Jumat, 09 Januari 2009

Epistemologi Islam

EPISTEMOLOGI ISLAM
(Sebuah Kajian Filsafat Ilmu)

Gatot Sugiharto


A. Pendahuluan
Diantara realitas sains adalah, ia selalu terbuka untuk berkembang dan dikembangkan, diverifikasi dan difalsifikasikan, serta berkorespondensi dengan tingkat pengetahuan manusia. Sains modern (sains Barat) misalnya yang terlahir dari rahim gagasan renaisans sejak dulu tidak terlepas dari sorotan tajam dan kritis di kalangan para ahli. Mereka bertolak dari kesadaran bahwa sains modern dengan segala keterbatasannya, semakin diyakini telah memiliki cacat yang cukup serius karena dianggap belum mampu mengakomodasi permasalahan dunia dan manusia dengan analisis sainsnya. Bahkan justru ia dituding sebagai penyebab krisis global yang melanda masyarakat internasional. Dalam konteks ini menarik sekali untuk diungkapkan pernyataan Gregory Bateson : “Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa”.
Lebih jauh, implikasi dari kesadaran itu melahirkan penyangkalan atas klaim objektifitas sains. Teori ilmu objektif yang dikembangkan Descartes tersebut antara lain merujuk pada pola pembebasan realitas sains (netralisasi) dari berbagai hal termasuk keyakinan (sekularisasi) . Namun persyaratan keobjektifan demikian sudah dimustahilkan karena menurut David Hume, ilmuwan bekerja dalam kerangka berpikir yang telah dahulu disandarkan pada kepercayaan atau paradigmanya sendiri. Lebih tegas M. Amin Abdullah menyatakan bahwa klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai dan objektif memungkinkan adanya praktek manipulasi dengan proses rekayasa.
Dengan demikian, banyak ilmuwan kemudian menyadari bahwa sains modern bukanlah satu-satunya pilihan dalam pengembangan keilmuan. Berangkat dari keyakinan bahwa dengan paradigma berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda pula maka, dimulailah agenda pencarian alternatif-alternatif epistemologi baru. Mulai dari kelompok humanis radikal, Marxisme, hingga kelompok yang lari ke dunia mistis.
Namun begitu, eksistensi sains modern terus berkembang dengan semangat sekularisasinya. Sebuah semangat revolusi sains yang berpijak pada ide pembebasan rasio dari mitologi. Agama sebagai dasar fundamental dari keyakinan ditinggalkan. Tuhan dianggap tidak memiliki andil dalam proses pengetahuan. Maka kemudian timbullah pemikiran bahwa kehidupan ini berpusat pada manusia (antroposentris). Akal-lah yang mampu mendapatkan segala pengetahuan (rasionalisme). Ilmu pengetahuan tetap diposisikan secara netral. Agama dan ilmu dipisahkan.
Refleksi budaya Barat seperti itulah yang menyebar ke seluruh penjuru dunia, membentuk semacam imperialisme epistemologi. Tak terkecuali dunia Islam. Masyarakat dunia kemudian percaya bahwa kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan hanya dapat terlaksana jika mampu membebaskan diri dari ikatan-ikatan agama, karena “hampir semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat muncul dari pendekatan non agama, jika bukan anti agama”.
Paradigma seperti itu pada dasarnya bertentangan dengan cita-cita Islam. Umat muslim meyakini bahwa al-Qur’an, sebagai wahyu Allah, merupakan petunjuk bagi mereka. Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran normatif. Ajaran normatif inilah yang ditransformasikan sebagai teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan langsung menjadi prilaku. Itu berarti ajaran normatif pulalah yang dijadikan pondasi bagi konstruksi bangunan pemikiran keislaman yang dimungkinkan mampu mendasari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian konsepsi Islam sampai pada kesimpulan bahwa antara ilmu dan agama sama sekali tidak ada pertentangan.
Namun ironinya, kenyataan sekarang ini, “pembaharuan-pembaharuan di seluruh dunia Islam lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan terhadap tonggak intelektual Barat daripada membentuk kembali sumber ‘aql-nya sendiri”. Kenyataan tersebut menurut Ziauddin Zardar adalah merupakan dampak dari pesatnya imperialisme epistemologis Barat terhadap alternatif pemikiran-pemikiran lainnya sejak sekitar 300 tahun yang lalu. Sehingga terciptalah cara-cara pengetahuan yang didominasi oleh citra orang Barat. Imperialisme tersebut tampaknya akan terus berlangsung kecuali jika mampu diciptakan epistemologi alternatif. Dalam hal ini Islam dianggap mampu menjawab tantangan epistemologi alternatif tersebut. Kemudian agar tidak terjebak ke dalam tiruan-tiruan Sains Modern, epistemologi Islam harus mampu mempunyai citra tersendiri yang tak kalah dari citra Barat.

