mengapa pemikiran beliau dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama, alasan paling logis, bahwa salah satu penulis memiliki kedekatan (hubungan intelektual) dengan beliau, sehingga cukup memudahkan untuk memetakan secara garis besar pemikiran beliau tentang hukum di Indonesia. Kedua, sejauh ini beberapa pemikir lain di bidang hukum sudah banyak diulas dalam beberapa buku, baik untuk tingkat dasar (pengantar) sampai tingkat lanjut tentang hukum Indonesia, sebut saja beberapa tulisan dan karya Mochtar Kusumahatmadja, Soerjono Soekanto dan lain-lain. Ketiga, orisinalitas pemikiran Satjipto Rahardjo mewakili konteks berpikir kontemporer atau postmodernis, sesuai dengan tujuan penyusunan buku ini, yaitu menyangkut perkembangan yang luar biasa pesat dalam ilmu dan hukum harus mengantisipasi perkembantgan tersebut. Keempat, substansi pemikiran yang diajukan mengarah kepada pembentukan teori hukum.<br />Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Keping pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science),(Satjipto Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan untuk melihat logika social dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto merupakan tragedi pemikiran.<br />Satjipto Rahardjo merupakan salah satu pemikir hukum Indonesia yang cukup produktif. Prof. Tjip, begitu orang-orang menyebutnya, lebih terkenal (khususnya) di dunia akademis sebagai ‘Begawan Hukum’. Pemikirannya akan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan, buku teks atau tercerai berai di berbagai surat kabar dalam bentuk artikel dan makalah seminar/diskusi. Substansinya sangat beragam bahkan sangat luas, mulai dari hal yang bersifat filosofis, sosiologis bahkan anthropologis dan religius. Ciri pemikirannya sesuai dengan perkembangan saat ini dapat dimasukan ke dalam pemikir kontemporer dalam ilmu hukum postmodernis sekaligus kritis.<br />Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebutnya sebagai ‘Pemikiran Hukum Progresif’, yaitu semacam refleksi dari perjalanan intelektualnya selama menjadi musafir ilmu. Tulisan yang ada dalam buku ini, hanya berupa sketsa kecil dan bisa jadi tidak dapat menggambarkan substansi, konsep dan pesan yang ada didalamnya. Karena fokusnya lebih kepada kutipan-kutipan dari pidato emeritusnya, juga beberapa diskusi di ruang kelas dan di ruang seminar, (khususnya dengan salah satu penulis buku ini), ketika mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Undip Semarang.<br />Meskipun demikian, sebagai sebuah tulisan berbentuk sketsa hal ini cukup representative, mengingat kedalam substansi yang dikemukakan dalam pidato emeritusnya dan juga materi diskusi. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Proses pemaknaan itu digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bagunannya sebuah teori, yang dalam terminologi Kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatika”.<br /><br />B. Profesi dan Ilmu<br />Bagi Satjipto Rahardjo, lahirnya program Pascasarjana dalam pendidikan hukum di Indonesia, pada tahun 1980-an merupakan sebuah pembalikan paradigmatik (revolusioner) dalam dunia pendidikan hukum, sebagaimana dijelaskan, “Dikatakan sebagai revolusi, oleh karena sejak dibuka rechtshogeschool di jaman kolonial Belanda pada tahun 1922, maka Indonesia hanya mengenal program profesi saja. Maka sungguh revolusionerlah sifat atau kualitas perubahan pada pertengahan tahun 1980-an itu, mulai saat itu Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan profesi, melainkan juga keilmuan, khususnya dalam bidang hukum…”<br />Apalagi setelah dibukanya Program Doktor Ilmu Hukum, khususnya di UNDIP, maka lebih jelaslah kedudukan hukum sebagai objek ilmu, dan mengokohkan eksistensi tentang program keilmuan. Sehingga mereka yang hendak kuliah di Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, tidak harus memiliki latar belakang formal SI Hukum. Konsekuensi yang muncul, bahwa para ilmuwan hukum akan diajak untuk menjelajah hukum secara luas yang intinya tidak lain adalah searching for truth (pencarian kebenaran). Inilah sebuah inti pemikiran beliau, bahwa setiap akademisi hukum memiliki kewajiban untuk upaya pencarian kebenaran. Pencarian kebenaran inilah sebenarnya disebutnya sebagai proses pemaknaan terhadap hukum, dan ini pula merupakan kesadaran visioner, bahwa tugas ilmuwan adalah mencerahkan masyarakat, sehingga dunia pendidikan memberikan kontribusi dan tidak melakukan pemborosan.<br />Selama ini, khususnya sebelum lahirnya S2-S3, pendidikan hukum lebih bersifat kepada apa yang disebutnya dengan Lawyers Law, atau Law for the lawyers atau Law for the professional, setiap orang dibawa dan diarahkan untuk menjadi seorang profesional, dan sisi buruknya muncul pandangan bahwa itulah satu-satunya kebenaran, bahwa hukum hanyalah ada dalam wilayah yang disebut dengan “logika hukum”. Pandangan ini kemudian berkembang lebih jauh bahkan mendominasi dan menghegemoni, sehingga setiap orang apabila berbicara hukum seolah-olah hanya wilayah “logika hukum”itulah kebenaran, di luar wilayah itu bukanlah hukum. Namun dengan munculnya pendidikan S2 dan S3, maka wilayah kebenaran (hukum) menjadi jauh lebih luas daripada gambaran hukum yang sudah direduksi menjadi sekedar Lawyers Law.<br />Untuk melihat lebih jelas persoalan diatas, Satjipto Raharjo memberikan gambaran tentang kajian dua domain pendidikan yang berbeda itu, dengan menjelaskan bahwa pendidikan hukum Profesional, dan pendidikan S2 dan S3, akan melihat hukum sebagai berikut;<br /><br />ILMU HUKUM<br />Sebenar Ilmu Ilmu Praktis<br />Science<br />Genuine Science: What is a law?<br />Credo: in search for the truth, the truth about law.<br />Pencarian, Pembebasan dan pencerahan.<br />Indefinitive; batas-batasnya kabur.<br />Orientasi: komunitas dunia ilmu.<br />Kesadaran: pencarian kebenaran meski pada saat yang sama kita tidak dapat menggenggam kebenaran tersebut. Ilmu Hukum Positif; What should be considers as law?<br />a. Praktis;<br />b. Keterampilan/skill hukum positif;<br />c. Profesional Study; Lawyers Law-Law for the lawyers.<br />d. Credo: “Rules and Logic”<br />e. Concern: What to do?, How to do?<br />f. Mempertahankan hukum positif Final definitive.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />C. Ilmu Hukum yang Selalu Bergeser<br />Penjelasan lain yang berkaitan dengan persoala diatas, adalah sikap ilmuwan yang harus senantiasa menyikapi ilmu sebagai sesuatu yang terus berubah, bergerak dan mengalir, demikian pula ilmu hukum. Garis perbatasan Ilmu Hukum selalu bergeser sebagaimana dijelaskan,<br />“… Maka menjadi tidak mengherankan bahwa baris perbatasan ilmu pengetahuan selalu berubah, bergeser, lebih maju dan lebih maju ….”<br />Dengan mencontohkan pergeseran paradikmatik dalam ilmu fisika khususnya pemikitan Newton yang terkenal dan pada waktu itu menghegomoni para fisikawan kemudian digantikan oleh era baru dengan munculnya teori kuantum modern yang pada kenyataannya lebih mampu menjawab persoalan-persoalan fisika yang tidak terpecahkan sebelumnya. Harus diakui bahwa Fisika Newton telah memberikan jasa luar biasa besar terhadap persoalan-persoalan fisika yang bersifat makro, logis, terukur dan melihat hubungan sebab akibat (mekanis), namun tidak mampu menjawab persoalan mikro, yang bersifat relative, kabur, tidak pasti, namun lebih menyeluruh. Lahirnya teori kuantum modern yang memecahkan kebuntuan dari teori fisika Newton tersebut, selanjutnya merubah cara pandang ilmuwan tentang realitas alam semesta. Perubahan itu tentu saja dimaknai secara bervariasi oleh setiap orang yang mencermatinya, namun hakekat utamanya jelas bahwa lahirnya teori kuantum adalah penjelasan paling logis bahwa ilmu senantiasa berada di tepi garis yang labil.<br />Satjipto Raharjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi rumit” dan “dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan”. Inilah yang disebutnya sebagai “pandangan holistik dalam ilmu (hukum). Pandangan holistik ini memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Edward O. Wilson melalui tulisannya yaitu Consilience; The Unity of Knowledge, membawa kita kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan, sebagaimana dijelaskan Ian G. Barbour, “Wilson berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam, sains sosial dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar disiplin merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghinpun beberapa disiplin secara luas dan anggun”.<br />Menurutnya tumbangnya era Newton mengisyaratkan suatu perubahan penting dalam metodologi ilmu dan sebaiknya hukum juga memperhatikannya dengan cermat. Karena adanya kesamaan antara metode Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode hukum yang analytical-positivism atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam (dalam terminology Newton) atau Hukum dalam terminologi positivistic (Kelsen dan Austin) dilihat sebagai suatu sistem yang tersusun logis, teratur dan tanpa cacat. Dengan munculnya teori kuantum, bahkan teori keos, imbasnya terasa sekali kepada perkembangan pemikiran hukum. Maka situasi atau yang selama ini teramalkan dalam konsep yang dijelaskan diatas (Kelsen dan Austin) menjadi tatanan yang tidak dapat diprediksi, acak, simpang siur, dan dramatis.<br />Gagasan fisika kuantum tersebut di atas dengan relativitasnya, membantu kita untuk tidak memutlakan gagasan dan nilai yang kita pegang, tidak ada di dunia ini yang mutlak, yang paling benar dan paling baik sendiri, yang mutlak hanya Allah. Pemutlakan terhadap kebenaran yang relatif di atas itu pada dasarnya akan merusak kreativitas. Bagi Satjipto Rahardjo, teori bukanlah harga mati, karena sejarah perkembangan ilmu pengetahuan telah membuktikan itu semua sejak jaman Yunani hingga masa di era Postmodernini. Oleh karenanya ilmu hukum selalu berada pada suatu pijakan yang sangat labil dan atau selalu berubah (the changing frontier of science) dan ini pula yang disebutnya dengan “the state of the arts in science”. Oleh karena itu kalimat yang senantiasa muncul adalah ‘hukum selalu mengalami referendum’.<br />Bagi Satjipto Raharjo, berpikir teoretis bagi para ilmuwan hukum adalah mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu gagasan beliau lebih kepada bagaimana para ilmuwan hendaknya mengembangkan semangat untuk tetap menjaga cara berpikir yang demikian itu, karena melalui jalur tersebut akan membawa kita semua sampai kepada apa yang disebutnya dengan “The Formation of Theory” (membangun teori). Teori menurutnya adalah, Giving name-explanation, given new meaning. Para lmuwan hukum seharusnya mencoba berpikir kearah sana. Dan semua ilmuwan sangat terbuka/diundang untuk memasuki wilayah ini.<br />Teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau sebuah komunitas memandang apa yang disebut hukum itu, artinya apa yang sedang terjadi atau perubahan yang tengah terjadi dimana komunitas itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang hukum. Misalnya saja lahirnya pemikiran positivistic dalam Ilmu Hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat positivistic yang saat itu tengah booming. Satjipto Rahardjo memberikan penjelasan tentang lahirnya sebuah teori dalam bagan sebagai berikut :<br /><br /><br /><br /> <br /><br />Sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada pada wilayah yang labil, selalu berada pada suatu wilayah yang keos. Artinya disini teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Teori baru ini menurut Satjipto Rahardjo pada dasarnya, akan memberikan tambahan ilmu, transformasi; bergerak, dan proses pemaknaan baru, dengan demikian struktur ilmu berubah secara total. Gambaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:<br /><br /> <br /><br />D. Kritik Terhadap Hukum Modern<br />Satu hal yang cukup penting dari gagasan Satjipto Rahardjo, adalah kritiknya terhadap dominasi hokum modern, yang telah mengerangkeng kecerdasan (berfikir) kebanyakan ilmuwan hukum di indonesia. Sejak munculnya hukum modern, seluruh tatanan social yang ada mengalami perubahan luar biasa. Kemunculan hukum modern tidak terlepas dari munculnya negara modern. Negara bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat, dan pada saat yang sama kekuasaan negara menjadi sangat hegemonial, sehingga seluruh yang ada dalam lingkup kekuasaan negara harus diberi label negara, undang-undang negara, peradilan negara, polisi negara, hakim negara dan seterusnya. Bagi hukum ini merupakan sebuah puncak perkembangan yang ujungnya berakhir pada dogmatisme hukum, liberalisme, kapitalisme, formalisme dan kodifikasi.<br /> Namun demikian Satjipto Rahardjo menjelaskan, bahwa memasuki akhir abad 20 dan awal abad 21, nampak sebuah perubahan yang cukup penting, yaitu dimulainya perlawanan terhadap dominasi atau kekuasaan negara tersebut. Dalam ilmu, pandangan ini muncul dan diusung oleh para pemikir post-modernis, sehingga dengan demikian sifat hegemonal dari Negara perlahan-lahan dibatasi, dan mulai muncul pluralisme dalam masyarakat, Negara tidak lagi absolute kekuasaannya. Muncullah apa yang disebut dengan kearifan-kearifan lokal, bahwa Negara ternyata bukan satu-satunya kebenaran. Inilah yang digambarkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai gambaran transformasi hukum yang mengalami “bifurcation” (pencabangan) dari corak hukum yang bersifat formalism, rasional dan bertumpu pada prosedur, namun di samping itu muncul pula apa pemikiran yang lebih mengedepankan substansial justice, sebagaimana dijelaskan,<br />“Disinilah hukum modern berada di persimpangan sebab antara keadilan sudah diputuskan dan hukum sudah diterapkan terdapat perbedaan yang sangat besar. Wilayah keadilan tidak persis sama dengan wilayah hukum positif. Keadaan yang gawat tersebut tampil dengan menyolok pada waktu kita berbicara tentang “supremasi hukum”. Apakah yang kita maksud? Supremasi keadilan atau supremasi undang-undang? Keadaan persimpangan tersebut juga memunculkan pengertian-pengertian seperti “formal justice” atau “legal justice” di satu pihak dan “substansial justce” di pihak lain.<br /><br /> <br /><br />Inilah sebuah sketsa singkat pemikiran seorang yang selalu berada di jalan ilmu, upaya dan semangat yang dikembangkan dengan terus berusaha mencermati perubahan yang terjadi, khususnya di Indonesia, gagasan Satjipto Rahardjo tidak saja memperkaya khasanah pengetahuan hukum tetapi lebih dari itu memberikan sebuah keteladanan bahwa kewajiban bagi seorang ilmuwan adalah selalu bersikap rendah hati dan terbuka, serta memiliki semangat untuk senantiasa berada pada jalur pencarian, pembebasan dan pencerahan. Itulah pesan yang merupakan hakekat dari apa yang disebutnya “pemikiran hukum yang progresGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-84957984199708758172009-02-06T17:49:00.000-08:002009-02-06T17:51:18.915-08:00Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Filsafat Hukum IslamPORNOGRAFI DAN PORNOAKSI<br />DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM DAN HUKUM ISLAM<br />Gatot Sugiharto <br /><br />PENDAHULUAN.<br />Hidup dalam tatanan masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera merupakan dambaan setiap manusia, munculnya tindakan-tindakan amoral/ asusila merupakan konsekuensi dari globalisasi yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Fitrah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna adalah makhluk yang bermoral dan mampu berprilaku susila/baik, karena telah dikaruniai akal sebagai bekal untuk berpikir dan bertidak dengan koridor-koridor yang menjadi acuan hidup berperilaku, baik yang merupakan aturan tingkah laku yang tak tertulis (Conduct Norm) maupun aturan yang telah disepakati sebagai hukum tertulis.<br />Namun demikian manusia sebagai makhluk yang sempurna juga memiliki nafsu yang ikut berperan mengarahkan atau mempengaruhi perilakunya sehingga ada kecenderungan manusia melakukan perbuatan-perbuatan ammoral/ tidak bermoral dan asusila/ tidak susila. Keberadaan akal dan nafsu dalam diri manusia tersebut menimbulkan suatu keadaan perilaku yang mengarah kepada perbuatan baik dan buruk seorang manusia. Manusia sebagai obyek bermuaranya dua faktor berpengaruh mengharuskan manusia mampu memilih dan mengarahkan setiap tindakan yang akan dilakukan agar tidak dikuasai oleh nafsu sebagai salah satu faktor berpengaruh dalam diri manusia. Idealnya manusia itu mampu menekan nafsunya menggunakan akal yang dimilikinya agar setiap perilakunya menjadikan perilaku yang bermoral dan terarah.<br />Harapan akan idealitas kehidupan terkadang tidak dapat terwujud manakala manusia dikuasai oleh nafsunya, sehingga manusia cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan yang tidak susila. Manusia diciptakan didunia selain sebagai makhluk personal juga sebagai makhluk sosial sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan harus juga memperhatikan kepentingan orang lain yang berada dilingkungannya.<br />Bangsa Indonesia sebagai salah satu unsur dari negara juga tidak pernah lepas dari perilaku yang dipengaruhi oleh nafsu, sehingga muncul perbuatan-perbuatan yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai perbuatan yang buruk. Fenomena pornografi dan pornoaksi misalnya, Tindakan pornografi dan pornoaksi dinilai memberikan andil besar atas kemerosotan moral bangsa Indonesia dari hari ke hari. Sebagaimana diberitakan Kantor Berita Associated Press (AP), Indonesia berada pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi . <br />Indonesia merupakan negara peringkat kedua di dunia setelah Swedia dalam peredaran majalah dan VCD pornografi dan pornoaksi, sehingga kedepannya akan berdampak buruk pada masyarakat luas. "Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan," kata Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Univesitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno.selanjutnya dia juga mengungkapkan bahwa,,"Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama" .<br />Selain itu juga hilangnya kepekaan moral seperti perasaan menjijikkan, amoral dan menyesatkan, namun menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima serta mulai memandang orang lain sebagai obyek. Pada prinsipnya semua pihak sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi yang tersebar dewasa ini, tanpa ada pengontrolan yang baik akan berdampak pada generasi muda, Hal itu tidak bisa dipungkiri seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kegiatan yang menjurus ke hal itu juga ikut berkembang. Sebab perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dan mengalir ke rumah tangga tanpa batas. <br />Lahirnya Undang-undang Pornografi masih menyisakan masalah, isu yudisial review terhadap undang-undang tersebut terus mewarnai media masa. Disusul dengan isu ancaman disintegrasi bangsa menjadikan permasalahan pornografi ini seakan tak akan pernah ada habisnya. <br />Terlepas dari masalah-masalah yang berkembang di media masa, perlu kiranya ada pengkajian khusus mengenai tinjauan moral khususnya hukum islam melihat persoalan pornografi, sehingga dalam kesempatan ini tulisan sederhana ini mencoba menyajikan pandangan islam mengenai pornografi dan pornoaksi, oleh sebab itu tulisan ini mengambil judul Pornografi dan Pornoaksi dalam prespektif filsafat hukum dan hukum islam. Yang akan difokuskan pada kajian hubungan Pornografi dan pornoaksi dengan tujuan hukum islam.<br /><br />PEMBAHASAN<br />A. Hukum dan Moralitas<br />Problem hukum dan moralitas merupakan subyek perdebatan yang hangat dikalangan pengacara di Inggris, setelah adanya keputusan daro House of Lords dari kasus tuan Shaw melawan the Director of public Prosecution pada tahun 1962. tuan Shaw telah menyusun seuah brosur yang berjudul “ladies Director” yang mendaftar nama-nama dan alamat-alamat pelacuran termasuk fotografi telanjang dan petunjuk singkat dari praktekpraktek seksual mereka yang khusus.<br />Terlepas dari kesalahan karena menerbitkan artikel cabul, tuan Shaw juga dihukum karena pelanggaran bersekongkol merusak moral masyarakat. Ini merupaka formulasi pelanggaran terakhir yang dilakukan oleh para ahli hukum inggris yang mendorong adanya diskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang fundamental: apakah ini merupakan fungsi hukum untuk menyelenggarakan ukuran-ukuran moralitas konvensional dengan menghukum penyimpagan-penyimpangan darinya; khususnya dalam kasus imoralitas seksual secara pribadi yang tidak ada alasan merugikan atau melanggar orang lain. <br />Hukum islam memasukkan prinsip pelaksanaan moralitas seksual yang keras, hal itu menjelaskan tentang hukuman yang ditetapkan bagi pelanggaran zina. Menurut hukum ingris hubungan seksual di luar perkawinan bukan merupakan pelanggaran hukum kecuali kalau diperburuk oleh keadaan seperti tidak adanya ersetujuan antara keduanya, seorang gadis muda usia, ada hubungan darah dengan orang yang bersangkutan, atau tingkah laku yang tidak alami, sama dengan pelanggaran kriminal karena perkosaan, berzina dengan saudaranya, sodomi. Begitu juga hukum di indonesia. Yang mengatakan bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perenpuan yang keduanya atau salah satunya belum terikat tali perkawinan tidak dikatakan zina. Dilain pihak hukum islam menganggap hubungan seksual bentuk apapun adalah merupakan kejahatan kecuali kalau hal itu antara suami dan istri atau masa lalu antara tuan dan selir budaknya.<br />Dalam sumber material primer syariah Al-Qur’an, tidak ada pembedaan yang jelas dan konsisten antara moral dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika dalam hukum islam, Al-Qur’an menetapkan masalah-masalah pokok untuk membedakan yang benar dari yang salah, baik buruk, pantas dan tidak pantas, atau biasanya hal itu tidak diteruskan pada tingkat skunder menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus , memang benar , sanksi-hukum yang tepat dijatuhkan karena perbuatan atau kelalaian seperti hukuman dera (cambuk) bagi orang yang menfitnah secara serius, atau hukum potong tangan bagi pencuri.<br />B. Pornografi dan Pornoaksi<br />Pertanyaan apa sebenarnya pornografi dan pornoaksi itu? Tidak dapat segera dapat dijawab dengan mudah, oleh karena sampai saat ini tidak ada kesepakatan mengenai pengertian pornografi dan pornoaksi. Sebagai gambaran tentang beberapa pendapat yang mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.<br /> Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya. <br />Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor. <br />Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual. <br />Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu: <br />1. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.<br />2. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih. <br /><br />Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat. <br />Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.<br />Pornografi adalah materi baik berupa tulisan atau gambar yang dengan sengaja maupun tidak sengaja di buat atau dirancang dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi/ seks. Namun dikecualikan untuk tulisan atau gambar yang dirancang untuk keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sedangkan pornoaksi dapat penulis devinisikan sebagai tindakan penggambaran dalam bentuk gerakan, liukan tubuh yang dapat membangkitkan nafsu birahi/seks. <br /><br />C. Hubungan Pornografi dan Pornoaksi dengan Tujuan Hukum Islam<br />Abu Asy-syatibi telah merumuskan tujuan hukum islam dalam Al-maqasid asy sya’iyyah, yaitu untuk memelihara agama, jiwa akal, keturunan dan harta. Mohammad Muslehudin menambahkannya dengan tujuan hukum islam yang ke enam yaitu untuk memelihara kehormatan dirinya. Pemeliharaan diri dari hal-hal pornografis dan pornoaksi berarti merupakan pemeliharaan tubuh, jiwa, akal dan ruhani yang menyatu dan terwujud dalam tubuh setiapa manusia yang sekaligus berarti memelihara agama, keturunan dan harta, serta kehormatan diri. Pemeliharaan terhadap tubuh sebagai amanah Allah menurut ajaran islam, tidak terlepas dari pemeliharaan terhadap agama (yang terdiri dari memelihara akidah, syariah dan akhlak), jiwa, akal, keturunan, harta benda dan kehormatan..<br />Islam mengajarkan bahwa tujuan utama hidup dan kehidupan manusia adalah untuk mendapat ridho Allah semata, untuk mencapai kebahagyaan di dunia dan di akherat, dalam upaya mencapai ridho Allah, islam mengajarkan tentang rukun iman yang terdiri dari enam. Iman kepada Allah, rasal-rasulnya, Alquran, malaikat-malaikatNya, beriman kepada hari akhir yaitu hari perhitungan bagi setiap insan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama hidup didunia. Termasuk pertanggungjawaban dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuhnya masingmasing sebagai amanah Allah. Dan rukun iman yang terakhir adalah beriman kepada Qada dan Qodar Allah. <br />1. Hubungan Pornografi dan pornoaksi dengan konsep kepemilikan Tubuh.<br />Pornografi dan pornoaksi selalu dikaitkan dengan gerak tubuh yang erotis dan atau sensual dari perempuan dan atau laki-laki untuk membangkitkan nafsu birahi baik bagi lawan jenis maupun sejenis. Sebenarnya perbuatan yang termasuk pornografi atau pornoaksi bukan semata-mata perbuatan eriotis yang membangkitkan nafsu birahi, tetapi termasuk juga perbuatan erotis dan sensual yang memuakkan, menjijikka atau memalukan orang yang melihatnya atau mendengarkan atau menyentuhnya. <br />Hubungan perbuatan pornografi dan pornoaksi dengan pemilik tubuh pelaku, tentu tidak lepas dari prinsip kepemilikan tubuh itu sendiri bagi masing-masing pemilik tubuh, biasanya selalu berkaitan dengan perolehan sejumlah harta sebagai imbalan jasa bagi pemilik tubuh yang bersangkutan, baik sebagai model peragaan busana (kecuali busana muslim), model iklan, lukisan, patung, penari, penyanyi, dan lainnya.<br />Menurut hukum Islam, tubuh manusia merupakan amanah Allah Swt bagi pemilik tubuh yang bersangkutan yang wajib dipelihara dan dijaga dari segala perbuatan tercela, perbuatan yang akan merugikan pemilik tubuh maupun masyarakat demi hidup dan kehidupannya baik di dunia maupun di akherat kelak. Tubuh sebagai amanah Allah yang wajib dipelihara oleh setiap insan antara lain diatur dalam surah surah An-Nur ayat 30 dan 31 yang mengatur tentang tata busana dan tata pergaulan dalam keluarga dan masyarakat bagi laki-laki dan perempuan . Bunyi ayat tersebut adalah:<br /> <br /> Artinya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh , Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. ( An Nur:30)<br /><br /> <br /> Artinya: dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau aputra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau para perempuan sesama islam, atau para hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki tua yang tidak memiliki (keinginan terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar di ketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai-orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.<br /><br />2. Hubungan Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi dengan Tujuan Hukum Islam<br />Kaitan kepemilikan terhadap tubuh dan harta dengan pornografi dan pornoaksi dapat ditinjau pula dari sudut tujuan hukum islam, bahwa hukum islam bertujuan untuk memlihara agama, akal, jiwa, keturunan, harta, seperti yang disampaikan oleh Abu Ishaq Asy-Syatibi . Dan Muhammad Abu Zahrah, dan kehormatan. Tubuh manusia, menurut ajaran islam merupakan amanah Allah yang berkaitan dengan seluruh tujuan hukum islam. Seluruh tujuan hukum islam berkaitan dengan tubuh manusia yang di dalamnya terdapat ruh, jiwa, akal dan Qolbu.<br />a. Kaitan Tindak pidana pornografi dan Pornoaksi dengan memelihara Agama.<br /><br />Kaitan tubuh dengan seluruh aspek yang terdapat di dalamnya(ruh, jiwa,akal dan qolbu) adalah berjtujuan untuk memelihara agama. Agama islam sebagai agama terakhir dan agama yang di ridhoi Allah (Al-maidah ayat 3) yang berintikan akidah, syari’ah, dan akhlak, menuntun, membimbing, mengarahkan, dan mengatur hidup dan kehidupan manusia, baik dalam peraturan yang Qat’i maupun Zanni, demi kebahagyaan didunia dan akherat kelak<br />Agama islam yang didalamnya terdapat hukum islam, baik dalam pengertian Syariah maupun Fiqih mengatur hubungan manusia dengan Allah (Hablun Minallah) yang tercermin dalam Arkanul islam, juga mengtur hubungan manusia drngan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, baik lokal, nasional dan internasional, serta mengatur hubungan manusia dengan sekitarnya (Hablun Minannas) . <br />Islam diturunkan di muka bumi dalam rangka membimbing manusia untuk menuju kebaikan hakiki. Karena ajaran islam mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan Allah, orang lain dan lingkungannya, tindak pidana pornografi dan pornoaksi merupakan satu perbuatan yang merusak moral dan mental bangsa, oleh sebab itu tindakan tersebut perlu dilakukan pengaturan yang jelas dalam rangka melindungi manusia dari perbuatan sesat dan membawa manusia menuju kepada jalan yang tidak benar. <br />Menjaga diri dari tindakan pornografi dan pornoaksi merupakan tindakan yang tepat dalam rangka mencapai tujuan hukum islam yakni memelihara agama agar tetap suci dan mampu menjadi filter dalam berprilaku setiap insan.<br />b. Kaitan Tindak Pidana Pornografi dan pornoaksi dengan memelihara Jiwa.<br /><br />Kaitan pornografi dan pornoaksi dengan memlihara jiwa. Tubuh tanpa jiwa. Tubuh tanpa jiwa adalah mati, dan setiap yang berjiwa pasti akan mati begitu pula manusia. Jiwa yang berada dalam tubuh setiap manusia merupakan amanah yang wajib dipelihara, karena setiap orang berada dalam kekuasaan Allah karena itu, tuhan melarang manusia melakukan pembunuhan. Perintah kepada manusia agar melakukan juhat dengan jiwa dan harta, menegakkan keadilan dan kebenaran dengan jujur dan Ihklas, adalah bukan untuk kepentingan Tuhan, karena tuhan maha kaya, maha memiliki segalanya yang ada di langit dan di bumi.<br />Tuhan menghargai jiwa yang tenang. Penghargaan Allah terhadap jiwa yang tenang terdapat dalam surah Al fajr ayat 27 yang artinya: hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhoinya. Maka masuklah ke dalam syurgaKU. Adalah jiwa terpelihara dari kemaksiatan, termasuk jiwa yang terpelihara dari pornografi dan pornoaksi. Karena itu jiwa perlu dipelihara.<br />Kewajiban memelihara jiwa ditentukan Allah melalui larangan-larangan melakukan pembunuhan, dan segala perbuatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian. Dalam menentukan langkah tubuh biasanya selalu disertai jiwa, antara lain dalam melakukan langkah mempersilahkan tubuh untuk melakukan pornografi dan pornoaksi juga selalu disertai jiwa. Apabila jiwa telah dirasuki oleh nilai-nilai hidup dan kehidupan yang bertentangan dengan inti tujuan hukum islam, nilai-nilai kehidupan yang pornografis dan pornoaksi, yang bertujuan tidak untuk mendapatkan Ridho dari Allah maka tubuhpun melangkah tanpa jiwa yang ddasari akidah, syriah dan ahklak yang di rihoi Allah . Pembunuhan yang diakibatkan ileh adanya perbuatan pornografi maupun pornoaksi telah sering terjadi. Namun akibat pornografi dan pornoaksi yang terpenting dan terfatal adalah pembunuhan terhadap jiwa yang berakidah, bersyariah dan berakhlak yang di ridhoi Allah.<br />c. Kaitan Tindak pidana Pornografi dan Pornoaksi dengan memlihara Akal<br /><br />Akal wajib dipelihara , karena akal merupakan amanah dan merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan mahkluk lain. Akal terdapat didalam tubuh manusia, akal sebagai karunia Allah merupakan alat bagi manusia untuk berfikir dan bersyuur atas segala bidang hidup dan kehidupannya yang diciptakan Allah. Dan ciptaan yang diperuntukkan bagi kepentingan manusia sebagai khalifatullah di muka bumi . <br />Melalui akal yang didasarkan kepada akidah, syariah dan akhlak, maka pornografi maupun pornoaksi adalah merupakan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan hukum islam. Karena berdasarkan akal islami yang bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah di dunia dan akherat, maka pornografi dan pornoaksi merupakan perbuatan yang mustahil dapat mencapai tujuan hukum islam, mendapat ridha Allah berupa pemeliharaan akal ini. <br />Akal baik manusia tidak akan pernah menerima perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaannya demi kesenangannya sesaat dan kesenangan materi duniawi semata. Pencapaian kesenangan yang hanya sifatnya duniawi saja tidak akan mendapatkan bagian yang menyenangkan di akherat kelak.<br />Tuhan adalah pemberi kehormatan kepada manusia yang dikehendakiNya. Pornografi dan pornoaksi bukan merupakan perbuatan yang dapat memberikan kehormatan maupun nikmat yang di ridhoi Allah, tetapi pornorafi dan pornoaksi merupakan perbuatan atau nikmat sementara bagi sebagaian orang yang dapat merendahkan kehormata dirinya serta melepaskan dirinya pula dari akidah, syariah dan Akhlak islami.<br />Pornografi dan pornoaksi merupakan pebuatan yang menimbulkan kenikmatan yang memperdayakan manusia . Sedangkan Allah selalu menuntun untuk selalu bersyukur atas nikmat yang dikaruniakanNya. Tuhan akan selalu menambah nikmat manusia yang selalu bersyukur atas nikmat yang diterimanya( Surah Ibrahim ayat 7 ):<br /> <br />Artinya: dan ketika tuhanmu memaklumkan,” sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu tapi jika kamu mengingkari sesungguhnya azabku amat pedih.<br /><br />Karena itu pula dalam rangka memelihara akal Allah melarang manusia melakukan tindakan pornografi dan pornoaksi karena pornografi dan pornoaksi memiliki akibat yang lebih dahsat dibandingkan dengan kejahatan yang lain. Yaitu rusaknya pribadi pelaku, tatanan keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan negara. Oleh karena itu pornografi dan pornoaksi sungguh tidak memelihara akal dan iman.<br /><br />d. Kaitan Pornografi dan Pornoaksi dengan memelihara Keturunan.<br /><br />Kaitan pornografi dan pornoaksi dengan tujuan memelihara keterunan sangat jelas, khususnya bagi kaum perempuan. Pornografi dan pornoaksi yang sering mengakibatkan terjadinya perkosaan, baik pemerkosaan yang dilakukan oleh orang lain maupun keluarga sendiri, misalnya anak kandung perempuan seperti yang dilakukan oleh Igidius Petrus (47 tahun) terhadap dua orang anak perempuan kandungnya sejak berusia 5 tahun.<br />Akibat pornografi dan pornoaksi pernah terjadi pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang lain yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap temannya, mahasiswi IPB Bogor (1994) sepulang mereka menonton film porno. Pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan orang lain (bukan keluarga) juga dilakukan oleh seorang pembantu laki-laki yang masih muda terhadap anak majikannya, seorang mahsiswi kedokteran gigi di Jakarta setelah melihat film pornografi <br />Yang menjadi masalah adalah ketika pemerkosaan yang mangakibatkan kehamilan, seperti yang dialami oleh seorang perempuan SD di lampung, telah hamil sebagai akibat dari perkosaan sebanyak lima kali oleh seorang kakek berusia 85 tahun, dan pada usia lima bulan kehamilannya ia diperkosa kembali oleh seorang laki-laki beranak tiga sebanyak tiga kali, dan anehnya setiap kali sesudah diperkosa ia diberi uang sebanyak Rp. 2000,- terlepas kasus tersebut ada kaitanya dengan tindakan pornografi atau tidak namun menurut hemat penulis ini adalah salah satu bentuk kemerosotan moral dan akhlak sebagian bangsa Indonesia telah sangat memprihatinkan.<br />Apabila anak yang dilahirkan tu adalah perempuan, maka di dalam mayarakat muslim Indonesia, dan berdasarkan UU No I tshun 1974 tentang Perkawinan akan mengakibatkan anak perempuan hasil perkosaan tersebut mendapat malu karena dia hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga Ibunya saja. Dan akan mendapatkan masalah tentang perwalian jika hendak melangsungkan pernikahan.<br />Demikian pentingnya manusia emlihara keturunan, sehingga Allah telah menurunkan ayat-ayat tentang hukum perkawinan, perceraian, pemeliharaan anak, pewarisan, larangan perzinaan, pembuktian, dan sanksi Zina. Karena itu, pornografi dan pornoaksi yang merupakan perbuatan yang mendekati dan mendorong diri pelakunya dan atau orang lain untuk melakukan tindak pidana perzinaan maupun perkosaan, baik yang berakibat kehamilan maupun tidak , maka pornografi dan pornoaksi adalah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tujuan hukum islam yang ke empat yaitu memelihara keturunan.<br />e. Kaitan Pornografi dan Pornoaksi dengan memelihara harta.<br /><br />Dalam hukum islam seluruh harta adalah hak mutlak Allah yang diamanahkan kepada manusia untuk dimanfaatkan ke jalan yang di ridhoi Allah. Dan dalam memperolehnya pun wajib melalui cara yang di ridhoi pula . Harta yang diperoleh melalui pornografi dan pornoaksi adalah haram . Karena pornografi dan pornoaksi merupakan perbuatan haram yang mendorong pelakunya maupun orang lain untuk melakukan perbuatan haram, sedangkan dapat kita lihat dalam surah Al Isra ayat 32 disebutkan bahwa: janganlah kamu mendekati zina. Lebih –lebih jka kita mendorong diri kita dan orang lain untuk melakukan zina. Meskipun hukuman bagi pelaku tindak pidana pornografi dan pornoaksi tidak berupa hudud, namun hukum melakukan tindak pidana pornografi dan pornoaksi adalah haram. <br />Dalam memelihara harta ini Tuhan secara langsung mengatur secara rinci tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan orang yang telah meningggal atau pewaris. Karena Tuhan maha mengetahui bahwa harta dapat menyebabkan terjadinya perselisihan dan putusan hubungan silaturahmi antara para ahli waris.<br />Dalam pemeliharaan harta, Allah telah mewajibkan setiap muslim yange memenuhi syarat untuk membayar zakat sebagai rukun islam, dalam ajaran islam pemanfaatan harta juga harus sesuai dengan ketentuan, seperti aturan dalam surah Al Baqoroh ayat 245, 261. demikian pula larangan memperoleh harta dengan jalan haram. Karena itulah islam melarang melakukan pencurian. Adanya pornografi dan pornoaksi sebagai sarana mencari rezki sangat bertentangan dengan tujuan hukum islam.<br />f. Kaitan Pornografi dan Pornoaksi dengan Memelihara Kehormatan<br /><br />Memelihara kehormatan itu selain untuk memelihara kehormatan agama (Islam), kehormatan jiwa, akal, keturunan dan harta juga untuk memelihara kehormatan pribadi manusia sebagai mahkluk ciptaan Allah sebagaimana disebutkan dalam surah Al Anbiya ayat 91 yaitu:<br /> <br />Artinya: dan ingatlah kisah maryam yang memeilhara kehormatannya, lalu kami tiupkan ruh dari kami kedalam tubuhnya kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda kebesaran Allah bagi selurh alam.<br /><br />Dan sebagai anggota keluarga maupun masyarakat, termasuk memelihara kehormatan dari penistaan dan pemfitnahan pornografi dan pornoaksi dari seseorang terhadap orang lain. Banyak ketentuan hukum islam yang mengatu tentang pemeliharaan kehormatan .surah An nisa 86 mengatur sebagai berikut: “apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa” menurut para Mufasirin Departemen Agama Republik Indonesia, dalam ayat tersebut Allah mengajarkan kesopanan dan tata pergaulan kepada manusia dalam bermasyarakat agar mereka terpelihara hubungan persaudaraan antara anggota masyarakat satu dengan yang lainnya. Allah memerintahkan seseorang agar membalas penghormatan yang diberikan orang lain terhadap dirinya dengan cara yang lebih baik.<br />Memelihara kehormatan juga diatur dalam surah As Sad ayat 49, bahwa “ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar disediakan tempat kembali yang baik. Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan tentang kemuliaan para Nabi dan kebahagyaan mereka di akherat adalah merupakan kehormatan bagi para nabi agar selalu diingat manusia.<br />Dalam memelihara kehormatan, naik kehormatan diri maupun orang lain, sebagai salah tujuan hukum islam yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi dapat dilihat dari ketentuan Allah yang melarang manusia mendekati Zina dalam surat Al sra ayat 32. pemeliharaan kehormatan ini juga dapat dilihat dari surah An Nur ayat 4 dan 5 yaitu” Tuhan melarang seseorang menuduh orang lain melakukan Zina tanpa menghadirkan empat orang saksi yang menyaksikan perzinaan dakam waktu, tempat dan cara yang sama. <br />Tindak pidana pornografi dan pornoaski tidak hanya sekedar mencemarkan nama baik diri pribadi dan orang lain tetapi juga mendorong diri pelaku dan orang lain untuk melakukan perbuatan haram tersebut. Perbuatan pornografi dan pornoaksi merupakan perbuatan yang dapat mendorong seerta menjerumuskan diri pelaku dan orang lain kepada perbuatan nista yang merendahkan dan mencelakakan dirinya dan orang lain, keluarga dn masyarakat. Oleh sebab itu tindakan pornografi dan pornoaksi merupakan tindakan yang melanggar tujuan hukum islam untuk memelihara kehormatan.<br /><br />PENUTUP<br /> Pornografi dan pornoaksi sebagai fenomena massyarakat sangat bertentangan dengan moral dan kepribadian bangsa, upaya kriminalisasi terhadap tindakan tersebut dibenarkan secara moral karena tidakan tersebut sangat bertentangan dengan tujuan hukum islam yaitu memelihara Agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA.<br /><br />Al Qur’an.<br />Bungin Burhan, 2005, Pornomedia, sosiologi media, konstruksi sosial teknologi telematika dan perayaan sek di media masa, Jakarta: Kencana.<br />Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998, Jakarta.<br />H.H.L. ,1963, Low, Liberty and Morality (London: Oxford University.<br />Jelft Olson, 1999, Lepas dari jerat Pornografi, Yogyakarta: yayasan Gloria<br />Muhammad Abu Zahra, 1999, Usul Fiqh, (diterjemahkan oleh Syaifudin), Jakarta: Pustaka Firdaus.<br />Muhammad Muslehudin, 1997, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran orientalis” study perbandingan sistem Hukum islam” Yogyakarta: Tiara Wacana.<br />Neng Zubaidah, 2004, Pornografi dan Pornoaksi ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media.<br />Topo Santoso, 1997, Seksualitas dan Hukum Pidana, Jakarta: IND-Hill.<br />Wael B Hallag, 1997, A History Of Islamic Legal Theories and intruduction to Sunni Usul Fiqh, Cambrige: Cambrige University Press.<br />Wicaksana, 1994, Al’Qur’an dan Terjemahannya , Cet ulang, Semarang: Departemen Agama RI.<br />www.kapanlagi.com<br />Yahya S Hamid, www.dwp.or.id<br />Republika 17 Juli 2003.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-34740473640235373482009-01-09T01:00:00.000-08:002009-01-09T01:02:23.095-08:00Epistemologi IslamEPISTEMOLOGI ISLAM<br />(Sebuah Kajian Filsafat Ilmu)<br /><br />Gatot Sugiharto <br /><br /><br />A. Pendahuluan<br />Diantara realitas sains adalah, ia selalu terbuka untuk berkembang dan dikembangkan, diverifikasi dan difalsifikasikan, serta berkorespondensi dengan tingkat pengetahuan manusia. Sains modern (sains Barat) misalnya yang terlahir dari rahim gagasan renaisans sejak dulu tidak terlepas dari sorotan tajam dan kritis di kalangan para ahli. Mereka bertolak dari kesadaran bahwa sains modern dengan segala keterbatasannya, semakin diyakini telah memiliki cacat yang cukup serius karena dianggap belum mampu mengakomodasi permasalahan dunia dan manusia dengan analisis sainsnya. Bahkan justru ia dituding sebagai penyebab krisis global yang melanda masyarakat internasional. Dalam konteks ini menarik sekali untuk diungkapkan pernyataan Gregory Bateson : “Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa”.<br />Lebih jauh, implikasi dari kesadaran itu melahirkan penyangkalan atas klaim objektifitas sains. Teori ilmu objektif yang dikembangkan Descartes tersebut antara lain merujuk pada pola pembebasan realitas sains (netralisasi) dari berbagai hal termasuk keyakinan (sekularisasi) . Namun persyaratan keobjektifan demikian sudah dimustahilkan karena menurut David Hume, ilmuwan bekerja dalam kerangka berpikir yang telah dahulu disandarkan pada kepercayaan atau paradigmanya sendiri. Lebih tegas M. Amin Abdullah menyatakan bahwa klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai dan objektif memungkinkan adanya praktek manipulasi dengan proses rekayasa. <br />Dengan demikian, banyak ilmuwan kemudian menyadari bahwa sains modern bukanlah satu-satunya pilihan dalam pengembangan keilmuan. Berangkat dari keyakinan bahwa dengan paradigma berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda pula maka, dimulailah agenda pencarian alternatif-alternatif epistemologi baru. Mulai dari kelompok humanis radikal, Marxisme, hingga kelompok yang lari ke dunia mistis. <br />Namun begitu, eksistensi sains modern terus berkembang dengan semangat sekularisasinya. Sebuah semangat revolusi sains yang berpijak pada ide pembebasan rasio dari mitologi. Agama sebagai dasar fundamental dari keyakinan ditinggalkan. Tuhan dianggap tidak memiliki andil dalam proses pengetahuan. Maka kemudian timbullah pemikiran bahwa kehidupan ini berpusat pada manusia (antroposentris). Akal-lah yang mampu mendapatkan segala pengetahuan (rasionalisme). Ilmu pengetahuan tetap diposisikan secara netral. Agama dan ilmu dipisahkan.