Jumat, 28 Agustus 2009

KEADILAN MELALUI “MAJORITY DECISION” Analisis Filosofis-Yuridis



A. PENDAHULUAN

Sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah: Sumum ius summa in iuira (keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan yang tertinggi). Artinya, adil tidaknya sersuatu tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Misalnya, pihak keluarga korban pembunuhan akan merasakan keadilan bilamana tersangka pembunuhan dihukum dengan hukuman yang sangat berat, akan tetapi tersangka akan merasakan ketidakadilan bilamana ia mendapatkan hukuman yang sanagat berat tersebut. Demikian pula sebaliknya, keluarga korban akan merasakan ketidakadilan bila tersangka dijatuhi keputusan bebas, namun tersangka mungkin akan merasakan keadilan bila hakim memberikan putusan bebas itu kepadamnya.
Antonius sujata, membuat perumpamaan keadilan tersebut sebagai pedang karena membuat luka bagi siapapun. Keadilan dirasakan tajam pada saat dipergunakan, namun bermanfaat sebagai alat untuk mencegah ketidakadilan. Pedang tersebut dapat menjadi tidak adil bagi kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban, bahkan mungkin masyarakat (termasuk kelompok korban), manakah pihak yang menangani, yaitu penegak hukum, menyalahgunakan kewenangannya dengan berbuat tidak adil sehingga merugikan semua pihak.
Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antarakepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat dari adanya keluhan-keluhan para pihak ataupun reaksi dari masyarakat.1

B. HUKUM DAN KEADILAN
1. Fungsi Hukum
John Austin (1790-1859) seorang tokoh positivisme, membagi hukum menjadi dua bentuk, yakni:
a. Hukum Allah, hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam arti yang sejati.
b. Hukum Manusia, yaitu segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri
Namun, katanya disini juga harus dibedakan antara:
a. Hukum yang sungguhj-sungguh (proferly so called). Hukum ini adalah undang-undang yang berasal dari suatu kekuasan politik. Atau peraturan-peraturan pribadi-pribadi swasta yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
b. Hukum yang sebenar-benarnya bukan hukum (improferly so called). Hukum ini adalah peraruran-peraturan yang berlaku bagi suatu klub olah raga, bagi suatu pabrik, bagi suatu karya-karya ilmiah, dan sebagainya. Peraturan-peraturan yang berlaku di bidang-bidang ini bukan hukum dalam arti yang sungguh-sungguh.2

2. Keadilan
Keadilan merupakan tujuan akhir dari hukum dan merupakan tujuan tertinggi dari pembahasan filsafat hukum. Cita-cita keadilan merupakan cita-cita hukum yang sudah sabgat tua, dan mendapat tempat utama dalam pembahasan para pemikir-pemikir hukum.
Plato dalam buku Republiknya mengatakan bahwa keadilan mengandung arti hubungan harmonis dengan berbagai bagian organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan sesuatu yang paling sesuai dengan sifat alamiahnya. Sedangkan Aristoteles mengkaji keadilan dengan cara yang berbeda. Menurutnya, keadilan itu mempunyai suatu unsur kesamaan, dan menuntut bahwa benda-benda yang adadi dunia ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum.
Aristoteles membagi kadilan tersebut ke dalam dua bentuk keadilan, yaitu; keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan korektif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat Undang-undang, yang distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip-prinsip kesamaan proforsional. Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang menjamin, mengawasi dan memalihara distribusi ini melawan serangan-serangan yang ilegal. Fungsi keadilan korektif pada prinsipnya diatur oleh hakim dan mengestabliskan kembali status quo, dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi kepadanya atas miliknya yang hilang.3

C. KESIMPULAN
1. Keadilan melalui “majority decision’ hanya cocok dilaksanakn melalui sistem perwasitan, dan bersifat kuantitatif (yang dapat diukur dengan hitungan angka-angka) dan merupakan putusan final yang tidak dapat dianulir.
2. Keadilan melalui”majority decision” adalah tidak tepat dijadikan pilihan untuk memutus kasus yang bersifat abstrak, normatif dan kualitatif.




DAFTAR PUSTAKA

Antonius Sujata, 2000, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta.
Muhammad Muslihuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, yogyakarta.

Tidak ada komentar: