Kamis, 25 Desember 2008

Sistem hukum Arab Saudi

ARAB SAUDI

INFORMASI NEGARA
Arab Saudi merupakan kerajaan gurun yang membentang melalui lebih dari 80 persen jazirah Arab. Sebagian besar wilayahnya yang seluas 868.000 mil persegi merupakan gurun yang gersang, sering kali kaya akan mineral tetapi jarang ditinggali. Populasi Arab Saudi mungkin sekitar 22 juta (perkiraan tahun 2000) yang terpusat pada pesisir barat dan timur dan di oasis-oasis bagian dalam. Populasi nasional sebagian besar Arab dan kebanyakan Muslim Sunni. Para Muslim Shia, kurang dari 10 persen populasinya, terpusat di Hasa, provinsi di daerah Timur yang kaya akan minnyak. Populasinya meliputi 5 juta warga negara asing – pekerja asing sementara yang tertarik dengan pekerjaan yang diciptakan oleh limpahan minyak.
Perekonomiannya didominasi oleh minyak. Cadangan-cadangan minyaknya (diperkirakan lebih dari 260 milyar barel) merupakan yang terbesar di dunia (seperempat total dunia). Gross Domestic Product (GDP) Arab Saudi kasarnya sekitar $170 milyar (perkiraan tahun 2000). Pendapatan dari minyak meliputi bagian terbesar pendapatan negara. Hampir semua minyak ini diproduksi oleh perusahaan milik pemerintah Saudi, ARAMCO. Sementara pergerakan yang kuat menuju liberalisasi ekonomi terjadi beberapa tahun belakangan ini, sebagian besar perekonomian masih dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah.
Cadangan minyak telah membawa kemakmuran Arab Saudi dan disertai dengan negara persemakmuran yang meluas dan mahal dengan menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan banyak sekali layanan-layanan dan subsudi-subsidi bagi populasi nasional. Meskipun demikian, perekonomian Saudi disandera oleh sumber cadangan minyak ini. Rata-rata pertumbuhan meningkat dramatis seiring dengan peningkatan tajam harga minyak pada tahun 1970-an dan merosot seiring dengan pemerosotan harga minyak pada tahun 1980-an.
Saudi diperintah oleh sebuah monarki, diperintah oleh keturunan keluarga penemu Arab Saudi, Al Saud. Salah seorang anggota keluarga ini dan penemu Arab Saudi modern, King Abd al-Aziz ibn Abd al-Rahman Al Saud (di Barat dikenal sebagai Ibn Saud), menempa propinsi-propinsi yang berlainan di jazirah Arab menjadi satu negara pada tahun 1932. Menurut Hukum Dasar tahun 1992, raja harus merupakan keturunannya sampai saat ini, yang kesemuanya anak laki-laki. Kekuasaan raja cukup luas dan sebagian besar tidak terbatas oleh institusi formal, meskipun suatu Dewan Konstitusional ditunjuk pada tahun 1992. Secara administratif, negara tersebut dibagi menjadi tigabelas propinsi, semuanya dipimpin oleh anggota yang ditunjuk oleh keluarga yang berkuasa.
Sistem hukum Saudi didasarkan pada hukum Islam, Arab Saudi merupakan tempat kelahiran Islam dan tempat dimana terletak dua tempat tersuci Islam, Mekah dan Madina. Karena Arab Saudi merupakan satu dari sedikit negara di daerah tersebut yang tidak pernah dikolonisasi, sistem hukumnya memiliki lebih sedikit tambahan dari hukum Eropa yang ditemukan di negara-negara sekitarnya, dan hukum Islam, yang belakangan ini berkurang di sebagian besar negara menjadi hukum berstatus personal (kasarannya, hukum keluarga dan pengesahan hakim), tetap menempati posisi pokok. Sejak abad ke delapan belas, pemerintah dan ketetapan keagamaan berpegang pada paham Wahhabisme, yang cenderung pada suatu penekanan terhadap akar Islam: Qur’an dan Sunnah (kata-kata dan perilaku nabi Muhammad), memberikan lebih sedikit penekanan aliran penafsiran Islami yang muncul kemudian. Sementara terikat secara historis pada aliran hukum Islam Hanbali, otoritas keagamaan sekarang, ketika memperbanyak Qur’an dan Sunnah, mendukung keempat aliran Islam. Sebagai komitmen terhadap Islam yang ideal, Arab Saudi tidak memiliki konstitusi formal kecuali Qur’an dan Sunnah.

SEJARAH
Sementara semenanjung Arab merekam sejarah kembali ke 5.000 tahun kependudukan Dilmun, sejarah hukum Arab Saudi diawali pada abad ke-tujuh dengan lahirnya Islam. Dengan turunnya wahyu Qur’an, yang dipercaya oleh para Muslim merupakan kata-kata dari Tuhan, dan kata-kata dan perbuatan-perbuatan Nabi (yang, sebagai pemimpin politik dan keagamaan bagi masyarakat, pertama menerapkan pemikiran ini) membentuk inti hukum dan praktek Islam.
Sejarah modern Arab Saudi diawali pada abad ke-delapan belas dengan persekutuan antara Muhammad ibn Saud dan Muhammad ibn. Abd al-Wahhab, seorang pemimpin agama dan penemu gerakan Wahhabi, yang mencari inspirasi moral dalam pembelajaran langsung mengenai pemikiran dan praktek-praktek religius Nabi dan sahabat-sahabatnya. Hal itu memerlukan sikap intelektual dari theologian abad ke-tigabelasan sampai empat belas, Ibn Taymiyya, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh ajaran Ahmad ibn Hanbal, theologian abad ke-sembilan dan penemu aliran hukum Islam Hanbali. Koalisi Saudi/Wahhabi membentuk tiga kerajaan berturut-turut, yang memuncak menjadi satu sekarang. Arab Saudi mulai mengambil bentuk modernnya pada abad ke-dua puluh saat Ibn Saud menyatukan berbagai daerah jazirah yang berbeda menjadi satu negara, yang diawali dengan penangkapan Riyadh pada tahun 1920 (ibukota sekarang), diikuti dengan penaklukan Hijaz tahun 1925, dan memuncak di tahun 1932 dengan proklamasi Kerajaan Arab Saudi.
Minyak ditemukan pada tahun 1930-an. Ketika produksi berskala besar dimuali setelah Perang Dunia II, kerajaan tersebut mengalami pertumbuhan pesat. Dengan wafatnya Ibn Saud pada 1953, kepemimpinan diserahkan pada putranya: Saud (r. 1953-1964), Faisal (1964-1975), Khalid (1975-1982), Fahd (1982- ), selanjutnya dinobatkan sebagai Pangeran Abdallah. Perang Teluk tahun 1990, membawa tentara A.S. ke tanah Saudi, mendorong oposisi Islam dan liberal untuk melakukan lebih banyak protes, mendorong pembentukan Dewan Konsultatif yang ditunjuk dan Hukum Dasar tahun 1992 yang mengulangi pernyataan mengenai terpusatnya hukum Islam, juga kekuasaan independen raja untuk menerbitkan peraturan-peraturan yang sesuai dengan hukum tersebut.

KONSEP HUKUM
Hukum Islam, atau sharia (“jalan kecil”), merupakan dasar dari hukum Saudi. Hukum ini terikat secara intim dengan filosofi politik Islam, yang melihat peran utama negara sebagai suatu yang membantu komunitas Muslim menjunjung tinggi moral standar Tuhan, sharia menjadi sumber standar ini. Pada gambaran ini, negara bukanlah arena netral; negara memiliki kewajiban aktif terhadap masyarakat untuk mengejar kebaikan dan menentang kejahatan. Gagasan baik mengenai keadilan dan legitimasi disebutkan secara serempak di istilah-istilah hukum dan Islami.