<br />Refleksi budaya Barat seperti itulah yang menyebar ke seluruh penjuru dunia, membentuk semacam imperialisme epistemologi. Tak terkecuali dunia Islam. Masyarakat dunia kemudian percaya bahwa kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan hanya dapat terlaksana jika mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan agama, karena “hampir semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat muncul dari pendekatan non agama, jika bukan anti agama”.<br />Paradigma seperti itu pada dasarnya bertentangan dengan cita-cita Islam. Umat muslim meyakini bahwa al-Qur’an, sebagai wahyu Allah, merupakan petunjuk bagi mereka. Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran normatif. Ajaran normatif inilah yang ditransformasikan sebagai teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan langsung menjadi prilaku. Itu berarti ajaran normatif pulalah yang dijadikan pondasi bagi konstruksi bangunan pemikiran keislaman yang dimungkinkan mampu mendasari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian konsepsi Islam sampai pada kesimpulan bahwa antara ilmu dan agama sama sekali tidak ada pertentangan.<br />Namun ironinya, kenyataan sekarang ini, “pembaharuan-pembaharuan di seluruh dunia Islam lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan terhadap tonggak intelektual Barat daripada membentuk kembali sumber ‘aql-nya sendiri”. Kenyataan tersebut menurut Ziauddin Zardar adalah merupakan dampak dari pesatnya imperialisme epistemologis Barat terhadap alternatif pemikiran-pemikiran lainnya sejak sekitar 300 tahun yang lalu. Sehingga terciptalah cara-cara pengetahuan yang didominasi oleh citra orang Barat. Imperialisme tersebut tampaknya akan terus berlangsung kecuali jika mampu diciptakan epistemologi alternatif. Dalam hal ini Islam dianggap mampu menjawab tantangan epistemologi alternatif tersebut. Kemudian agar tidak terjebak ke dalam tiruan-tiruan Sains Modern, epistemologi Islam harus mampu mempunyai citra tersendiri yang tak kalah dari citra Barat. <br /><br />B. Filsafat Pengetahuan Islam (Epistemologi Islam)<br />Membahas Filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan dari pembicaraan mengenai filsafat itu sendiri, sebab filsafat pegetahuan merupakan cabang dari filsafat. Salah satu masalah filsafat ialah mencari hakekat sesuatu yang menjadi bahasannya, oleh karena itu filsafat pengetahuan tidak dapat tidak, harus melibatkan diri untuk membicarakan atau lebih tepatnya membahas obyeknya, dalam hal ini membahas hakekat pengetahuan itu sendiri. Sebelum membicarakan lebih lanjut masalah apa yang menjadi pembahasan filsafat pengetahuan, terlebih dahulu perlu diketengahkan pengertian filsafat pengetahuan.<br />Bagian Filsafat yang dengan sengaja berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia disebut dengan “Epistemologi” atau “ajaran tentang pengetahuan”. Ditinjau dari segi etimologinya, epistemology berasal dari kata Yunani Episteme dan Logos, Epistem berarti Pengetahuan, sedangkan Logos berarti Teori, uraian atau alasan.<br />Berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan , lebih tepat logos diterjemahkan dalam arti teori, jadi epistemology dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan, dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah Theory of knowledge. <br />Dalam Dictionary of philosophy, Dagobert D. Runes menulis asal kata epistemology dari kata Epistem ditambah Logos, Theory. Dari akar kata ini ditarik rumusan epistemology sebagai berikut “epistemology sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Selanjutnya Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya Falsafah agama, memberi arti epistemology: Episteme berarti pengetahuan dan epistemology adalah ilmu ang membahas tentang : a). apa itu pengetahuan dan b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Kutipan-kutipan di atas memberi penjelasan kepada kita, epistemology bertujuan mempelajari hal-hal yang bersangkut paut dengan pengetahuan, dipelajari secara mendalam (substansi).<br />Jika telah dapat diketahui apa itu epistemology atau filsafat pengetahuan, maka apa pula yang dimaksud dengan filsafat pengetahuan islam?. Untuk mengetahui apa iti filsafat pengetahuan Islam diperlukan pengertian khusus. Pengertian ini dapat diperoleh melalui arti harfiahnya (etimologi) atau dengan mencari definisinya (terminology).<br />Sampai sekarang masih belum ada buku khusus yang membahas filsafat pengetahuan islam secara memadahi. Oleh karena itu utuk memberi nama yang paling tepat pada bidang disiplin ini menurut Miska Muhammad Amin harus dipilih beberapa kemungkinan: Pertama, Filsafat pengetahuan islam, Kedua, Filsafat Ilmu pengetahuan islam,, Ketiga, Filsafat pengetahuan dalam Islam. Karena sekarang sudah mulai dikembangkan dan dipisahkan nama Filsafat Ilmu dangan Filsafat pengetahuan, masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Supaya tidak terjadi kekacauan, maka yang dipilih adalah filsafat pengetahuan islam, dan untuk istilah biasa disebut Epistemologi Islam. <br />Untuk sampai pada rumusan yang tepat menurut Miskah dapat digunakan dua pendekatan. Dua pendekatan yang dimasud adalah: Pertama, pendekatan secara genetivus subyektivus, yaitu yang menempatkan islam sebagai subyek (subjek disini dijadikan titik tolak berpikir). Dan titik tolak ini filsafat pengetahuan akan dijadikan sebagai bahan kajian. Pendekatan kedua, secara genetivus objektivus, yaitu yang menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subjek (sebagai titik tolak berpikir) yang membicarakan islam sebagai objek kajian.<br />Dari kedua pendekatan di atas, tampaknya pendekatan yang pertama lebih tepat, yakni secara genetivus subjektivus. Alas an-alasan yang dapat diajukan, antara lain:filsafat pengetahuan sebagai hasil pemikiran manusia, tidak bermaksud untuk menafsirkan islam, tatapi tujuannya adalah, bagaimana cara memperoleh pengetauan itu, bagaimana metodologi pengetahuan, bagaimana hakekat pengetahuan, dan sebagainya, yang menyangkut pengetahuan. Maka filsafat pengetahuan islam dengan sendirinya menelaah: bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan islam, bagaimana metodologinya, bagaimana kebenaran yang diperoleh manusia menurut pandangan islam.<br />Untuk menempatkan Kedudukan filsafat pengetahuan islam, aspek-aspek yang dimilikinya patut dipertimbangkan dalam tulisan yang berjudul “epistemology dalam islam” S.I. Poeradisastra menulis antara lain: Epistemologi di dalam Islam berjalan dari tingkat: (a). perenungan (Contemplation) tentang sunatullah sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’anulkarim, (b). penginderaan (Sensation), (c). pencerapan (Perception), (d). Penyajian (Representation). (e). Konsep (Concept). (f). Timbangan (Judgment), dan (g). Penalaran (Reasoning). Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa epistemology di dalam islam tidak berpusat kepada manusia (anthropocentric) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri (autonomours) dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (Theocentric), sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, kepada iradat Allah. <br />Epistemologis islam mengambil titik tolak islam sebagai subjek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka disatu pihak epistemology islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dsn sumber segala kebenaran. Dilain pihak, filsafat pengetahuan islam berpusat pula pada manusia; dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Disini manusia berfungsi sebagai subjek yang mencari kebenaran.<br />Pendapat di atas berdasarkan alasan, bahwa manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan, sekaligus memberi interprestasinya. Dalam islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan. “…berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. . dalam beberapa Hadist Nabi dikatakan; Menuntut Ilmu itu wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. <br /><br />C. Prinsip dan Bentuk Epistemologi Islam<br />Sesungguhnya cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari epistemologi Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem epistemologinya. Metode eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis dengan bukti-bukti empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah membuktikan dengan ditemukannya aljabar, manthiq, ilmu falak dan lain-lain di dunia Islam jauh sebelum Eropa mengenal metode eksperimen dan hanya terkungkung pada corak berpikir monolinear antara rasionalisme atau empirisme serta mengesampingkan peran ajaran agama (sekularisme). <br />Di samping itu, salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam serta membedakannya dari epistemologi Barat yang sekular adalah masuknya nilai-nilai ajaran normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-prinsip dalam epistemologi Islam. Wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan, serta menentukan skop kajian ke arah mana sains Islam itu harus ditujukan. Konsepsi ini mempunyai akibat-akibat penting terhadap metodologi sains dalam Islam. Sehingga tidak heran bila kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi sebagi cara, sumber dan petunjuk pengetahuan Islam.<br />Permasalahannya, mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada wahyu apabila dengan metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-empiris? Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memilki keterbatasan kemampuan untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang telah dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu Tuhan. Tuhan telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu, Kuntowijoyo mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari wahyu ini bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya.<br />Pertanyaan selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan keesaan Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan aksiologis, dan bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang Pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya yang lebih jauh adalah bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. <br />Dalam Al-Qur’an, fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah; bahwa semua yang terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu Pencipta yang menciptakan, Pengatur dengan suatu sistem tunggal dan Penggerak dengan keteraturan tunggal. Konsep tauhid (iman) inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam berusaha menjabarkan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia serta dijadikan dasar sentral dari landasan epistemologi Islam.<br />Kaitannya dengan ini, Dr. Mahdi Gulsyani menulis <br />“Suatu keyakinan kokoh pada prinsip tauhid membuat sang peneliti melontarkan pandangan menyeluruh kepada alam, bukannya hanya melihat alam secara sepotong-sepotong. Hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dunia fisik. Tanpa suatu keyakinan kokoh pada kehadiran tatanan dan koordinasi pada alam, penelitian ilmiah tidak akan memiliki makna universal; dan paling banyak nilainya hanya bersifat sementara. Beberapa ilmuwan percaya pada keberadaan tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau memperhatikan prinsip tauhid; namun, menurut kami, tanpa mempercayai at-tauhid, tidak akan ada keterangan memuaskan tentang tatanan kosmis”. <br />Sampai di sini ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tauhidlah yang menjadi prinsip pokok dalam epistemologi Islam.Dengan begitu semakin jelas bagi kita, bahwa epistemologi Islam berupaya untuk menunjukkan arah kepastian kebenaran, di mana epistemologi ini berangkat dan berawal dari kepercayaan, serta selanjutnya memantapkan kepercayaan itu melalui perenungan-perenungan, penalaran, pemikiran, dan pengamatan yang disandarkan pada wahyu Tuhan (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dan diyakini bahwa kebenaran wahyu tersebut merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarat, hudan (pedoman hidup) dan rahmah (rahmat). <br />Sebenarnya konsep tauhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep panteologisme yang dianut agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan teosentris. Namun, paradigma teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris agama lain dengan alasan bahwa sistem tauhid memiliki arus balik kepada manusia. Paradigma teosentris Islam (iman) selalu dikaitkan dengan amal manusia. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pusat dari perintah zakat – misalnya – adalah iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat humanistik. Artinya, manusia harus memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri (amal). Dalam formulasi lain, Islam mengenalkan konsep dualisme manusia; sebagai hamba (abdun) yang menyembah Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan lingkungannya (beramal).<br />Lantas, apabila prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk kongkrit dari epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan? Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, pada awalnya diakui jika epistemologi Islam dipengaruhi oleh epistemologi yang berkembang di Yunani. Aliran pokok yang diikuti oleh ilmuwan muslim adalah aliran rasionalism yang dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan aliran realism yang dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara keduanya saling memposisikan aliran “dirinyalah” yang paling benar, maka ilmuwan muslimpun mencari alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara keduanya sehingga lahirlah metode eksperimen.<br />Metode ini telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-12 Masehi, diantaranya adalah Hasan Ibn Haitsam – biasa disebut Alhazen di Eropa –yang melahirkan karya tentang teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar – biasa disebut Geber di Eropa – yang lahir pada pertengahan abad ke-8, melahirkan karya tentang kimia secara konfrehensif, dan masih banyak ilmuwan lainnya.<br />Selain metode eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu bentuk epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat dijelaskan melalui proses logis-empiris, yakni tanpa pengamatan (observasi), tanpa deduksi (logis), bahkan tanpa spekulasi (rasional), ilmuwan muslimpun meyakini intuisi sebagai sumber kebenaran paling tinggi. Dan sumber kebenaran ini hanya berada di bawah otoritas wahyu Tuhan (al-Qur’an), termasuk tradisi kenabian (Al-Hadits).<br />Selain dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan istilah lain yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy). Terminologi tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif yang berbentuk wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang diterima oleh Nabi, dengan pengetahuan intuitif yang berbentuk ilham yang diterima oleh manusia. Pembedaan tersebut adalah implikasi dari keyakinan Islam bahwa kemampuan pengetahuan antara Nabi dan manusia biasa berbeda.<br />Pada perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain seperti nadzr, tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas, tamsil, ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting yang mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, (1) pengetahuan rasional, (2) pengetahuan inderawi, dan (3) pengetahuan kasfy lewat ilham atau intuisi.<br /><br />D. Reorientasi Epistemologi Islam dalam Pengembangan Sains<br />Menurut M.Amin Abdullah , apabila dilihat dari aspek epistemologis, kemunduran ilmu pengetahuan dalam dunia Islam setelah masa keemasannya pada abad ke-8 sampai ke-12 Masehi lebih disebabkan karena titik tekan epistemologi Islam cenderung mengarah secara tajam ke wilayah idealisme dan rasionalisme, tanpa peduli terhadap empirisme kalau tidak juga dikatakan lebih menajam ke arah normativitas ajaran wahyu - sebagai salah satu bentuk kongkrit dari intuisi – dari pada rasionalisme atau empirisme. Padahal sejarah membuktikan bahwa kemampuan Islam dalam meretas kevakuman filsafat Yunani serta lahirnya metode eksperimentasi dari dinamika pemikiran Islam diakui sebagai pencetus awal dari perkembangan ilmu pengetahuan. Di mana akhirnya metode ini diadopsi oleh ilmuwan barat hingga melahirkan revolusi sains pada masa renaissans.<br />Banyak pemikir Muslim kemudian berpendapat bahwa awal dari titik tolak pergeseran paradigma ilmuwan Muslim terhadap epistemologinya tersebut lebih disebabkan oleh gelombang anti filsafat sebagai akibat dari kesalahpahaman terhadap pemikiran al-Ghazali dalam bukunya Tahafutul Falasifah. Padahal beliaupun adalah seorang filusuf. Namun, meski telah ditentang serta dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam bukunya, Tahafut al- Tahafut, bahwa tidak ada pertentangan dari filsafat dengan agama, pemikir Islampun tetap saja terjebak ke dalam pemikiran monolinear, antara rasionalis, empiris, atau intuitif. Dampak logis dari fenomena tersebut adalah semakin jauhnya pemikiran Islam dari nilai-nilai ilmiah, sebagaimana yang telah menjadi ciri khas pengembangan ilmu pengetahuan. <br />Melihat realitas di atas, maka, apabila kejayaan Islam ingin dikembalikan dan dapat diraih kembali kemajuan ilmu pengetahuaannya, yang perlu serta harus segera dilakukan adalah reorientasi epistemologi Islam sebagaimana yang tergambar dari kejayaan pada masa tradisi Islam klasik. Yaitu, epistemologi yang berupa perpaduan antara aspek rasionalisme, empirisme, kasfy, rasionalisme kritis, positivisme dan fenomenologi dengan tetap berpangkal tolak pada Al-Qur’an sebagai keterangan dan petunjuk atas segala sesuatu.<br />Reorientasi epistemologi Islam seperti tersebut diatas penting dilakukan juga agar bangunan epistemologi Islam itu sendiri, seperti dikatakan di muka, tidak terjebak dalam tiruan-tiruan sains modern yang telah banyak diperdebatkan. Hanya saja, lebih lanjut M. Amin Abdullah menyatakan, hal ini bukanlah pekerjaan mudah, akan tetapi dibutuhkan kerja sejarah untuk merombak bangunan berpikir yang telah lama terbentuk sejak pasca zaman klasik. Namun demikian, betapapun sulitnya tugas mulia itu harus segera dimulai dengan membubuhkan sense of empirical studies, mentalitas yang ‘haus” akan data-data historis empiris dan mempunyai greget keingintahuan (curiosity) yang tinggi serta berupaya mengamalkannya. Perlu juga dikembangkan epistemologi-epistemologi lain, namun tetap harus diposisikan pada satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas, sehingga akan dimungkinkan terlahir ilmu pengetahuan yang seimbang antara kebutuhan aspek jasmani dan rohani manusia.<br />Sebuah fenomena menarik, pada awal abad ke 20 ini, di Indonesia – dengan tidak menafikan negara-negara Islam lainnya – telah muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup berani dengan kemampuannya mengungkap warisan ilmu pengetahuan Islam dengan pendekatan epistemologi Islaminya. Ary Ginanjar Agustian misalnya, meski dia seorang praktisi yang bergerak di bidang usaha, dengan ‘ESQ Model’ nya, ia telah dianggap mampu memperkenalkan paradigma baru yang mensinergikan sains, sufisme dan psikologi dengan tetap berpijak pada ajaran-ajaran Qur’ani serta penekanannya pada prinsip Tauhid.<br />Ada lagi Agus Musthofa, seorang sarjana teknik nuklir lulusan Universitas Gadjahmada (UGM) Yoqyakarta, dengan cukup berani ia mencoba menyingkap fenomena-fenomena spiritual yang dianggap sulit dicerna oleh indera manusia dengan argumen-argumen logis-empiris namun tetap berpijak pada koridor ajaran wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Dan masih banyak lagi ilmuwan Muslim dari berbagai penjuru dunia yang tidak mungkin dipaparkan dalam ruang yang terbatas ini. <br />Namun demikian, tantangan terbesar bagi ilmuwan Muslim saat ini adalah, bagaimana menemukan formulasi yang konfrehensif tentang berbagai macam teori ilmu pengetahuan yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik Islam maupun non Islam, sehingga sains Islam-pun bukan hanya akan terbebas dari bayang-bayang imperialisme epistemologi barat, tetapi juga mampu mencerminkan secara kongkrit konsep Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin’.<br /><br />E. Islamisasi Ilmu Pengetahuan/Peng-Islaman Pengetahuan. <br />Ilmu pengetahuan modern yang saat ini dihasilkan oleh peradaban Barat tidak serta-merta harus diterapkan di dunia Muslim. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden). Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.<br />Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisesme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). <br />Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas. Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.<br />Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Alasannya, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diislamkan. <br />Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya, terdapat sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat. <br />Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian kepada metafisika terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.<br /> Jadi, pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma'lum min al-din bi al-darurah). Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan-hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.<br /> Setelah mengetahui secara mendalam mengenai pandangan-hidup Islam dan Barat, maka proses Islamisasi baru bisa dilakukan. Sebabnya, Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini (the Islamization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang saling terkait: 1) mengisoliir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya), dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori. <br />Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas , jika tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.<br /> 2) memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekular kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (Ðann) dan argumentasi kosong (mirÉ’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular. <br />F. Catatan Akhir<br />Sebagai catatan akhir, “revolusi epistemologis” diperlukan sebagai jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda konsep ilmu dalam budaya dan peradaban Barat.Epistemologi Islam sebagai jawabannya yang mampu memberikan argumentasi secara rasional.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Adnin Armas. Makalah disampaikan pada pecan kajian islam di FIB UI 22 Februari 2007<br />Akhyak. 2003. Meniti jalan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />Dagobert D Runes. 1971. Dictionary Of Philosophy. Totowa New Jersey: Adam & co.<br />Harun Nasution. 1973. Falsafah Agama. Jakarta: Bulan Bintang<br />Jacques Veuger. 1970. Epistemologi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM<br />M Amin Abdullah. 1995. Falsafah Kalam di Era Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />Miska Muhammad Amin. 2006. Epistemologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.<br />Syed Muhammad Naquib Al Attas. 1993. Islam And Sculerisme. Kuala Lumpur:ISTAC<br />www//Penulis_indonesia.com//Ibnu fath.<br />Al Qur’anGatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-89075031189341148012008-12-28T17:55:00.000-08:002008-12-28T17:57:05.244-08:00Hukum perang di LautCatatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC<br />(Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah)<br /><br />SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT<br /><br /><br />BAB I<br /><br />KETENTUAN UMUM<br /><br /><br />Bagian I<br />Ruang Lingkup Penerapan Hukum<br /><br />1. Para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di laut terikat oleh prinsip dan ketentuan hukum humaniter internasional yang berlaku sejak kekuatan bersenjata mulai digunakan.<br /><br />2. Dalam hal tidak diatur dalam dokumen ini atau oleh perjanjian internasional lainnya, penduduk sipil dan kombatan tetap dibawah perlindungan dan otoritas prinsip hukum internasional yang bersumber dari kebiasaan internasional, dari prinsip kemanusiaan dan dari nilai-nilai yang diterima masyarakat.<br /><br /><br />Bagian II<br />Konflik Bersenjata dan Hukum Pembelaan Diri.<br /><br />3. Pelaksanaan hak pembelaan diri individu atau kelompok yang diakui dalam pasal 51 Piagam PBB tunduk pada persyaratan dan batasan yang termuat dalam Piagam PBB dan dalam hukum internasional umum khususnya prinsip kepentingan dan prinsip proporsional.<br /><br />4. Prinsip kepentingan dan prinsip proporsional berlaku sama untuk semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di laut dan mensyaratkan bahwa tindakan perlawanan yang dilakukan suatu negara tidak boleh berlebihan dalam tingkat dan jenis kekuatan yang digunakan untuk menghalau serangan bersenjata terhadapnya dan untuk mengembalikan keamanan negara, meskipun tidak dilarang oleh hukum konflik bersenjata.<br /><br />5. Seberapa jauh suatu negara dibenarkan melakukan aksi militernya melawan musuh akan bergantung pada intensitas dan skala serangan bersenjata yang dapat dipertanggungjawabkan kepada musuh dan bergantung pada intensitas dan skala ancaman yang ada.<br /><br />6. Aturan yang tercantum dalam dokumen ini dan dalam aturan hukum humaniter internasional lainnya harus diterapkan sama bagi pihak-pihak yang bersengketa. Penerapan yang sama atas ketentuan ini terhadap pihak yang bersengketa tidak boleh dipengaruhi oleh tanggung jawab internasional yang dipikul oleh salah satu pihak karena memulai sengketa.<br /><br />Bagian III<br /><br />Konflik Bersenjata Yang Telah Ditangani Dewan Keamanan PBB<br /><br />7. Terlepas dari ketentuan dalam dokumen ini atau lainnya tentang hukum netralitas, bila Dewan Keamanan PBB bertindak sesuai kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB telah menyatakan satu atau lebih pihak yang berkonflik bersenjata sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum internasional, maka negara-negara netral :<br /><br />a. Terikat untuk tidak memberikan bantuan selain bantuan kemanusiaan kepada negara yang berkonflik senjata tersebut, dan <br /><br />b. Dapat memberikan bantuan ke negara manapun yang telah menjadi korban dari pelanggaran perdamaian atau korban tindakan agresi oleh negara yang berkonflik bersenjata tersebut.<br /><br />8. Dalam hal penanganan suatu konflik bersenjata internasional, apabila Dewan Keamanan PBB telah mengambil tindakan pencegahan atau penegakan dengan menerapkan tindakan ekonomi berdasarkan Bab VII Piagam PBB, negara-negara anggota PBB tidak dapat mendasarkan hukum netralitas untuk membenarkan tindakan yang tidak sesuai dengan kewajibannya berdasarkan Piagam PBB atau berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB.<br /><br />9. Dengan tunduk kepada ketentuan paragraf 7, di mana Dewan Keamanan PBB telah mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan bersenjata, atau memberikan wewenang penggunaan kekuatan bersenjata kepada negara tertentu atau kelompok negara tertentu, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam dokumen ini dan ketentuan-ketentuan lain dari Hukum Humaniter Internasional yang berlaku pada konflik bersenjata di laut harus diberlakukan kepada pihak-pihak yang bersengketa terhadap berbagai konflik yang mungkin terjadi.<br /><br /><br />Bagian IV<br />Daerah Peperangan Laut<br /><br />10. Dengan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain hukum sengketa bersenjata yang berlaku di laut yang termuat dalam dokumen ini atau dokumen lainnya, aksi tempur oleh kekuatan Angkatan Laut dapat dilaksanakan di laut dan atau udara di atasnya :<br /><br />a. Laut teritorial, perairan pedalaman, wilayah daratan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, serta bila ada, perairan kepulauan dari negara-negara yang berperang. <br /><br />b. Laut lepas, dan <br /><br />c. Zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen negara-negara netral sebagai mana diatur pada paragraf 34 dan 35.<br /><br />11. Para pihak yang bersengketa harus berusaha saling sepakat bahwa tidak ada aksi tempur yang dilakukan di daerah-daerah laut yang terdiri :<br /><br />a. Ekosistem yang rawan atau langka, atau <br /><br />b. Habitat yang dilindungi, species atau bentuk lainnya kehidupan lingkungan laut yang dalam bahaya atau yang terancam.<br /><br />12. Dalam melaksanakan operasi di daerah-daerah dimana negara-negara netral mempunyai hak berdaulat, yurisdiksi, atau hak-hak lainnya berdasarkan hukum internasional umum, maka pihak yang berperang harus tetap menghormati hak dan kewajiban yang sah dari negara-negara netral tersebut.<br /><br />Bagian V<br />Definisi<br /><br />13. Untuk maksud dalam dokumen ini :<br /><br />a. ‘Hukum Humaniter Internasional’ berarti ketentuan internasional, ditetapkan melalui traktat atau kebiasaan yang membatasi hak pihak yang berkonflik dalam menggunakan sarana atau metoda peperangan yang mereka pilih, atau untuk melindungi negara-negara yang tidak terlibat konflik atau orang-orang atau obyek-obyek yang akan atau mungkin terkena akibat karena adanya konflik. <br /><br />b. ‘Serangan’ berarti tindakan kekerasan dalam menyerang atau bertahan.<br /><br />c. ‘Korban ikutan’ atau ‘Kerusakan ikutan’ berarti hilangnya kehidupan, atau terlukanya penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi lainnya, dan rusak atau hancurnya lingkungan alam atau obyek-obyek yang bukan merupakan sasaran militer. <br /><br />d. ‘Netral’ berarti negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik.<br />e. ‘Kapal rumah sakit, perahu penyelamat pantai, dan transportasi medis lainnya’ berarti kendaraan air yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa II tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977.<br /><br />f. ‘Pesawat udara medis’ berarti pesawat udara yang dilindungi oleh Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977.<br /><br />g. ‘Kapal perang’ berarti kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus karakter dan kebangsaan kapal tersebut, dibawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintahan negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa yang sesuai dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler. <br /><br />h. ‘Kendaraan air serba guna’ berarti kendaraan air selain kapal perang yang dimiliki atau dibawah kendali resmi angkatan bersenjata suatu negara dan sedang digunakan dalam kegiatan non komersial pemerintah.<br /><br />i. ‘Kendaraan air niaga’ berarti kendaraan air selain kapal perang, selain kendaraan air serba guna, atau kendaraan air pemerintah seperti kapal bea cukai atau kapal kepolisian, yang dilibatkan untuk kegiatan komersial atau pribadi. <br /><br />j. ‘Pesawat udara militer’ berarti pesawat udara yang dioperasikan oleh kesatuan resmi angkatan bersenjata suatu negara dengan memiliki tanda-tanda militer negara yang bersangkutan, dikomandani oleh anggota angkatan bersenjata dan diawaki oleh anak buah yang tunduk pada aturan disiplin angkatan bersenjata.<br /><br />k. ‘Pesawat udara serba guna’ berarti kapal udara selain pesawat udara militer yang dimiliki atau dibawah kendali angkatan bersenjata Negara tersebut dan digunakan pada kegiatan pemerintah diluar kegiatan niaga.<br /><br />m. ‘Pesawat udara sipil’ berarti pesawat udara selain pesawat udara militer, pesawat udara serba guna, atau pesawat uadar pemerintah seperti pesawat udara bea cukai atau pesawat udara kepolisian, yang dilibatkan untuk kegiatan komersial atau pribadi.<br /><br />n. ‘Penerbangan sipil’ berarti pesawat udara sipil yang mempunyai tanda jelas dan dilibatkan untuk pengangkutan penumpang sipil secara terjadwal atau yang tidak terjadwal sesuai rute dari dinas pengaturan lalu lintas udara.<br /><br /><br /><br />BAB II<br /><br />KAWASAN OPERASI<br /><br />Bagian I<br />Perairan Pedalaman, Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan.<br /><br />14. Perairan netral terdiri dari perairan pedalaman, laut teritorial dan, bila ada, perairan kepulauan negara-negara netral. Ruang udara netral terdiri dari ruang di atas perairan netral dan wilayah daratan negara-negara netral.<br /><br />15. Didalam dan diatas perairan netral, termasuk perairan netral yang didalamnya terdapat selat internasional dan perairan dimana hak lintas laut alur kepulauan dapat dilaksanakan, aksi-aksi tempur oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang adalah dilarang. Suatu negara netral harus mengambil beberapa tindakan yang konsisten dengan bagian II pada bab ini, termasuk melaksanakan pengamatan, sebagai sarana yang diijinkan, untuk mencegah adanya pelanggaran tentang kenetralannya oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang.<br /><br /><br /><br />16. Aksi-aksi tempur yang dimaksud pada paragraf 15 antara lain :<br /><br />a. Menyerang atau menangkap orang atau obyek yang berlokasi di laut dan atau udara di atas perairan atau daerah netral.<br /><br />b. Menggunakan untuk pangkalan operasi, termasuk menyerang atau menangkap orang atau obyek yang berlokasi di luar perairan netral, bila penyerangan atau penyitaan dilakukan oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang berlokasi di laut dan atau udara di atas perairan netral.<br /><br />c. Menyebarkan ranjau, atau<br /><br />d. Memeriksa, mencari keterangan, membelokkan arah atau menangkap.<br /><br />17. Kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang tidak boleh menggunakan perairan netral sebagai tempat perlindungan.<br /><br />18. Pesawat udara militer dan pesawat udara serba guna pihak yang berperang tidak boleh memasuki wilayah udara netral. Jika mereka melakukannya, maka negara netral harus menggunakan sarana yang ada padanya untuk meminta pesawat udara tersebut mendarat dalam wilayah negara netral dan harus menahan pesawat udara bersama awaknya selama konflik bersenjata berlangsung. Jika pesawat udara tersebut menolak perintah untuk mendarat, dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan khusus yang berkaitan dengan pesawat udara medis sebagaimana tercantum pada paragraf 181 – 183, maka pesawat udara tersebut dapat diserang.<br /><br />19. Dengan tunduk pada ketentuan paragraf 29 dan 33, negara netral berdasarkan prinsip non-diskiriminasi dapat memberikan persyaratan, pembatasan atau pelarangan memasuki atau melintasi perairan netralnya yang dilakukan oleh kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang.<br /><br />20. Dengan tunduk pada kewajiban ketidak-berpihakan, dan ketentuan paragraf 21 dan 23 - 33, dan berdasar pada ketentuan-ketentuan demikian yang dapat ditetapkan, tanpa membahayakan kenetralan yang dimiliki, negara netral dapat mengijinkan tindakan-tindakan berikut di dalam perairan netralnya :<br /><br />a. Melintasi laut wilayahnya, dan bila ada melalui perairan kepulauannya, bagi kapal perang, kendaraan-kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan negara yang berperang. Kapal perang, kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan boleh menggunakan pandu dari negara netral selama melintas.<br /><br />b. Bekal ulang yang dilakukan oleh kapal perang atau kendaraan air serba guna negara-negara yang berperang berupa makanan, air tawar, dan bahan bakar secukupnya untuk mampu mencapai suatu pelabuhan di wilayahnya sendiri, dan<br /><br />c. Perbaikan seperlunya bagi kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang dilakukan oleh negara netral hanya untuk membuat mampu berlayar kembali, perbaikan demikian tidak diperbolehkan untuk mengembalikan atau meningkatkan kekuatan tempurnya.<br /><br />21. Kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang tidak diperbolehkan memperpanjang waktu melintasi perairan netral, atau keberadaannya di perairan tersebut untuk bekal ulang atau untuk perbaikan melebihi 24 jam kecuali adanya sesuatu hal yang tidak dapat dihindari karena kerusakan atau gangguan cuaca. Ketentuan diatas tidak berlaku di selat internasional dan di perairan dimana hak lintas hak lintas alur kepulauan dapat dilaksanakan.<br /><br />22. Jika pihak yang berperang melakukan pelanggaran rezim perairan netral, seperti yang tercantum dalam dokumen ini, negara netral berkewajiban mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Bila negara netral gagal dalam menghentikan pelanggaran yang terjadi di wilayahnya yang dilakukan oleh salah satu pihak yang berperang, maka pihak berperang yang lain harus memperingatkan pada negara netral dan memberikan waktu yang cukup kepada negara netral tersebut untuk terus menghentikan pelanggaran-pelanggaran kenetralan yang dilakukan oleh pihak yang berperang. Bila pelanggaran terhadap netralitas suatu negara yang dilakukan oleh pihak yang berperang menimbulkan ancaman mendadak dan serius bagi keamanan musuh pihak yang berperang dan pelanggaran tersebut tidak dihentikan, maka musuh pihak yang berperang, tanpa diketahui dan sesegera mungkin, dapat menggunakan beberapa kekuatannya yang diperlukan langsung untuk merespon ancaman yang timbul dari pelanggaran tersebut.<br /><br /><br />Bagian II<br />Selat Internasional dan Alur Laut Kepulauan<br /><br />Ketentuan Umum<br /><br />23. Kapal perang dan kendaraan air serbaguna dan pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna pihak yang berperang dapat melaksanakan hak lintas melalui di bawah atau di atas selat internasional netral dan alur laut kepulauan yang ditetapkan oleh hukum internasional umum.<br /><br />24. Kenetralan dari suatu negara yang berbatasan dengan selat internasional harus tidak terancam oleh lintas transit kapal perang, kendaraan air serbaguna atau pesawat udara militer atau pesawat udara serbaguna pihak yang berperang. Juga tidak terancam oleh lintas damai kapal perang atau kendaraan air serbaguna pihak yang berperang setelah melalui selat tersebut.<br /><br />25. Kenetralan dari negara kepulauan harus tidak terancam oleh pelaksanaan lintas laut alur kepulauan oleh kapal perang, kendaraan air serbaguna atau pesawat udara militer atau pesawat udara serbaguna pihak yang berperang.<br /><br />26. Kapal perang, kendaraan air serbaguna dan pesawat udara serbaguna netral dapat melaksanakan hak melintas seperti apa yang tercantum dalam hukum internasional umum melalui, di bawah dan di atas selat internasional dan perairan kepulauan pihak yang berperang. Sebagai tindakan pencegahan, negara netral harus selalu memberitahu pelaksanaan hak lintasnya kepada pihak yang berperang.<br /><br /><br />Lintas transit dan lintas alur laut kepulauan<br /><br />27. Hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang berlaku di selat internasional dan perairan kepulauan pada masa damai tetap berlaku pada masa konflik bersenjata. Hukum dan peraturan dari negara-negara yang berbatasan dengan selat dan negara kepulauan yang berkaitan dengan lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang ditetapkan berdasar hukum internasional umum tetap diberlakukan.<br /><br />28. Kapal perang atas air, kapal selam, dan pesawat udara pihak yang berperang dan netral memiliki hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan melalui, dibawah, dan di atas semua selat dan perairan kepulauan dimana hak ini berlaku secara umum.<br /><br />29. Negara netral tidak diperbolehkan menangguhkan, mempersulit, atau dengan kata lain menghalangi hak lintas transit atau hak lintas alur laut kepulauan.<br /><br />30. Pihak yang berperang selama lintas transit melalui, di bawah dan di atas suatu selat internasional netral, atau selama lintas alur laut kepulauan di bawah dan di atas peraian kepulauan netral, dipersyaratkan lewat tanpa menunda untuk menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata terhadap intergritas wilayah atau kebebasan berpolitik negara pantai atau negara kepulauan netral atau segala tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB, atau dengan kata lain menahan diri dari setiap aksi tempur atau kegiatan lain yang tidak sesuai dengan perlintasannya. Pihak yang berperang yang melintas melalui, dibawah dan diatas selat netral atau perairan netral dimana berlaku hak lintas alur laut kepulauan diijinkan untuk mengambil tindakan defensif sesuai dengan situasi keamanan mereka, termasuk menerbangkan dan mendaratkan pesawat udara, berlayar dalam formasi tabir dan pengamatan akustik dan elektronik. Pihak yang berperang selama lintas transit dan lintas alur kepulauan, bagaimanapun juga, tidak dapat melaksanakan operasi ofensif terhadap kekuatan bersenjata musuh atau menggunakan perairan netral tersebut sebagai tempat perlindungan atau sebagai pangkalan operasi. <br /><br /><br />Lintas damai<br /><br />31. Sebagai tambahan pada pelaksanaan hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan, kendaraan air dan kendaraan air serbaguna pihak yang berperang, dengan tunduk pada ketentuan paragraf 19 dan 21, dapat melaksanakan tindakan hak lintas damai di selat internasional netral dan perairan kepulauan sesuai dengan hukum internasional umum.<br /><br />32. Kendaraan air netral dapat melaksanakan tindakan yang menyerupai hak lintas damai di selat internasional dan perairan kepulauan pihak yang berperang.<br /><br />33. Hak lintas damai tanpa penangguhan di selat internasional tertentu yang diakui oleh hukum internasional, tidak dapat ditunda selama berlangsung konflik bersenjata.<br /><br /><br />Bagian III<br />Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen<br /><br />34. Bila aksi tempur dilaksanakan dalam zona ekonomi eksklusif atau pada landas kontinen negara netral, sebagai tambahan adanya ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dalam hukum konflik bersenjata, pihak yang berperang harus menghormati sebagaimana mestinya hak dan kewajiban negara pantai, antara lain dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber ekonomi di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut. Mereka secara khusus, harus menghormati sebagaimana mestinya pulau-pulau buatan, instalasi bangunan serta kawasan aman yang ditetapkan negara netral di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen.<br /><br />35. Bila pihak yang berperang menganggap perlu untuk menyebar ranjau di zona ekonomi eksklusif atau dilandas kontinen suatu negara netral, pihak yang berperang harus memberitahu kepada negara tersebut, dan harus menjamin antara lain bahwa luas daerah sebaran ranjau dan jenis ranjau yang digunakan tidak akan membahayakan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan atau tidak akan mengganggu akses ke tempat tersebut dan harus menghindari sejauh mungkin gangguan yang timbul terhadap eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut yang dilakukan negara netral. Harus juga memperhatikan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.<br /><br /><br />Bagian IV<br />Laut Lepas dan Dasar Laut Diluar Yurisdiksi Nasional<br /><br />36. Aksi-aksi tempur dilaut lepas harus dilaksanakan dengan memperhatikan sebagaimana mestinya pelaksanaan hak ekplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam dasar laut, dan dasar samudera, dan tanah di bawahnya yang berada di luar yurisdiksi nasional suatu negara netral.<br /><br />37. Pihak yang berperang harus hati-hati untuk menghindari kerusakan kabel dan jaringan pipa dasar laut yang tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan pihak yang berperang.<br /><br /><br /><br />BAB III<br /><br />ATURAN DASAR DAN PEMBEDAAN SASARAN<br /><br />Bagian I<br />Aturan Dasar<br /><br />38. Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak yang bersengketa untuk memilih sarana atau metode peperangan adalah tidak tak terbatas.<br /><br />39. Para pihak yang berkonflik setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi dengan kombatan dan antara obyek sipil atau obyek yang dikecualikan dengan sasaran militer.<br /><br />40. Sejauh mengenai obyek, sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang karena sifat, tempat, peruntukan, atau penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif terhadap aksi militer dan obyek yang penghancuran seluruh atau sebagian serta penguasaan atau netralisasinya pada situasi yang berlaku pada saat itu, memberikan keuntungan militer yang berarti.<br /><br />41. Serangan harus dibatasi hanya terhadap sasaran militer. Kendaraan air niaga dan pesawat udara sipil merupakan obyek sipil kecuali mereka merupakan sasaran militer menurut prinsip dan aturan yang tercantum dalam dokumen ini.<br /><br />42. Sebagai tambahan dari berbagai larangan tertentu yang mengikat pihak yang berkonflik, dilarang menggunakan sarana atau metode peperangan yang :<br /><br />a. Karena sifatnya dapat menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau<br /><br />b. Secara membabibuta, yaitu :<br /><br />1) Yang tidak, atau tidak dapat ditujukan terhadap sasaran militer tertentu; atau<br /><br />2) Akibat yang ditimbulkannya tidak dapat dibatasi sebagaimana yang disyaratkan hukum internasional yang tercermin dalam dokumen ini.<br /><br />43. Dilarang memberikan perintah yang bersifat pemusnahan, memberikan ancaman terhadap berbagai hal atau melakukan permusuhan dengan mendasarkan hal tersebut.<br /><br />44. Sarana dan metode peperangan harus dipergunakan dengan memperhatikan sebagaimana mestinya lingkungan alam sesuai yang diatur pada aturan hukum internasional. Pengrusakan atau penghancuran lingkungan alam yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan sengaja adalah dilarang.<br /><br />45. Kapal atas air, kapal selam dan pesawat udara terikat oleh prinsip dan aturan yang sama.<br /><br /><br />Bagian II<br />Tindakan Pencegahan Dalam Penyerangan<br /><br />46. Berkenaan dengan penyerangan, tindakan pencegahan berikut ini harus dilaksanakan :<br /><br />a. Mereka yang merencanakan, membuat keputusan atau yang melaksanakan suatu serangan harus mengambil tindakan-tindakan yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi yang akan membantu dalam menentukan ada atau tidaknya obyek-obyek yang bukan sasaran militer di daerah penyerangan. <br /><br />b. Bila informasi yang dimaksud ada padanya, mereka yang merencanakan, membuat keputusan atau melaksanakan suatu serangan harus melakukan segala tindakan yang mungkin untuk menjamin bahwa serangan yang dilakukan, hanya ditujukan terhadap sasaran militer.<br />c. Mereka selanjutnya harus melaksanakan tindakan pencegahan yang memungkinkan dalam pemilihan sarana dan metode untuk menghindari atau meminimalkan korban atau kerusakan ikutan, dan<br /><br />d. Suatu serangan harus tidak dilakukan jika diperkirakan dapat menimbulkan korban atau kerusakan ikutan yang berlebihan dalam kaitannya dengan keuntungan militer langsung dan nyata yang diantisipasi dari serangan secara keseluruhan. Suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda segera setelah nyata timbul korban atau kerusakan ikutan yang berlebihan.<br /><br />Bagian VI bab ini akan memberikan tambahan tindakan pencegahan yang berkenaan dengan pesawat udara sipil.<br /><br /><br />Bagian III<br />Kendaraan Air dan Pesawat Udara Musuh <br />Yang Dikecualikan dari Serangan<br /><br />Kelompok kendaraan air yang dikecualikan dari serangan<br /><br />47. Kelompok kendaraan air musuh berikut ini dikecualikan dari serangan :<br /><br />a. Kapal rumah sakit.<br /><br />b. Perahu kecil yang digunakan untuk operasi penyelamatan di pantai dan transportasi medis lainnya.<br /><br />c. Kendaraan air yang dijamin aman berdasarkan perjanjian antar pihak yang berperang, meliputi :<br /><br />1) Kendaraan air cartel seperti kendaraan air yang ditunjuk dan dilibatkan dalam pengangkutan tawanan perang.<br /><br />2) Kendaraan air yang dilibatkan dalam tugas kemanusiaan, termasuk kendaraan air yang mengangkut barang-barang kebutuhan demi kelangsungan hidup masyarakat sipil, dan kendaraan air yang dilibatkan untuk aksi bantuan bencana dan operasi penyelamatan.<br /><br />d. Kendaraan air yang dilibatkan untuk transportasi benda budaya dibawah perlindungan khusus.<br /><br />e. Kendaraan air penumpang yang dilibatkan hanya untuk mengangkut penumpang sipil.<br /><br />f. Kendaraan air yang disewa oleh misi keagamaan, tugas-tugas ilmiah non militer dan misi kemanusiaan. Kendaraan air pengumpul data ilmiah untuk kepentingan militer tidak dilindungi.<br /><br />g. Perahu kecil nelayan pantai dan perahu kecil yang dilibatkan dalam perdagangan pantai setempat, tetapi mereka tunduk kepada peraturan-peraturan dan pengawasan Komandan Angkatan Laut pihak yang berperang yang beroperasi didaerah tersebut.<br /><br />h. Kendaraan air yang dirancang atau disesuaikan sedemikian rupa untuk menanggulangi pencemaran lingkungan laut.<br /><br />i. Kendaraan air yang menyerah.<br /><br />j. Alat apung dan perahu penyelamat.<br /><br /><br />Syarat-syarat dikecualikan dari serangan<br /><br />48. Kendaraan air yang tercantum dalam paragraf 47 dikecualikan dari serangan, hanya bila mereka :<br /><br />a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya.<br /><br />b. Sanggup diidentifikasi dan diperiksa apabila diminta, dan<br /><br />c. Tidak secara sengaja menghambat gerakan kombatan dan mematuhi perintah untuk berhenti atau bergerak menjauh apabila diminta.<br /><br />Hilangnya pengecualian dari serangan<br /><br />Kapal rumah sakit<br /><br />49. Pengecualian dari serangan pada kapal rumah sakit akan hilang hanya karena terdapat alasan telah melanggar persyaratan pengecualian pada paragraf 48 dan, dalam hal demikian, hanya setelah diberi peringatan sebagaimana mestinya tentang pelanggaran yang ada dengan waktu yang cukup untuk menghindarkan diri dari hal yang membahayakan pengecualiannya, dan setelah peringatan demikian tetap tidak diindahkan.<br /><br />50. Bila setelah diberi peringatan sebagaimana mestinya kapal rumah sakit tetap melanggar persyaratan tentang pengecualiannya, maka dia dapat ditangkap atau dilakukan tindakan lain yang perlu untuk memaksa kepatuhannya.<br /><br />51. Kapal rumah sakit hanya dapat diserang sebagai jalan akhir bila :<br /><br />a. Penghadangan atau penangkapan tidak mungkin dilaksanakan.<br /><br />b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer.<br /><br />c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan <br /><br />d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan.<br /><br /><br />Kategori kendaraan air lainnya yang dikecualikan dari serangan<br /><br />52. Bila kelompok kendaraan air lainnya yang dikecualikan dari serangan melanggar syarat pengecualian pada paragraf 48, dapat diserang hanya bila:<br /><br />a. Penghadangan atau penangkapan tidak mungkin dilaksanakan.<br /><br />b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer.<br /><br />c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan <br /><br />d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan.<br /><br /><br />Kelompok pesawat udara yang dikecualikan dari serangan<br /><br />53. Berikut adalah kelompok pesawat udara musuh yang dikecualikan dari serangan :<br /><br />a. Pesawat udara medis<br /><br />b. Pesawat udara yang dijamin aman berdasarkan perjanjian antara para pihak yang bersengketa, dan<br /><br />c. Penerbangan sipil.<br /><br /><br />Persyaratan pengecualian dari serangan bagi pesawat udara medis<br /><br />54. Pesawat udara medis dikecualikan dari serangan hanya bila mereka :<br /><br />a. Telah diakui demikian.<br /><br />b. Bertindak sesuai dengan suatu perjanjian seperti yang diatur pada paragraf 177.<br /><br />c. Terbang di daerah kendali kekuatan militer sendiri atau kekuatan militer kawan, atau<br /><br />d. Terbang di luar daerah konflik bersenjata.<br /><br />Dalam hal lain, pesawat udara medis beroperasi atas risiko mereka sendiri.<br /><br /><br />Persyaratan dikecualikan dari serangan <br />bagi pesawat udara yang dijamin aman<br /><br />55. Pesawat udara yang dijamin aman dikecualikan dari serangan hanya bila mereka :<br /><br />a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya, dan <br /><br />b. Tidak dengan sengaja menghambat gerakan kombatan, dan<br /><br />c. Mematuhi ketentuan perjanjian, termasuk kesediaan untuk diperiksa.<br /><br /><br />Persyaratan dikecualikan serangan bagi penerbangan sipil<br /><br />56. Penerbangan sipil dikecualikan dari serangan hanya bila mereka :<br /><br />a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya, dan<br /><br />b. Tidak dengan sengaja menghambat gerakan kombatan.<br /><br /><br /><br />Hilangnya pengecualian<br /><br />57. Bila pesawat udara yang dikecualikan dari serangan melanggar persyaratan pengecualiannya seperti yang tercantum pada paragraf 54 - 56, mereka dapat diserang hanya bila :<br /><br />a. Tidak memungkinkan dibelokkan arah untuk mendarat, dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan, dan kemungkinan dilakukan penangkapan.<br /><br />b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer.<br /><br />c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan <br /><br />d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan.<br /><br />58. Dalam hal timbul keragu-raguan apakah kendaraan air atau pesawat udara yang masuk kategori yang dikecualikan dari serangan sedang digunakan untuk memberikan kontribusi yang efektif pada suatu aksi militer, hal ini harus dianggap sedang tidak digunakan.<br /><br /><br />Bagian IV<br />Kendaraan Air dan Pesawat Udara Musuh Lainnya<br /><br />Kendaraan air niaga musuh<br /><br />59. Kendaraan air niaga musuh hanya dapat diserang bila mereka termasuk dalam definisi sasaran militer pada paragraf 40.<br />60. Kegiatan berikut ini dapat menyebabkan kendaraan air niaga musuh sebagai sasaran militer :<br /><br />a. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh, seperti menyebar ranjau, menyapu ranjau, memutus kabel dan jalur pipa bawah laut, terlibat dalam pemeriksaan dan pencarian keterangan kendaraan air niaga netral atau dalam penyerangan terhadap kendaraan air niaga lainnya.<br /><br />b. Bertindak sebagai kendaraan air serbaguna angkatan bersenjata musuh, seperti mengangkut pasukan atau memberi bekal ulang kepada kapal perang.<br /><br />c. Bekerjasama atau memberi bantuan pada sistem pengumpulan data intelijen musuh seperti terlibat dalam pendeteksian, peringatan dini, pengamatan atau tugas-tugas untuk komando, kendali dan komunikasi.<br /><br />d. Berlayar dalam konvoi kapal perang atau pesawat udara militer musuh.<br /><br />e. Menolak perintah untuk berhenti atau secara aktif menolak dari pemeriksaan, pencarian keterangan atau penangkapan.<br /><br />f. Dipersenjatai sedemikian rupa sehingga dapat merusak kapal perang, tidak termasuk senjata ringan perorangan untuk beladiri seperti melawan bajak laut, dan dilengkapi dengan sistem pengacau seperti chaff, atau<br /><br />g. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer seperti mengangkut material militer.<br /><br />61. Setiap serangan terhadap kendaraan air ini tunduk kepada aturan dasar yang tercantum pada paragraf 38-46.<br /><br /><br />Pesawat udara sipil musuh<br /><br />62. Pesawat udara sipil musuh hanya boleh diserang bila mereka termasuk dalam definisi sasaran militer pada paragraf 40.<br /><br />63. Kegiatan-kegiatan berikut ini dapat menyebabkan pesawat udara sipil musuh sebagai sasaran-sasaran militer :<br /><br />a. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh seperti menyebar ranjau, menyapu ranjau, meletakkan atau memonitor sensor akustik, terlibat dalam peperangan elektronik, mengintersep atau menyerang pesawat udara sipil lainnya atau memberikan informasi sasaran kepada kekuatan militer musuh.<br /><br />b. Bertindak sebagai pesawat udara serbaguna dalam angkatan bersenjata musuh, seperti mengangkut pasukan atau barang militer atau melakukan pengisian ulang bahan bakar ke pesawat udara militer.<br /><br />c. Bekerjasama atau memberi bantuan pada sistem pengumpulan data intelijen musuh seperti terlibat dalam pendeteksian, peringatan dini, pengamatan atau tugas untuk komando, kendali dan komunikasi.<br /><br />d. Terbang dibawah perlindungan kapal perang musuh atau pesawat udara militer musuh yang menyertainya.<br /><br />e. Menolak perintah identifikasi diri, belok arah keluar dari jalurnya, atau bergerak guna pemeriksaan dan pencarian keterangan menuju lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk itu, atau mengoperasikan peralatan kendali tembakan yang merupakan bagian dari sistem senjata pesawat udara, atau saat diintersep secara jelas bermanuver menyerang pesawat udara militer pihak yang berperang yang mengintersepnya.<br />f. Dipersenjatai dengan senjata udara ke udara atau udara ke permukaan, atau<br /><br />g. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer.<br /><br />64. Setiap serangan terhadap pesawat udara ini tunduk kepada aturan dasar yang diatur pada paragraf 38 - 46.<br /><br /><br />Kapal perang dan pesawat udara militer musuh<br /><br />65. Kecuali mereka yang termasuk dalam katagori dikecualikan dari serangan sesuai paragraf 47 atau 53, kapal perang dan pesawat udara militer musuh serta kendaraan air serbaguna dan pesawat udara musuh merupakan sasaran militer sesuai pengertian pada paragraf 40.<br /><br />66. Mereka dapat diserang sesuai aturan dasar pada paragraf 38 - 46.<br /><br /><br />Bagian V<br />Kendaraan Air Niaga dan Pesawat Udara Sipil Netral<br /><br />Kendaraan Air Niaga netral<br /><br />67. Kendaraan air niaga berbendera negara netral tidak boleh diserang kecuali mereka:<br /><br />a. Diyakini dengan alasan yang dapat diterima, mengangkut barang larangan/kontrabande atau melanggar blokade, dan setelah secara dini diperingatkan mereka nyata-nyata menolak untuk berhenti, atau nyata-nyata menolak dilakukan pemeriksaan, pencarian keterangan atau penangkapan,<br /><br />b. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh,<br /><br />c. Bertindak sebagai kendaraan air serbaguna pada kekuatan angkatan bersenjata musuh,<br /><br />d. Bekerjasama atau membantu sistem intelijen musuh,<br /><br />e. Berlayar dalam konvoi kapal perang atau pesawat udara militer musuh, atau<br /><br />f. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer musuh seperti mengangkut material militer dan bagi pasukan penyerang tidak memungkinkan terlebih dahulu memindahkan penumpang dan awak kapal ke tempat yang aman. Apabila keadaan tidak memungkinkan untuk diserang, mereka diberi peringatan agar dapat merubah halu, bongkar muat atau berbuat hal yang harus diindahkan lainnya.<br /><br />68. Setiap serangan terhadap kendaraan air niaga ini tunduk kepada aturan dasar pada paragraf 38 - 46.<br /><br />69. Kenyataan bahwa kendaraan air niaga netral yang memiliki senjata, tidak menjadikan alasan untuk dilakukan penyerangan terhadapnya. <br /><br /><br />Pesawat udara sipil netral<br /><br />70. Pesawat udara sipil negara netral tidak boleh diserang kecuali :<br /><br />a. Diyakini dengan alasan yang kuat mengangkut barang larangan/kontrabande, dan setelah secara dini diperingatkan atau diintersep mereka nyata-nyata menolak merubah arah tujuan, atau nyata-nyata menolak bergerak menuju ke lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan.<br /><br />b. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh,<br />c. Bertindak sebagai pesawat serbaguna pada kekuatan angkatan bersenjata musuh,<br /><br />d. Bekerjasama atau membantu sistem intelijen musuh,<br /><br />e. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer seperti mengangkut barang militer, dan setelah secara dini diperingatkan atau diintersep, mereka nyata-nyata menolak merubah arah tujuan, atau nyata-nyata menolak bergerak menuju ke lapangan terbang pihak yang bersengketa yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan.<br /><br />71. Setiap serangan terhadap pesawat udara ini tunduk kepada aturan dasar pada paragraf 38 - 46.<br /><br /><br />Bagian VI<br />Tindakan Pencegahan Berkenaan Dengan Pesawat Udara Sipil<br /><br />72. Pesawat udara sipil harus menghindari daerah-daerah yang potensial berbahaya karena adanya kegiatan militer.<br /><br />73. Di sekitar daerah operasi Angkatan Laut, pesawat udara sipil harus mengikuti perintah dari pihak yang berperang tentang arah dan ketinggian.<br /><br />74. Pihak yang berperang dan negara netral yang berkepentingan, dan otorita pengatur lalu lintas udara, harus menetapkan prosedur dimana komandan kapal perang dan pilot pesawat udara militer harus selalu waspada terhadap rute yang dirancang atau rencana penerbangan yang dibuat pesawat udara sipil di daerah operasi militer, termasuk didalamnya informasi saluran komunikasi, mode dan kode identifikasi, tempat tujuan, para penumpang dan muatan.<br /><br />75. Pihak yang berperang dan negara netral harus menjamin bahwa Peringatan Penerbangan (NOTAM = Notice to Airmen) dipublikasikan untuk pemberian informasi adanya kegiatan militer di daerah yang potensial berbahaya bagi pesawat udara sipil, termasuk kegiatan yang berbahaya atau pembatasan ruang udara secara temporer. Peringatan ini harus meliputi informasi mengenai :<br /><br />a. Frekuensi radio yang harus selalu dipantau pesawat udara.<br /><br />b. Pengoperasian radar cuaca serta mode dan kode identifikasi yang terus menerus.<br /><br />c. Batasan ketinggian, arah dan kecepatan,<br /><br />d. Prosedur menjawab panggilan radio oleh pasukan militer dan prosedur komunikasi dua arah, dan<br /><br />e. Kemungkinan tindakan dari pasukan militer bila Peringatan Penerbangan (NOTAM) tidak diindahkan dan pesawat udara sipil dianggap oleh pasukan militer tersebut sebagai ancaman.<br /><br />76. Pesawat udara sipil harus menyampaikan rencana penerbangan yang dibutuhkan dengan diketahui oleh dinas pengatur lalu lintas udara, dilengkapi dengan keterangan seperti administrasi pendaftaran, tujuan, penumpang, muatan, saluran komunikasi darurat, mode dan kode identifikasi, perubahan jalur penerbangan dan membawa sertifikat seperti pendaftaran, keselamatan penerbangan, para penumpang dan muatan. Mereka tidak dapat menyimpang dari jalur yang ditetapkan dinas pengatur lalu lintas udara atau menyimpang dari rencana penerbangan tanpa pengesahan dari dinas pengendali lalu lintas udara kecuali muncul kondisi yang tidak diinginkan seperti dalam situasi penyelamatan diri atau dalam situasi bahaya, dalam hal demikian maka harus segera dibuat pemberitahuan yang layak.<br /><br />77. Bila pesawat udara sipil memasuki daerah potensi berbahaya karena adanya kegiatan militer, harus dilengkapi dengan Peringatan Penerbangan (NOTAM) yang sesuai. Pasukan militer harus menggunakan peralatan yang memadai untuk mengidentifikasi dan memperingatkan kepada penerbangan sipil dengan menggunakan, antara lain, mode dan kode radar pengamat sekunder, komunikasi, hal-hal yang berkaitan dengan informasi penerbangan, intersepsi pesawat udara militer, dan bila memungkinkan menghubungi fasilitas pengendali lalu lintas udara yang ada.<br /><br /><br /><br />BAB IV<br /><br />SARANA DAN METODE PEPERANGAN DI LAUT<br /><br /><br />Bagian I<br />Sarana Peperangan<br /><br />Peluru kendali dan proyektil lainnya<br /><br />78. Peluru kendali dan proyektil lainnya, termasuk juga yang mempunyai kemampuan melampaui cakrawala, harus digunakan sesuai dengan prinsip pembedaan sasaran yang tersebut pada paragraf 38 - 46.<br /><br />Torpedo<br /><br />79. Dilarang menggunakan torpedo yang tidak tenggelam atau jika tidak tenggelam harus menjadi tidak aktif setelah luncurannya berakhir.<br /><br />Ranjau<br /><br />80. Ranjau hanya dapat digunakan untuk maksud militer yang sah termasuk pencegahan penggunaan wilayah laut oleh musuh.<br /><br />81. Tanpa mengesampingkan aturan yang tercantum pada paragraf 82, pihak yang bersengketa tidak boleh menyebar ranjau kecuali mampu menetralisirnya secara efektif ketika di lepas, atau jika tidak demikian maka kontrol terhadapnya menjadi hilang. <br /><br />82. Dilarang menggunakan ranjau apung kecuali :<br /><br />a. Ditujukan untuk sasaran militer, dan<br /><br />b. Menjadi tidak berbahaya dalam jangka waktu satu jam setelah hilangnya kendali terhadap ranjau tersebut.<br /><br />83. Penyebaran ranjau aktif atau ranjau aktif yang siap sebar harus diumumkan kecuali ranjau tersebut diyakini akan mengenai kendaraan air yang merupakan sasaran militer.<br /><br />84. Pihak yang berperang harus mencatat lokasi ranjau yang disebar.<br /><br />85. Operasi penyebaran ranjau di perairan pedalaman, laut wilayah atau perairan kepulauan negara yang berperang harus memberikan jalan keluar bagi kapal negara netral ketika operasi penyebaran ranjau tersebut mulai dilaksanakan.<br /><br />86. Melaksanakan penyebaran ranjau di perairan netral oleh pihak yang berperang adalah dilarang.<br /><br />87. Penyebaran ranjau tidak boleh berakibat mencegah lintas laut antara perairan netral dengan perairan internasional.<br /><br />88. Negara penyebar ranjau harus menghormati sebagaimana mestinya penggunaan yang sah atas laut lepas dengan cara antara lain memberikan rute alternatif yang aman bagi pelayaran negara netral.<br /><br />89. Lintas transit melalui selat internasional dan lintas laut melalui perairan yang tunduk kepada aturan hak lintas alur laut kepulauan tidak boleh terputus kecuali diberikan rute alternatif yang aman dan meyakinkan.<br />90. Setelah gencatan senjata, pihak yang bersengketa harus berusaha sedapat mungkin memindahkan atau menonaktifkan ranjau yang telah disebar, setiap pihak yang bersengketa memindahkan ranjau miliknya sendiri. Berkenaan dengan ranjau yang disebar di laut teritorial musuh, setiap pihak harus mengumumkan posisinya dan harus berusaha sesegera mungkin memindahkan ranjau di laut teritorialnya atau dengan kata lain memberikan jaminan keselamatan navigasi di laut teritorial.<br /><br />91. Sebagai tambahan kewajiban mereka sesuai paragraf 90, pihak yang bersengketa harus berusaha mencapai kesepakatan diantara keduanya dan apabila mungkin dengan negara lain dan dengan organisasi internasional, tentang ketentuan asistensi informasi, teknis dan material, termasuk operasi bersama tentang hal-hal yang dibutuhkan guna membersihkan daerah ranjau, dengan kata lain menjadikannya tidak berbahaya.<br /><br />92. Negara netral tidak melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan hukum netralitas dengan tetap melakukan pembersihan ranjau yang penyebarannya melanggar hukum internasional.<br /><br /><br /><br />Bagian II<br />Metode Peperangan<br /><br />Blokade<br /><br />93. Suatu blokade harus dinyatakan dan diumumkan kepada seluruh pihak yang berperang dan kepada negara netral. (penjelasan Paragraf 83)<br /><br />94. Pernyataan blokade harus mencantumkan kapan dimulainya, lamanya, tempat, dan perluasan daerah blokade dan periode kapan kapal negara netral dapat meninggalkan garis pantai blokade.<br /><br />95. Suatu blokade harus efektif. Pertanyaan apakah suatu blokade efektif atau tidak efektif merupakan persoalan fakta.<br /><br />96. Kekuatan militer yang melaksanakan blokade dapat ditempatkan pada jarak tertentu sesuai kebutuhan militer.<br /><br />97. Suatu blokade dapat ditegakkan dan dipertahankan melalui kombinasi sarana dan metode peperangan yang sah, penentuan kombinasi ini tidak boleh mengakibatkan tindakan tidak konsisten dengan aturan yang tercantum dalam dokumen ini.<br /><br />98. Kapal niaga yang diyakini dengan alasan yang kuat telah melanggar blokade, boleh ditangkap. Kapal niaga yang setelah secara dini diberi peringatan, tetap menolak untuk ditangkap, boleh diserang.<br /><br />99. Suatu blokade harus tidak menghalangi akses menuju ke pelabuhan dan pantai negara netral.<br /><br />100. Suatu blokade harus diterapkan sama untuk kendaraan air semua negara.<br /><br />101. Penghentian, berhenti sementara waktu, penetapan ulang, perluasan atau perubahan lain suatu blokade harus dinyatakan dan diumumkan seperti yang dimaksud pada paragraf 93 dan 94.<br /><br />102. Pernyataan atau penetapan blokade adalah dilarang bila :<br /><br />a. Hal tersebut hanya dimaksudkan untuk membuat penduduk sipil kelaparan atau menghalangi masuknya barang-barang yang sangat diperlukan untuk mempertahankan hidup, atau <br /><br />b. Menimbulkan atau dapat diperkirakan menimbulkan kerugian terhadap penduduk sipil, yang berlebihan jika dikaitkan dengan keuntungan militer konkrit dan langsung yang diharapkan dari blokade tersebut. <br /><br />103. Jika penduduk sipil di wilayah yang diblokade tidak memperoleh makanan yang cukup dan barang-barang yang sangat diperlukan untuk mempertahankan hidupnya, maka pihak yang memblokade harus menyediakan alur bebas bagi bahan makanan dan barang-barang yang sangat diperlukan, dengan tunduk kepada :<br /><br />a. Hak untuk menentukan persyaratan teknis, termasuk menentukan perlintasan yang diijinkan, dan<br /><br />b. Syarat bahwa penyaluran barang-barang tersebut harus dilakukan di bawah pengawasan setempat dari Negara Pelindung atau organisasi kemanusiaan yang memberikan jaminan ketidakberpihakannya, seperti Komite Internasional Palang Merah.<br /><br />104. Pihak yang berperang yang memblokade harus mengijinkan lintas bagi penyaluran barang medis kepada penduduk sipil atau kepada anggota tentara yang terluka dan sakit, dengan tunduk kepada hak untuk menentukan persyaratan teknis, termasuk menentukan perlintasan yang diijinkan.<br /><br /><br />Zona-zona<br /><br />105. Pihak yang berperang tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban hukum humaniter internasional dengan menetapkan zona-zona yang dapat bertentangan dengan penggunaan yang sah dari zona-zona tersebut.<br /><br />106. Jika suatu pihak yang berperang, sebagai tindakan pengecualian, menetapkan suatu zona yang demikian, maka :<br /><br />a. Hukum yang sama berlaku baik di dalam maupun di luar zona.<br /><br />b. Perluasan, tempat dan lamanya penetapan zona tersebut serta tindakan yang diambil tidak boleh melebihi apa yang benar-benar diperlukan bagi kepentingan militer dan prinsip proporsional.<br /><br />c. Penghormatan sebagaimana mestinya harus diberikan terhadap hak negara netral atas penggunaan laut yang sah.<br /><br />d. Lintas aman melalui zona yang diperlukan bagi kendaraan air dan pesawat udara netral harus diberikan :<br /><br />1) Bila perluasan geografis dari zona secara jelas menghambat akses yang aman dan bebas menuju ke pelabuhan dan pantai negara netral,<br /><br />2) Pada kasus lain dimana jalur pelayaran normal terganggu, kecuali jika kepentingan militer tidak mengijinkan, dan<br /><br />e. Dimulainya, lamanya, tempat, dan perluasan zona, dan juga pembatasan yang ditetapkan, harus dinyatakan secara umum dan diberitahukan sebagaimana mestinya.<br /><br />107. Kepatuhan-kepatuhan terhadap tindakan yang diambil oleh salah satu pihak yang berperang di suatu zona, tidak seharusnya dianggap sebagai suatu tindakan yang membahayakan bagi pihak berperang yang lainnya.<br /><br />108. Tidak satupun dalam Bagian ini yang dianggap mengurangi, hak pihak yang berperang yang bersumber dari hukum kebiasaan untuk mengawasi kendaraan air dan pesawat udara netral di sekitar wilayah operasi Angkatan Laut.<br /><br /><br />Bagian III<br />Pengelabuan, Siasat Perang dan Perbuatan Curang<br /><br />109. Pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna setiap saat dilarang berpura-pura berstatus sebagai yang dikecualikan dari serangan, sebagai pesawat sipil atau sebagai pesawat negara netral.<br /><br />110. Siasat perang diperbolehkan. Kapal perang dan kapal serbaguna, bagaimanapun juga dilarang melakukan serangan sambil mengibarkan bendera palsu, dan setiap saat dilarang dengan sengaja meniru status dari :<br /><br />a. Kapal rumah sakit, perahu kecil penyelamat pantai, atau transportasi medis.<br /><br />b. Kendaraan air misi kemanusiaan.<br /><br />c. Kendaraan air penumpang yang membawa penumpang sipil.<br /><br />d. Kendaraan air di bawah perlindungan bendera PBB.<br /><br />e. Kendaraan air yang dijamin keselamatannya oleh perjanjian sebelumnya antar pihak, termasuk kendaraan air cartel.<br /><br />f. Kendaraan air yang berhak menggunakan lambang palang merah atau bulan sabit merah, atau<br /><br />g. Kendaraan air yang digunakan untuk pengangkutan benda budaya dibawah perlindungan khusus.<br /><br /><br />111. Perbuatan curang dilarang. Tindakan yang mengundang keyakinan lawan sehingga pihak lawan tersebut percaya bahwa ia mempunyai hak, atau wajib mendapat perlindungan dibawah aturan hukum internasional yang berlaku dalam sengketa bersenjata, dengan maksud untuk mengkhianati keyakinan tersebut berarti melakukan perbuatan curang. Tindakan-tindakan perbuatan curang termasuk melakukan serangan sambil berpura-pura : <br /><br />a. Bersatus dikecualikan dari serangan, penduduk sipil, berstatus netral atau dilindungi oleh PBB.<br /><br />b. Menyerah atau berpura-pura dalam kondisi bahaya, seperti mengirim tanda mara bahaya, atau menempatkan awak kapal dalam suatu perahu penyelamat.<br /><br /><br /><br />BAB V<br /><br />TINDAKAN-TINDAKAN PENGGUNAAN KEKERASAN :<br />INTERSEPSI, PEMERIKSAAN, PENCARIAN KETERANGAN,<br />PEMBELOKAN ARAH DAN PENANGKAPAN<br /><br /><br />Bagian I<br />Penentuan ciri-ciri musuh <br />pada Kendaraan Air dan Pesawat Udara <br /> <br />112. Kenyataan bahwa suatu kendaraan air niaga yang mengibarkan bendera negara musuh atau suatu pesawat udara sipil yang memperlihatkan tanda negara musuh adalah menunjukkan ciri-ciri musuh.<br /><br />113. Kenyataan bahwa suatu kendaraan air niaga yang mengibarkan bendera netral atau suatu pesawat udara sipil memperlihatkan tanda negara netral adalah menunjukkan ciri-ciri netral.<br /><br />114. Bila Komandan Kapal perang mencurigai bahwa kendaraan air niaga berbendera netral pada kenyataannya menunjukkan ciri-ciri musuh, komandan tersebut berwenang untuk melaksanakan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan termasuk hak membelokkan arah untuk pencarian keterangan sesuai paragraf 121.<br /><br />115. Bila pilot pesawat udara militer mencurigai bahwa pesawat udara sipil dengan tanda netral pada kenyataannya menunjukkan ciri-ciri musuh, pilot tersebut berwenang melaksanakan hak intersepsi dan bila keadaan mengharuskan demikian, berwenang membelokkan arah untuk tujuan pemeriksaan dan pencarian keterangan.<br /><br />116. Bila setelah pemeriksaan dan pencarian keterangan terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa kendaraan air niaga berbendera netral atau pesawat udara sipil dengan tanda netral memiliki ciri-ciri musuh, maka kendaraan air atau pesawat udara tersebut boleh ditangkap untuk diproses secara hukum.<br /><br />117. Ciri-ciri musuh dapat ditentukan dari dokumen pendaftaran, kepemilikan kapal, penyewa atau kriteria lainnya. <br /><br /><br /><br /><br />Bagian II<br />Pemeriksaan dan Pencarian Keterangan<br />Kendaraan Air Niaga.<br /><br />Aturan Dasar<br /><br />118. Dalam melaksanakan hak mereka yang sah dalam suatu konflik bersenjata internasional di laut, kapal perang dan pesawat udara militer pihak yang berperang mempunyai hak memeriksa dan mencari keterangan kendaraan air niaga di luar perairan netral apabila ada alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa kendaraan air tersebut dapat ditangkap.<br /><br />119. Sebagai alternatif untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan, kendaraan air niaga netral atas persetujuannya boleh dirubah arahnya dari tujuan semula. <br /><br />Kendaraan air niaga dalam <br />konvoi bersama kapal perang netral<br /><br />120. Kendaraan air niaga netral dikecualikan dari pelaksanaan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan bila memenuhi persyaratan berikut :<br /><br />a. Berlayar menuju pelabuhan netral.<br /><br />b. Dalam konvoi bersama dengan kapal perang netral berkebangsaan yang sama atau kapal perang netral suatu negara dimana negara bendera kendaraan air niaga telah ada kesepakatan perjanjian tentang konvoi tersebut. <br /><br />c. Negara Bendera kapal perang netral menjamin bahwa kendaraan air niaga tersebut tidak mengangkut barang larangan/kontrabande atau jika tidak terlibat dalam kegiatan yang tidak konsisten dengan status kenetralannya, dan<br /><br />d. Komandan kapal perang negara netral, bila diminta oleh komandan kapal perang pihak yang berperang atau pesawat udara militer yang mengintersepnya, memberikan semua informasi tentang ciri-ciri kendaraan air niaga dan muatannya, jika tidak demikian akan diperoleh melalui pemeriksaan dan pencarian keterangan.<br /><br /><br />Pembelokan arah untuk tujuan pemeriksaan <br />dan pencarian keterangan<br /><br /><br />121. Bila pemeriksaan dan pencarian keterangan tidak memungkinkan dilakukan atau tidak aman, kapal perang pihak yang berperang boleh membelokkan arah kendaraan air niaga ke arah yang memungkinkan atau kepelabuhan dalam rangka melaksanakan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan.<br />Tindakan Supervisi<br /><br />122. Dalam rangka menghindari adanya pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara yang berperang boleh melakukan tindakan yang beralasan untuk pemeriksaan muatan kendaraan air niaga dan membuat pernyataan hasil pemeriksaan bahwa suatu kendaraan air tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.<br /><br />123. Kenyataan bahwa kendaraan air niaga netral yang telah dikenakan tindakan pengawasan seperti pemeriksaan muatan dan adanya pernyataan hasil pemeriksaan yang menyatakan tidak memuat muatan larangan/kontrabande oleh salah satu pihak yang berperang, bukanlah merupakan tindakan yang tidak netral terhadap pihak yang berperang lainnya.<br /><br /><br /><br />124. Untuk menghindari pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara netral didorong untuk menegakkan tindakan pengawasan yang beralasan dan prosedur sertifikasi untuk meyakinkan bahwa kendaraan air niaga mereka tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.<br /><br /><br />Bagian III<br />Intersepsi, Pemeriksaan, <br />Pencarian Keterangan Pesawat Udara Sipil<br /><br />Aturan Dasar<br /><br />125. Dalam melaksanakan hak sah mereka dalam konflik bersenjata internasional di laut, pesawat udara militer pihak yang berperang memiliki hak mengintersep pesawat udara sipil di luar ruang udara netral dimana terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa pesawat udara sipil itu boleh ditangkap. Bila setelah intersepsi masih terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa pesawat udara sipil dapat ditangkap, pesawat udara militer pihak yang berperang memiliki hak memerintahkan pesawat udara sipil tersebut menuju ke lapangan udara pihak yang berperang yang aman dan terdapat akses untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan. Bila tidak ada lapangan terbang pihak yang berperang yang aman dan terdapat akses untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan, pesawat udara sipil boleh dibelokkan arah dari tujuan semula.<br /><br />126. Sebagai alternatif dari pemeriksaan dan pencarian keterangan :<br /><br />a. Pesawat udara musuh dapat dibelokkan arah dari tujuan semula.<br /><br />b. Pesawat udara netral atas persetujuannya dapat dibelokkan arah dari tujuan semula.<br /><br /><br />Pesawat udara sipil dibawah kendali operasi bersama-sama<br />pesawat udara militer atau kapal perang netral<br /><br />127. Pesawat udara sipil netral dikecualikan dari pelaksanaan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :<br />a. Menuju ke pelabuhan udara netral<br /><br />b. Dibawah kendali operasi bersama :<br /><br />1) Pesawat udara militer atau kapal perang netral berkebangsaan sama<br /><br />2) Pesawat udara militer atau kapal perang negara netral dimana bendera negara pesawat udara sipil telah ada perjanjian untuk pengendalian demikian.<br /><br />c. Negara bendera dari pesawat udara militer atau kapal perang netrall menjamin bahwa pesawat udara sipil netral tersebut tidak mengangkut barang larangan/kontrabande atau jika tidak terlibat dalam kegiatan yang tidak konsisten dengan status kenetralannya, dan<br /><br />d. Pilot pesawat udara militer dan komandan kapal perang negara netral, bila diminta oleh pilot pesawat udara militer pihak yang berperang yang mengintersepnya, memberikan semua informasi tentang ciri-ciri pesawat udara sipil dan muatannya, jika tidak demikian akan diperoleh melalui pemeriksaan dan pencarian keterangan.<br /><br /><br /> Tindakan-tindakan Intersepsi dan Supervisi<br /><br />128. Negara yang berperang harus menetapkan dan mengikuti prosedur keselamatan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional yang berkompeten untuk mengintersep pesawat udara sipil.<br /><br />129. Pesawat udara sipil harus menyampaikan rencana penerbangan yang dibutuhkan dengan diketahui oleh dinas pengatur lalu lintas udara, dilengkapi dengan keterangan seperti administrasi pendaftaran, tujuan, penumpang, muatan, saluran komunikasi darurat, mode dan kode identifikasi, perubahan jalur penerbangan dan membawa sertifikat seperti pendaftaran, keselamatan penerbangan, para penumpang dan muatan. Mereka tidak dapat menyimpang dari jalur yang ditetapkan dinas pengatur lalu lintas udara atau menyimpang dari rencana penerbangan tanpa pengesahan dari dinas pengendali lalu lintas udara kecuali muncul kondisi yang tidak diinginkan seperti dalam situasi penyelamatan diri atau dalam situasi bahaya, dalam hal demikian maka harus segera dibuat pemberitahuan yang layak.<br /><br />130. Pihak yang berperang dan negara netral yang berkepentingan, dan otorita pengatur lalu lintas udara, harus menetapkan prosedur dimana komandan kapal perang dan pilot pesawat udara militer harus selalu waspada terhadap rute yang dirancang atau rencana penerbangan yang dibuat pesawat udara sipil di daerah operasi militer, termasuk didalamnya informasi saluran komunikasi, mode dan kode identifikasi, tempat tujuan, para penumpang dan muatan.<br /><br />131. Di sekitar daerah operasi Angkatan Laut, pesawat udara sipil harus mengikuti perintah dari pihak yang berperang tentang arah dan ketinggian.<br /><br />132. Dalam rangka menghindari adanya pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara yang berperang boleh melakukan tindakan yang beralasan untuk pemeriksaan muatan pesawat udara sipil netral dan membuat pernyataan hasil pemeriksaan bahwa suatu pesawat udara tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.<br /><br />133. Kenyataan bahwa pesawat udara sipil netral yang telah dikenakan tindakan pengawasan seperti pemeriksaan muatan dan adanya pernyataan hasil pemeriksaan yang menyatakan tidak memuat muatan larangan/kontrabande oleh salah satu pihak yang berperang, bukanlah merupakan tindakan yang tidak netral terhadap pihak yang berperang lainnya.<br /><br />134. Untuk menghindari pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara netral didorong untuk menegakkan tindakan pengawasan yang beralasan dan prosedur sertifikasi untuk meyakinkan bahwa pesawat udara sipil mereka tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.<br /><br /><br />Bagian IV<br />Penangkapan kendaraan Air musuh <br />dan barang-barangnya.<br /><br />135. Dengan tunduk pada ketentuan paragraf 136, kendaraan air musuh baik niaga maupun lainnya dan barang-barang diatas kendaraan air tersebut dapat ditangkap di luar perairan netral. Tidak diharuskan untuk melaksanakan pemeriksaan dan pencarian keterangan lebih dahulu. (ada penjelasan)<br /><br />136. Kendaraan-kendaraan air berikut dikecualikan dari penangkapan :<br /><br />a. Kapal rumah sakit dan perahu kecil yang digunakan operasi penyelamatan di pantai<br /><br />b. Transportasi medis lainnya, sepanjang mereka diperlukan untuk mengangkut orang-orang yang luka, sakit dan kecelakaan kapal laut.<br />c. Kendaraan air niaga yang dijamin aman penggunaannya oleh perjanjian antar pihak-pihak yang berperang termasuk :<br /><br />1) Kendaraan air cartel seperti kendaraan air yang ditunjuk dan dilibatkan dalam pengangkutan tawanan perang.<br /><br />2) Kendaraan air yang dilibatkan dalam tugas kemanusiaan, termasuk kendaraan air yang mengangkut barang-barang kebutuhan demi kelangsungan hidup masyarakat sipil, dan kendaraan air yang dilibatkan untuk aksi bantuan bencana dan operasi penyelamatan.<br /><br />d. Kendaraan air yang dilibatkan untuk transportasi benda budaya dibawah perlindungan khusus.<br /><br />e. Kendaraan air yang disewa oleh misi keagamaan, tugas-tugas ilmiah non militer dan misi kemanusiaan. Kendaraan air pengumpul data ilmiah untuk kepentingan militer tidak dilindungi.<br /><br />f. Perahu kecil nelayan pantai dan perahu kecil yang dilibatkan dalam perdagangan pantai setempat, tetapi mereka tunduk kepada peraturan-peraturan dan pengawasan Komandan Angkatan Laut pihak yang berperang yang beroperasi didaerah tersebut.<br /><br />g. Kendaraan-kendaraan air yang dirancang atau disesuaikan sedemikian rupa untuk mengatasi terjadinya pencemaran di lingkungan laut saat dilibatkan kegiatan-kegiatan tersebut.<br /><br />137. Kendaraan air yang disebutkan pada paragraf 136, dikecualikan dari penangkapan hanya bila mereka:<br /><br />a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya.<br /><br />b. Tidak melakukan aksi yang membahayakan musuh.<br /><br />c. Sanggup untuk segera diidentifikasi dan diperiksa apabila diminta, dan<br /><br />d. Tidak secara sengaja menghambat gerakan kombatan dan mematuhi perintah untuk berhenti atau bergerak menjauh apabila diminta.<br /><br />138. Penangkapan kendaraan air niaga dilaksanakan dengan membawa kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum. Bila situasi militer tidak memungkinkan membawa kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan di laut, maka kendaraan air tersebut dapat dibelokkan arahnya ke daerah atau ke pelabuhan yang memungkinkan untuk kelengkapan penangkapan. Sebagai alternatif dari penangkapan, kendaraan air niaga musuh boleh dibelokkan arah dari tujuan semula.<br /><br />139. Tunduk pada ketentuan paragraf 140, suatu kendaraan air niaga musuh yang ditangkap, sebagai tindakan pengecualian, boleh dihancurkan bila situasi militer tidak memungkinkan membawa atau mengirim kendaraan air tersebut untuk diproses secara hukum sebagai barang tangkapan, hanya apabila kriteria berikut terlebih dahulu terpenuhi :<br /><br />a. Keselamatan para penumpang dan awak kapal diperhatikan, dengan pengertian bahwa sekoci kapal tidak dianggap sebagai tempat penyelamatan kecuali bila keselamatan penumpang dan awak kapal dijamin aman dalam kondisi cuaca dan keadaan laut, berada dekat dengan daratan atau kehadiran kendaraan air lain yang dalam posisi dapat mengangkat mereka ke kapal.<br /><br />b. Dokumen dan surat yang berhubungan sebagai barang bukti diselamatkan, dan<br /><br />c. Bila memungkinkan, barang-barang pribadi para penumpang dan awak kapal diamankan.<br /><br />140. Penghancuran di laut terhadap kendaraan air penumpang musuh yang hanya mengangkut penumpang sipil adalah dilarang. Demi keselamatan penumpang, kendaraan air tersebut harus dibelokkan arah ke daerah atau ke pelabuhan yang memungkinkan untuk kelengkapan penangkapan.<br /><br /><br />Bagian V<br />Penangkapan Pesawat Udara Musuh beserta Barang-barangnya<br /><br />141. Tunduk pada ketentuan paragraf 142, pesawat udara sipil musuh beserta barang-barangnya di pesawat tersebut boleh ditangkap diluar ruang udara netral. Tidak diharuskan melakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan terlebih dahulu.<br /><br />142. Pesawat udara berikut ini dikecualikan dari penangkapan:<br /><br />a. Pesawat udara medis, dan<br /><br />b. Pesawat udara yang dijamin aman penggunaannya berdasarkan perjanjian antar pihak yang bersengketa.<br /><br />143. Pesawat udara yang disebut dalam paragraf 142 dikecualikan dari penangkapan hanya bila mereka:<br /> <br />a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya.<br /><br />b. Tidak melakukan aksi yang membahayakan musuh.<br /><br />c. Sanggup untuk segera diidentifikasi dan diperiksa apabila diminta, dan<br /><br />d. Tidak secara sengaja menghambat gerakan kombatan dan mematuhi perintah untuk berhenti atau bergerak menjauh apabila diminta, dan<br /><br />e. Tidak melanggar perjanjian sebelumnya<br /><br />144. Penangkapan dilakukan dengan mengintersep pesawat udara sipil musuh, dengan memerintahkannya menuju lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk itu. Setelah mendarat pesawat udara tersebut diambil sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum. Sebagai alternatif penangkapan, pesawat udara sipil musuh boleh dibelokkan arahnya dari tujuan semula.<br /><br />145. Bila penangkapan dilakukan, keselamatan para penumpang dan awak kapal dan barang-barang pribadi yang dimiliki harus diperhatikan. Dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan barang tangkapan harus diamankan.<br /><br /><br />Bagian VI<br />Penangkapan Kendaraan Air Niaga Netral<br />Beserta Barang-barangnya.<br /><br />146. Kendaraan air niaga netral dapat ditangkap di luar perairan netral bila mereka terlibat dalam setiap kegiatan sebagaimana disebutkan pada paragraf 67, atau bila hal tersebut diputuskan dari hasil pemeriksaan dan pencarian keterangan atau dengan cara lainnya, bahwa mereka :<br /><br />a. Mengangkut barang larangan/kontrabande.<br /><br />b. Dalam pelayaran yang khusus digunakan untuk mengangkut penumpang perorangan yang merupakan anggota angkatan bersenjata musuh.<br /><br />c. Dioperasikan secara langsung dibawah kendali, perintah, disewa, digunakan atau diarahkan musuh.<br /><br />d. Menunjukkan dokumen yang tidak umum atau palsu, dokumen yang kurang lengkap atau dokumen yang hancur, cacat, atau menyembunyikan dokumen.<br /><br />e. Melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh suatu pihak yang berperang didalam daerah disekitar daerah operasi Angkatan Laut, atau<br /><br />f. Melanggar atau mencoba untuk menembus blokade.<br /><br />Penangkapan suatu kendaraan air niaga netral dilaksanakan dengan membawa kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum.<br /><br />147. Barang yang berada di dalam kendaraan air niaga netral dapat di tangkap hanya bila barang tersebut merupakan barang larangan/kontrabande.<br /><br />148. Barang larangan/kontrabande didefinisikan sebagai barang-barang yang pada akhirnya dimaksudkan untuk dibawa ke daerah dibawah kendali musuh dan yang dapat dicurigai untuk digunakan dalam konflik bersenjata.<br /><br />149. Untuk pelaksanaan hak penangkapan yang disebut dalam paragraf 146 a. dan 147, pihak yang berperang harus mengumumkan daftar-daftar barang larangan/kontrabande. Isi dari daftar barang larangan/kontrabande milik suatu pihak yang berperang dapat berbeda-beda tergantung pada situasi khusus dalam konflik bersenjata. Daftar barang larangan/kontrabande harus sedapat mungkin ditentukan secara spesifik disertai alasannya.<br /><br />150. Barang yang tidak termasuk dalam daftar barang larangan/kontrabande pihak yang berperang merupakan “barang bebas”, sehingga tidak dapat ditangkap. Paling tidak, “barang bebas” harus meliputi :<br /><br />a. Benda-benda keagamaan,<br /><br />b. Barang-barang yang ditujukan untuk perawatan orang yang luka dan sakit, dan untuk pencegahan penyakit,<br /><br />c. Pakaian, tempat tidur, bahan makanan pokok, dan peralatan untuk tempat berteduh bagi penduduk sipil pada umumnya, serta perempuan dan anak-anak pada khususnya, dengan syarat tidak ada alasan yang tepat untuk meyakini bahwa barang-barang tersebut akan dialihkan untuk tujuan lain, atau apabila suatu keuntungan militer tertentu dari musuh akan bertambah karena penggantian barang-barang musuh tersebut bisa digunakan untuk tujuan militer,<br /><br />d. Barang-barang yang ditujukan untuk tawanan perang, termasuk bingkisan-bingkisan, dan kiriman bantuan kolektif yang berisikan bahan makanan, pakaian, peralatan pendidikan, budaya dan rekreasi,<br /><br />e. Barang-barang yang tidak secara khusus dikecualikan dari penangkapan berdasarkan perjanjian internasional atau berdasarkan perjanjian khusus antar pihak yang berperang, dan<br /><br />f. Barang-barang lainnya yang tidak mencurigakan untuk digunakan bagi konflik bersenjata.<br /><br />151. Tunduk pada paragaraf 152, suatu kendaraan air netral yang ditangkap sesuai dengan paragraf 146, sebagai suatu tindakan pengecualian, boleh dihancurkan apabila situasi militer tidak memungkinkan untuk membawa atau mengirim kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan guna diproses secara hukum, hanya apabila kriteria berikut terlebih dahulu terpenuhi :<br /><br />a. Keselamatan para penumpang dan awak kapal diperhatikan, dengan pengertian bahwa sekoci kapal tidak dianggap sebagai tempat penyelamatan kecuali bila keselamatan penumpang dan awak kapal dijamin aman dalam kondisi cuaca dan keadaan laut, berada dekat dengan daratan atau kehadiran kendaraan air lain yang dalam posisi dapat mengangkat mereka ke kapal.<br /><br />b. Dokumen dan surat yang berhubungan sebagai barang bukti diselamatkan, dan<br /><br />c. Bila memungkinkan, barang-barang pribadi para penumpang dan awak kapal diamankan.<br /><br />Setiap usaha harus dilakukan untuk menghindari kehancuran kendaraan air netral yang ditangkap. Karena itu, penghancuran tidak boleh diperintahkan sebelum terpenuhi hal-hal bahwa kendaraan air tangkapan tersebut tidak dapat dikirim ke suatu pelabuhan pihak yang berperang, atau tidak dapat dibelokkan, atau tidak dapat dilepaskan secara layak. Suatu kendaraan air tidak boleh dihancurkan berdasarkan paragraf ini dikarenakan mengangkut barang larangan/kontrabande kecuali barang larangan/kontrabande tersebut setelah dihitung baik dari nilai, berat, volume atau muatan barang larangan/kontrabande tersebut didapati lebih dari setengah muatan kapal. Penghancuran harus dilaksanakan sesuai hukum.<br /><br />152. Penghancuran di laut terhadap kendaraan air penumpang netral tangkapan yang mengangkut penumpang sipil adalah dilarang. Demi keselamatan para penumpang, kendaraan air tersebut harus dibelokkan menuju pelabuhan yang memungkinkan untuk kelengkapan penangkapan sebagaimana diatur dalam paragraf 146.<br /><br /><br /><br />Bagian VII<br />Penangkapan Pesawat Udara Sipil Netral <br />beserta Barang-barangnya.<br /><br /><br />153. Pesawat udara sipil netral netral dapat ditangkap di luar wilayah udara bila mereka terlibat dalam setiap kegiatan sebagaimana disebutkan pada paragraf 70, atau bila hal tersebut diputuskan dari hasil pemeriksaan dan pencarian keterangan atau dengan cara lainnya, bahwa mereka :<br /><br />a. Mengangkut barang larangan/kontrabande.<br /><br />b. Dalam penerbangan yang khusus digunakan untuk mengangkut penumpang perorangan yang merupakan anggota angkatan bersenjata musuh.<br /><br />c. Dioperasikan secara langsung dibawah kendali, perintah, disewa, digunakan atau diarahkan musuh.<br /><br />d. Menunjukkan dokumen yang tidak umum atau palsu, dokumen yang kurang lengkap atau dokumen yang hancur, cacat, atau menyembunyikan dokumen.<br /><br />e. Melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh suatu pihak yang berperang didalam daerah disekitar daerah operasi Angkatan Laut, atau<br /><br />f. Terlibat menembus blokade.<br /><br />154. Barang yang berada di dalam pesawat udara sipil netral dapat ditangkap hanya apabila barang tersebut merupakan barang larangan/kontrabande.<br /><br />155. Aturan yang berkenaan barang larangan/kontrabande sebagaimana diatur dalam paragraf 148-150 juga harus berlaku terhadap barang yang berada di dalam pesawat udara sipil netral.<br /><br />156. Penangkapan dilakukan dengan mengintersep pesawat udara sipil musuh, dengan memerintahkannya menuju lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk itu. Setelah mendarat dan setelah dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan, pesawat udara tersebut diambil sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum. Bila tidak pelabuhan udara pihak berperang yang aman dan mempunyai akses untuk itu, pesawat udara sipil musuh dapat dibelokkan arah dari tujuannya semula.<br /><br />157. Sebagai alternatif dari penangkapan, suatu pesawat udara sipil netral, atas persetujuannya boleh dibelokkan arahnya dari tujuan semula.<br />158. Bila penangkapan dilakukan, keselamatan para penumpang dan awak pesawat serta barang-barang pribadi yang dimiliki harus diperhatikan. Dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan barang tangkapan harus diamankan.<br /><br /><br />BAB VI<br /><br />ORANG YANG DILINDUNGI, <br />TRANSPORTASI MEDIS DAN PESAWAT UDARA MEDIS<br /><br />Aturan Umum<br /><br /><br />159. Kecuali ditentukan dalam paragraf 171, ketentuan pada Bab ini disusun tidak dimaksudkan untuk menyimpang dari ketentuan Konvensi Jenewa II tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977 yang berisi aturan rinci mengenai perlakuan terhadap orang yang terluka, sakit dan korban kapal karam dan untuk transportasi medis.<br /><br />160. Pihak yang bersengketa, untuk tujuan kemanusiaan boleh menyetujui untuk menetapkan suatu zona di suatu daerah tertentu di laut dimana hanya kegiatan-kegiatan tertentu yang sesuai dengan tujuan kemanusiaan diijinkan.<br /><br /><br />Bagian I<br />Orang yang Dilindungi<br /><br />161. Orang-orang yang berada di dalam kendaraan air dan pesawat udara yang telah jatuh ke tangan kekuasaan pihak yang berperang atau pihak netral harus dihormati dan dilindungi. Ketika di laut dan setelahnya hingga statusnya ditetapkan, mereka berada dibawah yurisdiksi negara pihak yang menguasainya.<br /><br />162. Awak kapal rumah sakit tidak boleh ditangkap selama mereka bertugas di kapal tersebut. Awak perahu penyelamat tidak boleh ditangkap selama terlibat dalam operasi penyelamatan.<br /><br />163. Orang-orang yang berada di dalam kendaraan air atau pesawat udara lainnya yang dikecualikan dari tindakan penangkapan sebagaimana tercantum dalam paragraf 136 dan 142 tidak boleh ditangkap.<br /><br />164. Personel medis dan rohaniawan yang berugas di bidang perawatan kesehatan dan spiritual bagi orang-orang yang luka, sakit dan korban kapal karam tidak boleh dianggap sebagai tawanan perang. Namun demikian mereka boleh ditahan sepanjang pelayanan medis dan spiritualnya dibutuhkan untuk tawanan perang.<br /><br />165. Warga negara dari suatu negara musuh, selain yang disebutkan secara khusus didalam paragraf 162 -164, berhak untuk mendapatkan status tawanan perang dan boleh dijadikan tawanan perang apabila mereka :<br /><br />a. Anggota angkatan bersenjata negara musuh,<br /><br />b. Orang-orang yang menyertai ke angkatan bersenjata musuh,<br /><br />c. Awak kendaraan air serba guna atau awak pesawat udara serba guna,<br /><br />d. Awak kendaraan air niaga musuh atau awak pesawat udara sipil musuh tidak dikecualikan dari tindakan penangkapan, kecuali mereka diuntungkan dari perlakuan yang lebih baik berdasarkan ketentuan-ketentuan lain dari hukum internasional, atau<br /><br />e. Awak kendaraan air niaga netral dan awak pesawat udara sipil netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada musuh.<br />166. Warga negara dari suatu negara netral :<br /><br />a. Yang menjadi penumpang di dalam kendaraan air netral atau kendaraan air musuh atau pesawat udara netral atau pesawat udara musuh harus dilepaskan dan tidak boleh dijadikan tawanan perang kecuali mereka merupakan anggota dari angkatan bersenjata musuh atau secara pribadi melakukan tindakan permusuhan melawan pihak yang menangkap.<br /><br />b. Yang menjadi awak kapal perang musuh atau awak kendaraan air serba guna musuh atau awak pesawat udara militer musuh atau awak pesawat udara serba guna musuh berhak untuk mendapatkan status sebagai tawanan perang dan boleh dijadikan tawanan perang.<br /><br />c. Yang menjadi awak kendaraan air niaga netral atau awak kendaraan air niaga musuh atau awak pesawat udara sipil netral atau awak pesawat udara sipil musuh harus dilepaskan dan tidak boleh dijadikan tawanan perang kecuali kendaraan air atau pesawat udara tersebut telah melakukan suatu tindakan sebagaimana yang diatur dalam paragraf 60, 63, 67, atau 70, atau awak kapal atau awak pesawat yang secara pribadi telah melakukan tindakan permusuhan melawan pihak yang menangkap.<br /><br />167. Orang-orang sipil selain yang tercantum khusus pada paragraf 162-166 dilindungi sesuai Konvensi Jenewa IV tahun 1949.<br /><br />168. Orang-orang yang telah jatuh ke dalam kekuasaan suatu negara netral, harus diperlakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Den Haag V dan XIII tahun 1907 serta Konvensi Jenewa II tahun 1949.<br /><br /><br />Bagian II<br />Transportasi Medis<br /><br />169. Untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada kapal rumah sakit sejak saat pecahnya pertempuran, negara-negara terlebih dahulu boleh membuat pemberitahuan umum tentang ciri-ciri kapal rumah sakitnya sebagaimana diatur dalam pasal 22 dari Konvensi Jenewa II tahun 1949. Pemberitahuan demikian harus mencantumkan semua informasi mengenai peralatan-peralatan sehingga kapal tersebut dapat diidentifikasi.<br /><br />170. Kapal rumah sakit boleh dilengkapi peralatan penangkal standar untuk maksud pembelaan diri seperti chaff dan flare. Keberadaan peralatan tersebut harus diumumkan.<br /><br />171. Untuk memenuhi misi kemanusiaannya secara paling efektif, kapal rumah sakit harus diijinkan untuk menggunakan peralatan cryptographic. Peralatan tersebut dalam situasi apapun tidak boleh digunakan untuk mengirim data intelijen atau untuk dengan cara apapun untuk memperoleh setiap keuntungan militer.<br /><br />172. Kapal rumah sakit, perahu kecil yang digunakan untuk operasi penyelamatan di pantai dan transportasi medis lainnya didorong untuk memenuhi alat-alat identifikasi sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran I Protokol Tambahan I tahun 1977.<br /><br />173. Alat-alat identifikasi ini dimaksudkan hanya untuk memfasilitasi identifikasi dan bukan untuk mendapatkan status perlindungan.<br /><br /><br />Bagian III<br />Pesawat Udara Medis<br /><br />174. Pesawat udara medis harus dilindungi dan dihormati sebagaimana disebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam dokumen ini.<br /><br />175. Pesawat udara medis harus secara jelas ditandai dengan lambang palang merah atau bulan sabit merah, bersama dengan bendera kenegaraan pesawat, pada permukaan bawah, atas dan sampingnya. Pesawat udara medis setiap saat didorong untuk memenuhi alat-alat identifikasi lainnya sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran Protokol Tambahan I tahun 1977. Pesawat udara yang disewa oleh Komite Internasional Palang Merah boleh menggunakan alat identifikasi yang sama seperti pesawat udara medis. Pesawat udara medis sementara yang tidak dapat ditandai dengan lambang pembeda, baik karena kurangnya waktu atau karena ciri-cirinya, harus menggunakan alat identifikasi yang paling efektif yang ada. <br /><br />176. Alat-alat identifikasi dimaksudkan hanya untuk memfasilitasi identifikasi dan bukan untuk mendapatkan status perlindungan.<br /><br />177. Pihak yang bersengketa didorong untuk setiap waktu memberitahukan penerbangan-penerbangan medis dan membuat perjanjian-perjanjian, khususnya di daerah yang belum jelas pengendaliannya dari salah satu pihak yang bersengketa. Apabila suatu perjanjian tersebut telah dibuat, harus memuat ketinggian, waktu dan rute yang aman bagi operasi dan harus mencantumkan alat-alat identifikasi dan komunikasi.<br /><br />178. Pesawat udara medis tidak boleh digunakan untuk melakukan aksi yang membahayakan musuh. Tidak boleh membawa peralatan yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dan mengirim data intelijen. Tidak boleh dipersenjatai, kecuali senjata ringan untuk pembelaan diri, dan hanya boleh membawa personel dan peralatan medis.<br /><br />179. Pesawat udara lainnya baik militer atau sipil, baik pihak yang berperang atau netral, yang digunakan untuk pencarian keterangan, penyelamatan atau mengangkut orang-orang yang luka, sakit dan korban kapal karam, beroperasi atas resikonya sendiri, kecuali digunakan mengikuti perjanjian sebelumnya antar pihak yang bersengketa .<br /><br />180. Pesawat udara medis yang terbang diatas daerah-daerah yang secara fisik dibawah kendali pihak lawan atau terbang di atas daerah-daerah yang secara fisik belum jelas pengendaliannya, boleh diperintahkan untuk mendarat dan guna dilakukan pemeriksaan. Pesawat udara medis harus mematuhi perintah yang demikian.<br /><br />181. Pesawat udara medis pihak yang berperang tidak boleh memasuki ruang udara netral kecuali ada perjanjian sebelumnya. Jika di dalam ruang udara netral sesuai dengan perjanjian, pesawat udara medis harus mentaati ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian boleh menentukan pesawat udara tersebut untuk mendarat guna dilakukan pemeriksaan di pelabuhan udara tertentu di negara netral. Jika perjanjian tersebut menyatakan demikian, maka pengawasan dan tindakan-tindakan lanjutannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam paragraf 182-183.<br /><br />182. Jika pesawat udara medis, dalam hal tidak ada suatu perjanjian atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan suatu perjanjian, memasuki ruang udara netral, baik karena kesalahan navigasi atau karena suatu keadaan darurat yang membahayakan keselamatan penerbangan tersebut, pesawat udara medis tersebut harus melakukan segala upaya untuk menyampaikan pemberitahuan dan menunjukkan identitas diri. Segera setelah pesawat udara dikenali oleh negara netral sebagai suatu pesawat udara medis, pesawat udara ini tidak boleh diserang tetapi boleh diminta mendarat untuk dilakukan inspeksi. Segera setelah pesawat udara ini telah diinspeksi dan jika pesawat udara ini ditetapkan pada kenyataannya sebagai pesawat udara medis, pesawat udara ini harus diijinkan untuk melanjutkan penerbangannya.<br /><br />183. Apabila dari hasil pemeriksaan ternyata bahwa pesawat udara tersebut bukan pesawat udara medis, maka boleh ditangkap, dan orang-orang yang ditangkap, kecuali disepakati lain antara negara netral dan pihak bersengketa, harus ditahan dinegara netral sebagaimana dipersyaratkan oleh aturan-aturan hukum internasional tentang konflik bersenjata, dengan cara demikian mereka tidak dapat lagi ambil bagian dalam pertempuran.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-17277373924127067302008-12-28T17:54:00.000-08:002008-12-28T17:55:26.369-08:00Pengadilan HAM InternasionalTentang “Pengadilan HAM” Internasional <br /><br />Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M. <br /><br /><br />Pengantar<br /><br />Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini.<br /><br />Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility.<br /><br />Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) melalui Resolusi Majelis Umum PBB no.174(II). Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi (pasal 16) –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility , kejahatan genosida (pasal 17), kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 18), kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya (pasal 19), serta kejahatan perang (pasal 20).<br /><br />Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia (ICTY). Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana.<br /><br />Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR) yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah: genosida (pasal 2); kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 3) ; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 (pasal 4).<br /><br />Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional.<br /><br />Ketika Statute for an International Criminal Court (Statuta Mahkamah Pidana Internasional) yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu: genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.<br /><br />Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah: perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (equal gravity) (pasal 7 ayat 1.b)(pasal 8 ayat 2.b.xxii)(pasal 8 ayat 2.e.vi). Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. <br /><br />Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg (Nuremberg War Crimes Trials), Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (Tokyo Tribunal) dan tinjauan instrumen atas Pengadilan HAM di Indonesia.<br /><br /><br />Pengadilan Militer Internasional, Nuremberg 1945<br /><br />- pengadilan atas pelaku kejahatan perang Nazi diselenggarakan oleh empat negara sekutu utama Perang Dunia II (Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis)<br />- 12 persidangan diselenggarakan di bawah yurisdiksi Control Council Law No.10<br />- Selain persidangan-persidangan tersebut, juga diselenggarakan banyak persidangan lainnya yang dilakukan oleh pengadilan militer di berbagai negara lainnya Howard S Levie, “War Crimes Programs: Europe”, Chapter III in Howard S Levie, Terrorism in War: The Law of War Crimes (Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications, 1993) p 135-139 (bagian statistik)<br /><br />Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan pasal 6:<br />- kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace)<br />- kejahatan perang (war crimes)<br />- kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)<br /><br />Individual responsibility pasal 6<br /><br />By ommission: keikutsertaan dalam suatu konspirasi atau rencana bersama untuk melakukan kejahatan yang tersebut di atas pasal 6<br /><br />Tidak ada kekebalan (immunity) untuk tindak kejahatan yang dilakukan dengan alasan melaksanakan tugas negara, atau sebagai aparat negara pasal 7<br /><br />alasan menjalankan perintah atasan (defense of superior orders) tidak dapat diterima kecuali sebagai unsur pertimbangan peringanan hukuman (mitigation) pasal 7<br /><br />criminal organizations pasal 9<br /><br />konsekuensi dinyatakannya sebuah organisasi sebagai organisasi kriminal pasal 10 dan 11<br /><br />pengadilan in absentia diperbolehkan pasal 12<br /><br />pemberkasan dakwaan di Pengadilan Nuremberg:<br />1. menyusun rencana bersama atau melakukan konspirasi untuk menyelenggarakan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.<br />2. pelaku kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan perang sebagai bentuk tindak agresi yang juga merupakan perang yang dilarang berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional.<br />3. pelaku kejahatan perang dari tanggal 1 september 1939 sampai 8 Mei 1945 di Jerman serta seluruh wilayah negara dan teritori yang dikuasai tentara Jerman sejak 1 September 1939, dan di Austria, Cekoslowakia, dan Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.<br />4. pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum 8 Mei 1945 di Jerman serta seluruh wilayah negara dan teritori yang dikuasai tentara Jerman sejak 1 September 1939, dan di Austria, Cekoslowakia, dan Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.<br /><br />Pertanggung jawaban atas tindak kejahatan perang adalah atas: (a) tindakan secara langsung yang merupakan pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang; dan (b) tindakan yang merupakan kejahatan perang yang dilakukan oleh seseorang dimana atasannya juga dianggap bertanggung jawab, baik karena si atasan memerintahkan seseorang tersebut untuk melakukan tindakan yang termasuk sebagai kejahatan perang, atau karena si atasan telah gagal mencegah atau menyelidiki atau menghukum bawahannya atas tindakan tersebut. Tanggung Jawab Komando<br /><br />Catatan: tindakan yang termasuk dalam kategori kejahatan perang adalah yang dilakukan terhadap belligerents, atau penduduk sipil di wilayah yang diduduki; dan tidak berlaku atas tindakan yang dilakukan atas warga negara Jerman di Jerman oleh aparat negara Jerman. Yang terakhir masuk dalam wilayah kejahatan terhadap kemanusiaan.<br /><br />Berdasarkan pasal 6(c) Statuta Pengadilan Nuremberg, kejahatan terhadap kemanusiaan mempunyai beberapa elemen. Yaitu:<br />- dilakukannya salah satu atau lebih tindak kejahatan spesifik sebagaimana tercantum dalam pasal (pembunuhan, dll sebelum dan selama masa perang; atau persecution)<br />- terhadap populasi sipil DI MANAPUN (berarti termasuk warga negara pelaku dan juga penduduk di wilayah yang dikuasai)<br />- sebagai bagian dari atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan (i.e. kejahatan perang dan kejahatan terhadap perdamaian)<br />- tanpa memperdulikan apakah tindakan tersebut merupakan kejahatan menurut hukum domestik negara dimana tindakan tersebut dilakukan.<br /><br /><br />Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (Tokyo Tribunal) 1946<br /><br />Berdasarkan pasal 5 statuta (yurisdiksi atas pelaku dan tindak kejahatan):<br />Pengadilan mempunyai wewenang untuk mengadili dan menghukum para penjahat perang di Timur Jauh sebagai individu maupun sebagai anggota dari organisasi jika seseorang didakwa dalam posisinya sebagai anggota organisasi tertentu maka yang dikenakan atasnya adalah dakwaan/tuntutan atas tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap perdamaian<br /><br />Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan: pasal 5<br />- kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan, dan pelaksanaan perang sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun tidak; atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian internasional; atau ikutserta dalam suatu rencana bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk kejahatan di atas.<br />- Kejahatan perang konvensional: pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang.<br />- Kejahatan terhadap kemanusiaan: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang, atau persecution berdasar politik atau ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut hukum domestik dimana tindakan tersebut dilakukan. <br /><br />Konsep tanggung jawab komando:<br />Pemimpin, penyelenggara, pencetus, dan pembantu yang ikut ambil bagian dalam perencanaan atau pelaksanaan dari sebuah rencana bersama atau konspirasi untuk melakukan kejahatan yang mana saja yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan bertanggung jawab atas SEGALA tindakan yang dilakukan oleh SIAPAPUN dalam pelaksanaan rencana atau konspirasi tersebut.<br /><br />Pemberkasan dakwaan di Pengadilan Tokyo:<br />1. Berkas 1-36: konspirasi dalam perencanaan (preparation), memulai (commencement) , dan pemajuan (furtherance) berbagai kejahatan perang.<br />2. berkas 37-52: pembunuhan, terutama pembunuhan dalam perang yang melanggar hukum dan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan dalam hukum dan kebiasaan perang.<br />3. berkas 53-55: tindakan kejahatan perang konvensional lainnya dan kejahatan terhadap kemanusiaan.<br /><br />Pengadilan hanya berhasil membuktikan tindak kejahatan yang termasuk dalam berkas 1, 27, 29, 31, 32, 33, 35, 36, 54, dan 55 <br /><br /><br /><br /> <br />Penutup: Rekomendasi Bahan Bacaan<br /><br /><br />Yves Beigbeder, Judging War Criminals: The Politics of International Justice (New York: St Martin’s Press, 1999)<br /><br />Benjamin D Ferencz, An International Criminal Court: A Step Toward World Peace: A Documentary History and Analysis (London: Oceana Publications, 1980)<br /><br />Arnold C Brackman, The Other Nuremberg: The Untold Story of the Tokyo War Crimes Trials (New York: Quill, 1989)<br /><br />Richard H Minear, Victor’s Justice: The Tokyo War Crimes Trial (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1971)<br /><br />B V A Röling & C F Rüter (eds), The Tokyo Judgment (amsterdam: APA University Press, 1977) 2 vols. berisi full text dari keputusan pengadilan Tokyo lengkap beserta lampiran dan dissenting opinion.<br /><br />International Military Tribunal for the Far East, The Tokyo Major War Crimes Trial: the Records of the International Military Tribunal for the Far East: with an authoritative commentary and comprehensive guide, annotated, compiled, & edited by R. John Pritchard (Lewiston, NY published for the Robert MW Kempner Collegium by Edwin Mellen Press, 1998)Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-25746182153544377252008-12-28T17:53:00.000-08:002008-12-28T17:54:30.570-08:00Makalah HAM 3Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan <br />dan Hak Atas Kesehatan: Catatan ELSAM<br /><br />Ifdhal Kasim<br /><br /><br />I. Hak Atas Pendidikan<br /><br />Situasi pemenuhan hak atas pendidikan sepanjang tahun 2005 masih jauh dari harapan masyarakat yang notabene berharap banyak terhadap pemerintahan baru. Meskipun buruknya pemenuhan hak atas pendidikan tahun ini adalah tak lepas dari tumpukan persoalan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, namun demikian persoalan-persoalan mendasar seperti akses terhadap pendidikan, pengurangan siswa putus sekolah, penguatan dan support atas institusi-institusi pendidikan dasar umum dan khusus (untuk anak-anak cacat) yang sudah ada dan penanganan akses pendidikan di wilayah terpencil belum tertanggulangi secara nyata. <br /><br />Kondisi ini nampak terlihat jelas dalam laporan-laporan media massa di tahun 2005 yang masih menyoroti dalam pemberitaan mereka tentang jumlah angka anak tidak sekolah dan anak putus sekolah dari kalangan penduduk miskin yang terus merangkak naik. Disamping itu, pemberitaan media tentang runtuhnya bangunan sekolah serta ketidakmampuan sekolah menampung jumlah siswa yang membengkak adalah fakta bahwa upaya penguatan dan support atas institusi pendidikan dasar umum dan untuk anak-anak cacat oleh pemerintah terus menurun, termasuk juga disini buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi oleh institusi pendidikan dasar, menengah dan atas. Hal lain yang juga penting untuk dijadikan patokan dalam melihat minimnya pemenuhan hak atas pendidikan, adalah belum tersentuhnya akses pendidikan bagi anak-anak di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil yang selama ini belum tersentuh pembangunan nasional atau pun daerah. <br /><br />Meskipun di beberapa level nampak terlihat adanya upaya-upaya pemerintah untuk menangani persoalan-persoalan tersebut, namun demikian langkah-langkah penanganan merupakan bagian dari upaya meredam kritik masyarakat ataupun meredam protes masyarakat luas atas penerapan kebijakan ekonomi baru yang mengganggu kehidupan perekonomian masyarakat, seperti dalam kasus pemberian DANA BOS sebagai bagian dari kompensasi kenaikan harga BBM. Pelimpahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah nasional ke pemerintah daerah sebagai jawaban pemerataan dan efektifitas pelaksanaan pendidikan juga tidak dengan sendirinya membuat pemenuhan hak atas pendidikan dapat dipenuhi secara minimal. Sebaliknya, pelimpahan kewenangan ini justru berakibat pada pemunduran kualitas pendidikan sebab tidak semua pemerintahan daerah memiliki kemampuan, baik dari sisi kapasitas personel dan anggaran, yang merata. Akibatnya banyak sekali laporan tentang robohnya gedung sekolan dan fasilitas sekolah yang jauh dari kebutuhan menunjang proses belajar mengajar, termasuk juga minimnya jumlah guru tetap yang mesti dimiliki oleh setiap institusi pendidikan dasar. <br /><br /><br />a. Anak tidak sekolah dan anak putus sekolah<br /><br />Berdasarkan data Depdiknas, sampai dengan tahun 2005 masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pendidikan, terutama anak sekolah dasar dan sekoah menengah pertama. Dari tahun ke tahun, jumlah anak sekolah masih cukup tinggi. Pada tahun 2002/2003 terdapat 560.323 siswa SD yang tidak mampu melanjutkan sekolah, pada tahun 2003/2004 terdapat 542 258, tahun 2004/2005 angkanya masih cukup tinggi, yaitu sebesar 495.261. Jumlah anak putus sekolah di tingkat sekolah menengah juga mengalami peningkatan. Data MTs menunjukkan bahwa pada tahun 2002/2003 terdapat 88.809 siswa putus sekolah, tahun 2003/2004 melonjak menjadi 91.905 dan terus melonjak lagi 2004/2005 menjadi 92 417 siswa. <br /><br /><br />Tabel 1: Anak Putus Sekolah Di Beberapa Kabupaten<br /><br />No Lokasi Jumlah Keterangan<br />1. Kota Bekasi 170.000 Tidak dapat dan belum melanjutkan pendidikan sekolah.<br />Lemahnya ekonomi keluarga<br />Perhatian daerah kurang maksimal<br />2 Kabupaten Majalengka, Jawa Barat 7.715 Telah diterbitkan 5000 kartu bebas biasa SPP, 1000 siswa SD, 3000 SMP, 1000 SMA dengan anggaran 2 milyar, <br />3 Kabupaten Lebak, Banten 11.422 Orang tua kurang mampu<br />4 Kabupaten dan Kota Bogor 27.000 Keluarga tidak mampu<br />5 Aceh 154.746 SD= 36.794; SMP= 51.838, SMA= 66.114<br />Karena kurang biaya<br />6 Kabupaten Sukabumi 20.000 Ekonomi keluarga lemah<br />7. Kuningan 3.000 Siswa SD yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya<br /> 393883 <br />Sumber: Diolah dari Dokumentasi ELSAM-Hak Atas Pendidikan tahun 2005<br /><br /><br /><br />Sebagian besar penyebab utama kasus anak putus sekolah adalah karena ongkos pendidikan yang terus merangkak mahal. Dalam pengamatan lapangan elsam di lapangan , besarnya pungutan yang diterapkan sekolah, mulai dari uang LKS dan Buku paket, SPP/Komite tiap bulan, pendaftaran masuk sekolah, uang bangunan, uang ujian, biaya praktikum, study tour, olah raga, hingga uang ekstrakurikuler menjadi penyebab tingginya anak tidak sekolah dan putus sekolah. Dalam sebuah wawancara ELSAM dan Suara Ibu Peduli awal 2005, diketahui bahwa kebanyakan para orang tua mengatakan bahwa mereka terpaksa tidak menyekolahkan anaknya atau mengeluarkan anaknya dari sekolah karena mereka harus mengeluarkan dana pendidikan lebih dari Rp 300 ribu per orang per bulan. Padahal jumlah itu adalah jumlah penghasilan mereka per bulan. Dalam beberapa soal mereka mencoba untuk mensiasati dengan meminta keringanan pembayaran dan mencicil proses pembayaran, namun demikian upaya tersebut tidak bisa dijalani oleh banyak keluarga karena jumlah anak yang harus mereka tanggung bukan hanya satu orang. <br /><br />Dilain sisi, strategi keluarga untuk mensiasati pendidikan bagi anak-anak mereka ini pada akhirnya semakin menguatkan praktek-praktek pembatasan terhadap anak-anak perempuan mereka untuk bersekolah, terutama para perempuan yang tinggal di wilayah pedesaan. Dengan kembali mempergunakan nilai-nilai lama atau keyakinan di komunitasnya, mereka kembali melarang anak-anak perempuan untuk melanjutkan sekolah, dan mendesak mereka untuk segera menikah, agar beban keluarga sedikit berkurang. Di beberapa daerah dalam beberapa kesempatan kunjungan lapangan selama tahun 2005, ELSAM banyak sekali mendengar komentar para penduduk yang menyebutkan bahwa mereka lebih mengutamakan anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan tinggi ketimbang perempuan, karena anak laki-laki dapat diharapkan menjadi tulang punggung keluarga ketimbang perempuan, yang pada akhirnya akan keluar dari keluarga karena harus mengikuti suaminya kelak. <br /><br /><br />b. Menurunnya upaya perawatan dan penguatan institusi pendidikan dasar umum dan khusus anak-anak cacat oleh pemerintah <br /><br />Potret memburuknya pemenuhan hak atas pendidikan ini semakin diperparah dengan munculnya laporan tentang kualitas dan kuantitas bangunan sekolah yang terus menyusut karena banyak sekali bangunan sekolah yang ambruk atau sudah tidak bisa dipergunakan akibat dimakan usia. Dilaporkan 801.216 ruang kelas SD yang ada, 168.655 atau hampir 21% mengalami rusak berat, dan secara bertahap mulai roboh. Sementara data Depdiknas menunjukkan bahwa ruang kelas SD yang rusak mencapai 489.573, atau hampir 60 persen dari total 877.772 ruang ruang kelas SD di Tanah Air. Ini belum termasuk kerusakan bangunan di tingkat SLTP dan SLTA. Angka-angka itu akan terus bertambah mengingat hampir sebagian besar bangunan sekolah yang terlalu tua atau kualitasnya yang buruk karena pembangunannya yang tidak sesuai dengan bestek. Di Maluku, dan Kalimantan Barat sebagian besar bangunan sekolah di wilayah tersebut dibangun pada tahun 1970-an. <br /><br />Disamping kondisi bangunan sekolah umum yang tidak layak pakai, sorotan terhadap upaya untuk membangun dan memperkuat sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak cacat juga belum terlihat. Meskipun ELSAM belum memiliki data akurat tentang pembangunan dan penguatan institusi sekolah khusus bagi anak-anak cacat tahun 2005 ini, namun demikian jika melihat fakta menurunnya upaya pemerintah untuk membangun dan merawat gedung sekolah umum , sudah bakal dipastikan pembangunan gedung sekolah luar biasa untuk anak cacat pasti terabaikan. Sebuah keluarga di bilangan Cilandak Jakarta mengaku anaknya yang cacat mental terpaksa ia sekolahkan di sekolah umum—meski akhirnya si anak dikeluarkan oleh pihak sekolah—karena untuk menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa sangat mahal ketimbang sekolah umum dan tempatnya pun juga cukup jauh. <br /><br />Tabel 2: Bangunan Sekolah Ambruk<br /><br />No Lokasi Jumlah<br />1 Lampung <br />Way Kanan Sekitar 498 gedung SMP dan SMA rusak<br />diperkirakan 50 persen dari 4.568 sekolah dasar di provinsi itu pun rusak.<br />2 Provinsi Lampung sekitar 30.600 ruang dari 52.107 ruang kelas sekolah yang terdapat di berada dalam keadaan rusak.<br />SD sekitar 14.488 ruang dari 31.642 ruang yang ada.<br />3 Jawa tengah 27.495 dari 123.817 ruang kelas SD rusak berat <br />MI: 4.359 rusak dari 21.981 ruang<br />SMP: 676 dari 29.585 ruang <br /> MTs: 522dari 8.806 ruang <br />SMA: 128 dari 9.923 ruang<br />MA: , dari 2.486 ruang <br />4 Jakarta Barat 10% dari 275 gedung SD di Jakarta Barat dalam kondisi tidak layak pakai lagi. <br />5 Sumatera Selatan Sekitar 1.000 dari 6.336 ruang kelas mengalami kerusakan parah<br />6 DKI Jakarta Sekitar 59 % gedung SDN dan SLTPN mengalami kerusakan <br />sekitar 1.002 dari 1.699 gedung SD di Jakarta tidak layak digunakan.<br />286 SLTP di seluruh wilayah DKI Jakarta rusak.<br />7 Provinsi Maluku 425 SD rusak berat <br />8 Kabupaten Sukabumi 40 persen dari 1.170 bangunan sekolah dasar rusak parah<br />9 Kota Makassar Sebanyak 200 dari 336 bangunan sekolah saat ini dalam keadaan rusak dengan tingkat kerusakan yang beragam<br />Sumber: Dokumentasi pemenuhan hak atas pendidikan ELSAM tahun 2005<br /><br />c. Buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi<br /><br />Hal ini semakin diperparah dengan fasilitas penunjang belajar yang tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali, sehingga tak jarang proses belajar mengajar berjalan dengan apa adanya atau kembali membebani para orang tua siswa untuk mengatas keterbatasan tersebut. Sejumlah orang tua murid mengaku terpaksa mengajak orang tua siswa yang lain untuk membiayai perbaikan fasilitas kamar mandi sekolah anaknya, khususnya kamar mandi siswa perempuan yang kondisi kamar mandinya sangat tidak sehat dan rentan dari tindakkan pelecehan seksual dari kawan laki-lakinya, karena tidak pihak sekolah tidak mampu membiayai perbaikan tersebut. <br /><br />Beberapa hal yang juga patut untuk disorot pada pemenuhan hak atas pendidikan adalah minimnya tindakkan kekerasan dan praktek diskriminasi terhadap siswa oleh institusi sekolah, termasuk disini para guru. Sejumlah laporan media massa menyebutkan adanya tindakan penganiayaan para siswa oleh para guru termasuk disini proses mempermalukan para siswa yang belum membayar biaya pendidikan dihadapan siswa yang lain. Di jakarta pertengahan tahun lalu dilaporkan sejumlah siswa sebuah SMP negeri di bilangan Jakarta Selatan karena belum melunasi uang ujian, tidak diperkenankan mengikuti ujian di dalam kelas. Kasus lainnya adalah, pelarangan para siswa yang belum melunasi biaya ujian untuk memperoleh rapor mereka, sehingga tak jarang orang tua siswa tidak mengetahui prestasi belajar anaknya. Bahkan di sebuah sekolah di Cilandak, seorang siswa terpaksa tidak naik kelas, meski ia naik kelas, karena belum melunasi uang SPP dan ujian. Bentuk-bentuk mempermalukan para siswa yang belum melunai biaya sekolah juga terlihat dari kasus-kasus bunuh diri siswa sekolah tahun ini. <br /><br />Kasus-kasus itu antara lain, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 3:<br />Kasus Siswa Bunuh Diri Atau Percobaan Bunuh Karena Kemiskinan<br /><br />No Nama Korban Lokbasi Keterangan<br />1 Eko Haryanto (15) siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal<br /> Pertengahan April 2005<br />2 Bunyamin (17) siswa kelas II Logam 1 SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal <br /> 7 April 2005<br />3 Elfi Mamora (15) siswi kelas III sebuah SMP Negeri di Tangerang<br /> <br />4 Femilia Umami (13) siswa kelas I SMP Al Falah di Kampung Salimah, Sukamanah Jambe, Tangerang, Banten, Jumat, 03 Juni 2005<br /><br />5 Awang Aditya <br /> siswi kelas empat sekolah dasar tewas gantung diri di Dusun Siyono Kidul, Desa Logandeng, Gunung Kidul, Yogyakarta. Kamis (15/12).<br />6 Muhammad Firdaus siswa kelas VI sekolah dasar di Kecamatan Jabung, Malang <br />7 Romdoni bin Husen (15) seorang pelajar SMA swasta di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang <br />Sumber: Diolah dari data Indok ELSAM<br /><br /> <br />d. Terabaikannya pemenuhan hak atas pendidikan di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil<br /><br />Sorotan lain dalam pemenuhan hak atas pendidikan pada tahun 2005 ini adalah tidak adanya penanganan atas persoalan terbatasnya penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil, termasuk disini masyarakat adat yang tinggal diatas gunung. Laporan tentang adanya sekolah yang tidak berfungsi karena tidak ada tenaga pengajar di wilayah pedalaman atau tidak adanya aktifitas sekolah di sebuah pulau terpencil masih kerap ditemui. Bahkan untuk masyarakat adat yang tinggal di daerah-daerah terpencil, hingga saat ini masih belum bisa mengakses pendidikan, dan kalaupun ada, mereka dipaksa untuk mengikuti system pendidikan umum yang jauh dari konteks budaya yang mereka jalani selama ini. <br /><br />Di Pulau Bakau NTT, di pulau tersebut tidak ditemukan gedung sekolah dan aktifitas proses belajar mengajar, sehingga banyak sekali anak tidak sekolah di pulau tersebut. Di kepulauan Seribu, juga pernah di laporkan banyak sekolah yang tidak memiliki guru yang memadai karena banyak para guru yang beralih profesi karena seringnya keterlambatan penerimaan gaji mereka. Demikian pula dengan pendidikan bagi masyarakat adat, hingga saat ini belum tersedia bangunan sekolah dan system pendidikan yang bisa diikuti oleh anak-anak di Masyarakat Adat Anak Dalam, Badui, Osing, Pakafah, dan masyarakat adat di pegunungan Jayawijaya. Kebanyakan dari anak-anak pada komunitas khusus tersebut hingga saat ini masih belum bisa membaca, menulis dan berhitung, dengan dalih mereka masih sangat kolot dan tradisional sehingga sulit untuk dimajukan. <br /><br />II. Hak atas Kesehatan: Memburuknya kualitas kesehatan masyarakat<br /><br />Tahun 2005 merupakan tahun yang memprihatinkan bagi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak atas kesehatan. Alih-alih mengalami kemajuan, tahun ini diwarnai dengan berbagai indikasi melemahnya kualitas kesehatan masyarakat. Secara umum, terdapat dua jenis persoalan yang berkaitan dengan turunnya kualitas kesehatan ini, yaitu, masalah kesehatan yang bersifat luar biasa dan temporer namun memiliki dampak yang besar, seperti flu burung. Jenis lain adalah ancaman kesehatan yang sebenarnya merupakan kejadian yang berpotensi berulang setiap tahun, namun mengalami peningkatan baik kuantitas dan kualitas di tahun 2005. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan, dan busung lapar. <br /><br />Kasus-kasus penyakit yang berkaitan dengan gizi ini, meskipun secara kuantitas banyak terjadi di wilayah Indonesia Barat. Namun secara kualitas, apabila diperbandingkan dengan prosentase jumlah penduduk di masing-masing wilayah, prevalensi kasus yang terjadi di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Sulawesi lebih tinggi disbanding di wilayah lain. Wilayah ini pada umumnya memiliki infra struktur yang sangat minim, tingkat kesejahteraan yang rendah serta jumlah prosentasi keluarga miskin diatas 30%. <br /><br />Kasus busung lapar yang dilaporkan di wilayah Indonesia bagian timur terutama menimpa wilayah dimana prosentase produksi beras dibandingkan dengan kebutuhan pangan tidak memadai, seperti di wilayah Gorontalo ( 1022 kasus), Papua (1155 kasus). Selain itu tingginya prevalensi busung lapar juga berkaitan dengan tingginya prosentase keluarga miskin, seperti di wilayah NTT yang prosentase keluarga miskinnya mencapai lebih dari 60% sementara kemampuan produksi pangan (beras) juga rendah dibandingkan dengan tingkat kebutuhan pangan di wilayah ini . <br /><br /><br />Diawali dengan dampak Tsunami di Aceh, berbagai permasalahan terus menjalar dari provinsi paling barat ini, seperti bahaya epidemic flu burung, menjangkitnya kembali wabah polio dan merebaknya berbagai kasus busung lapar dan gizi buruk. Kembalinya prevalensi polio merupakan penanda awal kegagalan pemerintah untuk mempertahankan kualitas pemenuhan standar kesehatan dasar bagi masyarakat. Dalam tahun 2005, Departemen Kesehatan melaporkan setidaknya tercatat 71 815 kasus gizi buruk pada balita, 232 diantaranya meninggal dunia. Permasalahan gizi buruk ini mencapai puncaknya dengan tragedi kelaparan di Yahukimo beberapa saat lalu yang menelan tak kurang 57 jiwa, dan lebih dari 112 penduduk dalam kondisi kritis.