B. Filsafat Pengetahuan Islam (Epistemologi Islam)
Membahas Filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan dari pembicaraan mengenai filsafat itu sendiri, sebab filsafat pegetahuan merupakan cabang dari filsafat. Salah satu masalah filsafat ialah mencari hakekat sesuatu yang menjadi bahasannya, oleh karena itu filsafat pengetahuan tidak dapat tidak, harus melibatkan diri untuk membicarakan atau lebih tepatnya membahas obyeknya, dalam hal ini membahas hakekat pengetahuan itu sendiri. Sebelum membicarakan lebih lanjut masalah apa yang menjadi pembahasan filsafat pengetahuan, terlebih dahulu perlu diketengahkan pengertian filsafat pengetahuan.
Bagian Filsafat yang dengan sengaja berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia disebut dengan “Epistemologi” atau “ajaran tentang pengetahuan”. Ditinjau dari segi etimologinya, epistemology berasal dari kata Yunani Episteme dan Logos, Epistem berarti Pengetahuan, sedangkan Logos berarti Teori, uraian atau alasan.
Berhubungan dengan pengertian filsafat pengetahuan , lebih tepat logos diterjemahkan dalam arti teori, jadi epistemology dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan, dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah Theory of knowledge.
Dalam Dictionary of philosophy, Dagobert D. Runes menulis asal kata epistemology dari kata Epistem ditambah Logos, Theory. Dari akar kata ini ditarik rumusan epistemology sebagai berikut “epistemology sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Selanjutnya Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya Falsafah agama, memberi arti epistemology: Episteme berarti pengetahuan dan epistemology adalah ilmu ang membahas tentang : a). apa itu pengetahuan dan b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Kutipan-kutipan di atas memberi penjelasan kepada kita, epistemology bertujuan mempelajari hal-hal yang bersangkut paut dengan pengetahuan, dipelajari secara mendalam (substansi).
Jika telah dapat diketahui apa itu epistemology atau filsafat pengetahuan, maka apa pula yang dimaksud dengan filsafat pengetahuan islam?. Untuk mengetahui apa iti filsafat pengetahuan Islam diperlukan pengertian khusus. Pengertian ini dapat diperoleh melalui arti harfiahnya (etimologi) atau dengan mencari definisinya (terminology).
Sampai sekarang masih belum ada buku khusus yang membahas filsafat pengetahuan islam secara memadahi. Oleh karena itu utuk memberi nama yang paling tepat pada bidang disiplin ini menurut Miska Muhammad Amin harus dipilih beberapa kemungkinan: Pertama, Filsafat pengetahuan islam, Kedua, Filsafat Ilmu pengetahuan islam,, Ketiga, Filsafat pengetahuan dalam Islam. Karena sekarang sudah mulai dikembangkan dan dipisahkan nama Filsafat Ilmu dangan Filsafat pengetahuan, masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Supaya tidak terjadi kekacauan, maka yang dipilih adalah filsafat pengetahuan islam, dan untuk istilah biasa disebut Epistemologi Islam.
Untuk sampai pada rumusan yang tepat menurut Miskah dapat digunakan dua pendekatan. Dua pendekatan yang dimasud adalah: Pertama, pendekatan secara genetivus subyektivus, yaitu yang menempatkan islam sebagai subyek (subjek disini dijadikan titik tolak berpikir). Dan titik tolak ini filsafat pengetahuan akan dijadikan sebagai bahan kajian. Pendekatan kedua, secara genetivus objektivus, yaitu yang menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subjek (sebagai titik tolak berpikir) yang membicarakan islam sebagai objek kajian.
Dari kedua pendekatan di atas, tampaknya pendekatan yang pertama lebih tepat, yakni secara genetivus subjektivus. Alas an-alasan yang dapat diajukan, antara lain:filsafat pengetahuan sebagai hasil pemikiran manusia, tidak bermaksud untuk menafsirkan islam, tatapi tujuannya adalah, bagaimana cara memperoleh pengetauan itu, bagaimana metodologi pengetahuan, bagaimana hakekat pengetahuan, dan sebagainya, yang menyangkut pengetahuan. Maka filsafat pengetahuan islam dengan sendirinya menelaah: bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan islam, bagaimana metodologinya, bagaimana kebenaran yang diperoleh manusia menurut pandangan islam.
Untuk menempatkan Kedudukan filsafat pengetahuan islam, aspek-aspek yang dimilikinya patut dipertimbangkan dalam tulisan yang berjudul “epistemology dalam islam” S.I. Poeradisastra menulis antara lain: Epistemologi di dalam Islam berjalan dari tingkat: (a). perenungan (Contemplation) tentang sunatullah sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’anulkarim, (b). penginderaan (Sensation), (c). pencerapan (Perception), (d). Penyajian (Representation). (e). Konsep (Concept). (f). Timbangan (Judgment), dan (g). Penalaran (Reasoning). Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa epistemology di dalam islam tidak berpusat kepada manusia (anthropocentric) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri (autonomours) dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (Theocentric), sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha manusia, kepada iradat Allah.
Epistemologis islam mengambil titik tolak islam sebagai subjek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka disatu pihak epistemology islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dsn sumber segala kebenaran. Dilain pihak, filsafat pengetahuan islam berpusat pula pada manusia; dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Disini manusia berfungsi sebagai subjek yang mencari kebenaran.
Pendapat di atas berdasarkan alasan, bahwa manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan, sekaligus memberi interprestasinya. Dalam islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan. “…berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. . dalam beberapa Hadist Nabi dikatakan; Menuntut Ilmu itu wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