Hukum Islam, bersifat ketuhanan dan sempurna, dijadikan akar, pertama, dalam Qur’an – dalam kata-kata Muslim percaya bahwa Tuhan memberikan penampakan langsung melalui Muhammad. Dengan menaruh dasar etika bagi keadilan, Qur’an menyediakan baik pedoman umum mengenai perilaku dan jelas dan terkadang pedoman mendetil mengenai praktek-praktek tertentu, dari kewajiban keagamaan sampai keluarga sampai hukum penunjukan hakim, hukum kriminal, dan hukum dagang. Meskipun demikian, Qur’an menyediakan hanya sedikit dari sajak-sajaknya yang khusus mengenai hukum dan diam mengenai sebagian besar masalah-masalah hukum. Seperti halnya semua teks keagamaan, teks tersebut juga harus diterjemahkan, dan bisa diterjemahkan dengan berbagai cara. Karena itu, diperlukan sumber-sumber lain. Sebagai konsekuensi, pada abad-abad awal setelah Nabi wafat, aliran-aliran Islam, ulama, membuat persetujuan mengenai sumber-sumber hukum tambahan. Sumber kedua (menyangkut kepentingannya, bukan bidangnya) adalah Sunnah, tindakan-tindakan dan kata-kata Nabi. Secara bersamaan, Qur’an dan Sunnah merupakan sumber-sumber utama hukum Islam. Sumber ke tiga adalah konsensus (ijma’) komunitas, yang pada prakteknya menjadi komunitas sarjana ilmu Islam, mengenai hal-hal dimana kedua sumber utama tersebut tidak cukup. Sumber ke empat adalah analogi (qiyas), yang menerapkan prinsip-prinsip dari Qur’an atau Sunnah terhadap kasus-kasus baru. Sumber ke lima adalah ijtihad. Biasanya diterjemahkan sebagai “pemberian alasan secara mandiri,” ijtihad lebih cocok dipandang sebagai metode untuk menerapkan sumber-sumber lain terhadap masalah-masalah hukum tertentu. Selama beberapa abad pertama berdirinya Islam, konsensus cendekiawan menggunakan sumber-sumber ini sebagai dasar formal yurisprudensi Islam.
Kerangka kerja ini, terdiri atas sumber-sumber dasar (Qur’an dan Sunnah) dan teknik-teknik untuk menterjemahkannya (qiyas, ijtihad, ijma’), membantu menyediakan praktek-praktek yang dapat diprediksi dan seragam yang diperlukan semua sistem hukum, terutama penting karena para hakim terikat baik oleh sesuatu yang dijadikan teladan seperti dalam sistem hukum pada umumnya (baik dengan menggunakan keputusan yang diberikan oleh hakim-hakim lainnya, bahkan dari pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi, atau oleh keputusan-keputusan mereka sebelumnya), maupun oleh kitab undang-undang seoerti dalam sistem hukum pidana (penafsiran disediakan hanya sebagai pedoman, bukan hukum telah tersusun).
Karena perkembangan hukum, dunia Islam berkembang. Dengan wafatnya Muhammad pada 632, perselisihan mengenai penerusnya muncul. Abu Bakar menjadi kalif yang pertama, diikuti oleh Umar ibn al-Khattab, yang mulai menginstitusionalkan praktek hukum dalam komunitas Muslim yang berkembang. Tetapi masalah penerus tetap tak terselesaikan, dan setelah meninggalnya kalif terakhir dari empat kalif pertama yang dibimbing dengan tepat, komunitas Islam terbagi menjadi Sunni dan Shiah. Diawali dengan perselisihan mengenai penerus Nabi, perpecahan ini berkembang menjadi perpecahan sekte. Sementara Sunni memenangkan secara nomor dan politik pada wilayah yang sekarang menjadi Arab Saudi, seperti sebagian besar dunia Muslim, shiah tetap menjadi minoritas yang signifikan. Dalam sunia Sunni, pemikiran ilmiah akhirnya mengeras menjadi empar aliran ilmu hukum yang berkaitan dengan ahli hukum individual (Hanbali, Hanafi, Maliki, dan Shafi’i).
Pada abad ke-delapan belas, Jazirah Arab melihat bangkitnya gerakan Wahhabi, yang, mengangkat dari tulisan-tulisan ajaran Hanbali Ibn Tamiyya, menantang aliran keagamaan dan para hakim untuk lebih berpegang pada pembuatan alasan yang mandiri dalam penerapan Qur’an dan Sunnah. Kemenangan gerakan Wahhabi membawa pendekatan ini ke pusat pemikiran hukum di jazirah Arab. Beberapa elemen substantive dan tata cara pemikiran tersebut mengikuti.