<br /><br />Hasil amatan ELSAM atas laporan kasus berkaitan dengan gizi dari pemberitaan 7 media masa sepanjang tahun 2005 mencatat sekurangnya sebanyak 1 091 474 orang bermasalah dengan gizi, yang tersebar di 73 kabupaten di seluruh nusantara. Sebaran kasus ini beragam mulai dari kurang gizi, gizi buruk sampai busung lapar. Dari total kasus yang terekam oleh media sepanjang tahun, tercatat beberapa kasus yang berakhir dengan kematian. Sekurangnya 61 orang meninggal dunia dalam berbagai kasus yang tersebar di sekurangnya 73 kabupaten, dengan prevalensi kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 4:<br />Penyebaran Gizi Buruk dan Busung Lapar di Propinsi-Propinsi Non Konflik<br /><br />Wilayah Angka Balita di bawah lima tahun. Penderita Kurang Gizi Penderita Gizi Buruk Penderita Busung Lapar. Korban Meninggal Penyebaran Di Tingkat Kabupaten/Kota Jumlah Kabupaten <br />NTT 55.543 85.604 12.925 451 50 16 Kabupaten:<br />Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Kupang 16<br />NTB 910 847 21 Lombok Timur, Lombok Barat, Dompu, Lombok Tengah, Mataram 4<br />JTG 367 13.376 34 26 Tegal, Semarang, Kota Semarang, Rembang, Boyolali, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan Pekalongan 12<br />JBR 148.120 61.805 18.136 140 1 Cirebon, Cianjur, Bogor, Indramayu, Cibinong, Karawang, Bandung 7<br />Banten 14.338 7.454 175 13 Lebak, Serang, Tangerang 3<br />SMU 2928 643 4 Gunungsitoli (P.Nias) 1<br />JTM 5 1.700 6.000 37 1 Kota Surabaya, Kediri, Situbondo, Bangkalan, Wonogiri, Ponorogo, Lamongan, Blitar, Bondowoso 10<br />LPG 287 176 2 Tanggamus 1<br />RIAU 567.545 11.000 12 2 Bengkalis 1<br />SMS 1.638 <br />SLS 144.075 59 Kota Makasar, Takalar , Makassar, Pinrang, Maros, Lutra, Selayar, Gowa, Bone, Luwu, Soppeng, Pangkep, Wajo, Rejang Lebong dan Parepare 15<br />DIY 220.006 1000 Bantul, Yogyakarta, Sleman, Kodya, Kulonprogo, Gunungkidul 6<br />KLB 105 Sambas 1<br />DKI Jakarta 8.007 8.579 1.355 Koja-Jakut, Jakarta Barat, Jakpus 3<br />JBI 272 Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat Batanghari, 6<br />BKL 233 5 <br />KLTG 72 7 Sukamara, Kotawaringin Timur, Kapuas, Barito Timur, Kota Palangkaraya 5<br />SLTG 1 Kendari 1<br />Jumlah seluruh 1.146.669 173.951 73.644 1.705 123 93<br /><br /><br />Meskipun demikian, kasus yang sesungguhnya terjadi di lapangan di perkirakan jauh lebih besar dari apa yang berhasil dicakup oleh pemberitaan media. Sebagai contoh, data malnutrisi yang dipublikasikan oleh badan pangan dunia FAO menyebutkan di tahun 2002 saja, jumlah populasi dengan malnutrisi di Indonesia tercatat sebanyak 6% dari populasi atau sekitar 12 juta jiwa. Angka ini jauh lebih buruk dari beberapa Negara tetangga seperti Malaysia yang mencatat angka kurang dari 12,5%. Data ini tentu bukan merupakan data yang paling akurat, salah satu survey yang dilakukan oleh departemen kesehatan di tahun 2005 misalnya, mencatat tak kurang dari 100 juta masyarakat bermasalah dengan gizi. Apabila data ini mendekati kebenaran, setidaknya separuh dari total populasi Indonesia bermasalah dengan gizi. Dengan demikian, berbagai pemberitaan mengenai busung lapar ataupun kurang gizi lebih merupakan puncak gunung es dari persoalan hak atas kesehatan yang sejauh ini seperti tersembunyi di bawah permukaan.<br /><br />Berbagai kasus yang berkaitan dengan gizi buruk terjadi di wilayah yang memiliki karakteristik yang mirip, yaitu, secara umum, daerah dengan prevalensi masalah gizi memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Karakteristik lain berupa tingginya tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, serta tingginya prosentase aktivitas ekonomi di bidang pertanian. Kabupaten Timor Timur Selatan, propinsi NTT misalnya, persentase kegiatan ekonominya digantungkan pada sector pertanian . Daerah Bantul, di Jawa yang mewakili prevalensi tertinggi kasus-kasus gizi buruk memiliki karakteristik yang serupa. Dengan prosentase kegiatan ekonomi terbesar di sektor pertanian, kabupaten Bantul baru mampu membiayai 6% dari total anggaran pembelanjaan daerahnya. Tingkat ketergantungan pada pusat ditunjukkan dengan besarnya nilai dana alokasi umum yang dikucurkan, yang mencapai lebih dari 70% total anggaran daerah yang dibutuhkan. <br /><br />Dua karakteristik ini setidaknya menunjuk dua persoalan mendasar yang berkaitan kemampuan daerah dalam mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk memenuhi hak. Sebagai bagian dari pilihan desentralisasi yang dimulai di tahun 1999, alokasi pembiayaan sektor kesehatan dialihkan dari pusat ke daerah. Di satu sisi, kebijakan ini membuka peluang lahirnya kebijakan yang lebih berbasis local dalam memberikan jaminan yang lebih baik terhadap hak kesehatan. Namun di sisi lain juga muncul risiko kegagalan yang lebih besar, khususnya melihat ketiadaan kriteria pemenuhan hak kesehatan minimum yang ditetapkan pemerintah pusat berkaitan dengan alokasi minimum APBD untuk menjamin penyediaan sarana dan pelayanan kesehatan dasar serta hal-hal yang mendukung tercapainya tingkat kesehatan masyarakat yang memadai. Akibatnya muncul disparitas yang tinggi dalam penyediaan layanan dasar kesehatan. Sementara di Sumut pemerintah daerah mampu mengalokasikan sebesar 58 milyar dana kesehatan bagi kelompok miskin, provinsi seperti papua dan Nusa Tenggara Timur jauh tertinggal di belakang.<br /><br /><br /><br />Beberapa langkah jangka pendek dan respon cepat dilakukan oleh pemerintah melalui koordinasi interdepartemen. Namun langkah-langkah tersebut lebih bersifar kuratif, seperti dalam menghadapi penetapan wabah flu burung sebagai kondisi luar biasa. Tindakan lain berupa pembentukan tim operasi sadar gizi untuk merespon naiknya angka penderita gizi buruk di NTB, penerapan sistem kewaspadaan dini, perawatan kasus gizi buruk di Puskesmas dan rumah sakit, serta penyediaan sarana dasar seperti bantuan pangan dan penyediaan air bersih. Langkah ini diikuti oleh peningkatan alokasi pendanaan untuk perbaikan gizi masyarakat dengan proyeksi kenaikan lebih dari 10kali lipat untuk tahun anggaran 2006. <br /><br />***Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-32535589454994947602008-12-28T17:52:00.000-08:002008-12-28T17:53:47.454-08:00Makalah HAM 2Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menegaskan<br />Kembali Arti Pentingnya<br /> <br />Oleh: Ifdhal Kasim<br /><br />BERBEDA dengan advokasi terhadap hak-hak sipil dan politik, advokasi terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidaklah terartikulasi dengan baik dan lantang dalam gerakan advokasi hak asasi manusia. Kurang lebih dari empat dekade gerakan advokasi hak asasi manusia lebih menekankan advokasi mereka pada isu-isu disekitar hak-hak sipil dan politik (civil liberties). Sementara advokasi terhadap isu-isu hak ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapat perhatian yang memadai; ia menjadi seperti anak tiri dari gerakan advokasi hak asasi manusia. Fenomena ini bukan hanya di Indonesia, melainkan sudah merupakan fenomena global. Organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional seperti Amnesty Internasional atau Human Rights Wacht, mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengarahkan gerakan advokasi hak asasi manusia itu terpusat pada hak-hak sipil dan politik. Sekarang saatnya kecenderungan ini dirubah, bukan mengubahnya dengan balik memusatkannya pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi meletakkan ke dalam perspektif indivisibility, yaitu meletakkannya ke dalam saling-kaitan antara kedua kategori hak tersebut. Bukan memisah-misahkannya seperti sebelumnya.<br /> <br />Tulisan ini bukan bermaksud mendiskusikan konsep indivisibility tersebut, melainkan mengajak membicarakan kembali secara lebih dalam tentang hak-hak yang telah terlupakan itu. Signifikansinya mendiskusikan kembali hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu karena selama ini sudah terlanjur berkembang kesalahpahaman dalam memandang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tersebut –yang pada akhirnya menempatkan kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai pariah dalam gerakan advokasi hak asasi manusia. Selama ini telah berkembang pemahaman seakan-akan hak-hak ekonomi tersebut bukan merupakan hak yang “riil” (not really rights), karena itu ia tidak memerlukan proteksi. Tulisan ini akan memeriksa kembali dengan kritis pandangan-pandangan yang seperti ini, selain bermaksud pula mendiskusikan kemungkinan mengartikulasikan advokasi yang lebih lantang terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dalam gerakan advokasi hak asasi manusia di Indonesia.<br /><br /><br /> Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya <br />dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional <br /> <br />Marilah kita awali dengan bahasan mengenai tempat hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di dalam rezim hukum hak asasi manusia internasional, sebelum kita memasuki bahasan pokok tulisan ini. Tidak berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak asasi manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik ia menjadi bagian dari the international bill of human rights. Sebagai bagian dari international bill of human rights, kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan demikian sangat penting dalam hukum hak asasi manusia internasional; ia menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat ditempatkan di bawah hak-hak sipil dan politik --sebagaimana telah dikesankan selama ini. <br /><br />Pengikatan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu diwujudkan dengan mepositifikasikan hak-hak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya –yang dalam bahasa aslinya dikenal dengan Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (selanjutnya disingkat CESCR), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966 –bersama-sama dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua kovenan ini memang dilahirkan secara bersamaan, sebagai bentuk kompromi dari pertentangan pada saat perumusannya ketika itu. Negara-negara yang telah menjadi pihak pada Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya itu, dengan meratifikasinya, hingga kini telah berjumlah 142 Negara. Tingginya tingkat ratifikasi terhadap kovenan ini menunjukkan, bahwa kovenan ini memiliki karakter universalitas yang sangat kuat. Karena ia telah diterima oleh lebih dari seratus negara. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional menganggap, perjanjian dengan karakter yang demikian ini, telah memiliki kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law); ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi. <br />Indonesia sampai sekarang belum menjadi pihak dari perjanjian multilateral itu. Padahal seperti diketahui, pada masa di bawah pemerintahan Orde Baru, Indonesia lah yang paling vokal berbicara mengenai pentingnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di forum-forum internasional untuk mematahkan tuduhan organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional atas keadaan hak asasi manusia di Indonesia. Sering kita dengar argumen pejabat tinggi Indonesia ketika itu, yang mengatakan bahwa Indonesia lebih mendahulukan hak-hak ekonomi ketimbang hak-hak politik. Slogannya ketika itu adalah: “pembangunan ekonomi yes!, kebebasan politik no!”. Atas dasar pandangan ini, rejim Orde Baru lalu memasung kebebasan politik warga negaranya; buruh, petani, mahasiswa dan seterusnya tidak boleh berorganisasi secara bebas dan independen. Kenyataannya, apa yang kita saksikan sekarang, pemasungan kebebasan politik tersebut tidak berhubungan dengan retorika rejim Orde Baru untuk memajukan dan menegakkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Justru sebaliknya, pemasungan kebebasan politik itu, telah berakibat pada semakin memburuknya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. <br /><br /> Pembahasan dari sudut legal ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan politik. Tetapi persepsi atau pandangan yang berkembang mengenainya menunjukkan realitas yang lain, yakni memposisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hak-hak sipil dan politik. Marilah kita periksa bagaimana persepsi umum tersebut. <br /><br /><br /> Persepsi Umum terhadap <br />Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Sebuah Kritik<br /><br />Selama ini telah terbangun suatu persepsi populer mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. –yang telah diterima secara umum. Yaitu persepsi atau pandangan yang mengontraskan hak-hak ekonomi sosial dan budaya dengan hak-hak sipil dan politik. Kedua kategori hak ini dikontraskan secara diametral. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya digambarkan sekedar sebagai statemen politik, sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak yang riil. Karena kedua kategori hak ini, yang diatur dalam masing-masing kovenan, memang menggunakan formulasi hukum yang berbeda. Kalau CESCR menggunakan formulasi “… undertakes to take steps, … to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant …”. Dipihak lain, ICCPR (Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik) menggunakan: “… undertakes to respect and to ensure to all induvidual within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant …”. Formulasi hukum yang berbeda ini dijadikan dasar untuk menarik garis pembeda yang tajam antara kedua kovenan tersebut. <br /><br />Perbedaan tajam yang dibuat itu adalah dengan mengatakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights). Dikatakan positif, karena untuk merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan tersebut diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara di sini haruslah berperan aktif. Sebaliknya dikatakan negatif, karena negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan. Peran negara di sini haruslah pasif. Makanya hak-hak negatif itu dirumuskan dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari), sedangkan hak-hak dalam kategori positif dirumuskan dalam bahasa “rights to” (hak atas). Kedua kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda. Kalau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menuntut tanggung jawab negara --meminjam istilah yang digunakan Komisi Hukum Internasional-- dalam bentuk obligations of result, sedangka hak-hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of conduct.<br /> <br />Sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non-justiciable). Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak-hak negatif ia dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke muka pengadilan, karena pelanggaran tersebut. Sebaliknya, orang yang disiksa oleh aparatur negara dapat dengan segera menuntut tanggung jawab negara atas pelanggaran tersebut ke muka pengadilan. <br /><br />Disamping membedakannya dengan cara positif dan negatif tersebut, juga dibuat perbedaan secara ideologis. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dikatakan bermuatan ideologis, sementara hak-hak sipil dan politik non-ideologis. Artinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya hanya dapat diterapkan pada suatu sistem ekonomi tertentu, sedangkan hak-hak sipil dan politik dapat diterapkan untuk semua sistem ekonomi atau pemerintahan apapun. Atau dalam kata-kata Philip Alston dan Gerald Quinn, <br /><br />“... civil and political rights are seen as essentially non-ideological in nature and are potentially compatible with most system of goverment. By contrast, economic, social and cultural rights are often perceived to be of a deeply ideological nature, to necessitate an unacceptable degree of intervention in the domestic affairs of states, and to be inherently incompatible with a free market economy”.<br /><br />Lebih jauh persepsi umum tersebut saya ringkas dalam bentuk tabel di bawah ini. Gambaran yang saya ringkas ini tentu merupakan penyederhanaan dari kompleksitas perbedaan yang dibuat atas kedua kategori hak tersebut. <br /><br />Tabel 1: Pembedaan ICESCR dan ICCPR<br /><br /><br />Hak-hak Ekonomi (ICESCR)<br /> <br />Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)<br /><br />Dicapai secara bertahap<br /> <br />Dicapai dengan segera<br /><br />Negara bersifat aktif<br /> <br />Negara bersifat pasif<br /><br />Tidak dapat diajukan ke Pengadilan<br /> <br />Dapat diajukan ke Pengadilan<br /><br />Bergantung pada sumberdaya<br /> <br />Tidak bergantung pada sumberdaya<br /><br />Ideologis <br />Non-ideologis<br /><br /> <br />Sumber: van Hoof, The Legal Nature of Economic, Social and Cultural Rights: A Rebuttal of Some Traditional Views, 1984; Vierdag, The Legal Nature of the Rights Granted by the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1978.<br /><br />Dalam tinjauan yang akan dipaparkan di bawah ini akan terlihat bahwa sesungguhnya kontras yang dibuat itu hanya artifisial dan mitos belaka. Karena perbedaan tersebut tidak didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai legal nature hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kajian-kajian mutakhir, seperti yang diprakarsai oleh Philip Alston, Asbojrn Aide, Audrey Chapman, Scott Leckie, Katarina Tomasevski (sekedar menyebut beberapa di antaranya), mengungkapkan ketidaksahihan pembedaan-pembedaan tersebut. Mereka mengembangkan interpretasi dan pemahaman baru terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pandangan-pandangan mereka sangat mempengaruhi perumusan Prinsip-prinsip Limburg dan Pedoman Maastrict. <br /> <br /><br />Mengubah Persepsi Umum atas <br />Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya <br /><br />Marilah kita tinjauan pemahaman yang telah diterima secara umum tersebut. Apakah benar, bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu sepenuhnya merupakan hak-hak positif? Pemahaman demikian sebetulnya tidak benar. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak sepenuhnya merupakan hak-hak positif. Sebab cukup banyak hak-hak yang diakui di dalamnya menuntut negara agar tidak mengambil tindakan (state abstention) guna melindungi hak tersebut. Bukannya melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan. Hal ini dapat kita lihat pada klausul-klausul seperti hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah, kebebasan melakukan riset, larangan menggunakan anak-anak untuk pekerjaan berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di dalam CESCR. Ketentuan-ketentuan itu menunjukkan dengan gamblang, bahwa yang diatur di dalam CESCR bukan hanya hak-hak dalam jenis “rights to”, tetapi juga hak-hak dalam jenis “freedom from”. Jadi mengatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya semata-mata merupakan hak-hak positif jelas menyesatkan. <br /><br />Makanya frasa undertakes to take steps, to achieve progressively dan to maximum of its available resources pada pasal 2(1) CESCR harus dilihat sebagai ketentuan yang memiliki hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya. Hakikat kewajiban hukum yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). Makanya kurang tepat, tanggung jawab negara di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini dibedakan antara obligation of conduct dan obligation of result. Kedua kewajiban itu merupakan kewajiban yang sekaligus harus dipikul oleh negara dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil langkah-langkah dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut berhasil (obligation of result). Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak diberbolehkan mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas mengapa dikatakan keliru, jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada obligation of result.<br /><br />Dalam sebuah konferensi yang diorganisir oleh International Commission of Jurist, David Matas --salah seorang yang terlibat dalam dalam konferensi tersebut, dengan tegas menolak pemisahan antara kedua bentuk tanggung jawab negara itu. Kita turunkan di sini pendapatnya: <br /> <br />“Put in terms of distinction between obligations of conduct and obligations of result, the notion that economic, social and cultural rights are always and only obligations of result, and that political and civil rights are always and only obligations of conduct is false. For countries like Canada and the US all economic and social rights are obligations of conduct and not just obligations of result. For countries like Canada and the US, if an economic, social or cultural rights is not being realized, the reason is unwillingness and not incapacity”.<br /><br />Prinsip-prinsip Limburg juga menegaskan hal yang serupa. Kumpulan prinsip yang disusun oleh para ahli hukum internasional itu --yang didesain untuk memberi pedoman dalam mengimplementasikan CESCR, berusaha meletakkan arah baru dalam melihat tanggung jawab negara dalam konteks hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Yaitu dengan tidak memandangnya melulu bersifat positif. Hal ini dapat kita baca pada paragraf ke-16 Prinsip-prinsip Limburg itu. Di sana dikatakannya: <br /><br />“All States parties have an obligation to begin immediately to take steps towards full realization of the rights contained in the Covenant.”<br /><br /> Selanjutnya pada paragraf ke-22, ditegaskan lagi:<br /><br />“Some obligations unders the Covenant require immediate implementation in full by all States parties, such as the probihation of discrimination in article 2(2) of the Covenant.”<br /><br />Jadi, meskipun CESCR menetapkan pencapaian secara bertahap dan mengakui realitas keterbatasan sumberdaya yang tersedia di satu sisi, pada sisi lain ia juga menetapkan berbagai kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dilecehkan sebagai “bukan merupakan hak yang sebenarnya” alias sekedar “statemen politik”. Sama seperti hak-hak sipil dan politik, ia juga merupakan hak yang sebenarnya yang juga dapat dituntut pemenuhannya melalui pengadilan (justiciable). Terutama untuk hak-hak yang diatur pada pasal 3, 7(a) dan (i), 8, 10(3), 13(2), (3) dan (4), dan pasal 15(3). Hak-hak dalam pasal-pasal ini bersifat justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan nasional masing-masing negara. Argumen maximum available resources atau progressive realization tidak dapat digunakan untuk mengesampingkan pemenuhan segera hak-hak tersebut. Jadi anggapan selama ini mengenai non-justiciable dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jelas menyesatkan. Selain tidak menyumbang apa pun bagi kepentingan advokasi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. <br /><br /> Begitu juga mengenai anggapan, bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak cocok bagi semua sistem pemerintahan atau ekonomi. Karena ia ideologis! Anggapan ini juga keliru, karena hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini tidak pernah didesain untuk salah satu sistem ekonomi atau pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini bersifat netral. Penjelasan mengenai netralitas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu dikuatkan oleh General Comment dari Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dikatakannya: <br /><br />Thus, in terms of political and economic sytems the Covenant is neutral and its principles cannot accurately be described as being predicated exclusively upon the need for, or the desirability of, a socialist or a capitalist system, or a mixed, centrally planned, or laissez-faire economy, or upon any other particulary approach. In this regard, the Committee reaffirms that rights recognized in the Covenant are susceptible of realization within the context of a wide variety of economic and political systems. <br /> <br />Dalam konteks pemahaman “baru” seperti inilah seharusnya kita memandang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Anggapan-anggapan lama yang membedakan secara diametral antara kedua kategori hak tersebut sudah selayaknya berlalu dalam cakrawala kita. Karena anggapan-anggapan itu tidak memberi sumbangan apapun bagi kepentingan advokasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Malah sebaliknya, dapat merusak upaya integritas penegakan hak-hak asasi manusia secara keseluruhan atau secara indivisible dan interdependent. Langkah pengadvokasian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan demikian harus diletakkan di atas paradigma baru tersebut. <br /><br /><br />Penutup: Pentingnya Pemenuhan<br />Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya<br /><br /> Seperti sudah dikemukakan di awal, tulisan ini berusaha memeriksa dengan kritis anggapan-anggapan yang selama ini terbangun dalam memandang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan mengungkapkan mitos-mitos disekitar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu, kita bangun kembali suatu advokasi yang kuat untuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sudah terlalu lama kita melupakan hak-hak ini!<br /><br /> Jalan ke arah itu sebetulnya sudah dirintis. Belakangan ini semakin banyak ihtiar yang dilakukan para sarjana dan aktifis hak asasi manusia untuk memalingkan perhatian orang ke arah pengadvokasian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Mulai dari mendesak PBB merumuskan suatu Optional Protokol untuk CESCR hingga kepada upaya-upaya mengefektifkan monitoring terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Tidak kalah besar artinya, dalam keseluruhan upaya ini adalah, kajian yang dibuat oleh Sub-Komisi Hak Asasi Manusia PBB (melalu pelapor khusus-nya) mengenai impunitas dalam pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya --yang menurut saya telah menggugah perhatian orang akan semakin pentingnya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. <br /><br />Kita di Indonesia barangkali bisa mulai dengan mendesakkan peratifikasian kovenan ini oleh pemerintah. Tentu saja langkah legal ini harus diikuti dengan langkah yang lain, seperti melakukan kampanye, kajian dan monitoring atas situasi hak-hak ini di Indonesia. Apalagi memang isu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini belum begitu familiar dengan para aktifis hak asasi manusia di sini, yang lebih familiar dengan hak-hak sipil dan politik. Langkah menuju ke arah advokasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tampak menjadi tantangan yang sangat besar di Indonesia. Tapi tidak salah apabila kita mau merintisnya. Memang tak populer, tapi populer bukan alasan yang kuat untuk tidak melakukannya. ***<br /><br /><br />Senarai Pustaka<br /><br /><br />1. Christ Jochnick, A New Generation of Human Rights Activism (human Rights Dialogue: Carnegia Council, 1977).<br /><br />2. David Matas, “Economic, Social and Cultural Rights and the Rule of Lawyers: North American Perspectives”, International Commission of Jurist: Special Issue, December 1995.<br /><br />3. Jack Donnelly, Universal Declaration of Human Rights in Theory and Practice (Ithaca, NY,: Cornell University Press, 1986).<br /><br />4. General Comment 3, The nature of States Parties Obligations (Art. 2, para. 1 of the Covenant), UN. Doc. HRI/GEN/1/Rev. 1 , 1994.<br /><br />5. Ian Browlie, Principles of Public International Law (New York: Oxford University Press, 1990)<br /><br />6. Maurice Cranston, What Are human Rights? (London: The Bodley Head, 1973).<br /><br />7. Lois B. Sohn & T. Buergental, International Protection of Human Rights, 1973.<br /><br />8. Philip Alston & gerald Quinn, “The Nature and Scope of States Parties Obligations under the Economic, Social and Cultural Rights”, Human Rights Quarterly, Vol 9 (May, 1987).<br /><br />9. United Nations, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework, New York, United Nations, 2000.<br /><br />10. Robert E. Robertson, “Measuring State Compliance with the Obligation to Devote the “Maximum Available Resources’” to Realizing Economic, Social and Cultural Rights”, Human Rights Quartely, Vol 16, November 1994.<br /><br />11. Vierdag, “the Nature of the Rights Garnted by the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Netherlands Yearbook of International Law, 1987.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-8132646584134676112008-12-28T17:51:00.000-08:002008-12-28T17:52:54.505-08:00Makalah HAMPENGADILAN HAM DI INDONESIA:<br />PROSEDUR DAN PRAKTEK<br /><br />Agung Yudhawiranata<br /><br /><br />1. Latar belakang pembentukan<br /><br />Kondisi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia semakin memprihatinkan terutama semakin maraknya pelanggaran HAM berat yang terjadi. Penyelesaian kasus tanjung priok, DOM Aceh, Irian dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan dan ini disebabkan tidak adanya instrumen dan perlindungan hukum yang memadai untuk dapat mengadili para pelaku kejahatan hak asasi manusia tersebut. <br /><br />Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Pembentukan ini juga didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia jika dilihat antara keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Pelanggaran HAM di Timor-timur mempunyai nuansa khusus karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit untuk diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair dan tidak memihak.<br /><br />Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal/legalistik seringkali dijadikan alasan. Peradilan seringkali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini. <br /><br />Jika melihat KUHP Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan statura roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extraordinary crimes yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakukan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran HAM yang berat.<br /><br />Sesuai dengan prinsip hukum internasional, khususnya prinsip universal dimana tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kwalifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus. Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM.<br /><br /><br />2. Landasan yuridis berdirinya pengadilan<br /><br />Berdasarkan kondisi tentang perlunya intrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini sempat menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh komnas HAM. <br /><br />Karena berbagai alasan Perpu No. 1 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya perpu adalah sebagai berikut :<br />1. secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat. <br />2. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan HAM masih terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :<br />- kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya.<br />- Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.<br />- Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga.<br />- Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau overlapping dengan hukum positif. <br /><br />Setelah adanya penolakan perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan HAM. Dalam penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia. <br /><br />Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM dilingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan HAM adalah undang-undang Nomor 26 tahun 2000. <br /><br /><br />3. Pengaturan tentang pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000 <br /><br />Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;<br /><br />Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka pengadilan HAM perlu dibentuk.<br /><br />Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan HAM yang sifatnya permanen dan menggunakan mekansime komisi kebenaran dan rekonsiliasi.<br /><br />Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang salah secara konseptual. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan genocida dalam yurisdiksi pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana karena merupakan begian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan kedalam kitab undang-undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampauai asas legalitas. Sedangkan pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana. Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai upaya praktis dari pemerintah untuk secara cepat mengakomodir dan menghentikan upaya-upaya kearah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis. <br /><br />Dari argumen tentang kesalahan secara konseptual ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilai perkara pidana yaitu peradilan pidana dan pengadilan HAM. Atas kesalahan konsep ini maka UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk masa yang akan datang harus dirubah dan diintegrasikan kedalam ketentuan pidana atau masuk peradilan pidana. <br /><br />UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHAP). <br /><br />Pengaturan tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :<br /> <br />a. Kedudukan<br /><br />Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah : <br />1. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar. <br />2. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat. <br />3. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.<br />4. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri. <br /><br /><br />b. Jenis kejahatan yang dapat diadili<br /><br />Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM adalah : <br />1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara : <br />a. membunuh anggota kelompok<br />b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;<br />c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;<br />d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;<br />e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. <br />2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :<br />a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP. <br />b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk. <br />c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.<br />d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secar sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hukum international. <br />e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional. <br />f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorag yang berada dibawah pengawasan. <br />g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara. <br />h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. <br />i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang. <br />j. Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu. <br /><br />Definisi bahwa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil menurut UU No. 26 Tahun 2000 adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Jenis-jenis kejahatan yang termasuk genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah jenis kejahatan yang diadopsi dari ketentuan Statuta Roma 1998 ( Rome Statute of The International Criminal Court). Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur kejahatan dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini dipersamakan dengan pengaturan dalam Statuta Roma termasuk mengenai unsur meluas dan sistematik. <br /><br />Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida dari Statuta Roma kedalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang secara teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit. <br /><br />Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:<br /><br />“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …” <br /><br />Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan tegas. ) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir. <br /><br />Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.<br /><br />Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang. Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan.<br /><br /><br />c. Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law<br /><br />Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). <br /><br />UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :<br />1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.<br />2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.<br />3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.<br />4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.<br />5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat. <br /><br />Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam uu No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu :<br /><br />Penangkapan<br /><br />Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup . Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat yang dipersangkakan. Keluarga harus mendapatkan tembusan untuk adanya pengangkapan tersebut segera setelah penangkapan dilakukan.<br /><br />Pelaku pelanggaran HAM berat yang tertangkap tangan, penangkapannya dilakukan tanpa surat perintah tetapi dengan segera bahwa orang yang menangkap harus segera menyerahkannya kepada penyidik. Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa penagkapan ini dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan. <br /><br />Ketentuan khusus mengenai penagkapan ini jika dikomparasikan dengan KUHAP tidak jauh berbeda. Yang membedakan adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas penangkapan adalah Jaksa Agung sedangkan dalam KUHAP yang melakukan penangkapan adalah petugas kepolisian Republik Indonesia. <br /><br />Penahanan<br /><br />Selama proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan lanjutan dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan yang berwenang melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan penetapan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang disyaratkan yaitu adanya dugaan keras melakukan pelanggaran HAM berat dengan bukti yang cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi pelanggaran HAM berat. Alasan penahanan ini adalah alasan yang berdasarkan atas alasan subyektif dari penyidik atas kondisi yang disyaratkan tersebut, artinya pertimbangan atas adanya bukti yang cukup, kekhawatiran akan menghilangkan barang bukti atau akan melakukan pelanggaran HAM yang berat adalah alasan atas penilaian dari pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau hakim yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk dapat dilakukan penahanan kepada tersangka maupun terdakwa. <br /><br />Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan, maka dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya. <br /><br />Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahnanan jika selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan belum dapat diselesaikan. KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum selesai. <br /><br />Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari. Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi. Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA. <br /><br />Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum diputus. <br /><br />Penyelidikan<br /><br />Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. <br /><br />UU No 26 Tahun 2000 mengatur secara berbeda tentang siapa yang berhak melakukan penyelidikan. Dalam penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa diperlukan langkah-langkah yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang bersifat khusus, dimana diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan. Kewenangan penyelidikan yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai kekhususan mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. <br /><br />Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas HAM dan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang sifatnya pro justitia. Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen baik dari segi institusi maupun anggotanya. Secara kelembagaan Komnas HAM dianggap tidak memiliki kepantingan kecuali terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia sedangkan anggota Komnas HAM dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan kemampuan teknis untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat. <br /><br />Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, memanggil saksi untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Disamping tindakan-tindakan diatas, atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa : pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. <br /><br />Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka harus memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas adanya pelanggaran HAM yang berat maka hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7 hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan. Jika penyidik menganggap bahwa penyelidikan kurang lengkap maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi. <br /><br />Disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat. <br /><br />Penyidikan<br /><br />Definisi tentang penyidikan tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung. Penyelidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat dan pemerintah. <br /><br />Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing. <br /><br />Jaksa Agung wajib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika dalam waktu yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3 ini, penyidikan atas kasus dapat dibuka kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan. Atas penghentian penyidikan ini, jika tidak dapat diterima oleh korban dan keluarganya, maka ada hak untuk mengajukan praperadilan bagi korban dan keluarganya atas penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan HAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai dengan KUHAP. <br /><br />Penuntutan<br /><br />UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24. Pasal 23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut umum ad hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat tertentu. <br />Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan. <br /><br />Pemeriksaan di sidang pengadilan<br /><br />1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc <br /><br />Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi. <br /><br />Dari ketentuan diatas, pengaturan tentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat Peninjauan Kembali (PK), mengingat bahwa dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) proses bahwa peninjuan kembali atas suatu perkara pidana juga dimungkinkan dan itu merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya tetapi dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 ini tidak diatur tentang hakim ad hoc untuk pemeriksaan upaya hukum luar biasa dengan cara peninjauan kembali. Apakah masih menggunakan komposisi hakim ad hoc atau tidak. Hal ini pun tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini. <br /><br />Pengertian hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat diluar hakim karir yang memenuhi persyaratan professional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.<br /><br />Jumlah hakim ad hoc di pengadilan HAM yang harus diangkat adalah sekurang-kurangnya 12 orang dan masa jabatannya adalah 5 tahun yang dapat diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi. Hakim ad hoc ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama untuk hakim ad hoc pada pengadilan tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc tingkat kasasi di Mahkamah Agung diangkat oleh presiden selaku kepala negara atas usulan dewan perwakilan rakyat RI dan lama jabatan hanya satu periode yaitu selama 5 tahun. <br /><br />Hakim ad hoc ini dalam pemilihannya memerlukan syarat-syarat tertentu yang tertuang dalam pasal 29. Hakim ad hoc juga wajib mengucapkan sumpah. Syarat untuk menjadi hakim ad hoc ini berlaku untuk hakim tingkat banding dan hakim ad hoc tingkat kasasi. Perkecualian khusus untuk hakim ad hoc tingkat kasasi berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan tidak ada batasan maksimal umurnya.<br /><br />Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan HAM. Pada tingkat banding maka perkara diperiksa dan diputus paling lama 90 hari. Jika perkara dimintakan kasasi maka perkara pelanggaran HAM berat ini di periksa dan diputus paling lama 90 hari atau selama 3 bulan.<br /><br />Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah mengenai proses pelimpahan berkas perkara dalam tingkat pertama ke tingkat banding dan dari tingkat pertama ke kasasi ketika jaksa mengajukan kasasi saat terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan mengenai mekanisme pelinpahan berkas dalam ke tingkat banding dan kasasi menggunakan mekanisme KUHAP. <br /> <br /> 2. Prosedur Pembuktian <br /><br />Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.<br /><br />Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu pada alat bukti yang sesuai dengan KUHAP yaitu pasal 184. Hal-hal yang dapat dijadikan alat bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek peradilan internasional. Pengalaman-pengalaman internasional yang menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan. <br /> <br /><br />d. Ketentuan Pemidanaan (Penal Codes)<br /><br />Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjamin bahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang ringan. <br /><br />Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama dengan kejahatan yang diatur dalam pasal 9 (tentang kejahatan terhadap kemanusiaan) huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d (pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa), atau j (kejahatan apartheid). <br /><br />Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yaitu perbudakan diancam dengan pidana selama-lamanya 15 tahun dan paling singkat 5 tahun (ps 38). Demikian pula dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa penyiksaan diancan hukuman paling lama 15 tahun dan peling rendah 5 tahun (ps 39). Kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, kemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara diancam pidana selama-lamanya 20 tahun dan serendah-rendahnya selama 10 tahun (ps 40). <br /><br />Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa percobaan dan ikut serta berupa permufakatan jahat atau pembantuan terhadap terlaksanya pelanggaran HAM berat, ancaman hukumannya dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. ketentuan ini mengindikasikan bahwa apapun peranan pelaku baik karena percobaan pelanggaran HAM berat, ikut serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan pelanggaran HAM berat maupun pembantuan terhadap terlaksananya pelanggaran HAM berat tidak ada pengaturan pengecualian terhadap mereka karena ancamannya dipersamakan.<br /><br />Ketentuan pemidaan yang dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38 , 39 dan 40 adalah untuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang komandan dari militer, polisi maupun sipil seperti yang diatur dalam pasal 42 ayat 3 UU No. 26 Tahun 2000.<br /><br /><br />e. Delik tanggung jawab komando<br /><br />Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung jawab komando yaitu :<br />1. unsur militer : <br />diatur dalam ayat 1 yang menentukan Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:<br />i. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan<br />ii. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.<br /><br />2. unsur polisi atau sipil <br />dalam ayat 2 yang menentukan Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:<br />i. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan<br />ii. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.<br /><br />Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun 2000 ini. pengertian tanggung jawab komando dalam pasal 42 ayat 1 menyatakan : <br /><br />“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …”<br /><br />Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.<br /><br />Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…” <br /><br />Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando. <br /><br /><br />4. Pengadilan Ham Ad Hoc<br /><br />Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini. <br /><br />Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini. <br /><br />Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. <br /><br />Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :<br />1. adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.<br />2. adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung. <br />3. adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempus dan locus delicti tertentu.<br />4. adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc. <br /><br />Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.<br /><br />Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari DPR. Meskipun masih diperdebatkan, sebagian kalangan praktisi dan akademisi hukum menganggap hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-56772851250138167332008-12-28T17:50:00.000-08:002008-12-28T17:51:36.642-08:00Bantuan HukumPENTINGNYA BANTUAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA<br /><br /><br />I. PENDAHULUAN<br /><br />Kejahataan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari realitas kehidupan manusia. Setiap manusia memiliki potensi untuk melakukan kejahatan, hanya saja ada sebagian dari manusia itu yang dapat mengendalikan potensi jahatnya, tetapi sebagian yang lain tidak. Permasalahan tentang hukum dan dunia kejahatan memang kompleks. Seorang pelaku kejahatan (diasumsikan sebagai pihak yang kuat), dapat pula menjadi korban kejahatan (diasumsikan sebagai pihak yang lemah) dalam dalam suatu proses perkara hukum yang dihadapinya. <br />Banyak terjadi seorang pelaku kejahatan mendapatkan perlakuan yang merugikan, tidak adil, bahkan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum di dalam menjalani suatu proses perkara hukum. Sebagai contoh misalnya dalam melakukan interograsi, aparat penegak hukum sering menggunakan cara-cara kekerasan dengan maksud agar si pelaku ini mau mengakui perbuatannya atau sekedar mendapatkan informasi darinya. Ada juga yang melakukan penganiayaan terhadap pelaku, demi alasan efektifitas dan efisiensi waktu dalam pemeriksaan, sehingga tidak jarang hal yang demikan itu menimbukan korban jiwa. <br />Hukum yang seharusnya bertujuan untuk melindungi setiap orang tanpa memandang adanya diskriminasi, tidak berdaya akibat ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab dalam memperlakukan pelaku dengan cara-cara yang melawan hukum. Jelas ini dirasakan sangat tidak adil, utamanya bagi pelaku.<br />Berbicara tentang bantuan hukum tentunya tidak lepas dari sejarah bantuan hukum itu sendiri. Pada awal perkembangannya, bantuan hukum merupakan perwujudan sikap kedermawanan dalam bidang hukum dan hak asasi manusia, termasuk dalam hal pembelaan pada acara persidangan di pengadilan. Maksud pembelaan disini tidak diartikan sebagai pembelaan yang membabi buta, tetapi pembelaan yang diharapkan adalah upaya mendapatkan keadilan yang berhak diperoleh oleh tersangka atau terdakwa. Bantuan hukum umumnya diberikan oleh suatu lembaga yang memang sejak awal dibentuk untuk tujuan itu. Umumnya pemberian bantuan hukum ini dilakukan oleh penasehat hukum dari suatu lembaga bantuan hukum, namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan penasehat hukum dari luar lembaga tersebut.<br />Batasan atau pengertian tentang bantuan hukum tidaklah mudah, mengingat kompleksitas permasalahannya, yang tidak hanya menyangkut hukum dan perkembangan masyarakat, tetapi juga keberadaan dan program dari bantuan hukum itu sendiri. Bantuan hukum dalam pengertian yang luas kiranya dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. Pengertian lainnya adalah suatu usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga menyadari hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, serta suatu usaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan hukum agar dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan mengikuti perubahan keadaan. <br />Adapun pengertian sistem peradilan pidana dapat dijelaskan suatu sistem untuk memproses pelanggaran pidana di dalam lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk itu, dalam suatu pola tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu yaitu menanggulangi masalah kejahatan. Pengertian lainnya adalah suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Pengertian menanggulangi kejahatan di sini yaitu usaha untuk mengendalikan kejahatan agar masih dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sudah barang tentu, di dalam suatu proses pelanggaran pidana, adanya bantuan hukum mutlak diperlukan, karena dalam sistem tersebut aparat penegak hukum mempunyai kewenangan yang luar biasa untuk memproses pelaku kejahatan.<br />Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis ingin mengambil rumusan masalah tentang pentingnya bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.<br /><br />II. PEMBAHASAN<br /><br />Sistem peradilan pidana terbagi dalam dua bagian, yaitu sistem dan peradilan pidana. Pengertian mengenai sistem dapat diartikan berbagai macam, salah satunya adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur yang terdiri dari bagian-bagian yang terkait satu sama lain, tersusun menurut rencana / pola untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adapun indikasi atau ciri-ciri dari suatu sistem adalah :<br />1. adanya tingkah laku yang berorientasi kepada tujuan;<br />2. mempunyai ciri yang menyeluruh;<br />3. keterbukaan atau berorientasi atau terintegrasi dengan sistem yang lebih besar;<br />4. adanya tranformasi nilai di dalam sistem tersebut;<br />5. interrelasi (saling berhubungan antara sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lain);<br />6. adanya kontrol terhadap sub-sub sistem untuk memperkuat sistem yang lebih besar;<br /><br />Adapun pengertian dari peradilan pidana dapat diartikan sebagai tahapan di dalam pem-prosesan suatu pelanggaran pidana di dalam lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk memproses pelanggaran pidana tersebut. Seperti telah disebutkan di atas tadi, bahwa sistem peradilan pidana adalah suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan, agar kejahatan tersebut masih dalam batas-batas toleransi toleransi masyarakat. <br />Penanggulangan kejahatan itu sendiri-pun mempunyai tujuan, yaitu ;<br />1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;<br />2. meyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan, dan yang bersalah dipidana;<br />3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. <br /><br />Sesungguhnya SPP tidak mempunyai dasar hukum, tetapi akan tetapi dapat menjadi bahan kajian bagi hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan juga hukum yang mengatur kelembagaan. Seperti telah diketahui, bahwa hukum pidana formil adalah hukum yang menjalankan hukum pidana materiil, atau hukum yang memproses terjadinya pelanggaran pidana yang dimulai dari adanya pelaporan atau pengaduan hingga penjatuhan putusan dan pelaksanaannya, di mana dasar hukum dari pem-prosesan perkara pidana adalah KUHAP. Apabila dikaitkan dengan SPP, maka dapat dikatakan bahwa obyek dari SPP adalah KUHAP.<br />Keberadaan bantuan hukum di Indonesia, telah dijabarkan secara tegas di dalam KUHAP, yaitu pasal 54 sampai dengan pasal 57 tentang ketentuan yang mengatur hal-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan nasehat hukum, dan pasal 69 sampai dengan 74 tentang ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka atau terdakwa. Inti dari pasal-pasal dalam KUHAP yang berhubungan dengan bantuan hukum dapat disingkat sebagai berikut :<br />1. bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka atau terdakwa ditahan;<br />2. bantuan hukum dapat diberikan pada setiap tingkat pemeriksaan;<br />3. penasehat hukum berhak berbicara dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu pembelaannya. <br /><br />Adanya bantuan hukum dapat menuju kepada proses hukum yang adil atau due prosess of law dalam seperti yang terdapat dalam dokumen Magna Charta, 1215. Supaya proses hukum yang adil itu dapat tercapai, setidaknya faktor-faktor berikut ini harus terpenuhi :<br />1. mendengarkan pendapat tersangka / terdakwa (hearing);<br />2. adanya penasehat hukum (counsel);<br />3. adanya pembelaan dari tersangka atau terdakwa (defence);<br />4. adanya bukti-bukti yang cukup (evidence);<br />5. adanya peradilan yang jujur dan tidak memihak (fair & impartial court); <br /><br />Pada dasarnya, bantuan hukum adalah salah satu cara mendidik masyarakat untuk membangun dan meningkatkan kesadaran rakyat Indonesia bahwa setiap orang mempunyai hak yang dijamin hukum. Masyarakat, termasuk juga mereka yang kurang mampu dalam hal ekonomi, berhak tahu bahwa jika hak-hak mereka dilanggar atau dikesampingan, mereka mempunyai hak untuk membela diri dan berjuang untuk hak-hak mereka tersebut melalui saluran-saluran hukum. <br />Bantuan hukum dapat menunjang dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan membuat mereka menyadari adanya hak dan kewajiban, bahkan mendorong masyarakat agar mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Bantuan hukum juga diartikan suatu tindakan memberikan bantuan dalam bentuk pembelaan hukum kepada pemohon bantuan hukum yang secara langsung tampil di muka sidang pengadilan sesuai dengan jenis perkara yang dihadapi. Pembelaan hukum yang dimaksud, di satu pihak dilakukan sebagai upaya untuk mencari dan menemukan keadilan baik yang bersifat materiil maupun formil, namun di lain pihak tetap menjaga terjaminnya kepentingan pemohon bantuan hukum.<br />Menurut Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Dapat diambil kesimpulan bahwa mendapatkan bantuan hukum bukan hanya didapatkan oleh mereka yang mampu, namun juga bagi mereka yang tidak mampu. Hal tersebut juga ditunjang oleh Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 18 ayat (4) dimana dinyatakan bahwa setiap orang yang diperiksa, berhak mendapat bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.<br />Bantuan hukum pada dasarnya merupakan suatu konsep yang sejalan dengan konsep dari hukum yaitu adil dan tidak memihak. Namun yang kadang menjadi masalah yaitu adanya hukum justru tidak memberikan keadilan. Hukum yang seharusnya tidak memihak sering digunakan secara tidak bertanggung-jawab sebagai alat kekuasaan yang dapat memihak kepentingan tertentu, karena itulah bantuan hukum harus dapat secara aktif menjangkau para pencari keadilan, dan sedapat mungkin mendorong terciptanya suatu tatanan hukum dari yang tidak adil menjadi tatanan hukum yang adil.<br />Seperti telah disebutkan di atas tadi, bahwa penanggulangan kejahatan antara lain mempunyai arti bahwa menyelelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan, dan yang bersalah dipidana. Hal ini sesungguhnya butuh penjabaran lebih lanjut lagi, apakah dengan dipidananya orang yang bersalah, lalu keadilan memang benar-benar telah ditegakkan, dan bagaimanakah ukuran keadilan bagi si pelaku? Sampai seberapa beratkah pidana yang dijatuhkan kepadanya? apakah penjatuhan pidananya memang telah melihat sisi keadilan dari pelaku? Pantaskah ia dipidana seberat itu? <br />Ambil contoh dalam sidang di pengadilan orang yang terbukti bersalah secara melawan hukum mengambil kambing yang bukan miliknya dengan maksud untuk dimiliki. Hakim lantas menjatuhkan putusan pidana penjara 5 (lima) tahun. Pada bagian yang lain ada seseorang yang terbuti bersalah secara melawan hukum menguntungkan diri sendiri yang dengan menyalah-gunakan wewenang yang ada padanya dan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 500.000.000, 00. Hakim lantas menjatuhkan putusan pidana penjara 3 (tiga) tahun dan denda Rp. 75.000.000,00. Jika dilihat dari latar belakang kedua orang tersebut dalm melakukan kejahatan mereka masing-masing, dimana yang satu terpaksa mencuri kambing karena desakan kebutuhan hidup, sementara yang lainya melakukan korupsi bukan karena terdesak kebutuhan hidup, melainkan karena sudah membudaya. Apakah putusan pidana terhadap kedua orang tersebut yang berlainan latar belakang di dalam melakukan kejahatan dirasa telah memenuhi rasa keadilan? <br />Berdasarkan kedua contoh di atas, penulis hanya ingin menggambarkan betapa pentingnya bantuan hukum di sini. Seorang pelaku yang mendapatkan bantuan hukum dalam setiap tahapan proses peradilan yang dihadapinya, dapat melakukan pembelaan diri atas tuduhan kejahatan yang ditujukan kepadanya. Melalui penasehat hukumnya, orang yang mencuri kambing tadi dapat melakukan pembelaan bahwa dirinya mencuri kambing karena memang terpaksa atau karena terdesak kebutuhan hidup, sehingga diharapkan hukuman yang dijatuhkann kepadanya setimpal dengan perbuatannya, termasuk juga latar belakang kenapa ia mencuri kambing milik orang lain. Bagitu juga dengan koruptor tersebut, melalui penasehat hukumnya dalam melakukan pembelaan terhadapnya ia akhirnya hanya dipidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 75.000.000,00. Sebuah putusan pidana yang tidak terlalu berat baginya, yang bisa jadi disebabkan oleh adanya bantuan hukum.<br />Contoh lainnya adalah kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum. Dalam sistem peradilan pidana dapat dikatakan aparat penegak hukum mempunyai kewenangan yang besar. Hal ini jika tidak dibatasi kewenangannya atau diantisipasi, akan menjadikan faktor kriminogen dalam sistem peradilan pidana. Sama halnya dengan di atas, dalam model / teori tentang sistem peradilan pidana, yaitu Crime Control Model dan Due Process Model, ada pembatasan terhadap kewenangan (limit of power) aparat penegak hukum.<br />Aparat penegak dengan segala kewenangan yang ada pada dirinya, dalam menginterograsi pelaku melakukan praktek-praktek intimidasi atau menggunakan kekerasan. Adanya bantuan hukum dapat membuat aparat penegak hukum tadi berpikir ulang untuk melakukannya terhadap korban, karena takut nantinya malah dirinya yang dituntut melakukan suatu kejahatan. Ini juga dapat merupakan bukti tentang pentingnya seorang pelaku mendapatkan bantuan hukum, supaya hak-haknya tidak dilanggar.<br /><br />III. KESIMPULAN<br /><br />Berdasarkan uraian-uraian di atas, bantuan hukum mempunyai arti yang penting di dalam sistem peradilan pidana, karena :<br />1. adanya bantuan hukum dapat menuju ke arah proses hukum yang adil (due process of law);<br />2. adanya bantuan hukum dapat mendidik masyarakat untuk membangun dan meningkatkan kesadaran, bahwa setiap orang mempunyai hak yang dijamin hukum;<br />3. adanya bantuan hukum dapat menunjang dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan membuat mereka menyadari adanya hak dan kewajiban, bahkan mendorong masyarakat agar mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka;<br />4. adanya bantuan hukum merupakan usaha pembelaan hukum untuk mencari dan menemukan keadilan, baik yang bersifat materiil maupun formil;<br />5. adanya bantuan hukum sejalan dengan konsep dari hukum, yaitu adil dan tidak memihak;<br />6. adanya bantuan hukum sebagai upaya pembelaan diri atas tuduhan kejahatan yang ditujukan kepada pelaku;<br />7. adanya bantuan hukum dapat membatasi kewenangan dari aparat penegak hukum yang besar.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><br />1. DAFTAR BUKU DAN MAKALAH<br /><br /> Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1988.<br /><br />Bambang Sunggono, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung 2001.<br /><br /> Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta 1994.<br /><br />Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987.<br /><br /> Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta 2001.<br /><br /><br /><br />2. DAFTAR PERATURAN<br /><br />Undang-undang nomor 8 tahun 1981 (KUHAP).<br /><br />Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.<br /><br />Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-77484203001410077412008-12-28T17:49:00.000-08:002008-12-28T17:50:32.850-08:00Pembaharuan HukumUPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI<br /><br /><br />I. PENDAHULUAN<br /><br />Korupsi merupakan suatu permasalahan yang sangat mendasar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sejarah, tidak satupun negara yang bebasa dari praktek korupsi. Hal yang membedakan korupsi di suatu negara dengan negara lain, antara lain intensitas dan kualitas dari tindak pidana korupsi itu sendiri, disamping modus operandi dari (pemilihan alat / waktu / cara / tempat, dan pengorganisasian) terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri. Hal lainnya yang turut membedakan adalah menyangkut unsur-unsur yang ada di dalam sistem hukum pidana tersebut susbstansi hukum pidana, struktur hukum pidana, dan budaya hukum pidana itu sendiri.<br />Dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat lokal maupun maupun asing, salah satunya dari lembaga monitoring internasional, disebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan keempat sebagai negara paling korup dari ratusan negara yang dijadikan obyek penelitian oleh lembaga tersebut. Hal ini sungguh memprihatinkan, di mana negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sangat menjungjung tinggi Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia justru banyak melakukan praktek korupsi, suatu perbuatan yang melanggar nilai-nilai agama dan keadilan sosial.<br />Korupsi ada di mana-mana dan dapat kita temukan di mana saja, baik itu di lingkungan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah, maupun di lingkungan swasta. Sebagai contoh misalnya : hampir setiap proyek-proyek pembangunan baik itu pembangunan gedung, jalan, jembatan dan lain sebagainya tidak dapat bebas dari praktek korupsi, bahkan bantuan-bantuan untuk rakyat miskin seperti jaring pengaman sosial dan bantuan untuk korban bencana alam-pun tidak luput dari praktek korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi sudah mengakar kuat atau membudaya di dalam masyarakat Indonesia, dan masyarakat juga tidak sungguh-sungguh di dalam memberantas korupsi tersebut. Masyarakat Indonesia sudah terlena dengan kenikmatan korupsi, sehingga tepat kalau dikatakan korupsi juga merupakan salah satu penyakit masyarakat yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya. <br />Hal lain yang juga sangat memprihatinkan adalah : dengan maraknya korupsi di berbagai bidang kehidupan dan di berbagai eleman masyarakat, di mana masyarakat dapat dengan seenaknya melakukan korupsi tanpa takut mendapat sanksi (utamanya sanksi pidana), menunjukkan bahwa supremasi hukum belum dikedepankan, hukum belum ditaruh di atas segala-galanya, hukum belum diberi kedudukan sebagai panglima tertinggi di dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan (utamanya permasalahan-permasalahan yang menyangkut pelanggaran hukum) yang terjadi di dalam masyarakat. Aparat penegak hukum-pun yang seharusnya menindak pelaku-pelaku tindak pidana, tidak dapat berbuat banyak, salah satunya akibat dari praktek korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, ini membawa akibat penegakan hukum-pun juga tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya (atau lebih tepatnya tidak berjalan).<br />Inilah alasan perlunya reformasi di bidang hukum, khususnya hukum pidana, sehingga dibutuhkan adanya suatu pembaharuan hukum pidana. Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengambil rumusan masalah tentang bagaimanakah upaya pembaharuan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia?<br /><br />II. PEMBAHASAN<br /><br />Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu apa itu korupsi. Pengertian tentang korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari perkataan latin coruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan, disamping istilah korupsi tersebut di beberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi juga banyak dikaitkan dengan ketidak-jujuran seseorang seperti misalnya gin moung (Muangthai) yang berarti makan bangsa, tanwu (Cina) yang berarti keserakahan bernoda, oshoku (Jepang) yang berarti kerja kotor, dan lain sebagainya. Dalam Bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan, uang sogok, dan sebagainya. <br />Selanjutnya di dalam perkembangannya, rumusan mengenai korupsi mengalami perkembangan dari berbagai sisi pandang, antara lain sisi pandang kepentingan umum, sisi pandang politik, sisi pandang sosiologis, dan lain sebagainya. Menurut hukum positif, rumusan mengenai korupsi dikenal dengan sebutan delik korupsi atau tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud dengan tindak pidana korusi adalah :<br />- “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.<br />- setiap orang yang dengan ntujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”.<br />Berdasarkan rumusan tentang tindak pidana korusi di atas, dapat diketahui bahwa rumsan tindak pidana korupsi dalam undang-undang tersebut, merupakan suatu delik formil, dimana terjadinya tidak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dalam undang-undang tersebut, tanpa harus menimbulkan akibat dari perbuatan tersebut. Hal ini bisa diperhatikan pada kata “dapat’ sebelum frasa merugikan keuangan negara. <br />Mengenai istilah pembaharuan hukum pidana, menurut Barda Nawawi : “Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu reorientasi dari reformasi hukum pidana positif, dilihat dari aspek sosio filosofik, sosio politik, dan sosio cultural yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegkan hukum di Indonesia”. Menurut Sudarto : “Pembaharuann hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana, di mana hakekat kebijakan hukum pidana adalah untuk mewujudkan peraturan-peraturan hukum pidan yang lebih baik”. <br />Secara garis besar, pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai memperbaharui ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku (ius constitutum), untuk menghasilkan ketentuan-ketentuan hukum pidana baru yang lebih baik di masa yang akan datang (ius constituendum). Ukuran di dalam menghasilkan ketentuan-ketentuan hukum pidana pidana yang lebih baik antara lain ketentuan-ketentuan hukum pidana baru tersebut haruslah lebih memenuhi nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat, lebih efektif di dalam menanggulangi kejahatan, dan disesuaikan pada saat hukum tersebut dibuat dan pada saat mendatang.<br />Sehubungan dengan rumsan permasalah tersebut di atas, maka upaya pembaharuan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat penulis kelompokkan sebagai berikut :<br />A. Urgensi atau Alasan-alasan Pembaharuan Hukum Pidana di Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :<br />1. Alasan Filosofis-nya adalah menyelamatkan keuangan negara. <br />Hal tersebut dapat dilihat dari konsideran undang-undang nomor 20 tahun 2001 huruf a. Korupsi dianggap sebagai penghambat pembangunan nasional yang ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pnacasila dan Undang-Undang dasar 1945, sehingga dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka korupsi haruslah diberantas.<br />2. Alasan Yuridisnya adalah memberikan landasan hukum di dalam melaksanakan amanat pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, serta melaksanakan amanat TAP MPR-RI nomor XI/MPR/1998 (yang ditindak lanjuti dengan Undang-undang nomor 28 tahun 1999) tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).<br />3. Alasan sosiologis-nya memperbaiki tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini disebabkan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korusi, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat <br /><br />B. Pendekatan Kebijakan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi<br />Pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia merupakan suatu bagian dari kebijakan hukum pidana, kebijakan kriminal, sampai dengan kebijakan sosial. Berdasarkan hal tersebut, pertimbangan dalam menentukan perbuatan korupsi sebagai suatu tindak pidana dilihat dari pendekatan kebijakan harulah mempertimbangkan :<br />1. perbuatan korupsi tersebut merupakan suatu perbuatan yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan sangat merugikan keuangan negara, serta dianggap sebagai penghambat pembangunan nasional di dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pnacasila dan Undang-Undang dasar 1945, oleh karena itu pengaturan tentang tindak pidana korupsi haruslah dilakukan secara rasional, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat lebih efektif.<br />2. tercapainya keseimbangan antara penghitungan tentang biaya (cost) dari pembuatan undang-undang yang memuat rumusan tentang tindak pidana korupsi di dalam penegakan hukum-nya, dengan manfaat (benefit) yang akan dicapai, yaitu situasi yang tertib hukum, sehingga jangan sampai biaya penuntutan dari tindak pidana korusi lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi terebut.<br />3. pertimbangan tentang kemampuan daya kerja dari aparat-aparat penegak hukum di dalam menegakkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut, misalnya yang menyangkut tingakat pendidikan, profesionalitas, pengalaman, cara kerja, dan lain sebagainya dari aparat penegak hukum, serta birokrasi maupun prosedur dari penegakan hukumnya.<br />4. akibat-akibat atau dampak sosial yang ditimbulkan dari perumasan tindak pidana korupsi tersebut terhadap perilaku dan sikap dari pelaku pada khususnya, maupun masyarakat pada umumny. Akibat-akibat sosial yang ditimbulkan haruslah membawa perubahan-perubahan yang lebih baik di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.<br /><br />C. Pendekatan Nilai Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi<br />Dalam setiap kebijakan, pastilah terkandung pertimbangan nilai, karena itulah pembahuruan hukum pidana haruslah berorientasi pada pendekatan nilai. Orientasi pada pendekatan nilai tersebut menyangkut nilai-nilai apa sajakah yang ingin dilindungi dari perumusan tindak pidana korupsi tersebut. Secara umum dapt penulis kemukakan sebagai berikut :<br />1. perlindungan terhadap nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal ini dapat terlihat pada penjelasan umum di dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001, di mana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera, perlu ditingkatkan secara terus menerus usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.<br />2. nilai-nilai kepercayaan masyarakat. Perbuatan korupsi menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, yang pada akhirnya menimbulkan krisis di berbagai bidang, termasuk di antaranya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di dalam penegakan hukum dan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).<br />3. perlindungan terhadap moralitas bangsa, dikarenakan perbuatan korupsi dapat merusak harkat dan martabat bangsa, dan menurunkan citra serta wibawa negara di dalam dunia internasional<br /><br />Selain itu sebagai arah menuju kepada pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, diperlukan adanya kajian-kajian tentang korupsi di Indonesia langkah-langkah dan kebijakan yang tepat dalam penanggulangannya. Pengkajian-pengkajian tersebut disebabkan antara lain :<br />1. Korupsi bukanlah hal yang asing bagi setiap kalangan masyarakat, namun demikian meskipun bukan merupakan hal yang asing, korupsi merupakan suatu tindak pidana yang unik, multi dimensi, dan sangat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.<br />2. Karekteristik korupsi yang unik tersebut, menimbulkan pendapat dan penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan praktisi hukum maupn teoritisi hukum, tentang batasan korupsi, sehingga tidaklah mudah untuk menentukan apa yang menjadu sebab utamanya (causa prima)-nya, siapa yang menjadi pelaku, dan siapa yang menjadi korban.<br />3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tersendat-sendat, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat-aparat penegak hukum khususnya, dan pemerintah umumnya.<br />4. Dalam praktek, penanggulangan terhadap korupsi sering menghadapi kendala-kendala seperti kendala hukum materiil maupun kendala hukum formil, kendala birokrasi, kendala sosial, dan lain sebagainya. Teori-teori tentang hukum pidana dan pembuktian dalam hukum pidana sering kurang mendukung dan sudah tidak relevan lagi dalam penaggulangan korupsi.<br />5. Posisi Indonesia yang tidak menguntungkan dalam daftar negara-negara paling korup di dunia oleh beberapa hasil riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Internasional. Hal ini sedikit banyak menuntut bangsa Indonesia untuk menindak-lanjuti permasalahan-permasalahan korupsi yang terjadi. <br /><br />Pembaharuan hukum pidana dilihat dalam konteks pembaharuan substansi hukum, khususnya yang menyangkut hukum materiilnya, yaitu Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 mempunyai beberapa semangat moral sebagai ujud pembaharuan hukum pidana itu sendiri, antara lain :<br />1. Mempunyai semangat untuk mengikis komunitas yang mengedepankan supremasi paternalistik (kekerabatan/kekeluargaan) secara tidak benar melalui ketentuan larangan suap terhadap pegawai negeri (pasal 5 dan pasal 6);<br />2. Memberdayakan kontrol sosial eksternal melalui ketentuan tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain dalam bentuk hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum, hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, dan dalam hal hadir, dalam proses penyelidikan, penyidikan dan sidang di pengadilan yang terkait (pasal 41-pasal 42);<br />3. Menunbuhkan budaya malu di kalangan masyarakat dan kalangan penyelenggara negara dengan kewajiban tersangka/terdakwa menerangkan asal-usul kekayaannya pribadi, kekayaan suami/istri, anak, dan korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (pasal 37 A ayat 1);<br />4. Mempunyai semangat untuk menjerakan atau setidaknya membuat orang takut untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, bahkan sampai pada pidana mati, serta juga ketentuan pidana tambahan yang sangat berat bagi tersangka/terdakwa (pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai pasal 11);<br />5. Melembagakan budaya anti korupsi secara terus menerus dan berkesinambungan di kalangan masyarakat maupun kalangan penyelenggara negara melalui ketentuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (pasal 43);<br />6. Menumbuhkan budaya kooperatif di kalangan penegak hukum, utamanya kepolisian dan kejaksaan melalui ketentuan tentang pembentukan Tim Penyidik Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung (pasal 27);<br />7. Melembagakan koordinasi horisontal dengan instansi/lembaga non penegak hukum, terutama untuk membuka rekening tersangka/terdakwa secara luas (pasal 29 dan pasal 30). <br /><br />Selain hal tersebut di atas, menurut Romli Atmasasmita yang dapat dijadikan indikator bahwa Undang-undang nomor 20 tahun 2001 membawa pembaharuan di dalam hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, antara lain :<br />1. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara delik formal, sehingga menagandung konsekuensi logis di mana pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan tuntutan pidananya, hanya sebagai faktor yang meringankan terdakwa (pasal 4). Perumusan delik formil juga dapat dilihat dari kata-kata “dapat” dalam pasal 2 dan pasal 3. Kata “dapat di situ dianggap sebagai delik formil, kerena menujukkan bahwa tidak perlu adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan korupsi tersebut dan akibat dari perbuatan korupsi tersebut, sehingga seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi dan perbuatannya tersebut memenuhi unsur melawan hukum, meskipun tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dirinya tetap dapat dipidana; <br />2. Dicantumkannya pengaturan tentang korporasi sebagai subyek hukum, disamping orang perseorangan itu sendiri (pasal 1);<br />3. Dicantumkannya pengaturan tentang yurisdiksi kriminal yang dapat diberlakukan ke luar batas territorial Indonesia(pasal 16);<br />4. Dicantumkannya sistem pembuktian terbalik (pasal 37). Sistem ini diadakan supaya pembuktian di sidang pengadilan tidak terlalu sulit, tidak seperti dalam pembuktian negatif yang dianut dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1971. Sistem pembuktian di dalam Undang-undang ini tidak murni sebagai sistem pembuktian terbalik, jadi sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang. Terbatas artinya, jika tersangka atau terdakwa dapat membuktikan dalihnya bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, bukan berarti dia tidak melakukan korupsi, karena penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya (tidak murni). Seimbang artinya sumber penghasilan terdakwa tidak boleh lebih kecil dari pengeluarannya (input tidak boleh lebih kecil dari output); <br />5. Dicantumkannya adanya ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, bahkan sampai pada pidana mati, serta juga ketentuan pidana tambahan yang sangat berat bagi tersangka/terdakwa (pasal 3, pasal 5 sampai pasal 11);<br />6. Dicantumkannya pidana mati dalam keadaan tertentu (pasal 2 ayat 2). Keadaan tertentu contohnya negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi yang sangat memprihatinkan seperti sekarang ini, tindak pidana korupsi dapt dijatuhi pidana mati;<br />7. Dicantumkannya penyidikan perkara gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya (pasal 27);<br />8. Dicantumkan tentang kewenangan meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa, bahkan dapat meminta kepada Bank untuk memblokir rekening tersebut (pasal 29);<br />9. Dicantumkannya peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai sarana kontrol sosial, dan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih efektif dan optimal (pasal 41-pasal 42);<br />10. Telah mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen, dan keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat (profesional), dan pengangkatannya harus persetujuan DPR (pasal 43);<br /><br />III. KESIMPULAN<br /><br />Berdasarkan uraian-uraian di atas, upaya pembaharuan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut pengamatan penulis telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hal itu dapat terlihat di dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, baik itu permusan deliknya, pembuktiannya, maupun sanksi pidananya. Sayangnya pembaharuan tersebut masih sebatas pembaharuan subtansi hukum pidananya saja.<br />Pembaharuan dalam hukum pidana baru dapar dirasakan hasilnya apabila diikuti juga oleh pembaharuan struktur hukum (aparat-aparat penegak hukum), maupun pembaharuan budaya hukum. Masih banyak terlihat aparat-aparat penegak hukum yang terlibat dalam tindak korupsi, dan masih banyak juga budaya-budaya koruptif seperti suap-menyuap yang melanda hampir di setiap lingkungan masyarakat, lingkungan pemerintahan, bahkan sampai lingkungan peradilan. Hal ini tentunya memerlukan komitmen yang kuat dari negara maupun rakyatnya di dalam mewujudkan pembaharuan hukum pidana.<br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><br />1. DAFTAR BUKU DAN MAKALAH<br /><br />Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.<br /><br />Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998<br /><br />Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994.<br /><br />Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-undang nomor 31 tahun 1999), C.V. Mandar Maju, Bandung, 2001. <br /><br />Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N.Balai Pustaka, Jakarta, 1976.<br /><br />Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, C.V. Mandar Maju, Bandung, 2001.<br /><br />Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.<br /><br />Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.<br /> <br /><br />2. DAFTAR PERATURAN<br /><br />Undang-undang 20 Tahun 2001.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7356124378372110075.post-73757567723132114552008-12-28T17:48:00.000-08:002008-12-28T17:49:26.442-08:00Victimologi TeoryVICTIMOLOGY THEORY<br /><br />The concept of victim dates back to ancient cultures and civilizations, such as the ancient Hebrews. Its original meaning was rooted in the idea of sacrifice or scapegoat -- the execution or casting out of a person or animal to satisfy a deity or hierarchy. Over the centuries, the word victim came to have additional meanings. During the founding of victimology in the 1940s, victimologi such as Mendelson, Von Hentig, and Wolfgang tended to use textbook or dictionary definitions of victims as hapless dupes who instigated their own victimizations. This notion of "victim precipitation" was vigorously attacked by feminists in the 1980s, and was replaced by the notion of victims as anyone caught up in an asymmetric relationship or situation. "Asymmetry" means anything unbalanced, exploitative, parasitical, oppressive, destructive, alienating, or having inherent suffering. In this view, victimology is all about power differentials. Today, the concept of victim includes any person who experiences injury, loss, or hardship due to any cause. Also today, the word victim is used rather indiscriminately; e.g., cancer victims, holocaust victims, accident victims, victims of injustice, hurricane victims, crime victims, and others. The thing that all these usages have in common is an image of someone who has suffered injury and harm by forces beyond his or her control.<br /><br />The term "crime victim" generally refers to any person, group, or entity who has suffered injury or loss due to illegal activity. The harm can be physical, psychological, or economic. The legal definition of "victim" typically includes the following:<br />A person who has suffered direct, or threatened, physical, emotional or pecuniary harm as a result of the commission of a crime; or in the case of a victim being an institutional entity, any of the same harms by an individual or authorized representative of another entity. Group harms are normally covered under civil and constitutional law, with "hate crime" being an emerging criminal law development, although criminal law tends to treat all cases as individualized. <br />Besides "primary crime victims", there are also "secondary crime victims" who experience the harm second hand, such as intimate partners or significant others of rape victims or children of a battered woman. It may also make sense to talk about "tertiary crime victims" who experience the harm vicariously, such as through media accounts or from watching television.<br /><br />Many victims feel that defining themselves as a "victim" has negative connotations, and choose instead to define themselves as a "survivor." This is a very personal choice that can only be made by the person victimized. The term "survivor" has multiple meanings; e.g. survivor of a crime, "survivor benefits." It remains to be seen whether this terminology for victims of crime will endure.<br /><br />"Victim defenses" have recently emerged in cases of parricide (killing one's parents) and homicide of batterers by abused spouses. Advocates for battered women were among the first to recognize the issue, and promote the "battered woman syndrome" to defend women who killed or seriously injured a spouse or partner after enduring years of physical, emotional and/or sexual abuse. Attorneys have also drawn upon theories of Post-traumatic Stress Disorder to defend their client's behavior. From time to time, media attention to these defenses becomes intense, and certain "high profile" cases tend to influence public opinion and spread confusion over who is the "victim" and who is the "victimizer." One of the goals of victimology as a science is to help end this state of societal confusion.<br /><br />The Study of Victimology<br />Before we can understand victimology, we need to appreciate that it is a fairly new subfield or area of specialization within criminology. Criminology is a rather broad field of study that encompasses the study of law making, law breaking, and societal reactions to law breaking. Victimology, much like criminal justice, falls into the third of these areas. Victimology doesn't have any subfields within itself; in fact, there are few theories, and little or no schools of thought. Going back to criminology, there are four subfields: penology (and the sociology of law); delinquency (sometimes referred to as psychological criminology); comparative (and historical) criminology; and victimology.<br /><br />Andrew Karmen, who wrote a text on victimology entitled Crime Victims: An Introduction to Victimology in 1990, broadly defined victimology:<br />"The scientific study of victimization, including the relationships between victims and offenders, the interactions between victims and the criminal justice system -- that is, the police and courts, and corrections officials -- and the connections between victims and other societal groups and institutions, such as the media, businesses, and social movements."<br />Indonesian translation starts from this part<br />From this definition, we can see that victimology encompasses the study of:<br />victimization <br />victim-offender relationships <br />victim-criminal justice system relationships <br />victims and the media <br />victims and the costs of crime <br />victims and social movements <br /><br />Victimologists often use surveys of large numbers of people about the crimes that have been committed against them because official police statistics are known to be incomplete. Data derived from victimization surveys are carried out each year by the Census Bureau on behalf of the Department of Justice (the NCVS - National Crime Victimization Survey). Victimologists then estimate victimization rates and risks, and do a whole lot more.