C. Prinsip dan Bentuk Epistemologi Islam
Sesungguhnya cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari epistemologi Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem epistemologinya. Metode eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis dengan bukti-bukti empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah membuktikan dengan ditemukannya aljabar, manthiq, ilmu falak dan lain-lain di dunia Islam jauh sebelum Eropa mengenal metode eksperimen dan hanya terkungkung pada corak berpikir monolinear antara rasionalisme atau empirisme serta mengesampingkan peran ajaran agama (sekularisme).
Di samping itu, salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam serta membedakannya dari epistemologi Barat yang sekular adalah masuknya nilai-nilai ajaran normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-prinsip dalam epistemologi Islam. Wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan, serta menentukan skop kajian ke arah mana sains Islam itu harus ditujukan. Konsepsi ini mempunyai akibat-akibat penting terhadap metodologi sains dalam Islam. Sehingga tidak heran bila kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi sebagi cara, sumber dan petunjuk pengetahuan Islam.
Permasalahannya, mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada wahyu apabila dengan metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-empiris? Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memilki keterbatasan kemampuan untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang telah dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu Tuhan. Tuhan telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu, Kuntowijoyo mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari wahyu ini bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk mengujinya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan keesaan Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan aksiologis, dan bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang Pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya yang lebih jauh adalah bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an, fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah; bahwa semua yang terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu Pencipta yang menciptakan, Pengatur dengan suatu sistem tunggal dan Penggerak dengan keteraturan tunggal. Konsep tauhid (iman) inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam berusaha menjabarkan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia serta dijadikan dasar sentral dari landasan epistemologi Islam.
Kaitannya dengan ini, Dr. Mahdi Gulsyani menulis
“Suatu keyakinan kokoh pada prinsip tauhid membuat sang peneliti melontarkan pandangan menyeluruh kepada alam, bukannya hanya melihat alam secara sepotong-sepotong. Hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dunia fisik. Tanpa suatu keyakinan kokoh pada kehadiran tatanan dan koordinasi pada alam, penelitian ilmiah tidak akan memiliki makna universal; dan paling banyak nilainya hanya bersifat sementara. Beberapa ilmuwan percaya pada keberadaan tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau memperhatikan prinsip tauhid; namun, menurut kami, tanpa mempercayai at-tauhid, tidak akan ada keterangan memuaskan tentang tatanan kosmis”.
Sampai di sini ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tauhidlah yang menjadi prinsip pokok dalam epistemologi Islam.Dengan begitu semakin jelas bagi kita, bahwa epistemologi Islam berupaya untuk menunjukkan arah kepastian kebenaran, di mana epistemologi ini berangkat dan berawal dari kepercayaan, serta selanjutnya memantapkan kepercayaan itu melalui perenungan-perenungan, penalaran, pemikiran, dan pengamatan yang disandarkan pada wahyu Tuhan (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dan diyakini bahwa kebenaran wahyu tersebut merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarat, hudan (pedoman hidup) dan rahmah (rahmat).
Sebenarnya konsep tauhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep panteologisme yang dianut agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan teosentris. Namun, paradigma teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris agama lain dengan alasan bahwa sistem tauhid memiliki arus balik kepada manusia. Paradigma teosentris Islam (iman) selalu dikaitkan dengan amal manusia. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pusat dari perintah zakat – misalnya – adalah iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat humanistik. Artinya, manusia harus memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri (amal). Dalam formulasi lain, Islam mengenalkan konsep dualisme manusia; sebagai hamba (abdun) yang menyembah Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan lingkungannya (beramal).
Lantas, apabila prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk kongkrit dari epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan? Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, pada awalnya diakui jika epistemologi Islam dipengaruhi oleh epistemologi yang berkembang di Yunani. Aliran pokok yang diikuti oleh ilmuwan muslim adalah aliran rasionalism yang dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan aliran realism yang dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara keduanya saling memposisikan aliran “dirinyalah” yang paling benar, maka ilmuwan muslimpun mencari alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara keduanya sehingga lahirlah metode eksperimen.
Metode ini telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-12 Masehi, diantaranya adalah Hasan Ibn Haitsam – biasa disebut Alhazen di Eropa –yang melahirkan karya tentang teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar – biasa disebut Geber di Eropa – yang lahir pada pertengahan abad ke-8, melahirkan karya tentang kimia secara konfrehensif, dan masih banyak ilmuwan lainnya.
Selain metode eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu bentuk epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat dijelaskan melalui proses logis-empiris, yakni tanpa pengamatan (observasi), tanpa deduksi (logis), bahkan tanpa spekulasi (rasional), ilmuwan muslimpun meyakini intuisi sebagai sumber kebenaran paling tinggi. Dan sumber kebenaran ini hanya berada di bawah otoritas wahyu Tuhan (al-Qur’an), termasuk tradisi kenabian (Al-Hadits).
Selain dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan istilah lain yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy). Terminologi tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif yang berbentuk wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang diterima oleh Nabi, dengan pengetahuan intuitif yang berbentuk ilham yang diterima oleh manusia. Pembedaan tersebut adalah implikasi dari keyakinan Islam bahwa kemampuan pengetahuan antara Nabi dan manusia biasa berbeda.
Pada perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain seperti nadzr, tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas, tamsil, ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga aliran penting yang mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, (1) pengetahuan rasional, (2) pengetahuan inderawi, dan (3) pengetahuan kasfy lewat ilham atau intuisi.