Kriminal dalam hukum Islam jatuh pada tiga kategori: hudud, qisas, dan ta’zir. Kejahatan Hudud (“batasan,” adalah, batasan yang diciptakan Tuhan) adalah kejahatan melawan Tuhan. Dalam hal ini, pengadilan memiliki, pada prinsipnya, tidak ada kebijaksanaan, jika persyaratan pembuktian yang tegas ditemukan dengan meyakinkan. Kejahatan-kejahatan ini dilarang oleh Qur’an atau Sunnah bersamaan dengan hukuman-hukuman tertentu, biasanya hukuman fisik. Kejahatan ini meliputi minum minuman beralkohol, persetubuhan terlarang, tuduhan yang salah mengenai persetubuhan terlarang, perampokan, pemberontakan, pencurian, dan kemurtadan. Hukuman untuk kejahatan dalam bentuk hudud merupakan hukuman yang berat (pemotongan tangan bagi pencuri, cambukan bagi perbuatan zina (bagi orang yang belum menikah), perajaman bagi perbuatan zina (perselingkuhan), tapi juga, diperlukan standar pembuktian untuk melaksanakan hukuman: misalnya, Perselingkuhan, memerlukan kesaksian empat pria terhormat yang menyaksikan perbuatan tersebut. Penghukuman juga memerlukan ketiadaan segala keraguan (tidak hanya yang beralasan). Sehingga penghukuman hudud merupakan hal yang jarang dilakukan. Meskipun demikian, Arab Saudi, tidak seperti sebagian besar negara di wilayah tersebut, kadang-kadang menegakkan hukuman-hukuman ini.
Kejahatan qisas adalah pembunuhan dan penyerangan (tindakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik). Kejahatan semacam itu bisa dihukum baik oleh pembalasan (qisas) atau, bila korban atau keluarga korban menghendaki, dengan pembayaran denda bagi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan, misalnya, sharia memberikan hak bagi keluarga korban untuk memilih hukuman mati atau kompensasi finansial. Kejahatan ta’zir, kategori sisa, meliputi kejahatan yang tidak termasuk hudud dan qisas, termasuk juga tindakan-tindakan yang tidak memenuhi persyaratan pembuktian yang kaku. Hukumannya diserahkan pada hakim, meskipun di Arab Saudi telah dikembangkan badan yang membuat hukum ketetapan. Sementara kejahatan hudud dan qisas biasanya melibatkan sangsi non-pemenjaraan (hukuman fisik bagi hudud, dan denda bagi qisas), hukuman yang biasa diberikan pada kejahatan ta’zir adalah penjara.
Pada hukum pidana, sharia mengalamatkan beberapa masalah yang berhubungan dengan interaksi personal dan perdagangan. Detail tertentu mengenai hukum keluarga ada dalam peraturan-peraturan khusus yang telah termasuk dalam Qur’an dan Sunnah mengenai pewarisan, pernikahan dan perceraian, dan status anak. Sharia juga menyediakan banyak peraturan yang jelas mengenai transaksi komersial, terutama larangan pengambilan bunga. Dimana sharia tidak dengan jelas menunjukkan beberapa perkara bisnis modern (terutama, adanya kemakmuran Arab Saudi dan tingkat integrasi dengan perekonomian global). Suatu badan pembuat peraturan pemerintah telah muncul, yang akan menangani masalah tersebut.
Pada prakteknya, pengadilan sharia memiliki yurisdiksi terhadap sebagian besar kasus kriminal dan terhadap perkara perdata yang mencakup status personal. Tiga standar utama pembuktian digunakan dalam pengadilan sharia. Yang pertama adalah pengakuan tanpa menggunakan paksaan. Yang kedua adalah kesaksian saksi mata yang biasanya terdiri atas dua saksi pria terhormat yang tidak berat sebelah (peraturan Qur’an memberikan kesaksian dari wanita setengah bobotnya dari pria; kesaksian wanita tidak diijinkan pada kasus-kasus kriminal). Ketidakhadiran saksi yang diperlukan, pengadilan pada kejahatan hudud biasanya meminta suatu pengakuan bagi penghukuman kriminal. Seluruh kesaksian harus dilakukan dengan sukarela. Pembuktian ketiga adalah penegasan atau penyangkalan dengan sumpah. Sementara itu sumpah palsu jelas akan terjadi, sumpah ini, sumpah di pengadilan atas nama Tuhan, diambil jauh lebih serius daripada yang biasa dilakukan oleh orang-orang Barat. Beberapa pihak mungkin membatalkan sejumlah besar uang dengan menolak untuk mengambil suatu sumpah yang mungkin hampir menjamin hasil yang dikehendaki. Bukti tidak langsung diterima tetapi tidak disukai. Sementara itu terdakwa diijinkan untuk memiliki seorang pengacara (pada kasus perdata tetapi tidak pada kasus pidana), pengadilan lebih suka bila mereka berbicara mewakili diri mereka sendiri. Menurut sejarah, orang-orang bisa memiliki seorang perwakilan (biasanya saudara laki-laki) yang membela atau mendampingi mereka di pengadilan, tetapi karakteristik pembelaan dalam hukum Barat berjalan berlawanan dengan kepekaan dalam hukum Islam: Pembelaan, para hakim percaya, akan memperlambat proses dan merintangi rekonsiliasi. Pada kejadian apapun, kesaksian verbal secara langsung adalah yang dikehendaki, meskipun dokumen-dokumen juga digunakan, terutama dalam perkara perdagangan. Sementara pengadilan Islam mengandalkan prinsip-prinsip pembuktian sharia, masing-masing hakim memutuskan secara personal dan mengartikannya pada masing-masing kasus. Menurut gayanya, pengadilan ini non-formal menurut standar Barat, dan sang hakim menikmati keleluasaan yang luas dalam perjalanannya mencari kebenaran. Ada beberapa kebebasan yudisial, meskipun hal itu seringkali dipraktekkan secara non-formal.