<br /><br />If there is any such thing as a method to victimology, here it is:<br />Define the problem - find the asymmetry, analyze responsibility, explore the kinds of harm <br />Measure true dimension of the problem - analyze statistics, see what kind of people are involved, accurately gauge extent of harm <br />Investigate how CJ system handles the problem - look at what CJ system ignores, ask what victim wants, analyze effects, chronicle emergence of victim's movement <br />Examine societal response to problem - look at issues of constitutional rights, analyze proposed legislation, analyze media reaction, see if anyone is cashing in on the problem <br /><br />History of Victimology<br />At first (going back to the origins of criminology in the 1880s), anything resembling victimology was simply the study of crime from the perspective of the victim. With the exception of some psychological profilers who do this, nobody really advocates this approach to victimology anymore. The scientific study of victimology can be traced back to the 1940s and 1950s. Two criminologists, Mendelsohn and Von Hentig, began to explore the field of victimology by creating "typologies". They are considered the "fathers of the study of victimology." <br /><br />These new "victimologists" began to study the behaviors and vulnerabilities of victims, such as the resistance of rape victims and characteristics of the types of people who were victims of crime, especially murder victims. Mendelsohn (1937) interviewed victims to obtain information, and his analysis led him to believe that most victims had an "unconscious aptitude for being victimized." He created a typology of six (6) types of victims, with only the first type, the innocent, portrayed as just being in the wrong place at the wrong time. The other five types all contributed somehow to their own injury, and represented victim precipitation. <br /><br />Von Hentig (1948) studied victims of homicide, and said that the most likely type of victim is the "depressive type" who is an easy target, careless and unsuspecting. The "greedy type" is easily duped because his or her motivation for easy gain lowers his or her natural tendency to be suspicious. The "wanton type" is particularly vulnerable to stresses that occur at a given period of time in the life cycle, such as juvenile victims. The "tormentor," is the victim of attack from the target of his or her abuse, such as with battered women.<br /><br />Von Hentig's work provided the foundation for analysis of victim-precipitation that is still somewhat evident in the literature today. Wolfgang's research (1958) followed this lead and later theorized that "many victim-precipitated homicides were, in fact, caused by the unconscious desire of the victims to commit suicide." Schafer's theoretical work (1968) also represented how victimology invested a substantial amount of its energy to the study of how victims contribute - knowingly or unknowingly -- to their own victimization, and potential ways they may share responsibility with offenders for specific crimes. In fact, Schafer's book, The Victim and His Criminal, from this approach, is supposed to be a corrective to Von Hentig's book, The Criminal and His Victim.<br /><br />Theories in Victimology <br />Over the years, ideas about victim precipitation have come to be perceived as a negative thing; "victim blaming" it is called. Research into ways in which victims "contribute" to their own victimization is considered by victims and victim advocates as both unacceptable and destructive. Yet a few enduring models and near-theories exist. I'll mention two or three of them:<br /><br />1. Luckenbill's (1977) Situated Transaction Model - This one is commonly found in sociology of deviance textbooks. The idea is that at the interpersonal level, crime and victimization is a contest of character. The stages go like this: (1) insult - "Your Momma"; (2) clarification - "Whaddya say about my Mother"; (3) retaliation - "I said your Momma and you too"; (4) counter retaliation - "Well, you're worse than my Momma"; (5) presence of weapon - or search for a weapon or clenching of fists; (6) onlookers - presence of audience helps escalate the situation. <br /><br />2. Benjamin & Master's Threefold Model - This one is found in a variety of criminological studies, from prison riots to strain theories. The idea is that conditions that support crime can be classified into three general categories: (1) precipitating factors - time, space, being in the wrong place at the wrong time; (2) attracting factors - choices, options, lifestyles (the sociological expression "lifestyle" refers to daily routine activities as well as special events one engages in on a predictable basis); (3) predisposing factors - all the sociodemographic characteristics of victims, being male, being young, being poor, being a minority, living in squalor, being single, being unemployed.<br /><br />3. Cohen & Felson's (1979) Routine Activities Theory - This one is quite popular among victimologists today who are anxious to test the theory. Briefly, it says that crime occurs whenever three conditions come together: (1) suitable targets - and we'll always have suitable targets as long as we have poverty; (2) motivated offenders - and we'll always have motivated offenders since victimology, unlike deterministic criminology, assumes anyone will try to get away with something if they can; and (3) absence of guardians - the problem is that there's few defensible spaces (natural surveillance areas) and in the absence of private security, the government can't do the job alone.<br /><br />The phenomena that criminals and victims often have the same sociodemographic characteristics (e.g., are in relatively the same age group) is known as the propinquity hypothesis; and that criminals and victims often live in physical proximity to one another is called the proximity hypothesis.<br /><br />Societal Influences<br />America's "law-and-order" movement has continued to overlap with the movement to enhance the legal standing and improve treatment of crime victims. Criminal justice reformers seeking greater accountability for offenders through tougher sentencing have found allies in outspoken violent crime victims and politicians who recognized the public's concern about crime and its impact. The combination has brought greater political support for crime victims' rights legislation and increased funding for crime victim services. Since about 1981 (the start of Victims Rights Week), there has been numerous legislation, conferences, and task forces. Some so-called victim's rights (such as denial of bail, anti-suppression of evidence, and victim-initiated appeals) clearly are anti-defendant and pro-prosecutor to the extent that they undermine cherished principles that an accused person is considered innocent until proven guilty, and that the burden of proof falls on the state.<br /><br />INTERNET RESOURCES:<br />Theoretical Perspectives of Victimology<br />PRINTED RESOURCES:<br />Hentig, von, Hans (1948) The Criminal and His Victim. New Haven: Yale U. Press.<br />Karmen, A. (1992) Crime Victims. Pacific Grove: Brooks/Cole.<br />Mendelsohn, B. (1963) "The Origin of the Doctrine of Victimology" Excerpta Criminologica 3:30<br />Newman, O. (1972) Defensible Space. NY: Macmillan.<br />Schwartz, M. & V. Pitts (1995) "Exploring a Feminist Routine Activities Approach to Explaining Sexual Assault" Justice Quarterly 12: 1.<br /><br />Last updated: 02/10/01<br />Lecture List for JUS 300<br />MegaLinks in Criminal Justice<br /><br />Lanjutan :<br />Dari definisi di atas dapat kita ketahui bahwa viktimologi mencakup hal-hal sebagai berikut :<br />1. Viktimisasi;<br />2. Hubungan antara korban dengan pelaku kejahatan;<br />3. Korban dan media;<br />4. Korban dan biaya yang dikeluarkan akibat suatu kejahatan;<br />5. Korban dan pergerakan sosial.<br /><br />Ahli viktimologi sering mengadakan survey terhadap beberapa orang mengenai kejahatan yang menimpa mereka karena data-data kepolisian tidak mencukupi. Data-data yang didapat dari survey tersebut, dikumpulkan oleh suatu badan yang disebut Biro Sensus yang berada di bawah Departemen Kehakiman. Setelah data-data dianalisa, maka ahli viktimologi menetapkan tingkatan viktimisasi dan resikonya dan melakukan hal-hal yang lain. <br />Metode viktimologi adalah :<br />1. Menentukan akar permasalahan ;<br />Yaitu dengan mencari ketidak normalan, menganalisa pertanggungan jawab dan mengkaji lebih lanjut jenis kejahatan yang dilakukan.<br />2. mengukur dimensi permasalahan<br />Yaitu dengan menganalisa data statistik, mencermati orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana itu, secara akurat menentukan tingkat kejahatan<br />3. Meneliti bagaimana sistem hukum pidana menyelesaikan suatu masalah.<br />Yaitu dengan melihat hal-hal yang tidak diatur dalam sistem hukum pidana, menanyakan hal-hal yang diinginkan oleh si korban, menganalisa akibat yang ditimbulkan, kronologi pergerakan jatuhnya korban.<br />4. Melihat reaksi masyarakat terhadap masalah yang timbul.<br />Yaitu dengan melihat hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak yang diatur dalam undang-undang, menganalisa rancangan perundang-undangan, menganalisa reaksi media, melihat apakah ada pihak yang diuntungkan dari timbulnya masalah tersebut.<br />SEJARAH VIKTIMOLOGI<br />Pada mulanya (melihat kembali pada asal mula ilmu kriminologi yang lahir pada tahun 1880-an) ilmu viktimologi hanya diartikan sebagai suatu ilmu pidana dari sudut pandang si korban. Dengan beberapa pengecualian yang dibuat oleh para ahli psikologi tak ada seorangpun dari ahli psikologi tersebut yang benar-benar setuju dengan pendapat tersebut. Studi ilmiah mengenai viktimologi dilakukan pada tahun 1940 dan 1950-an. Dua ahli kriminologi, yaitu Mendelshon dan Von Hentig mulai meneliti bidang-bidang yang dicakup oleh viktimologi, dengan menciptakan suatu ilmu yang disebut Tipologi. Tipologi dianggap sebagai asal muasal dari ilmu viktimologi.<br />Ahli Viktimologi ini mulai mempelajari tingkah laku dan kerapuhan korban kejahatan, misalnya daya tahan baik fisik dan mental yang dimiliki oleh korban perkosaan serta karakteristik orang menjadi korban kejahatan, khususnya korban pembunuhan. Mendelshon (1937) mewawancarai para korban untuk mendapatkan informasi untuk kemudian menyimpulkan bahwa pada umumnya mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah korban. Mendelshon menciptakan Tipologi yang terdiri dari enam jenis korban, yang pertama adalah tipe korban yang innocent, yang digambarkan sebagi orang yang berada pada waktu dan tempat yang salah., sedang kelima tipe yang lain menunjukkan peranan korban dalam terjadinya kejahatan yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.<br />Von Hentig pada tahun 1948 mempelajari korban pembunuhan dan menyimpulkan bahwa sebagian besar tipe korbannya adalah “tipe deperesif” yang dianggap oleh si pelaku sebagai sasaran empuk, ceroboh, dan tak waspada. Sedangkan “tipe serakah” dianggap sebagi tipe korban yang mudah diperdaya dan kurang waspada. “Tipe Immoral” biasanya mudah terkena stress yang terjadi pada suatu massa dalam siklus kehidupannya, misalnya korban yang usianya masih remaja. “Tipe penyiksa” adalah tipe orang yang menjadi korban akibat serangan dari orang yang disiksanya seperti wanita yang dianiaya dan diperkosa.<br /><br />Hasil penelitian Von Hentig, menjadi dasar dari analisa peranan korban dalam terjadinya kejahatan yang dipakai dalam buku-buku sekarang ini. Penelitian Wolfgang (1958) mengikuti pendapat Von hentig, dan kemudian menghasilkan teori yang menyatakan bahwa “sebenarnya korban tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan yang menimpa dirinya”. Teori yang dikemukakan oleh Schafer menjelaskan bagaimana ilmu viktimologi sebagian besar membahas tentang bagaimana peranan korban baik secara sadar maupun tidak sadar terhadap terjadinya suatu kejahatan pada kasus tertentu yang menimpa dirinya. Pada dasarnya jika memakai pendekatan di atas, buku Shafer yang berjudul “The Victim and His Criminal merupakan suatu koreksi terhadap buku karangan Von Hentig yang berjudul “The Criminal and His Victim”. <br /><br />TEORI VIKTIMOLOGI<br />Selama beberapa tahun, pendapat mengenai peranan korban dalam suatu kejahatan dipandang sebagai hal yang negatif, karena cenderung menyalahkan korban. Penelitian-penelitian mengenai peranan korban dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat diterima dan bersifat merusak oleh korban dan pengacaranya. Namun demikian, beberapa model dan teori-teori seperti itu tetap ada. Contohnya adalah sebagai berikut:<br />1. Teori yang dikemukakan oleh Luckenbill (1977) yaitu Model “Transaksi Situasi”. Ini adalah teori yang banyak dijumpai dalam buku-buku mengenai sosiologi deviasi. Teori ini menyatakan bahwa pada tingkat “kepribadian”, kejahatan dan viktimisasi merupakan sebuah persaingan karakter manusia. Tahapan-tahapannya adalah: (1) Saling menghina (2) Meminta penjelasan (3) Balik menuduh (4) Melawan (5) Mengeluarkan senjata, atau mencari senjata, atau saling memukul (6) Pihak yang menyaksikan kejadian, yang ikut meredakan amukan pihak yang saling baku hantam.<br />2. Teori yang dikemukakan oleh Benjamin & Master yaitu Model “Tiga Kali Lipat”. Ini adalah teori yang banyak dijumpai dalam bidang Kriminologi, dari skala kecil seperti keributan dalam LP sampai teori-teori tentang kejahatan. Teori ini menyatakan bahwa kondisi yang memungkinkan terjadinya kejahatan dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu: (1) Faktor dari pihak korban, seperti waktu, tempat/ruang, maupun keadaan dimana sesorang berada pada waktu dan tempat yang salah; (2) Faktor pemicu, seperti pilihan-pilihan hidup dan gaya hidup seseorang (ekspresi “Gaya Hidup” menurut istilah Sosiologi berarti aktivitas-aktivitas sehari-hari maupun peristiwa-peristiwa khusus yang dialami seseorang yang telah diprediksi sebelumnya); (3) Faktor Predisposi, yaitu faktor sosial demografis si korban seperti misalnya, jenis kelamin laki-laki, muda, miskin, termasuk golongan minoritas, hidup dalam kemiskinan dan kekumuhan, belum berkeluarga, atau pengangguran.<br />3. Teori yang dikemukakan oleh Cohen & Felson (1979) Teori “Aktivitas Sehari-hari”. Teori ini sangat dikenal oleh para ahli Viktimologi sekarang yang sangat ingin menguji kebenaran teori tersebut. Secara singkat, teori ini berpendapat bahwa suatu kejahatan dapat terjadi bila ketiga kondisi berikut ini terjadi, yaitu: (1) Target yang cocok- Selama kita miskin, maka kita akan selalu menjadi target yang cocok; (2) Pelaku kejahatan yang termotivasi (terdorong oleh suatu sebab). Kita akan selalu menemukan apa yang disebut sebagai pelaku kejahatan yang termotivasi karena Viktimologi sendiri, tidak seperti Kriminologi, menganggap bahwa tiap manusia akan selalu berusaha untuk melarikan diri dari tanggung jawab bila mereka memang bisa; (3) Tidak adanya pelindung. Permasalahan ini timbul karena sedikitnya ruang publik yang mampu memberikan rasa aman. Oleh karena itu, pemerintah tidak akan mampu memberikan perlindungan jika tidak ada bantuan dari sistem pengamanan pribadi / swasta.<br />Kenyataan bahwa pelaku kejahatan dan korbannya ternyata memiliki karakteristik sosial demografi yang sama (misalnya, umurnya sama) dikenal dengan istilah Hipotesa “Kemiripan yang Terdekat” dan kenyataan bahwa pelaku kejahatan dan korbannya ternyaka memiliki kesamaan fisik dikenal dengan istilah Hipotesa “Kesamaan”<br /><br /><br />Criminologie, vol. 33, n° 1 (2000)<br />Victimology: Past,<br />Present and Future<br />Ezzat A. Fat tah<br />Professor Emeritus<br />School of Criminology<br />Simon Fraser University • Canada<br />fattah@sfu.ca<br /><br />ABSTRACT • As popular as victimology has become, it is surprising that no comprehensive history of the discipline has ever been written and there are no systematic assessments of its present state or of likely future developments. The present paper is an attempt to remedy this situation. Victimology is a young, promising discipline and a fascinating subject. And although victimization is as old as humanity itself, it was not until after the Second World War that the scientific study of crime victims emerged as an essential complement to criminology’s well-established research on offenders. Because it emerged to fill a serious theoretical void, it did not take long for victimology to become an integral part of criminology. And although victimology has by now<br />affirmed itself as a major research area within criminology, its nature, importance and standing continue to generate a great deal of comments and controversy. Be this as it may, the study of crime victims and of criminal victimization has the potential of reshaping the entire discipline of criminology and may very well be the long awaited paradigm shift that criminology desperately needs. Like criminology, victimology has<br />not followed the same path in every part of the globe. And as with any other discipline, it is more advanced and more developed in certain countries than it is in others. And while there are certain similarities and commonalities in the way victimology developed here and there, there are also significant qualitative and even quantitative differences.<br />Despite this, recent developments in victimology have been both emphatic and dramatic, and the discipline has undergone a radical transformation. The theoretical approaches that characterized early victimology were eclipsed by major achievecriminoments _Victimology: Past, Present And Future 19 in the applied field. This remarkable phase in the evolution of victimology was one of consolidation, data gathering, theory formulation, and above all new victim legislation and sustained efforts to improve the victim’s lot and alleviate their plight. In the theoretical field various models were developed in an attempt to explain the enormous variations in victimization risks, the clustering of victimization in certain areas and certain groups, and to unravel the intriguing phenomenon of repeat victimization. On the legislative front there was a flurry of victim bills in a large number of countries.<br />Following the adoption of the UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power by the General Assembly of the United Nations, Victims Bills of Rights were passed by the legislative bodies in several countries. The developments in the applied field were even more spectacular. Among those developments was the creation of state compensation to victims of violent crime, the re-emergence of restitution by offender, and the establishment and proliferation of victim-offender mediation programs. One sector that saw great expansion was that of victim services. Victim therapy became a popular and acceptable way of dealing with the traumatic effects of victimization. Based on this dynamic history and on past and present trends, the paper makes an attempt to identify some likely future developments in victimology. It suggests that a transition from utopian idealism to hard realism will occur, accompanied by growing emphasis on scientific research, particularly qualitative research. It foresees that the need for advocacy and partisanship will decline, and predicts the demise of victim therapy. Future developments in victimology are seen as intimately linked to the acceptance and implementation of the restorative justice paradigm. The conclusion is that victimology will likely develop into a truly scientific discipline and a truly humanistic practice.<br /><br />Introduction<br />It is certainly a happy coincidence that the Xth International Symposium on Victimology is being held in the first year of a new millennium. What more appropriate moment to make a critical assessment of this fascinating discipline and see where it stands today and where it is going? There could be no better time to analyze its evolution, take stock of past achievements, and prepare for the problems, the hurdles, and the chalcriminolenges _<br />Victimology: Past, Present And Future 21 that lie ahead. Surprisingly enough, no comprehensive history of the discipline has ever been written, and there are no systematic assessments of its present state or its likely future developments. The reasons for this are not quite clear. It could well be that the strong applied orientation that has dominated victimology in the last two decades has obscured the need for such important historical and theoretical analyses. The present paper is a modest attempt to fill the gap by tracing victimology’s history, reviewing its present state, and making some plausible forecasts about its future. While it would be too difficult to accomplish<br />such an ambitious task in a single article if the subject were an old discipline such as medicine, chemistry or biology, the task is not impossible in the case of victimology, a young, developing discipline which emerged in the second half of the XXth century. Being one of victimology’s early pioneers, having closely followed its growth and progress, having actively participated in its development, and having regularly contributed to its advancement, I find myself in the position of being able to present a global, yet concise, overview of the discipline, to offer the insights of a keen observer, and the perceptions of a concerned insider. I consider it a privilege that I have never been on the sidelines of the major debates in victimology. And yet, even for someone like myself, who has such a long association with this fascinating discipline, among its living pioneers, the task is a daunting one.<br />What prompted me to tackle this formidable challenge is that I have recently completed an identical overview of victimology’s mother discipline: criminology,1 and the result, I believe, was well worth the effort. Like criminology, victimology has not followed the same path in every part of the world. And as with any other discipline, it is more advanced in some countries than in others. While there are some similarities in the way victimology took off and moved ahead, there are also significant qualitative, and even quantitative differences. Although victim legislation is quite developed in some countries, it is non-existent in most. Victim assistance programs have flourished in some societies, but are still unheard of in many parts of the world. Victimization surveys have been conducted on a regular basis in some places and are conspicuous absent in others. Victimological therapy is being encouraged and practiced in some cultures but is frowned upon in others. Courses and seminars in victimology have been in existence for several decades in some universities but have been totally lacking in others.<br />1. Fattah, Ezzat A. 1997a. Criminology: Past, Present and Future, London: Macmillan, N.Y:<br />St. Martin’s Press.<br />22 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br /><br />Such huge differences, however, should not make it impossible to provide a more or less unified picture of the discipline’s evolution or an insightful analysis of its current state and its future developments. However as with all<br />global and concise overviews, generalizations are inescapable and oversimplifications unavoidable.<br />Victimology’s Past<br />A Brief History of Victimology<br />Early victimological notions were not developed by criminologists or sociologists, but rather by poets, writers, and novelists. Thomas de Quincey, Khalil Gibran, Aldous Huxley, the Marquis de Sade, Franz Werfel, are only a few of those writers who can be described as literary victimologists. The first systematic treatment of victims of crime<br />appeared in 1948 in Hans Von Hentig’s book The Criminal and His Victim. In the fourth part of the book, under the provocative title The Victim’s Contribution to the Genesis of the Crime, Von Hentig criticized the static unidimensional study of the offender that had dominated criminology until then. In its place he suggested a new dynamic and dyadic approach that pays equal attention to the criminal and the victim. Von Hentig had treated the topic earlier in a paper published in the Journal of Criminal Law and Criminology in 1940/41. In it, he noted that:<br />It is true, there are many criminal deeds with little or no contribution on the part of the injured individual... On the other hand we can frequently observe a real mutuality in the connection of perpetrator and victim, killer and killed, duper and dupe. Although this reciprocal operation is one of the most curious phenomena of criminal life it has escaped the attention of socio-pathology.<br />In his book Von Hentig points out that:<br />The law considers certain results and the final moves which lead to them. Here it makes a clear-cut distinction between the one who does and the one who suffers. Looking into the genesis of the situation, in a considerable number of cases, we meet a victim who consents tacitly, co-operates, conspires or provokes. The victim is one of the causative elements. (p. 436)<br />Von Hentig insisted that many crime victims contribute to their own victimization, either by inciting or provoking the criminal or by creating or fostering a situation likely to lead to the commission of the crime.<br />Victimology: Past, Present And Future 23<br />Other pioneers in victimology, who firmly believed that victims may consciously or unconsciously play a causal role, outlined many of the forms this contributions can take: negligence, carelessness, recklessness, imprudence, and so forth. They pointed out that the victim’s role could be a motivational one (attracting, arousing, inducing, inciting, enticing) or a functional one (provoking, precipitating, triggering, facilitating, participating) (Fattah, 1991). Von Hentig’s book was followed by a number of theoretical studies that dealt with victim types, victim-offender relationships, and the role victims play in certain kinds of crime. The book also provided an impetus for several empirical studies that paid special attention to the victims of specific offences such as criminal homicide, (Wolfgang, 1958; Fattah 1971), rape (Amir, 1971), robbery (Normandeau, 1968), aggravated assault (Pittman and Handy, 1964; Curtis, 1974), fraud (Padowetz, 1954), blackmail (Hepworth, 1975), among others.<br />The term victimology was coined in 1949 by an American psychiatrist, Frederick Wertham, who used it for the first time in his book The Show of Violence, in which he stressed the need for a science of VICTIMOLOGY.<br />During the early years of victimology, literature on crime victims remained relatively small when compared to that on criminology. During the 1980s, however, a great wave of important books and articles marked the coming of age of victimology (Rock, 1994). At present, it is fair to say that the study of crime victims has become an integral<br />part of criminology. Today, the need for criminology to thoroughly study the victims of crime may appear obvious and axiomatic. It may seem surprising, therefore, that such an obvious need has escaped the attention of criminologists for over a century. But it is not rare for social scientists to miss the obvious. This point is well made by Rock (1994: XI) who points out:<br />Even criminology and the sociology of deviance – disciplines concentrated most squarely on the analysis of crime, criminals and criminal justice – tended somehow to obliterate the victim for a very long while, failing to see what, in retrospect, should probably have been evident all along. Such omissions occur continually. They are an ineluctable part of any discipline, a consequence of the truth marked by Burke when he said that “a way of seeing is always a way of not seeing.”<br />The price of organising, specialising and accumulating knowledge about any area is a systematic neglect of the other matters thrown out of focus and beyond the margins.<br />24 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br /><br />Precisely because criminology is an empirically-driven discipline, it has tended to ignore those things that do not bear the name of crime, criminals and criminal justice. Although victimology has by now firmly established itself as a major research area within criminology, its nature, importance and standing continue to generate a great deal of comment and controversy. Rock (1994: XI) describes victimology as a “relatively amorphous discipline”. And at the Fifth International Symposium on Victimology (Zagreb, August 1985), Cressey openly declared that victimology is neither a scientific discipline nor an academic field. He called it instead “a non-academic program under which a hodgepodge of ideas, interests, ideologies and research methods have been rather arbitrarily grouped”. Be that as it may, the study of victims and victimization has the potential of reshaping the entire discipline of criminology. It might very well be the long awaited paradigm shift that criminology desperately needs given the dismal failure of its traditional paradigms: search for causes of crime, deterrence, rehabilitation, treatment, just deserts, etc.<br />Recent Developments in Victimology<br />From Micro Victimology to Macro Victimology <br />In the 1970s, individual studies of the victims of specific crimes,<br />popular in the early stages of victimology, were overshadowed by large scale victimization surveys which transformed the micro approach into a macro approach. The primary purpose of these surveys was to determine the volume of victimization, to identify the victim population, and to establish the socio-demographic characteristics of crime victims. While this macro approach proved to be quite useful to the study of trends and patterns in victimization, and to the analysis of the social and spatial distribution of some types of crime, it revealed very little about the social and personal settings in which these crimes took place. It was of limited value in understanding the psycho and sociodynamics of criminal behaviour, the process of victim selection, victim-offender interactions, the victim’s dynamic role in various crimes, and so forth.<br />From Theoretical Victimology to Applied Victimology<br />In the last twenty-five years, victimology has undergone a major transformation. Early victimology was mainly theoretical, concerned almost exclusively with causal explanations of crime and the victim’s role in those explanations. It focused mainly on characteristics of victims, their relationships and interactions with their victimizers, and the analysis of victim behaviour as a situational variable, as a triggering, actualizing or precipitating factor. Victimology: Past, Present And Future 25<br />This theoretical framework, proposed by Von Hentig, guided the pioneering research carried out by Ellenberger,<br />Wolfgang, Amir, Normandeau, Curtis, Silverman, and Fattah among others (see above). Concern for the plight of crime victims could be found primarily in the modest state compensation programs to victims of crime that were set up in some countries such as New Zealand, England, Canada and the U.S. The rediscovery of crime victims, spearheaded by the feminist movement, a movement that championed the cause of victims of rape, sexual assault and domestic violence, generated a great deal of empathy and sympathy for a largely disenfranchised group (Fattah, 1978, 1994a). Theoretical victimology became the object of unwarranted attacks and unfounded ideological criticism. It was portrayed by some (Clark and Lewis, 1977) as the “art of blaming the victim”. A new focus for victimology was taking shape: helping and assisting crime victims, alleviating their plight and affirming their rights. A political movement was born and victimology became increasingly defined and recognized through its applied component. Victimology meetings mirrored the transformation of victimology from an academic discipline into a humanistic movement, the shift from scholarly research to political activism. These meetings were often turned into platforms for advocacy on behalf of victims. This transformation of victimology had serious implications. One of the consequences was to refocus the notion of criminality on conventional crimes that had a direct, immediate, tangible victim. White-collar crime, corporate action causing grievous social harm, whether legally defined as crimes or not, were once again relegated to the background. The metamorphosis also had a negative impact on criminal policy. It helped reinforce primitive vengeful reactions to crime and provided much needed ammunition to conservative politicians, thus enabling them to implement their punitive agenda.<br />Victimology Today<br />Victimology today is very different from victimology in the 1950s or the 1960s. Scientific disciplines undergo constant evolution, though thepace of change may vary from one discipline to another. Victimology 26 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000) has undergone not only a rapid but also a rather fundamental evolution<br />in the last two decades. The decades of the 1980s and 1990s could easily be described as a period of consolidation, data gathering and theorization, with new legislation, victim compensation, redress and mediation, help, assistance and support to enable victims to recover from the negative effects of victimization.<br />Consolidation<br />In the last few years, the discipline of victimology has firmly become established on the academic scene. There has been a substantial increase in the number of universities and colleges offering courses in victimology and related subjects. Numerous books and articles have been published in different languages, and, in addition to several periodicals published in local languages, an International Review of Victimology, in English, was put out by AB Academic Publishers in Britain. A number of national and regional societies of victimology have been established. Japan has been a leader in this respect, thanks to the tireless efforts of the world-renowned victimologist, Professor Koichi Miyazawa, and a dynamic group of his students and followers. The World Society of Victimology continues to hold its international symposia once every three years. The last one, the ninth in the series, was held in Amsterdam in August 1997 and drew a record number of participants. All in all, victimology is no longer a subject of bewilderment or idle curiosity, but is slowly becoming a household word. This is being facilitated by the extensive coverage crime news and victim issues are receiving in the mass media, by the wide publicity victims’ programs are getting and by the proliferation of victim services and victim assistance programs in many countries.<br />The last twenty years have seen the creation and extremely rapid expansion of victim services. Victim assistance programs, totally nonexistent a couple of decades ago, have mushroomed all over the globe from Australia to Europe, from South America to Asia, and from the large Islands of Japan to the relatively small Canary Islands. One of the most important developments in the field of victimology in the last twenty years has been the formal approval by the General Assembly of the United Nations on November 11, 1985 of the “UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power”. In adopting it, the General Assembly stated that it was “Cognisant that millions of people throughout the world suffer harm as a result of crime and abuse of power and that the rights of these victims have not been adequately recognised”.Victimology: Past, Present And Future 27<br /><br />Data Gathering and Theory Formulation<br />One of the primary tasks of theoretical victimology is to collect empirical data on crime victims. The main instrument used at present to collect this information is victimization surveys, conducted at a local, regional, national and international level. Worthy of notice among these surveys are the ones carried out on a regular basis, at regular intervals, in England and the U.S.: the British Crime Survey, and the National Crime Survey (United States). Each of these surveys yields a wealth of information on crime victims. Both of them allow for a thorough analysis of the temporal and spatial patterns and trends in various types of victimization. The original goal of these surveys, namely counting victimization, has been largely expanded. Several new questions have been added to the instrument in recent years, in order to explore previously uncovered areas such as the levels of fear of crime, the levels of satisfaction with police action, the reasons for not reporting the incident to the police, the consequences of victimization, etc. The surveys further examine the measures taken by the respondents to prevent certain types of offences, or to minimize the chances of future victimization. Some surveys have tried to establish whatever link may exist between offending and victimization by including questions requesting respondents to self-report acts of delinquency they might have committed. These latter questions have revealed a strong interrelationship between offending and victimization. In their London, England, survey, Sparks, Genn, and Dodd (1977) found victims of violent crime to be significantly more likely than non-victims to self-report the commission of violent crimes. Gottfredson (1984) analyzed the 1982 British Crime Survey data and was struck by the relatively strong interrelationship between offending and victimization. For persons with at least one selfreported violent offence, the likelihood of personal victimization was 42 per cent, or seven times that of persons reporting no self-reported violent offences. The British Crime Survey Scotland (Chambers and Tombs, 1984) revealed that 40 percent of respondents admitting an act of assault were themselves assault victims during the same period.<br />Despite the methodological and practical problems of victimization surveys, and despite their limitations, they have allowed researchers to collect a huge amount of data on victims of crime that is extremely rich in variety and detail.<br />28 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000) Thanks to victimization surveys, we now know that criminality and victimization are clustered within certain groups and certain areas, and that there is much greater affinity between offenders and victims than has been commonly believed. This is not to say that all victims of crime share the attributes of their victimizers. It is only to stress that the two populations have several common characteristics. Whether in Europe, the U.S., Canada or Australia, research has shown that offenders involved in the types of crimes covered by victimization surveys are disproportionately male, young, urban residents, of lower socio-economic status, unemployed (and not in school), unmarried, and in the U.S., black. Victimization surveys have revealed that victims disproportionately share these characteristics and that the demographic profiles of crime victims and of convicted criminals are strikingly similar (Gottfredson, 1984).<br />Several researchers (Hindelang et al., 1978; Singer, 1981) discovered that, particularly in crimes of assault, victims and offenders were related in their demographic characteristics and in terms of certain shared responses to perceived situations of physical or psychological threat. It is understandable that the frequency with which some individuals become involved in violence-prone situations will affect both their chances of using violence and of being recipients of violence, of attacking and being attacked, of injuring and being injured, of killing and being killed. Who will end up being the victim and who will be legally considered the offender depends, quite often, on chance factors rather than deliberate action, planning, or intent. Thus, victim/offender roles are not necessarily antagonistic but are frequently complementary and interchangeable (Fattah, 1994b). An important step on the road to comparative victimology was reached with the International Crime Victim Surveys. The surveys were a useful attempt to collect standardized victimization data from a number of countries using the same questionnaire in each country. Their main purpose was to avoid the problems of comparing data collected by means of different instruments using different methodologies. Field data for the first international crime survey were gathered in January 1989 using the computer-assisted telephone interviewing method (CATI) and the results were published in 1990 (Van Dijk et al.). A second round of the International Crime Survey was carried out in 1992. Some of the countries that participated in the first survey, such as Switzerland, Norway and Northern Ireland, did not take part in the second. Victimology: Past, Present And Future 29 But the second survey included some countries from Eastern Europe that did not participate in the first one, such as Poland and the former Czechoslovakia (see Del Frate et al., 1993). The third sweep of the International Crime Victim Survey was carried out in 1996-97 in twenty countries in transition. These were the former socialist countries of Eastern Europe, from Poland to Mongolia in the<br />East, and from Albania, Bulgaria and Macedonia in the South to the Baltic countries, Estonia, Latvia, and Lithuania in the North. The national reports from this survey were published in 1998 by the United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute (UNICRI) (Hatalak et al.). Despite the proliferation of victimization surveys and their unquestionable utility, it is not yet clear what they do measure exactly and what their long-term objectives are. Victimization is an individual, subjective and culturally relative experience (Fattah, 1993b). The feeling of being victimized does not always coincide with the legal definition of victimization.<br />So what exactly are victimization surveys trying to measure? Is their objective to count those criminal victimizations that meet the criteria set by the criminal code, or is it to measure the subjective victimization experiences of the respondents? These, needless to say, are two different realities. Are the surveys designed to measure crime or victimization? The titles ‘crime survey’ and ‘victimization survey’ continue to be used interchangeably (Fattah, 1997a) and the last international survey was called The International Crime Victim survey.<br />Theoretical Models<br />The wealth of data collected mainly through victimization surveys has led to various theoretical formulations. Models have been developed to offer plausible explanations for the variations in victimization risks, and for the clustering of victimization in certain areas and certain groups. They have also helped to unravel the intriguing phenomenon of repeat victimization. The different models are presented and summarized in my book, Understanding Criminal Victimization (Fattah, 1991). One of the first and most important models explaining the differential risks of victimization is the lifestyle model developed by Hindelang, Gottfredson, and Garofalo (1978). This model posits that the likelihood an individual will suffer a personal victimization depends heavily on lifestyle. Using lifestyle to explain variations in risk is neither a novel nor a unique approach. It has been known for a long time that the probacriminobility of accidental death or injury is in many respects related to people’s lifestyle and the kind of activities in which they are involved. 30 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br />Physicians have repeatedly stressed the close link between lifestyle and routine activities and the risk of suffering certain diseases such as lung and skin cancer, high blood pressure and cardiovascular ailments, liver cirrhosis, AIDS, etc. As a matter of fact, the lifestyle concept permeates the explanations given for higher or lower susceptibility to a wide variety of diseases. The belief that lifestyle can influence the probability of victimization by increasing or decreasing people’s chances of becoming victims of certain crimes may be seen as a logical extension of this concept to the social sphere. Another explanatory model is the Routine Activity Approach developed by Cohen and Felson (1979). The focus in Cohen and Felson’s approach is on “direct-contact predatory violations”, which are those “involving direct physical contact between at least one offender and at least one person or object which that offender attempts to take or damage”. (Cohen and Felson, 1979: 589). They argue that the occurrence of this type of victimization is the outcome of the convergence in space and time of three minimal elements: motivated offenders, suitable targets, and absence of capable guardians. The central factors underlying the routine activity approach are opportunity, proximity/exposure, and facilitating factors.<br />The lifestyle and routine activities models are by no means the only ones. There is also the opportunity model (Cohen et al., 1981) and the Dutch model (Van Dijk and Steinmetz, undated).The opportunity model incorporates elements from the previous two and posits that the risk of criminal victimization depends largely on people’s lifestyle and routine activities that bring them and/or their property into direct contact with potential offenders in the absence of capable guardians. The Dutch model was developed by Van Dijk and Steinmetz and suggests three main factors: proximity, attractiveness, and exposure as the most important determinants of differential victimization risks. In an attempt to integrate the various models into a comprehensive system I grouped all the seemingly relevant factors into ten different categories (Fattah, 1991). These are:<br />1) Opportunities, which are closely linked to the characteristics of potential targets (persons, households, businesses) and to the activities and behaviour of these targets. Victimology: Past, Present And Future 31<br />2) Risk factors, particularly those related to sociodemographic characteristics such as age and gender, area of residence, absence of guardianship, presence of alcohol and so forth.<br />3) Motivated offenders. Offenders, even non-professional ones, do not choose their victim/targets at random but select their victims/targets according to specific criteria.<br />4) Exposure. Exposure to potential offenders and to high-risk situations and environments enhances the risk of criminal victimization.<br />5) Associations. The homogeneity of the victim and offender populations suggests that differential association is as important to criminal victimization as it is to crime and delinquency. Thus individuals who are in close personal, social, or professional contact with potential delinquents and criminals run a greater risk of being victimized than those who are not.<br />6) Dangerous times and dangerous places. The risks of criminal victimization are not evenly distributed in time or space – there are dangerous times such as evening, late night hours and weekends. There are also dangerous places such as places of public entertainment where the risks of becoming a victim are higher than at work or at home.<br />7) Dangerous behaviours. Certain behaviours such as provocation increase the risk of violent victimization while other behaviors such as negligence and carelessness enhance the chances of property victimization. There are other dangerous behaviours that place those engaging in them in dangerous situations where their ability to defend and protect themselves against attacks is greatly reduced. A good example of this is hitchhiking.<br />8) High-risk activities also increase the potential for victimization. Among such activities is the pursuit of fun, which may include deviant and illegal activities. It is also well known that certain occupations such as prostitution carry with them a higher than average potential for criminal victimization.<br />9) Defensive/avoidance behaviors. Since many risks of criminal victimization could be easily avoided, people’s attitudes to these risks may influence their chances of being victimized. It goes without saying that risk-takers are bound to be victimized more often than risk-avoiders. This also means that fear of crime is an important factor in reducing victimization since those who are fearful, for example the elderly, take more precautions against crime, even curtailing their day and night time activities thus reducing their exposure and vulnerability to victimization.32 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br />10) Structural/cultural proneness. There is a positive correlation between powerlessness, deprivation and the frequency of criminal victimization. Cultural stigmatization and marginalization also enhance the risks of criminal victimization by designating certain groups as ‘fair game’ or as culturally legitimate victims.<br />New Legislation<br />There has been a flurry of victim legislation in recent years in a large number of countries. Following the adoption of the UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims, so-called victims’ Charter of Rights or victims’ Bills of Rights were passed by legislative bodies in various societies.<br />In the United States, there was an unsuccessful attempt by the victim lobby to bring about a change to the Sixth Amendment of the U.S. Constitution which would have provided a legal basis for protecting the rights of crime victims (Dolliver, 1987). However, as Karmen (1990: 339) reports, since 1980 in almost every American state, legislatures passed various statutes acknowledging basic rights for victims. Among those are the right to be notified about and to participate in judicial proceedings, to promptly get back stolen property that was recovered, to be protected from intimidation and harassment, and to receive restitution or compensation. Similar legislation was passed in Canada, Australia, Britain and other European countries. In Europe, “victims received a considerable boost from a number of important initiatives in the mid-1980s, including a Convention and two important Recommendations by the Council of Europe in 1983, 1985, and 1987 on, respectively, state compensation, the position of the victim in the criminal justice system, and assistance to victims” (Maguire and Shapland, 1997: 212).<br />While legislative initiatives and/or changes acknowledging victims’ rights were generally well received and encountered little or no opposition in Parliaments and legislative assemblies, they are not without critics.<br />In a seminal article entitled The Wrongs of Victim’s Rights Lynn Henderson<br />(1985, 1992) outlined many of the weaknesses inherent in the notion of victim’s rights and many of the dangers of victim’s rights legislation. Victimology: Past, Present And Future 33<br />One particular initiative that received a great deal of criticism is the victim impact statement. VIS, designed to allow victims some input in the court’s decision in their case by providing a statement of the impact the victimization has had on their lives and their families, was singled out for particular criticism, and encountered a lot of resistance particularly from those anxious to preserve the objectivity of the judicial process. In Australia, for example, after reviewing the arguments for and against VIS, and after noting that many victims do not wish to be involved by giving evidence on the impact of offences on their lives, the Victoria Sentencing Committee concluded that the case against the introduction of VIS is more compelling than the case for it. Consequently, the Committee (1988) recommended that VIS not be adopted in Victoria (p.545) (Fattah, 1992a: 416; see also Kelly and Erez, 1997: 236-237). In the U.S., the Supreme Court barred victim impact testimony in capital cases as violating the Eighth Amendment of the American Constitution (Booth v. Maryland, 1987, and South Carolina v. Gathers, 1989). But a couple of years later, in Payne v. Tennessee (1991), the court upheld the use of victim impact testimony at the sentencing stage of a capital case (Kelly and Erez, 1997: 235-236).<br />Victim Compensation<br />Redress to crime victims in the form of monetary compensation by the State was the first attempt in recent history to alleviate the plight of victims and to improve their lot. In the 1960s, a British magistrate, Margery Fry, and others called for State compensation to crime victims. Their pleas led to the creation of government indemnification programs in New Zealand, the United Kingdom, North America, Europe and elsewhere. These programs have been operating for more than a quarter of a century and many have been subjected to varying kinds of assessments and evaluation (Doerner, 1978; Miers, 1978; Burns, 1980; Elias, 1983b). This is without doubt an area where action has not matched political rhetoric. Economic hardships and budgetary restraints have greatly limited the scope of compensation as well as the number of victims who receive help. The evaluations suggest that the sums victims get from the schemes are, for the most part, token amounts, and that the programs in reality fulfil no more than a symbolic function. Only a very tiny proportion of victims end up receiving any compensation, and for those who do, it is more often than not too little and too late. Ironically, researchers (Elias, 1983a, 1983b) have found that among victims who apply for, 34 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000) and go through the process of compensation, even those who end up receiving some funds are less satisfied than those who do not apply. In England, David Miers (1983, 1990), quoted by Maguire and Shapland (1997: 218), argued that state compensation is essentially a symbolic act by governments to show their concern for victims, but has little real intent of translating into hard cash. Most victims of property crime who are excluded from state compensation schemes do not have and cannot afford private insurance. In four out of five cases of property crimes, the culprit is neither identified nor caught. And the few who are arrested, charged and convicted are, more often than not, so poor or insolvent that nothing can be obtained from them through a civil judgement. To make matters worse, in most countries the collection of criminal fines continues to have priority over the payment of civil damages or of restitution/compensation orders. (Fattah, 1999).<br />Victims of violence for whom the schemes are designed do not fare much better. The conditions of eligibility for state compensation are such that only a small fraction qualify. In almost all systems, eligibility is contingent<br />upon reporting the offence to the police and the victim’s willingness to cooperate with the criminal justice system. Many have a means test ensuring that compensation is given only to the poorest of the poor. Most exclude violence among family members, even though a good part of all violence occurs in domestic settings. Most also exclude (or drastically reduce the awards to) victims who provoked or otherwise contributed to their own victimization. One rule that renders the majority of victims of violence ineligible for state compensation is the high minimum limit that<br />is usually set for compensation and below which victims do not qualify. In the UK, for example, the lower limit was initially set at £1,000 despite the recommendations made by victims groups to remove it. The burden of proof is upon the victim and very often it is difficult to prove that the injury resulted from a criminal attack when the attacker has run away and there were no witnesses. With the exception of sexual victimization, most schemes do not provide funds to compensate the victim’s emotional pain and suffering. As a result of all these restrictions a large number of victims do not qualify. Furthermore, many are deterred from applying by the lengthy bureaucratic procedures and the investigative process. More distressing still is the fact that many victims are simply unaware of the existence of the programs. And since in many jurisdictions the budget is determined in advance and cannot be exceeded, the more applications the program receives, the lower the awards.Victimology: Past, Present And Future 35 As the schemes are poorly funded in the first place, successful applicants usually end up receiving ridiculously<br />low amounts as compensation for their victimization. It is easy to understand, therefore, why it is that in some countries there is a deliberate attempt not to publicize these state compensation schemes (Fattah, 1999). In spite of the lip service that politicians pay to crime victims, several governments have decided in recent years to transfer the financial burden of victim compensation to offenders through a levy called a victim fine surcharge. This surcharge is imposed on those who are sentenced to a fine, even when the sentence is for so-called victimless crimes (Fattah, 1999).<br />Offender Restitution<br />Restitution by the offender to the victim was one of the earliest forms of redress given to those who suffered injury or harm through the actions or negligence of others. This was the composition or wergeld paid to the victim or the victim’s kin. Since State compensation programs are often strictly limited to victims of violence, restitution by the offender has re-emerged as a means of redress in property offences as well as in violent crimes. The problem is that the vast majority of offenders are either unemployed or do not have the financial means that would make it possible for victims to collect restitution. Added to this problem is the above-mentioned fact that in many countries the collection of the penal fine takes priority over restitution orders. Although there are different models of offender restitution it is doubtful that it will become, at least in the near future, a viable alternative to state compensation as a means of redress to the victim. After reviewing the results of the evaluation of a number of local schemes conducted in different countries, Maguire and Shapland (1997: 221) wrote: The conclusions seem universal. Financial restitution figures in only a small proportion of the cases sent for mediation (the majority ending with an apology or in some contract concerning the offender’s behaviour). Mediation cases themselves remain very much a minority disposal in terms of the flow of criminal justice cases overall. The dominant model is still prosecution, or some form of discontinuance (such as a formal caution in England and Wales), sometimes accompanied by work with the offender – but rarely involving the victim. 36 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br />Victim-Offender Mediation<br />Another important development in recent years has been the rediscovery of restorative justice. Restorative justice, widely practiced in small, agrarian, rural societies, has a long and rich history in the aboriginal communities in Australia, Canada’s First Nations and the Inuit communities of the Canadian North. The quasi-universal disenchantment with the punitive/retributive justice system was bound to force those calling for justice reform to seek alternatives to the current system of punishment. A turning point was the publication of a seminal article by Nils Christie in 1977 entitled Conflicts as Property. In it, Christie explained that the root problem of the system is that conflicts were stolen from their legitimate owners, the victims, and became the property of professionals rather than people. Christie’s ideas provided a strong impetus to those who were calling for the replacement of the destructive, unproductive and ineffective system of punishment with the constructive practices of dispute settlement, conflict resolution, mediation, reconciliation and reparation. Advocates of restorative justice pointed out that in addition to its devastating effects on offenders, their families and the larger society, the system of punishment acts to intensify the conflict rather than solve it. And instead of bringing the feuding parties closer to one another, it widens the gap that separates them (Fattah, 1997b: 259). Spearheaded by the Mennonite Church, victim-offender reconciliation programs were set up in Canada and the United States in the mid 1970s, and then spread to many other countries. Writing in 1983, Dittenhoffer and Ericson (1983, 1992) noted that the notion of VORP rapidly grew in popularity. They pointed out that at the time, in Ontario alone, there were 24 VORP centres operating, with similar programs in others across Canada. The early programs have now been in existence for over twenty years and the restorative justice movement is expanding at a fast pace. Aside from North Three years ago, the Council of Europe in Strasbourg set up an Expert<br />America, it has established strongholds in Germany, the United Kingdom, Belgium, France, among others. Committee on Mediation in Penal Matters. The Committee’s report and its recommendations were released in 1999. Despite the appeal and popularity of the notion of victim-offender reconciliation, the goal of “reconciliation” proved to be difficult to achieve in practice. In most programs the primary objective was to ensure restitution by the offender to the victim and to see to it that the offender fulfil the obligations agreed upon in the mediation agreement. Victimology: Past, Present And Future 37 The programs then changed their names from victim-offender reconciliation to victim-offender mediation.<br />Victim Services<br />The last twenty years have witnessed an unprecedented development in the field of victim services. Victim services have been called the growth industry of the decade. The expansion of service programs for victims of crime in the United States, Canada, the United Kingdom and many other countries has been nothing short of phenomenal (Fattah, 1992b: 260). In 1990, Davis and Henley estimated the number of victim service programs in the United States to be in excess of 5,000, whereas 20 years earlier there had been none (p.157). Most assistance programs, particularly those housed in police departments, refer victims, according to their needs, to existing services within<br />the community. Some also provide victims with urgently needed help: replacing a broken window, a damaged lock, fixing a vandalised car, driving, cleaning, shopping, helping with children and so forth. There are also various programs that provide special assistance to certain categories of victims, for example, victims of rape, child victims of sexual assault, victims of family violence, etc. Rape crisis centres and shelters for battered women are currently operating in many places. Overall, however, the two most important services provided to crime victims by<br />victims assistance programs are information and moral support. Despite enormous strides, a great deal remains to be done. Maguire and Pointing (1988: 37) note that victim support remains essentially a “grassroots”, low budget enterprise that relies upon the good will and hard work of volunteers. Shapland, Willmore and Duff (1985: 178)<br />maintain that the major projects aimed at fulfilling victims’ needs were set up without regard to, or even investigation into, victims’ expressed needs. Rock (1990: 408) insists that victims’ interests were never the motivating or mobilizing force behind the new initiatives to help victims. Mawby and Gill (1987: 228) detected a right wing, law and order focus among victim support scheme volunteers. They expressed concerns that crime victims might become “the victims of political expediency”. While Elias (1983a: 120) affirms that victims’ services really serve official needs, not victims’ needs. 38 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br />The Future of Victimology<br />Towards a Realistic Approach<br />Based on the above review of victimology’s past and its present state, it should now be possible to identify some likely future trends. A Transition from Utopian Idealism to Hard Realism As people grow older they become wiser and more pragmatic. A certain realism sets in, brought about by the harsh realities of their life experiences, by disappointments and setbacks, by a better understanding of what is possible and what is not, by what can and cannot be achieved. Gradually, they learn to abandon utopian dreams and opt instead for more attainable goals. This transformation is likely to take place in victimology, once many of today’s young activists realize that some of their well-intentioned demands are neither reasonable nor practical, and are likely to lead, if implemented, to an unfair, unjust, and one-sided justice system. Criminology has undergone a similar transformation. The 1960s and 1970s were the decades when romanticism and idealism in criminology reached their peak, spearheaded by the so-called “new criminologists”. The dreams of that period were shattered with the advent of an era of conservatism brought about by the election of simple-minded, primitive-thinking heads of government: Reagan, Thatcher, and Mulroney, to name but a few. To no one’s surprise, the idealism of the “new criminologists”, their exaggerated optimism, gave way to what came to be called “left realism” or “radical realism”. Realist criminology broke “with the romantic and idealistic conceptions which have been conveyed by radical criminology” (Matthews and Young,<br />1986: 1; see Fattah, 1997a: 265). It seems not only possible but also quite probable that a similar development<br />will occur in victimology. In their attempt to focus attention on the suffering of the victim, and to achieve their political and ideological goals, leaders of the victim lobby have steadily refused to acknowledge that victimization is a normal and natural occurrence, a fact of life, portraying it instead as a pathological and abnormal phenomenon.<br />They have adamantly rejected any claim, even when supported by irrefutable empirical evidence, that the roles of victim and victimizer are interchangeable and that many incidents of violent victimization are the outcome of dynamic and explosive interactions rather than the deliberate and unilateral actions of a flawed perpetrator’s personality. Victimology: Past, Present And Future 39 The current dominant view in victimology of a bad offender and a good victim, of an innocent victim and a guilty criminal, will slowly give way to the more realistic and defensible view of two human beings caught in a web of intricate social relationships and human emotions.<br />Realism means that vindictiveness, which we know to be harmful and destructive, will make room for a more balanced view of victimization and for a community response where empathy, compassion, tolerance<br />and forgiveness replace current calls for vengeance. The dawn of this victimological realism could be easily seen in what Marc Groenhuijsen, one of the strongest victims’ advocates, called “the victimologists’ fallacy”. In his address to the IXth Symposium (1999: 107) he warned against the erroneous belief that “the more victims rights, the better”. He argued that claiming excessive rights for victims can and will be counterproductive simply because overreacting in this respect could easily jeopardize the implementation of the catalogue of basic victims’ rights. The wisdom of these words will not be lost and is bound to influence the thinking and the actions of future generations of victimologists. Realism will also lead to a redefinition of the subject matter of victimology. If victimology is not to lose its scientific character completely, if it is not to become a purely political and ideological movement, a redrawing of its boundaries and a retrenchment of its subject-matter seem inevitable. Thus realism will protect victimology against the real danger of being transformed into mere preoccupation with human suffering. Realism will make it abundantly clear that there is no such thing as a “science” of human suffering. Because, as Flynn (1982) pointed out at one of the earlier international symposia on victimology, if all pain and<br />suffering (ranging, for example, from mental illness to neuroses) were to be defined as victimization, who would not be a victim? The so-called “global victimology”, preached by some, will give way to a “realist victimology”, a truly scientific victimology that gathers its data using acknowledged research methodology, and bases its action on<br />scientific theory, not on political ideology.<br />A Growing Emphasis on Research, Particularly Qualitative Research While activism to affirm victims’ rights and to improve their lot has been in full swing on many fronts, animated by political and ideological considerations, research has been lagging behind, and in many instances totally lacking. 40 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000) Several areas, pivotal to the theory and practice of victim assistance, have hardly been investigated and are in dire need of solid empirical research. One has to wonder why it is that when the field of victim services is flourishing, research on the effects of victimization and on the impact of victim assistance is hard to come by. And yet it seems obvious that individualized care, individualized assistance, and personalized treatment or counselling require a profound knowledge of the differential impact of victimization and the differential needs of crime<br />victims (Fattah, 1999: 193). Clearly, this is an area that offers golden opportunities for original empirical qualitative research, but it is not by any stretch of the imagination the only one. Being a young discipline, many areas of victimology remain virgin territory and have yet to be explored by inquisitive and adventurous researchers. The coming years will witness a growing realization that action not backed by research is a mere ideological exercise, and that practice not grounded in theory is dangerous and potentially harmful. An obvious need for solid empirical research will make itself felt, and such research will be indispensable to avoid serious errors similar to those brought about by mythological concepts such as satanic ritual abuses, and pseudo-theories like those involving repressed memories. Quantitative victimological research, exemplified in local, regional, national, and international victimization surveys, will probably lose much of its popularity due to the law of “diminishing returns”. The additional knowledge to be gained from the repetition of these surveys, particularly at short intervals, will not be sufficient to justify the mounting costs. The argument will be made that the large sums spent on national victimization surveys could be better spent either to fund much needed qualitative research or to add to the subsidies of poorly-funded victim assistance programs and victim services.<br />A Declining Need for Advocacy and Partisanship<br />The victim movement has achieved phenomenal success in many countries. It has focused attention on the plight of crime victims in modern, industrialized society, and has sensitized the general public, politicians, and the functionaries of the criminal justice system to the traumatic and long-lasting effects of certain types of criminal victimization. Victim groups have managed to raise public consciousness about certain harmful and traumatizing behaviours such as sexual victimization, child abuse, family violence, and drunken driving, to mention but a few.<br />Victimology: Past, Present And Future 41 The movement has been influential in changing social attitudes to victims of rape and domestic violence, among others, and in changing the practices of the criminal justice system regarding those victims and, in general, all crime victims. On the applied side, the achievements of the victims’ movement have been both emphatic and dramatic. These spectacular achievements, and the fact that the balance of justice has now tilted in some societies in favour of crime victims to the detriment of offenders, will reduce the need in the future for the politics of advocacy and partisanship that were characteristic of the 1980s and 1990s. Little remains to be done on the political front, and where Victims Bills of Rights have been passed, very little remains to be done on the legislative front. Efforts, energies and funds will gradually and slowly shift to the areas of victim assistance and victim support. Luckily, these are areas less tainted by advocacy and partisanship than those of victims’ rights and victim legislation. Some of the political rhetoric will surely subside. There will be much less need to renew ideological battles that have already been won. It is to be expected, therefore, that victimology will cease to be overly political and will strive to become more scientific. The ideological fights of the<br />past are bound to give way to sound, objective, non-biased, and nonpartisan research. This research will be aimed at finding better and more effective ways of helping victims, alleviating their suffering, and preventing their future victimization.<br />The Demise of Therapy<br />Three years ago, in my keynote address to the IXth International Symposium on Victimology in Amsterdam, I highlighted some of the dangers of so-called “victim therapy”. Several subsequent developments, which are beyond the scope of this paper, provided strong support to the concerns I expressed about the risks involved in therapy and to my concerns about the unintentional harm that could result. All this points to an almost certain development in victimology in the new millennium. Despite the vested interest and the enormous financial and professional benefits that a huge army of therapists currently reaps from “treating” victims, I can safely predict the demise of victim therapy in the not too distant future. Rehabilitation and treatment of offenders, extremely popular not too long ago, have fallen into disrepute. There are strong reasons to believe that a similar fate will befall victim therapy. The natural healing powers of the human psyche that are being interfered with, and hindered by, professional therapies, are bound to reaffirm themselves. 42 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br />Alternative healing practices, which are currently competing with traditional medicine for treating physical and psychological ailments, will prove to be better, more effective, less harmful, and much less costly than professional therapy. Reinforcing the natural healing powers of the human psyche, strengthening the family and social networks of potential and actual victims, will be seen as preferable for alleviating victim suffering rather than the current “healing enterprise”. Once this happens, it will be more difficult to exploit the traumatic effects of victimization and the psychological suffering of the victim in the furtherance of therapists’ self-interest.<br />The Future of the Restorative Justice System<br />It seems axiomatic that the future of victimology will influence, and be influenced by, developments in the justice system. Because of this, the future of victimology will largely depend on the extent to which the paradigm of “restorative justice” is accepted and implemented. Societies undergo perpetual change. Today’s society is undergoing rapid and radical transformation. Justice paradigms have to change with social evolution in order to remain in harmony with prevailing belief systems and to take stock of whatever advances and discoveries are achieved in the fields of criminology and penology. The archaic goals of expiation and atonement will not be in harmony with the realities and beliefs of the secular, post-industrial society of the XXIst century. In modern secular societies the notion of risk and harm are gradually replacing those of evil, wickedness, malice, and are bound to become central concepts in the social and criminal policies of the future. Future policies of crime control will be largely based on risk assessment, risk management, risk coverage, risk reduction, and risk prevention. The measurement of harm: physical, material, and mental, will likely become the central component of social reaction to crime. The primary aims of such a response will be redress, reparation and compensation. My guess is that the arbitrary distinction between crimes and civil torts will disappear and that the artificial boundaries that have been erected over the years between criminal courts and civil courts will be removed. All harmful actions will generate an obligation to redress coupled with endeavors to prevent their future occurrence. This will be the era of restorative justice (see Fattah, 1999: 167). Victimology: Past, Present And Future 43 Such a paradigm shift will have a profound impact on victimology of the future. In the past two decades, attempts to exploit the cause of crime<br />victims for political gain, and conservatives’ efforts to sell the policies of law and order under the pretext of doing justice to those victimized by crime often required the portrayal of victims as vengeful, vindictive, even bloodthirsty. Those claiming to represent and to speak on behalf of victims propagated the erroneous view that concern for crime victims invariably requires harsh, punitive justice policies. While the distress of some victims may be so overwhelming that they will demand the harshest possible penalty for their victimizer, this could hardly be said of the majority of victims of crime. Healing, recovery, redress and prevention of future victimization are the primary objectives of most crime victims (Boers and Sessar, 1991; Pfeiffer, 1993). And if the primary purpose of social intervention is to restore peace, redress harm, heal injury, and prevent repetition of the offense, then it is easy to foresee application of the restorative justice paradigm, with its constructive elements: mediation, reconciliation, restitution and compensation, as the way of the future. It is thus to be expected that the policies advocated by victimologists in the future, as well as victimological practice and action, will be very different from those of yesteryear and of today. If there is a safe prediction to be made about victimology of the future, it is that it will become a truly scientific discipline and a truly humanistic practice.<br /><br />References<br />AMIR, M. 1971. Patterns in Forcible Rape, Chicago: University of Chicago Press.<br />BOERS, K. and SESSAR, K. 1991. “Do people really want punishment? On the relationship between acceptance of restitution, needs for punishment, and fear of crime”, p. 126-149 in Developments in crime and crime control research, K. Sessar and H. J. Kerner (eds.). New York: Springer.<br />BURNS, P. 1980. Criminal Injuries Compensation: Social Remedy or Political Palliative for Victims of Crime, Toronto: Butterworths.<br />CHAMBERS, G. and TOMBS, J. 1984. The British Crime Survey Scotland. A Scottish Office Social Research Study, Edinburgh: Her Majesty’s Stationary Office.<br />CHRISTIE, N. 1977. “Conflicts as Property”, British Journal of Criminology 17 (1): 1-17.<br />CLARK, L. and LEWIS, D. 1977. Rape: The Price of Coercive Sexuality, Toronto: The Women’s Press.<br />COHEN, L. E., and FELSON, M. 1979. “Social Change and Crime Rate Trends: A Routine Activities Approach”, American Sociological Review 44: 588-608.<br />44 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br />COHEN, L. E. KLUGEL, J. R., and LAND, K. C. 1981. “Social Inequality and Predatory Criminal Victimization: An Exposition and Test of a Formal Theory”, American Sociological Review 46: 505-524.<br />CRESSEY, D. R. 1985. “Research implications of conflicting conceptions of victimology”, p. 43-54 in Victimology: International Action and Study of Victims, Z. P. Separovic (ed.). Zagreb: University of Zagreb. Reprinted in 1992 in Towards a Critical Victimology, E. A. Fattah (ed.). London: Macmillan. New York: St. Martin’s Press.<br />CURTIS, L. 1974. Criminal Violence: National Patterns and Behaviour, Lexington,<br />MA, D. C: Heath & Co.<br />DAVIS, R. C. and HENLEY, M. 1990. “Victim Service Programs”, p. 157-171 in Victims of crime: Problems, policies, and programs, A. J. Lurigio, W. G. Skogan and<br />R. C. Davis, (eds.). Newbury Park, CA: Sage.<br />DEL FRATE, A. A., ZVEKIC, U. and VAN DIJK, J. 1993. Understanding Crime— Experiences of Crime and Crime Control, Rome: UNICRI. Publication no. 49.<br />DITTENHOFFER, T. and ERICSON, R. 1983. “The Victim/Offender Reconciliation Programme: A Message to the Correctional Reformers”, University of Toronto Law Journal 33: 315-347. Reprinted in 1992 in Towards a Critical Victimology, Fattah, E. A. (ed.), London: MacMillan. New York: St. Martin’s Press.<br />DOERNER, W. 1978. “A Quasi-Experimental Analysis of Selected Victim Compensation Programs”, Canadian Journal of Criminology, 20 (3): 239-251.<br />DOLLIVER, J. M. 1987. “Victim’s Rights Constitutional Amendment: A Bad Idea Whose Time Should Not Come”, The Wayne Law Review 32 (1): 87-93.<br />ELIAS, R. 1983a. Victims of the System — Crime Victims and Compensation in American Politics and Criminal Justice, New Brunswick: Transaction Books.<br />ELIAS, R. 1983b. “The Symbolic Politics of Victim Compensation”, Victimology 8 (1-2): 213-224.<br />FATTAH, E.A. 1971. La Victime est-elle coupable?, Montréal: Presses de l’Université de Montréal.<br />FATTAH, E. A. 1978. “Some Theoretical Developments in Victimology”, Victimology: An International Journal 4 (2): 198-213.<br />FATTAH, E.A. 1991. Understanding Criminal Victimization, Scarborough, Ont.: Prentice Hall Canada.<br />FATTAH, E. A. 1992a. “The United Nations Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power: A Constructive Critique”, p. 401-424 in Towards a Critical Victimology, E. A. Fattah (ed.). London: Macmillian. New York: St. Martin’s Press.<br />FATTAH, E. A. 1992b. Towards a Critical Victimology, London: Macmillian. New York: St. Martins Press.<br />FATTAH, E. A. 1992c. The Positives and Negatives of the Victim Movement: A Critical Assessment, Paper presented at the IVth Symposium on Violence and Aggression, Saskatoon, June 21-24.<br />FATTAH, E. A. 1993a. “From Crime Policy to Victim Policy – The Need for a Fundamental Policy Change”, International Annals of Criminology 29 (1 and 2).<br />FATTAH, E. A. 1993b. “La relativité culturelle de la victimisation – Quelques réflexions sur les problèmes et le potentiel de la victimologie comparée”, Criminologie 26: 121-136. Victimology: Past, Present And Future 45<br />FATTAH, E. A. 1994a. “Victimology: Some Problematic Concepts, Unjustified Criticism and Popular Misconceptions”, p. 82-103 in International Debates of Victimology, G. F. Kirchoff, E. Kosovski and H. J. Schneider (eds.). Mönchengladbach: WSV Publishing.<br />FATTAH, E. A. 1994b. The Interchangeable Roles of Victim and Victimizer, Helsinki: The European Institute for Crime Prevention and Control.<br />FATTAH, E. A. 1997a. Criminology: Past, Present and Future— A Critical Overview, London: Macmillan Press Limited. New York: St. Martin’s Press.<br />FATTAH, E.A. 1997b. “Toward a Victim Policy Aimed at Healing not Suffering”, p. 257-272 in Victims of Crime, R. C. Davis, A. J. Lurigio and W. G. Skogan (eds.), 2nd edition. Thousand Oaks: Sage Publications.<br />FATTAH, E. A. 1999. “From a handful of Dollars to Tea and Sympathy: The Sad History of Victim Assistance”, p.187-206 in Caring for Crime Victims: Selected Proceedings of the IXth International Symposium on Victimology, Van Dijk, Van Kaam and Wemmers (eds.). Monsey, N.Y.: Criminal Justice Press.<br />FLYNN, E. E. 1982. “Theory Development in Victimology: An Assessment of Recent Programs and of Continuing Challenges”, p. 96-104 in The Victim in International Perspective, H. J. Schneider (ed.). Berlin: de Gruyter.<br />GOTTFREDSON, M. R. 1984. Victims of Crime: The dimensions of risk, Home Office Research and Planning Unit, Report No. 81, London: HMSO.<br />GROENHUIJSEN, M. S. 1999. “Victims’ Rights in the criminal Justice System: A Call for More Comprehensive Implementation Theory”, p. 85-114 in Caring for Crime Victims: Selected Proceedings of the 9th International Symposium on Victimology, Van Dijk, Van Kaam and Wemmers (eds.). Monsey, N.Y.: Criminal Justice Press.<br />HATALAK, O., DEL FRATE, A.A. and ZVEKIC, U. 1998. The International Crime Victim Survey in Countries in Transition, Rome: UNICRI.<br />HENDERSON, L.N. 1985. “The Wrongs of Victims’ Rights”, Stanford Law Review 37: 937-1021. Reprinted in 1992 in Towards a Critical Victimology, E.A. Fattah (ed.). London: Macmillan. New York: St. Martin’s Press.<br />HEPWORTH, M. 1975. Blackmail: Publicity and Secrecy in Everyday Life, London: Routledge & Kegan.<br />HINDELANG, M., GOTTFREDSON, M. and GAROFALO, J. 1978. Victims of Personal Crime, Cambridge, MA.: Ballinger.<br />KARMEN, A. 1990. Crime Victims: An Introduction to Victimology, (2nd edition). Montery, CA: Brooks/Cole.<br />KELLY, D.P. and EREZ, E. 1997. “Victim Participation in the Criminal Justice System”, p. 231-244 in Victims of Crime, R.C. Davis, A.J. Lurigio and W.G. Skogan (eds.), 2nd edition. Thousand Oaks, California: Sage Publications.<br />MAGUIRE, M. and POINTING, J. 1988. Victims of Crime— A New Deal?, Milton Keynes: Open University Press.<br />MAGUIRE, M. and SHAPLAND, J. 1997. “Provisions for Victims in an International Context”, p. 211-228 in Victims of Crime, R.C. Davis, A.J. Lurigio and W.G. Skogan (eds.), 2nd edition. London: Sage Publications.<br />MATTHEWS, R. and YOUNG, J. 1986. Confronting Crime, California: Sage.<br />MAWBY, R.I. and GILL, M.L. 1987. Crime Victims: Needs, Services and the Voluntary Sector, London: Tavistock.<br />MIERS, D. 1978. Response to Victimization, Oxford: Milton Trading Estate.<br />46 CRIMINOLOGIE, VOL. 33 N° 1 (2000)<br />MIERS, D. 1983. “Compensation to Victims of Crime”, Victimology 8: 204-12.<br />MIERS, D. 1990. Compensation for Criminal Injuries, London: Butterworths.<br />NORMANDEAU, A. 1968. Trends and Patterns in Crimes of Robbery, Ph.D.dissertation, Philadelphia: University of Pennsylvania.<br />PADOWETZ, M. 1954. Der Heiratsschwindel, Wien: Springer.<br />PFEIFFER, C. 1993. Opferperspektiven: Wiedergutmachung und Strafe aus der Sicht der Bevölkerung [Victim perspectives: Public views of restitution and punishment], Unpublished manuscript.<br />PITTMAN, D.J. and HANDY, W. 1964. “Patterns in Criminal Aggravated Assault”, Journal of Criminal Law, Criminology and Police Science 55 (1): 462-469.<br />ROCK, P. 1990. Helping Crime Victims: The Home Office and the Rise of Victim Support in England and Wales, Oxford: Clarendon Press.<br />ROCK, P. 1994. Victimology, Aldershot: Dartmouth.<br />SHAPLAND, J., WILLMORE, J. and DUFF, P. 1985. Victims in the Criminal Justice System, London: Gower.<br />SINGER, S. 1981. “Homogeneous victim-offender populations: A review and some research implications”, Journal of Criminal Law and Criminology 72 (2): 779-788.<br />SPARKS, R., GENN, H. and DODD, D. 1977. Surveying Victims: A Study of the Measurement of Criminal Victimization, London: John Wiley and Sons.<br />UNITED NATIONS 1985. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, New York: United Nations.<br />VAN DIJK, J., MAYHEW, P. and KILLIAS, M. 1990. Experiences of Crime Across the World— Key Findings of the 1989 International Crime Survey, Deventer: Kluwer Law and Taxation Publishers.<br />VAN DIJK, J. and STEINMETZ, C.H.D. (Undated). A First Step Towards Victimological Risk analysis, The Hague: Ministry of Justice. Victoria (Australia) 1988. Victoria Sentencing Commission Report.<br />VON HENTIG, H. 1940/41. “Remarks on the Interaction of Perpetrator and Victim”, Journal of Criminal Law and Criminology 31: 303-309.<br />VON HENTIG, H. 1948. The Criminal and His Victim, New Haven: Yale University Press.<br />WERTHAM, F. 1949. The Show of Violence, New York: Doubleday.<br />WOLFGANG, M.E. 1958. Patterns in Criminal Homicide, Philadelphia: University of Pennsylvania Press.Gatot Sugihartohttp://www.blogger.com/profile/06365185061353337647noreply@blogger.com0