D. Reorientasi Epistemologi Islam dalam Pengembangan Sains
Menurut M.Amin Abdullah , apabila dilihat dari aspek epistemologis, kemunduran ilmu pengetahuan dalam dunia Islam setelah masa keemasannya pada abad ke-8 sampai ke-12 Masehi lebih disebabkan karena titik tekan epistemologi Islam cenderung mengarah secara tajam ke wilayah idealisme dan rasionalisme, tanpa peduli terhadap empirisme kalau tidak juga dikatakan lebih menajam ke arah normativitas ajaran wahyu - sebagai salah satu bentuk kongkrit dari intuisi – dari pada rasionalisme atau empirisme. Padahal sejarah membuktikan bahwa kemampuan Islam dalam meretas kevakuman filsafat Yunani serta lahirnya metode eksperimentasi dari dinamika pemikiran Islam diakui sebagai pencetus awal dari perkembangan ilmu pengetahuan. Di mana akhirnya metode ini diadopsi oleh ilmuwan barat hingga melahirkan revolusi sains pada masa renaissans.
Banyak pemikir Muslim kemudian berpendapat bahwa awal dari titik tolak pergeseran paradigma ilmuwan Muslim terhadap epistemologinya tersebut lebih disebabkan oleh gelombang anti filsafat sebagai akibat dari kesalahpahaman terhadap pemikiran al-Ghazali dalam bukunya Tahafutul Falasifah. Padahal beliaupun adalah seorang filusuf. Namun, meski telah ditentang serta dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam bukunya, Tahafut al- Tahafut, bahwa tidak ada pertentangan dari filsafat dengan agama, pemikir Islampun tetap saja terjebak ke dalam pemikiran monolinear, antara rasionalis, empiris, atau intuitif. Dampak logis dari fenomena tersebut adalah semakin jauhnya pemikiran Islam dari nilai-nilai ilmiah, sebagaimana yang telah menjadi ciri khas pengembangan ilmu pengetahuan.
Melihat realitas di atas, maka, apabila kejayaan Islam ingin dikembalikan dan dapat diraih kembali kemajuan ilmu pengetahuaannya, yang perlu serta harus segera dilakukan adalah reorientasi epistemologi Islam sebagaimana yang tergambar dari kejayaan pada masa tradisi Islam klasik. Yaitu, epistemologi yang berupa perpaduan antara aspek rasionalisme, empirisme, kasfy, rasionalisme kritis, positivisme dan fenomenologi dengan tetap berpangkal tolak pada Al-Qur’an sebagai keterangan dan petunjuk atas segala sesuatu.
Reorientasi epistemologi Islam seperti tersebut diatas penting dilakukan juga agar bangunan epistemologi Islam itu sendiri, seperti dikatakan di muka, tidak terjebak dalam tiruan-tiruan sains modern yang telah banyak diperdebatkan. Hanya saja, lebih lanjut M. Amin Abdullah menyatakan, hal ini bukanlah pekerjaan mudah, akan tetapi dibutuhkan kerja sejarah untuk merombak bangunan berpikir yang telah lama terbentuk sejak pasca zaman klasik. Namun demikian, betapapun sulitnya tugas mulia itu harus segera dimulai dengan membubuhkan sense of empirical studies, mentalitas yang ‘haus” akan data-data historis empiris dan mempunyai greget keingintahuan (curiosity) yang tinggi serta berupaya mengamalkannya. Perlu juga dikembangkan epistemologi-epistemologi lain, namun tetap harus diposisikan pada satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas, sehingga akan dimungkinkan terlahir ilmu pengetahuan yang seimbang antara kebutuhan aspek jasmani dan rohani manusia.
Sebuah fenomena menarik, pada awal abad ke 20 ini, di Indonesia – dengan tidak menafikan negara-negara Islam lainnya – telah muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup berani dengan kemampuannya mengungkap warisan ilmu pengetahuan Islam dengan pendekatan epistemologi Islaminya. Ary Ginanjar Agustian misalnya, meski dia seorang praktisi yang bergerak di bidang usaha, dengan ‘ESQ Model’ nya, ia telah dianggap mampu memperkenalkan paradigma baru yang mensinergikan sains, sufisme dan psikologi dengan tetap berpijak pada ajaran-ajaran Qur’ani serta penekanannya pada prinsip Tauhid.
Ada lagi Agus Musthofa, seorang sarjana teknik nuklir lulusan Universitas Gadjahmada (UGM) Yoqyakarta, dengan cukup berani ia mencoba menyingkap fenomena-fenomena spiritual yang dianggap sulit dicerna oleh indera manusia dengan argumen-argumen logis-empiris namun tetap berpijak pada koridor ajaran wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Dan masih banyak lagi ilmuwan Muslim dari berbagai penjuru dunia yang tidak mungkin dipaparkan dalam ruang yang terbatas ini.
Namun demikian, tantangan terbesar bagi ilmuwan Muslim saat ini adalah, bagaimana menemukan formulasi yang konfrehensif tentang berbagai macam teori ilmu pengetahuan yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik Islam maupun non Islam, sehingga sains Islam-pun bukan hanya akan terbebas dari bayang-bayang imperialisme epistemologi barat, tetapi juga mampu mencerminkan secara kongkrit konsep Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin’.

E. Islamisasi Ilmu Pengetahuan/Peng-Islaman Pengetahuan.
Ilmu pengetahuan modern yang saat ini dihasilkan oleh peradaban Barat tidak serta-merta harus diterapkan di dunia Muslim. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden). Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisesme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge).
Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas. Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.
Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Alasannya, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diislamkan.
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya, terdapat sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.
Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian kepada metafisika terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.
Jadi, pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma'lum min al-din bi al-darurah). Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan-hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Setelah mengetahui secara mendalam mengenai pandangan-hidup Islam dan Barat, maka proses Islamisasi baru bisa dilakukan. Sebabnya, Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini (the Islamization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang saling terkait: 1) mengisoliir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya), dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas , jika tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2) memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekular kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (Ðann) dan argumentasi kosong (mirÉ’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular.
F. Catatan Akhir
Sebagai catatan akhir, “revolusi epistemologis” diperlukan sebagai jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda konsep ilmu dalam budaya dan peradaban Barat.Epistemologi Islam sebagai jawabannya yang mampu memberikan argumentasi secara rasional.



DAFTAR PUSTAKA

Adnin Armas. Makalah disampaikan pada pecan kajian islam di FIB UI 22 Februari 2007
Akhyak. 2003. Meniti jalan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dagobert D Runes. 1971. Dictionary Of Philosophy. Totowa New Jersey: Adam & co.
Harun Nasution. 1973. Falsafah Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Jacques Veuger. 1970. Epistemologi. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM
M Amin Abdullah. 1995. Falsafah Kalam di Era Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Miska Muhammad Amin. 2006. Epistemologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.
Syed Muhammad Naquib Al Attas. 1993. Islam And Sculerisme. Kuala Lumpur:ISTAC
www//Penulis_indonesia.com//Ibnu fath.
Al Qur’an