Budaya hukum merupakan elemen penting dalam mempromosikan keadilan dalam proses persidangan, karena, dengan melihat bahwa ia memiliki dasar keagamaan, ia meresap ke seluruh bagian masyarakat dan juga membentuk dalam tahap yang lebih besar perilaku seluruh peserta dalam prosesnya. Budaya yudisial mencari kebenaran dengan dengan serius. Ijtihad memerlukan nurani individu yang besar. Para hakim memandang kepentingan terbaik Tuhan juga kepentingan-kepentingan sebelumnya, dan mereka akan dipanggil pada kehidupan yang selanjutnya untuk bertanggung-jawab baik pada Tuhan maupun mereka yang melewati ruang sidangnya pada masa kekuasaanya. Beberapa perlindungan prosedural terdapar di pengadilan sharia. Ada asas praduga tak bersalah. Hukum acara menetapkan suatu permohonan yang bersifat perintah bagi hukuman mati dan amputasi. Meskipun demikian, dalam persidangan kriminal, terdakwa biasanya tidak boleh didampingi pengacara (meskipun seorang terdakwa yang mampu menyewa pengacara diperbolehkan berbicara dengan pengacaranya sebelum persidangan), lagi dalam memelihara kepercayaan bahwa sharia menyediakan segala perlindungan yang diperlukan – seorang hakim terikat secara moral untuk menjadi penjaga yang tekun.
Pada perkara kriminal, kemanjuran perlindungan ini merupakan hal yang sulit untuk dipastikan. Persidangan jarang dibuka bagi masyarakat. Raja, sementara ini terikat secara moral dan hukum (sekalipun tanpa alat paksaan) dengan sharia, tidak tunduk pada pengecekan formal (pada prakteknya, bahkan keluarga yang berkuasa memimpin sepertinya diatas hukum, karena para hakim dan polisi seringkali tidak mau atau tidak mampu untuk menjunjung tugas sah mereka, seperti menerbitkan surat perintah penahanan, terhadap mereka). Menurut sejarah, sentimen dominan dalam filosofi politik Islam adalah bahayanya pemberontakan dan kemungkinan konsekuensi perang sipil jauh lebih berat dari pada bahayanya tunduk pada penguasa Muslim yang buruk. Masalah-masalah prosedural, yang merupakan sumber kendali hukum negara Barat, tidak pernah menjadi fokus utama yurisprudensi Islam, yang memperlakukan prosedur dan bukti-bukti tidak sebagai kategori yang terpisah, tapi lebih menyangkut hubungan mereka dengan ketiga kategori kejahatan sharia. Hal ini bukan berarti pemeriksaan prosedural tidak bisa dilaksanakan bersamaan dengan hukum Islam, hanya saja penguasa Saudi memiliki sedikit kepentingan untuk melakukannya, dan lebih menyukai penterjemahan yang menjamin negara terhadap otoritas yang paling tidak terbatas.
Dalam kasus-kasus politik, beberapa kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan beberapa kemungkinan kekurangan perlindungan yang efektif. Hukum tersebut mengijinkan tersangka ditahan dalam penahanan yang diperpanjang tanpa adanya akses untuk berkonsultasi atau bertemu keluarga. Tidak ada pengawasan yudisial independen terhadap penahanan, dan terjadi beberapa penyalahgunaan. Apalagi, bahkan dalam pengadilan sharia, penghukuman seringkali diadakan hanya berdasar pada pengakuan yang sering kali didapat selama interogasi yang dilakukan dengan bebas diluar sidang, interogasi dimana ada tekanan, baik fisik maupun emosional, seringkali diterapkan. Pengakuan harus dipastikan oleh hakim investigasi (yang bukan merupakan hakim siding), tetapi ia memiliki sedikit kekuasaan untuk memerintahkan pembebasan tersangka. Hakim-hakim ini terkadang memperingatkan tahanan yang menarik kembali pengakuan mereka yang akan mengakibatkan interogasi lebih jauh. Beberapa hakim mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan, tetapi hal ini jarang terjadi. Keadilan seringkali cepat dan merupakan keputusan akhir: Arab Saudi merupakan satu dari negara-negara yang angka eksekusinya tertinggi di dunia. Ketiadaan perlindungan formal menimpa dengan paling keras pada kelompok yang paling lemah dalam masyarakat Saudi: wanita, orang-orang Shia, dan warga negara asing.

STRUKTUR TERKINI
Pada awal abad ke-20, sistem yudisial belum sempurna. Penguasa menunjuk para hakim di kota besar yang bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk memecahkan kasus-kasus dimana kerelaan dan penyelesaian suka rela gagal. Meskipun ulama senior mendampingi para hakim, satu-satunya permohonan adalah kepada raja. Pada tahun 1925, Ibn Saud menaklukkan Hijaz, yang memiliki institusi hukum yang sudah lebih berkembang dan dimana ajaran Shafi’I dan Hanafi mendominasi. Ibn Saud menciptakan suatu sistem pengadilan baru di Hijaz, tetapi ketika ia mencoba memperluas sistem ini ke daerah lain di negara tersebut, para ulama menolak keras. Tidak sampai 1960 ketika anak laki-lakinya, King Saud, bisa menyatukan sistem yudisial nasional. Pada 1970, kementrian peradilan yang baru dibuat mengambil alih sistem peradilan. Pada tahun 1975 Peraturan mengenai Pengadilan mendirikan organisasi dan yurisdiksi sistem pengadilan sharia dan menempatkannya dibawah Dewan Agung Yudisial (majlis al-qada’ al-‘ala).
Arab Saudi memiliki tiga tingkat pengadilan. Tingkat awal adalah Pengadilan Perkara Mendesak (mahkamat al-umur al-musta’jala), dimana seorang hakim menangani baik perkara pidana maupun perdata. Pengadilan ini memiliki yurisdiksi terhadap segala kasus kriminal, kecuali yang melibatkan kematian dan amputasi, dan beberapa perkara perdata. Pengadilan tingkat selanjutnya adalah Pengadilan Tinggi (al-makama al-kubra), yang menangani semua kasus yang tidak ditangani oleh pengadilan di bawahnya. Hal ini meliputi sebagian besar kasus kriminal (yang ditangani oleh seorang hakim) dan kasus-kasus kriminal yang lebih serius, kasus-kasus hudud dan qisas (yang ditangani oleh panel yang terdiri atas tiga hakim). Pengadilan ketiga adalah Mahkamah Banding (mahkamat al-tamiz), di Riyadh dan Mekah, yang biasanya menangani kasus-kasus dengan tiga hakim panel. Pengadilan ini memiliki tiga departemen: kriminal, status personal, dan lainnya. Sebagian besar siding di pengadilan tingkat bawah bisa naik banding. Hukuman yang melibatkan kematian atau amputasi secara otomatis naik banding dan diperdengarkan pada lima panel hakim. Seperti yang dinyatakan pada hukum perdata, baik penuntut maupun pembela bisa naik banding, meskipun baik peraturan sharia maupun Saudi memperbolehkan hal ini. Mahkamah Banding biasanya berjalan hanya melalui proses dari pengadilan dibawahnya. Mereka dapat menjunjung suatu persidangan atau mengirim kasus tersebut untuk disidang ulang pada hakim yang berbeda. Pada puncaknya duduk dua belas anggota Dewan Agung Yudisial yang dipimpin oleh mentri peradilan, yang mengkaji ulang banding pada hukuman mati dan amputasi (kemudian disahkan oleh raja) dan segala hal mengacu kepadanya oleh raja atau putra mahkota.
Sebagian besar perselisihan ditangani diluar sistem pengadilan. Pada prakteknya, mayoritas kasus-kasus pidana diselesaikan dengan cara rekonsiliasi. Usaha-usaha untuk mendapatkan penyelesaian sendiri berjalan melalui sistem tersebut dan sedang dimainkan jauh sebelum suatu kasus menyentuh pengadilan. Tidak ada perselisihan pribadi di Arab Saudi: keluarga dan teman-teman dengan aktif dan rutin turut campur untuk menyelesaikan konflik. Qur’an mendukung penyelesaian informal. Bahkan konflik-konflik yang diproses melalui persidangan jarang berakhir dengan keputusan peradilan. Sebagian besar terselesaikan, biasanya dengan bantuan aktif hakim. Salah satu mekanisme penyelesaian perselisihan setengah-formal adalah penggunaan fatwa, opini keagamaan terhadap masalah individu yang diterbitkan oleh mufti, ilmuwan keagamaan yang menterjemahkan hukum Islam. Fatwa sering memecahkan baik perselisihan personal maupun komersial. Orang-orang memohon fatwa sebagai tuntunan pribadi. Berbagai pihak dalam perselisihan perdata boleh menyetujui sebelumnya untuk menganggap fatwa mengikat. Firma hukum boleh mengumpulkan fatwa untuk memprediksi kemungkinan kuasa pengadilan. Suatu Dewan Ulama Senior yang menerbitkan fatwa mengenai masalah-masalah umum yang penting, melakukannya baik secara mandiri atau atas permintaan raja. Dewan Panitia Pelaksana untuk Ifta menaggapi permintaan personal.

BADAN YUDISIAL KHUSUS
Raja memiliki otoritas dibawah sharia untuk menetapkan surat keputusan selama hal itu tisak bertentangan dengan sharia, dan beliau telah melaksanakannya. Beberapa pengadilan khusus (termasuk mahkamah banding) menangani perkara komersial dan menerapkan undang-undang, misalnya, Komite Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja dalam Kementrian Tenaga Kerja dan Urusan Sosial. Komite tersebut meliputi baik pengacara sharia maupun anggota yang ditunjuk kementrian yang memiliki keahlian teknis dan yang berkaitan dengan peraturan.
Pengadilan khusus yang paling penting adalah Dewan Keluhan (diwan al-mazalim), yang didirikan pada tahun 1955. Pada tahun 1982, ketua dewan diberikan status mentri dan bertanggungjawab langsung kepada raja. Dewan tersebut menyertakan tradisi Islam kuno yaitu mazalim, hak untuk membawa keluhan terhadap penguasa, dan menangani keluhan terhadap otoritas negara: tuntutan hukum terhadap agen pemerintah dan permohonan keputusan-keputusan ketatausahaan. Otoritas dewan telah berkembang dari tahun ke tahun dan sekarang meliputi otoritas terhadap kasus-kasus perdagangan (Komite Penyelesaian Perselisihan Perdagangan dalam Kementrian Perdagangan, jika komite penting semacam ini, telah mentransfer yurisdiksinya ke Dewan Keluhan) dan terhadap sebagian besar pidana non-sharia (yang diatur dalam undang-undang).
Karena hukum Islam merupakan satu-satunya sumber legislasi, pengadilan ini (yang tidak disebut pengadilan, namun disebut komite) tidak menerapkan hukum tetapi lebih condong ke peraturan atau ketetapan yang diterbitkan oleh raja dan Dewan Kementrian setelah konsultasi dengan ulama tingkat-atas (kadang-kadang dalam bentuk fatwa yang ditujukan pada Dewan Ulama Senior), yang mengadakan semacam pengkajian konstitusi Islam. (Para mufti juga nantinya bisa mengkaji ulang hukum tersebut jika muncul pertanyaan dalam penerapannya). Sementara sharia memberikan para penguasa otoritas yang luas untuk membuat ketetapan yang tidak bertentangan dengan sharia, beberapa oposisi religius memperdebatkan bahwa seluruh pengadilan non-Islam harus roboh menjadi yurisdiksi pengadilan sharia dan bahwa peraturan harus selalu dibuat berdasarkan sharia.

SUSUNAN KEPEGAWAIAN
Arab Saudi memiliki dua pengadilan: satu untuk pengadilan sharia, yang lain untuk komite. Hanya mereka yang diakui pengadilan lokal (terbatas pada warga negara Saudi yang laki-laki) boleh muncul dalam pengadilan. Raja menunjuk dan memberhentikan semua hakim menurut rekomendasi dari Dewan Yudisial Agung. Hakim harus berusia dua puluh lima tahun (lebih tua untuk pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi). Ada kemungkinan besar akan homogenitas sosial dalam para hakim, kebanyakan dari mereka datang dari daerah tengah, Qasim, dan belajar di sekolah-sekolah yang sama. Arab Saudi memiliki sekitar 650 hakim, terlalu sedikit jumlahnya untuk menghadapi sejumlah besar kasus yang menumpuk, yang sering mengakibatkan penundaan yang lama.
Menurut sejarah, seorang hakim atau cendekiawan Islam menerima pelatihan di masjid, bekerja dengan mentor Wahhabi yang terhormat. Sekarang, para pengacara biasanya seorang sarjana S1 ilmu sharia dari satu dari tiga kampus sharia di Arab Saudi dalam tiga universitas Islam: al-Imam Muhammad ibn Saud di Riyadh, Umm al-Qura di Mekah, dan Universitas Islam di Medina. Mereka menerima pelatihan mengenai ke-empat aliran hukum keagamaan. Pada masa lalu, mereka biasanya diajar oleh profesor Mesir dan dilatih di al-Azhar; meningkat belakangan ini, fakultasnya Saudi. Institusi Pengadilan Tinggi menawarkan pelatihan S2 bidang sharia. Para pengacara yang bercita-cita untuk bekerja di komte tersebut biasanya belajar di kampus ilmu administrasi di universitas biasa, dimana hukum yang berkaitan dengan peraturan merupakan subjek utama ilmu tersebut. Mereka juga mempelajari sedikit sharia. Banyak pelajaran di Institut Administrasi Publik, yang didirikan pada tahun1961, melatih pelajarnya bidang hukum yang berkaitan dengan peraturan. Institut Administrasi Publik tersebut benar-benar bernilai bagi mereka yang hanya memiliki latar belakang S1 sharia. Lulusan S1 sharia kebanyakan melanjutkan pendidikannya disana untuk mendapatkan gelar S2.

DAMPAK
Hukum Islam di Arab Saudi menembus urusan publik dan pribadi dalam jangkauan yang jauh lebih banyak dibandingkan hukum di Barat. Yang pertama, jangkauannya lebih besar, terdiri dari tidak hanya hukum pidana dan perdata, tetapi juga praktek keagamaan personal. Kewajiban yang dimiliki seseorang terhadap Tuhan (berdoa, puasa, naik haji) juga merupakan bagian dari peraturan sharia seperti halnya pencurian dan waris. Standar moralnya yang luas mencakup hubungan dengan masyarakat, dengan negara, dan dengan Tuhan. Dalam hal ini, hukum Islam lebih berpengaruh di Arab Saudi di negara lainnya yang berpenduduk orang Islam, dimana hukum Islam biasanya merupakan sangsi negara, dengan segala kekuatan paksaannya, hanya dalam status hukum personal. Yang kedua, hukum Islam di Arab Saudi memiliki dampak abstrak yang lebih kuat, karena sharia, yang bersifat keTuhanan, merupakan satu-satunnya pedoman untuk hidup yang benar. Orang-orang secara aktif mencari tahu dan mematuhinya, meskipun tanpa paksaan dari negara. Meskipun demikian, di Arab Saudi, sharia merupakan hukum, dengan seluruh kekuatan paksaannya. Sharia tidak diterjemahkan oleh pemimpin yang dipilih melalui pemilu, dan penterjemahan yang berbeda (baik dari orang-orang Shia, wanita, maupun Islam Sunni) biasanya tidak ditoleransi. Sementara sistem tersebut berfungsi dengan jelas dengan banyak dukungan populer dan jarang bergantung pada paksaan, tanpa perdebatan terbuka lebih lanjut tingkat penerimaannya sulit diketahui.
Jill Crystal


STRUKTUR HUKUM PENGADILAN ARAB SAUDI

Tidak ada komentar: