Jumat, 28 Agustus 2009

KEADILAN MELALUI “MAJORITY DECISION” Analisis Filosofis-Yuridis



A. PENDAHULUAN

Sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah: Sumum ius summa in iuira (keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan yang tertinggi). Artinya, adil tidaknya sersuatu tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Misalnya, pihak keluarga korban pembunuhan akan merasakan keadilan bilamana tersangka pembunuhan dihukum dengan hukuman yang sangat berat, akan tetapi tersangka akan merasakan ketidakadilan bilamana ia mendapatkan hukuman yang sanagat berat tersebut. Demikian pula sebaliknya, keluarga korban akan merasakan ketidakadilan bila tersangka dijatuhi keputusan bebas, namun tersangka mungkin akan merasakan keadilan bila hakim memberikan putusan bebas itu kepadamnya.
Antonius sujata, membuat perumpamaan keadilan tersebut sebagai pedang karena membuat luka bagi siapapun. Keadilan dirasakan tajam pada saat dipergunakan, namun bermanfaat sebagai alat untuk mencegah ketidakadilan. Pedang tersebut dapat menjadi tidak adil bagi kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban, bahkan mungkin masyarakat (termasuk kelompok korban), manakah pihak yang menangani, yaitu penegak hukum, menyalahgunakan kewenangannya dengan berbuat tidak adil sehingga merugikan semua pihak.
Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antarakepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat dari adanya keluhan-keluhan para pihak ataupun reaksi dari masyarakat.1

B. HUKUM DAN KEADILAN
1. Fungsi Hukum
John Austin (1790-1859) seorang tokoh positivisme, membagi hukum menjadi dua bentuk, yakni:
a. Hukum Allah, hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam arti yang sejati.
b. Hukum Manusia, yaitu segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri
Namun, katanya disini juga harus dibedakan antara:
a. Hukum yang sungguhj-sungguh (proferly so called). Hukum ini adalah undang-undang yang berasal dari suatu kekuasan politik. Atau peraturan-peraturan pribadi-pribadi swasta yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
b. Hukum yang sebenar-benarnya bukan hukum (improferly so called). Hukum ini adalah peraruran-peraturan yang berlaku bagi suatu klub olah raga, bagi suatu pabrik, bagi suatu karya-karya ilmiah, dan sebagainya. Peraturan-peraturan yang berlaku di bidang-bidang ini bukan hukum dalam arti yang sungguh-sungguh.2

2. Keadilan
Keadilan merupakan tujuan akhir dari hukum dan merupakan tujuan tertinggi dari pembahasan filsafat hukum. Cita-cita keadilan merupakan cita-cita hukum yang sudah sabgat tua, dan mendapat tempat utama dalam pembahasan para pemikir-pemikir hukum.
Plato dalam buku Republiknya mengatakan bahwa keadilan mengandung arti hubungan harmonis dengan berbagai bagian organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan sesuatu yang paling sesuai dengan sifat alamiahnya. Sedangkan Aristoteles mengkaji keadilan dengan cara yang berbeda. Menurutnya, keadilan itu mempunyai suatu unsur kesamaan, dan menuntut bahwa benda-benda yang adadi dunia ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum.
Aristoteles membagi kadilan tersebut ke dalam dua bentuk keadilan, yaitu; keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan korektif adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat Undang-undang, yang distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip-prinsip kesamaan proforsional. Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang menjamin, mengawasi dan memalihara distribusi ini melawan serangan-serangan yang ilegal. Fungsi keadilan korektif pada prinsipnya diatur oleh hakim dan mengestabliskan kembali status quo, dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi kepadanya atas miliknya yang hilang.3

C. KESIMPULAN
1. Keadilan melalui “majority decision’ hanya cocok dilaksanakn melalui sistem perwasitan, dan bersifat kuantitatif (yang dapat diukur dengan hitungan angka-angka) dan merupakan putusan final yang tidak dapat dianulir.
2. Keadilan melalui”majority decision” adalah tidak tepat dijadikan pilihan untuk memutus kasus yang bersifat abstrak, normatif dan kualitatif.




DAFTAR PUSTAKA

Antonius Sujata, 2000, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta.
Muhammad Muslihuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, yogyakarta.

Sabtu, 22 Agustus 2009

ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS DARI BANGUNAN ILMU HUKUM



Oleh: Moch. Fatich
ABSTRAK
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral. Kata Kunci: aspek, aksiologi, epistimologi, aksiologi
Pendahuluan
Manusia dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. (Mertokusumo; 1999: 10). Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan. Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan. Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara (Mertokusumo, 1999: 12). Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo (2000: 17) kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontologi dari bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya? bagaimanakah dengan aspek epistemologinya? bagaimana pula dengan aspek aksiologinya, terutama dalam menjawab persoalan euthanasia?
Aspek Ontologis dari Ilmu Hukum
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar. Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan. Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum. Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach). Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji (Hartono, 1989: 13-20). Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri (Mertokusumo, 1999: 115). Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas (Loudoe; 1985: 124-125). Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada (Scholten, 1992: 67). Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan). Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada (Suriasumantri, 1990: 93) yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit (Fadjar; 2007: 1-2).
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal (Rasyid, 1991 : 6) yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa (Fadjar; 2007: 1-2), yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan (Fadjar, 2007: 1-2). Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adapt (Mertokusumo, 1999: 126), sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.

Aspek Epistemologis dari Ilmu Hukum Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan (Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, 2007: 4) (Suriasumantri, 1990: 106). Ia membahas tentang sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah, serta tolok ukur bagai sebuah kebenaran dan kenyataan ilmiah. Sarana ilmiah dalam epistemologi adalah akal atau akal budi, pengalaman atau kombinasi diantaranya, serta intuisi (Fadjar, 2007: 4). Dalam konteks keindonesiaan dengan plularisme hukumnya, aliran epistemologi yang dianut oleh hukum barat yang positivistik dan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan (Mertokusumo, 1988: 165-167) menurut hemat penulis adalah idealisme atau rasionalisme dengan menekankan peranan akal sebagai sumber pengetahuan. Aliran epistimologi yang dianut oleh hukum adat yang bersifat riil, terang atau jelas dan kontan, serta menitik beratkan pada kebiasaan atau perilaku masyarakat (die normatieve kraft des factischen demikian kata Jellineck), menurut hemat penulis adalah realisme atau empirisme dengan menekankan peranan indra dan pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan. Adapun aliran epistemologi dari hukum Islam menurut hemat penulis tidak dapat dikatakan idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal. Demikian pula tidak dapat dikatakan realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra dan pengalaman empirik (realitas), sebab Hukum Islam yang berasal dari Ajaran Agama Islam bersumberkan kepada wahyu (lihat Anshari, 1987: 128-130) sebagai sumber pengetahuan, baik yang didasarkan kepada kitab suci Al-Qur’an yang berkedudukan sebagai wahyu primer maupun Al-hadist yang berkedudukan sebagai wahyu sekunder. Keduanya dalam agama Islam dikenal sebagai sumber hukum atau dalil Naqli (Khallaf, 1980: 24-50). Disamping itu hukum Islam juga mengakui peranan akal (al-ra’yu) sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai sumber hukum yang dalam agama Islam disebut sebagai sumber hukum atau dalil Aqli, tetapi kedudukanya tergantung dari sumber hukum atau dalil Naqli, yakni untuk menjelaskan sumber hukum Naqli tersebut apabila tidak ditemukan kejelasannya. Dengan catatan sumber hukum Aqli tersebut yang berupa ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qias (analogi) tidak boleh menyimpang dari ketentuan sumber hukum Naqli (Khallaf: 65-75). Dan apabila dikaitkan dengan penggunaan indra atau pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan dalam hukum Islam, maka menurut hemat penulis hal itu pun dijumpai seperti pada asas hukum (kaidah ushul fiqih) al-aadatu al- muhakkamah (kebiasaan atau adat yang melembaga). Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui sarana akal atau akal budi, indra atau pengalaman empirik (realitas) dan lain sebagainya, telah menghasilkan beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu metode induksi, deduksi, positivisme, kontemplatif dan dialektika (Fadjar, 2007: 5) (lihat juga Shah, 1986: 33). Hukum sebagai ilmu pengetahuan dalam menyusun obyek atau bahan ilmunya ke dalam struktur ilmu hukum yang konstruktif dan sistematis, juga menggunakan metode-metode tersebut. Metode Induksi adalah metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum, sedangkan metode deduksi bersifat sebaliknya, yaitu metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Metode positivisme yang dipelopori oleh August Comte berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif serta menolak diluar yang positif termasuk metafisika. Sedangkan metode kontemplatif mengakui metode lain berupa intuisi dan perenungan mengingat keterbatasan indra dan akal. Apabila ditarik ke dalam dunia peradilan yang dikuasai oleh postulat keadilannya Aristoteles, bahwa peristiwa yang sama diperlakukan sama (analogi) dan peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario), maka ada dua sistem untuk merealisir pokok pikiran tersebut yaitu sistem Anglo-Amerika dan Sistem Eropa Kontinental. Sistem Anglo-Amerika mengikat hakim pada precedent (The binding force of Precedent). Hakim Amerika akan berfikir secara induktif, yaitu berfikir dari yang khusus kepada yang umum (Hukumnya dalam matematika dirumuskan dengan dalil jika X : Y dan Y : Z, maka X : Z). Ia menemukan peraturan yang dijadikan dasar putusannya dari deretan putusan-putusan sebelumnya (reasoning by analogy, reasoning from case to case). Sedangkan Sistem Eropa Kontinental bertujuan mewujudkan postulat kesamaan dengan mengikat hakim pada undang-undang, yaitu peraturan yang sifatnya umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu yang sama diputus sama. Dalam hal ini hakim terikat pada jalan pikiran deduktif, yaitu berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Ia harus mengkonkritisasi peraturan dan harus mengabstraksi peristiwa. Subsumpsie dan sillogisme atau dialektika merupakan ciri khas dari cara berfikir deduksi. Dalam sillogisme atau dialektika bunyi pasal undang-undang adalah premis mayor atau thesenya, fakta atau peristiwa atau kasus konkritnya adalah premis minor atau antithesenya dan bunyi putusan hakim adalah konklusi atau sinthesenya. Dengan demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk untuk membenarkan putusan, sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan analogi dan acontrario (Mertokusumo, 1999: 167). Dalam bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology (Sumardjono, 1989: 3) dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang karena dibantu oleh riset yang dilakukan secara terus menerus. Riset atau penelitian tersebut memiliki dua ciri khas yaitu penggunaan logika dan pengamatan empirik. Penggunaan logika meliputi baik logika deduksi maupun induksi. Logika deduksi digunakan manakala hendak menyusun hipotesis, logika induksi digunakan manakala hendak melakukan genaralisasi empirik dengan melakukan abstraksi, sedangkan pengamatan empirik digunakan manakala hendak melakukan uji hipotesis dengan melakukan observasi di lapangan. Hal tersebut dalapat dilihat pada bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana telah digambarkan oleh L. Wallace berikut ini. Siklus Ilmu PengetahuanOleh: L.Wallace
Teori
Hipotesis
Observasi
Pengamatan Empirik
Generalisasi Empirik
induksi
deduksi
Aspek Aksiologi Ilmu Hukum dalam Persoalan Euthanasia Aksiologis merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value) (lihat Suriasumantri, 1990: 231) sebagai imperative dalam penerapan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang menampakkan diri dalam tiga dimensi yaitu ilmu sebagai masyarakat, ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk (Fadjar, 2004: 5). Ilmu sebagai produk adalah bebas nilai, namun ilmu sebagai masyarakat dan sebagai proses senantiasa terikat oleh nilai sehingga harus tepat nilai, tepat guna dan tepat sasaran. Nilai tersebut dalam konteks filsafat adalah meliputi keindaha (estetika), kebaikan (etika), kebenaran (logika) dan bahkan kesakralan (agama) (Supadjar dalam Fadjar, 2007: 6). Dalam konteks aspek aksiologis ilmu hukum, salah satu materi kontroversial yang paling banyak menyita perhatian kaum intelektual sejak dulu hingga kini dan dapat dipastiakan juga untuk jangka waktu ke depan adalah masalah “euthanasia” atau hak untuk mati. Kontroversi yang panjang tersebut melibatkan terutama kaum filosof, teolog, ahli kedokteran dan ahli hukum. Kaum filosof dan teolog misalnya, cenderung menganggap euthanasia sebagai pilihan manusia yang tidak dapat dibenarkan., sebaliknya para ahli kedokteran dan hukum, paling tidak menurut pandangan yang lebih progresif relatif lebih dapat menerimanya.Silang pendapat tersebut memperlihatkan kepada kita, betapa komplek sesungguhnya permasalahan itu kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai sebagai konsekuensi dari implikasi sosial dan etika yang disandangnya. Menyinggung soal etika, berarti kita berbicara tentang baik atau buruk, susila dan asusila. Benar, bahwa agamapun berbicara soal yang sama, namun ukuran yang dipakai berbeda dengan etika. Etika sebagai bagian dari filsafat menghendaki ukuran yang umum dan universal. Kendati antara agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya kedua obyek tersebut tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti permasalahan euthanasia yang menjadi topik tulisan ini. Karena itulah membicarakan euthanasia sebagai aspek aksiologis ilmu hukum, maka selain dimensi hukum dan etika, dimensi agama dengan nilai kesakralannya (sekalipun hanya sekilas) tidak dapat diabaikan begitu saja. Menyadari luasnya cakupan etika, maka dibatasi pembahasannya hanya pada etika dalam bidang kedokteran dan hukum saja. Bagaimanapun juga dua lapangan inilah yang paling banyak terlibat dalam permasalahan euthanasia tersebut. Berdasarkan latar belakang itulah pembahasan selanjutnya akan diarahkan kepada masalah pokok, yaitu bagaimana euthanasia dalam dimensi hukum dan etika? Tentu saja dimensi hukum yang dimaksud sedikit banyak berpijak pada kundisi di Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Terminologi Euthanasia dan Pengertiannya Istilah “Euthanasia” secara etimologi berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos” yang berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk kematian dengan tanpa mengalami penderitaan (Martha, 1988: 1). Dalam berbagai kepustakaan ditemukan sebutan lain untuk euthanasia seperti “mercy death”, “mercy killing”, “hak untuk mati”, “kemerdekaan untuk mati”, “mati secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan diri dengan bantuan” dan “bunuh sayang”. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan yang paling mapan (Rahardjo, 1989: 1).
Dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, euthanasia diartikan sebagai (bringing about of) easy and painless death (for persons suffering from an incurable and painful disease). Blacks Law Dictionary mendefinisikan euthanasia sebagai the act or practice of painlessly putting to death person suffering incurable and distressing disease as an act of mercy. Batasan-batasan tersebut mirip dengan rumusan dalam kode etik kedokteran (kodeki) Indonesia yang menyatakan euthanasia adalah perbuatan untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien, yang menurut ilmu kedokteran tidak akan sembuh lagi. (Adji, 1986: 130).
Demikian pula dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG (semacam IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln, 1984 : 4).
Tindakan euthanasia terjadi bilamana dokter mengambil nyawa (mematikan) si penderita (pasien) atas permintaan yang bersangkutan, yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis, atau merasa sakit secara fisik akibat penyakit yang dideritanya, yang tidak dapat disembuhkan secara medis (sahetapy, 1989: 2). Pada perkembangan selanjutnya pengertian euthanasia mengalami modifikasi disana-sini, disertai bobot sesuai dengan aspek tinjauannya. Dari beberapa batasan tersebut, para ahli lalu membedakan euthanasia dalam 2 kategori. Dilihat persetujuan pihak korban, dikenal adanya euthanasia sukarela dan tidak sukarela (Vrijwillige-Onvrijwillige Euthanasia). Euthanasia sukarela adalah suatu penerapan euthanasia secara sungguh-sungguh (Uitdrukkelijik en ernsting) dengan persetujuan dari pihak korban dan sebaliknya pada euthanasia tidak sukarela, adalah yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban. Dari kedua kategori tersebut yang dekat dengan rumusan pasal 344 KUHP adalah jenis pertama (Adji, 1989: 131). Di samping kategori berdasarkan persetujuan tersebut, masih dikenal lagi adanya euthanasia aktif (positif) dan pasif (negatif). Kategori ini lebih banyak didasarkan pada bentuk tindakan dokter. Euthanasia aktif adalah bila si pelaku (in casu dokter) mengusahakan agar korban cepat menemui ajalnya dengan cara yang tidak menimbulkan sakit, sehingga orang tersebut terbebas dari penderitaan yang berkelanjutan atau berkepanjangan, yang disebabkan oleh penyakit yang tidak tersembuhkan lagi (Jakob, 1989: 12). Adapun teknik yang digunakan pelaku biasanya memberikan obat-obatan atau suntikan tertentu kepada korban. Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan sang pelaku dengan menghentikan segala usaha yang telah dijalankan guna menyembuhkan korban. Dengan penghentian tersebut, diharapkan korban lebih cepat meninggal dan berarti pendritaannya karena penyakit yang tidak sembuh-sembuh itupun akan cepat berlalu.
Berpijak dari pembagian itu, A.M. Capron (1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice, kemudian memerinci euthanasia dalam epat jenis yaitu :
1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasie)
Masalah euthanasia sebenarnya sudah dipersoalkan orang seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Di sisi lain, euthanasia pun tidak dapat dipisahkan dengan persoalan agama, filsafat dan hukum, khususnya dalam menyoroti esensi hidup dan pandangan mereka terhadap perbuatan bunuh diri. Dalam sejarah agam Kristen misalnya, dikenal adanya pembuangan bagi orang-orang yang menderita suatu penyakit tertentu seperti lepra atau kusta, para penderitanya diasingkan secara khusus di pulau atau tempat terpencil. Di tempat pembuangan tersebut, di tengah-tengah ketiadaan fasilitas medis, hampir dipastikan para penderita tadi hanya menunggu saat ajal menjemput mereka. Tetapi seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, pandangan agama terhadap para penderita penyakitpun mulai berubah. Banyak penyakit yang semula dipandang incurable ternyata dapat disembuhkan. Kemajuan ilmu kedokteran telah membawa banyak perbaikan terhadap kondisi kesehatan manusia. Bersamaan dengan itu, kesadaran manusia untuk mempertahankan hidupnya juga semakin tinnggi. Kendati demikian, seberapapun usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya agar semakin tinggi, namun kematian tetap harus dihadapi setiap mahluk yang benyawa. Bukankah dengan arif agama mengajarkan bahwa tiap mahluk yang bernyawa akan mati juga? Keinginan untuk mempertahankan hidup dan kenyataan bahwa manusia harus menghadapi maut, menjadi bahan perdebatan yang sengit. Para ahli kedokteran seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa si pasien (secara medis) tidak lagi dapat disembuhkan, atau hanya dapat dikatakan hidup berkat bantuan alat-alat medis semata, namun di sisi lain mereka dihadapkan pertimbangan etis apabila sengaja mengakhiri hidup pasiennya. Di luar profesi kedokteran juga terjadi kontroversi yang tidak kalah serunya. Berbagai kasus yang muncul di pengadilan membuktikan adanya gerakan pendulum etika dalam menilai euthanasia ini. Menyimak pada yurisprudensi yang ada di negeri Belanda dan Belgia, dapat diamati bahwa perkembangan euthanasia bergerak dari sikap melarang ke sikap membolehkan. Dari putusan-putusan pengadilan yang terkumpul antara tahun 1952 hingga tahun 1981, hampir semuanya memandang euthanasia sebagai perbuatan kriminal. Diantara perkara euthanasia yang dibawa pengadilan dalam kurun waktu itu, hanya satu perkara (1962) yang memberikan putusan bebas bagi terdakwanya. Pada tahun 1973, sebuah putusan lainnya pernah membuat persyaratan bagi seorang ahli medis untuk dapat dilepaskan dari pemidanaan karena euthanasia. Sedangkan untuk kasus Indonesia, sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang secara khusus menyangkut permasalahan euthanasia. Kasus-kasus yang bersangkutan yang berkaitan dengan dunia kedokteran biasanya lebih banyak berkenan dengan malapraktek. Konsep Etika
Etika yang dipungut dari bahasa yunani yaitu “Ethikos” (moral) dan “Ethos” (karakter), mencakup pengertian sebagai upaya manusia untuk menilai, atau memutuskan suatu perbuatan atau sikap, atau bagaimana suatu perbuataan harus dilaksanakan, yaitu perbuatan atau sikap mana yang baik dan yang buruk (Dewabrata, 1989: 4). Sebagai ilmu, etika mencari kebaikan. Sebagai filsafat, etika mencari keterangan (baik) yang sedalam-dalamnya, sehingga ada yang menyebut etika itu sebagai filsafat kesusilaan (poedjawiyatno,1984 : 6). Ada juga yang merumuskan etika sebagai a sitematic reflection upon human action, institution and character (Krammer, 1988: 12).
Etika dengan demikian berusaha untuk memberi pentunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang senantiasa kita ajuakan. Pertama, apakah yang harus aku/kita lakukan dalam situasi konkret yang tengah dihadapi? Kedua, bagaimana kita akan mengatur pola koeksistensi kita dengan orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia apakah kita ini? Dalam konteks ini etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya “fracticida” yang secara legendaris dan historis mewarnai sejarah manusia (Rahmat, 1992: 6). Sementara itu, fungsi etika dalam perkembangan ilmu pengetahuan berwujud sebagai pengendali, penyaring, pengemudi dan persemain ide-ide baru (Boedijah, 1992: 7). Etika berusaha dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh aliran etika yang secara global dapat dibagi menjadi 2, yaitu aliran deontologis (etika kewajiban), dan aliran teleologis (etika tujuan atau manfaat). Menurut etika deontologis (dari kata deon, yang berarti kewajiban), suatu tindakan dipandang benar bila tindakan itu sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Etika deontologis sangat menekankan perlunya law and order dalam kancah kehidupan bermasyarakat, yang hanya akan terjadi bila manusia mematuhi peraturan, baik aturan tuhan, alam, negara dan seterusnya. Kesulitan yang membelit etika deontologis terletak pada pengandaiannya (asumsi) bahwa fakta identik dengan das sollen, akibatnya etika deontologis sering memberi kesan kaku, legalitik, dan konservatif karena melestarikan status quo. Etika teleologis (dari kata teleos,yang berarti hasil atau tujuan), tindakan yang benar adalah tindakan yang berhasil mencapai tujuan tertentu. Jadi dari buahnaya kita harus menilai benar tidaknya suatu tindakan. Kesulitan yang membelit etika teleologis adalah kecenderungannya yang kuat untuk menempuh jalan pintas, yakni tujuan menghalalkan segala cara : (Rahmat, 1992: 6-7). Sebagaimana dipaparka sebelumnya, bahwa etika menghendaki ukuran-ukuran yang umum (universal). Inilah yang membedakannya dengan agama, tetapi agama sendiri tidak lalu harus dipertentangkan dengan etika. Agama menjadi salah satu sumber bagi etika disamping sumber-sumber lain seperti adat-istiadat dan pandangan hidup suatu bangsa atau negara. Bagi bangsa Indonesia, sumber etika yang paling penting untuk diterapkan di Indonesia tentu saja Pancasila. Dari etika yang cakupannya sangat luas tersebut, dijabarkan lagi menjadi bagian-bagian yang lebih spesifik dan sektoral. Karena itulah, kemudian kita mengenal istilah seperti etika kedokteran, etika jurnalistik, etika bisnis dlsb. Etika tersebut ada yang masih berupa norma-norma sosial yang tidak mengikat, tetapi ada pula yang sudah dirumuskan dalam bentuk kode etik. Dengan demikian kita lalu mengenal pula banyak kode etik seperti kode etik kedokteran (kodeki), yang dijadikan sebagai a systematic reflection upon human action, institution and characternya kaum ahli di bidang kedokteran, demikian juga kode etik ahli hukum seperti kode etik advokat, kode etik hakim, kode etik jaksa dan kode etik notaris, serta lainnya. Etika, seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak saja berfungsi sebagai pengendali dan penyaring, tetapi juga sebagai sumber persemaian ide-ide baru. Dalam pembahasan selanjutnya akan diuraikan bahwa dalam kaitannya dengan euthanasia, etika memegang peranan penting maupun sebagai persemaian ide-ide baru yang dimaksud. Euthanasia dalam Perspektif Etika dan Hukum Etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, atau yang susila dan asusila serta dalam kerangka itulah euthanasia akan dinilai dalam perspektif etika.
Etika deontologis memberi pedoman bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan norma sosial yang dijadikan sebagai acuan. Padahal norma sosial itu tidaklah tunggal. Norma agama, norma kesusilaan., norma sopan santun dan norma hukum adalah bagian dari norma sosial itu (Purbacaraka, 1978: 16). Dengan demikian tindakan euthanasia baru dianggap etis apabila telah dapat diterima oleh semua norma sosial tersebut. Jika mengacu pada konsep etika teleologis yang semata-mata mengutamakan tujuan dan kemanfaatan juga sangat relatif sifatnya. Tujuan dan kemanfaatan menurut siapa? Apakah mengacu kepada the greatest good for the greatest number yang terbukti berat sebelah itu? (Metokusumo, 1999: 61).
Karena sulitnya mencapai ukuran menurut dua aliran etika tersebut, maka kita sebaiknya menghindar dari dikotomi antara etika deontologis dengan teleologis tersebut, dengan menggali kembali situasi primordial yang telah menggodok lahirnya kepekaan dan keprihatinan etis. Keprihatinan utama etika bukanlah melestarikan norma-norma sosial atau merealisasikan aneka macam tujuan subyektif, melainkan melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan manusia. Dengan kata lain titik tolak konkrit etika bukanlah tertib umum yang tidak boleh diganggu gugat atau tujuan subyektif yang terasa mendesak, melainkan protes terhadap kesengsaraan dan penindasan manusia yang selalu terjadi. Ancaman dan pemerkosaan terhadap humanum yaitu kemanusiaan yang layak dirindukan akan membakar kepekaan etis manusia. Dengan demikian dua prinsip utama etika adalah prinsip benefience (berbuatlah baik terhadap sesama) dan prinsip nonmalefience (janganlah berbuat jahat terhadap sesama), sehingga ukuran baik dan buruk suatu tindakan manusia adalah penderitaan sesama manusia agar ia dapat menjadi penjaga dan bukannya menjagal atas sesamanya. Manusia yang etis adalah yang dapat bertanggung jawab terhadap nasib sesamanya. E.Levinas mengatakan respondeo ergosum (aku bertanggungjawab, jadi aku sungguh ada). Dihadapkan pada konteks penderitaan manusia, rasa tanggung jawab untuk berbuat baik dan mencegah kejahatan, maka tindakan yang benar (ortopraxis) didasarkan pada dua tindakan (praxis) yaitu tindakan yang nyata guna membebaskan manusia dari situasi hidup yang gawat dan rawan (praxis liberasi) dan tindakan yang nyata guna menciptakan perdamaian diantara pihak yang bertentangan (praxis rekonsiliasi). Apabila kedua praxis tersebut diterapkan terhadap kasus euthanasia, kiranya dapatlah dijawab bahwa euthanasia dapat dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama, euthanasia harus dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk membaskan manusia dari penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil, terlebih dahulu harus didukung oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari aspek ilmu kedokteran dan hukum. Dari ilmu kedokteran, korban euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi penyakitnya memang tidak dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan jauh lebih menderita lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan analisis ilmiah bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan teknik yang memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari alasan untuk kepentingan korban saja?. Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan buruk terhadap euthanasia dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan. Mengingat Pancasila sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum warisan kolonial belanda yaitu pasal 338, pasal 359 dan pasal 345 KUHP yang tidak secara langsung menunjuk kepada euthanasia. Satu-satunya pasal yang agak dekat kaitannya adalah pasal 344 KUHP. Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Redaksi pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya kesukarelaan korban tersebut terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap euthanasia dan dalam rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan (Sahetapy, 1989: 4). Namun demikian terbukti pasal tersebut tidaki lagi ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan pengadilan di Belanda dan Belgia membuktikan adanya pergeseran pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada putusan mengenai euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 s/d 1981 disebutkan bahwa euthanasia dapt dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat tertentu bahkan putusan pengadilan tinggi di Luik pada tahun 1962 pernah membebaskan dokter yang melakukan euthanasia terhadap pasiennya (Adji, 1986: 132). Dalam konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia dapat dilihat dari hasil penelitian Satjipto Rahardjo dkk dari Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan ahli hukum terhadap euthanasia yang hasilnya dari jawaban 38 responden yang terjaring, 14 responden dokter menyatakan setuju dan sisanya dari responden sarjana hukum menyatakan tidak setuju terhadap euthanasia. Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab setuju, sedangkan dari 25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang menyetujui euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan euthanasia sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan oleh korban sendiri (36%) dandan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang menarik adalah pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa euthanasia adalah masalah kemanusiaa (8%), masalah agama (8%), masalah kedua-duanya (84%). Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi tadi membuktikan bahwa pandangan masyarakat Indonesia yang beretika Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang melarang euthanasia. Bahkan para dokter yang terikat kode etik kedokteran dan sumpah dokter yang memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih permisif jika dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat masukan-masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil persemaian ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus dikendalikan oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari ilmu hukum khususnya dalam persoalan euthanasia. Proses yang saling mendukung dan mempengaruhi ini berlangsun dalam suatu siklus yang tidak pernah berhenti. Kesimpulan Filsafat hukum Indonesia dan teori hukum Indonesia yang hendak dibentuk dan digagas serta dikembangkan hingga ilmu hukum Indonesia secara sistematis tentunya didasarkan pada nilai pandangan filsafat pancasaila yang memiliki aspek ontologi monodualisme atau mono plularisme. Bahwa hakikat dari kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum Indonesia, teori hukum Indonesia. Demikian pula dengan aspek epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas, dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal juga akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai pandangan Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk) juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral Dalam implementasinya pandangan nilai keseimbangan dari filsafat Pancasila tersebut saat ini telah mengalami distorsi karena perkembangan masyarakat Indonesia sendiri yang telah mengalami trasformasi sosial budaya, yaitu yang dulunya sebagai masyarakat agraris yang bersifat paguyuban (gemeinschaft) menuju ke arah masyarakat industri yang bersifat patembayan (gesselschaft), serta adanya pengaruh dari globalisasi dunia yang sulit untuk ditolak, sehingga nilai-nilai spiritualisme telah tergerus oleh nilai-nilai materialisme. DAFTAR PUSTAKA
A.Muktie Fadjar., Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang, 2007.
A.B. Shah., Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.
A.Wahab Khallaf., Ushul al Fiqh (Edisi Bahasa Indonesia oleh Tolchah Mansoer dan Nur Iskandar), 1980, Yogyakarta.
Agus Rahmat., Titik Sentuh antara Etika dan Ekonomi, Pro Justitia No.2 Tahun X, April 1992, Bandung.
Aroma Elmina Martha., Pengkajian Hak Untuk Mati padaMasyarakat Indonesia, Maka pada seminar regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajya Yogyakarta pada 24-25 April 1989.
Charles L. Krammer., Ethics and Liberation, Orbit Books, New York, 1988.
Dewabrata., Makna Kode Etik, Kompas 13 Mei 1989, Jakarta.
Endang Saifuddin Anshari., Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu,1987, Surabaya.Fred Ameln., Euthanasia Ditinjau dari Segi Yuridis, seminar BPHN November 1984 di Jakarta.
L.R. Pudjawiyatna., Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta 1984.
John Z Loudoe., Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Jujun S Suriasumantri., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan, Jakarta, 1990.
J.E. Sahetapy., Euthanasia Suatu Kajian terhadap Legalitik Positivistik, Makalah seminar Regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.
Maria SW Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, FH UGM, Yogyakarta,1989.
Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Gadjah Mada University Press, Jogyakarta, 1992.
Purnadi Purbacaraka dan Soeryono Soekanto., Perihal Kaedah Hukum,Alumni,Bandung, 1978.
Roihan A Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.
Satjipto Raharjo., Tinjauan Sosiologis terhadap Hak untuk Mati, Makalah Seminar Regional Mahasiswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.-------., Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Siti Sumarti Hartono., Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989 Hal. 13-21.
Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988. -------., MengenalHukum Suatu Pengantar, Liberty,Jogyakarta,1999. Teuku Jacob., Hak untuk Mati: Aspek Biomedis, Makalah Seminar Regional Maha Siswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 19889. Umar Seno Adji., Euthanasia (Dalam Varia Peradilan No.14 Bulan November 1986), Jakarta. ---------------------------------*Moch. Fatich, SH.M.Hum, penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unisma dan sedang menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw

Cerita Motivasi


Segelas Susu

Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya hanya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar. Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air.
Wanita muda tersebut melihat, dan berpikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu.
Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya, “berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini ?” Wanita itu menjawab: “Kamu tidak perlu membayar apapun”. “Ibu kami mengajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kebaikan” kata wanita itu menambahkan.
Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata :” Dari dalam hatiku aku berterima kasih pada anda.”
Bertahun-tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yang sangat kritis. Para dokter dikota itu sudah tidak sanggup menganganinya. Mereka akhirnya mengirimnya ke kota besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut.
Dr. Howard dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal si wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Howard. Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui hall rumahsakit, menuju kamar si wanita tersebut. Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu.
Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa wanita itu. Mulai hari itu, Ia selalu memberikan perhatian khusus pada kasus wanita itu.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan… Wanita itu sembuh !!. Dr. Howard meminta bagian keuangan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr. Howard melihatnya, dan menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien.
Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa ia tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus diangsur seumur hidupnya. Akhirnya Ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi..”Telah dibayar lunas dengan segelas besar susu !!” tertanda, Dr. Howard Kelly.
Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa:
“Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati dan tangan manusia.”

Jumat, 21 Agustus 2009

PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU


BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan.
Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan.
Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara.
Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontology, epistemologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya terutama dalam menjawab permasalahan pornografi?


















BAB II
HAKEKAT HUKUM DAN MASALAH PORNOGRAFI

A. Hakekat Hukum kajian Ontologis
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.
Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan.
Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum.
Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).
Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji . Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri.
Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas. Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada.
Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan).
Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit.
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa, yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat, sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.

B. Masalah Pornografi
Problem hukum dan moralitas merupakan subyek perdebatan yang hangat dikalangan pengacara di Inggris, setelah adanya keputusan daro House of Lords dari kasus tuan Shaw melawan the Director of public Prosecution pada tahun 1962. tuan Shaw telah menyusun seuah brosur yang berjudul “ladies Director” yang mendaftar nama-nama dan alamat-alamat pelacuran termasuk fotografi telanjang dan petunjuk singkat dari praktekpraktek seksual mereka yang khusus.
Terlepas dari kesalahan karena menerbitkan artikel cabul, tuan Shaw juga dihukum karena pelanggaran bersekongkol merusak moral masyarakat. Ini merupaka formulasi pelanggaran terakhir yang dilakukan oleh para ahli hukum inggris yang mendorong adanya diskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang fundamental: apakah ini merupakan fungsi hukum untuk menyelenggarakan ukuran-ukuran moralitas konvensional dengan menghukum penyimpagan-penyimpangan darinya; khususnya dalam kasus imoralitas seksual secara pribadi yang tidak ada alasan merugikan atau melanggar orang lain.
Hukum islam memasukkan prinsip pelaksanaan moralitas seksual yang keras, hal itu menjelaskan tentang hukuman yang ditetapkan bagi pelanggaran zina. Menurut hukum ingris hubungan seksual di luar perkawinan bukan merupakan pelanggaran hukum kecuali kalau diperburuk oleh keadaan seperti tidak adanya ersetujuan antara keduanya, seorang gadis muda usia, ada hubungan darah dengan orang yang bersangkutan, atau tingkah laku yang tidak alami, sama dengan pelanggaran kriminal karena perkosaan, berzina dengan saudaranya, sodomi. Begitu juga hukum di indonesia. Yang mengatakan bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perenpuan yang keduanya atau salah satunya belum terikat tali perkawinan tidak dikatakan zina. Dilain pihak hukum islam menganggap hubungan seksual bentuk apapun adalah merupakan kejahatan kecuali kalau hal itu antara suami dan istri atau masa lalu antara tuan dan selir budaknya.
Dalam sumber material primer syariah Al-Qur’an, tidak ada pembedaan yang jelas dan konsisten antara moral dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika dalam hukum islam, Al-Qur’an menetapkan masalah-masalah pokok untuk membedakan yang benar dari yang salah, baik buruk, pantas dan tidak pantas, atau biasanya hal itu tidak diteruskan pada tingkat skunder menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus , memang benar , sanksi-hukum yang tepat dijatuhkan karena perbuatan atau kelalaian seperti hukuman dera (cambuk) bagi orang yang menfitnah secara serius, atau hukum potong tangan bagi pencuri.
Hidup dalam tatanan masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera merupakan dambaan setiap manusia, munculnya tindakan-tindakan amoral/ asusila merupakan konsekuensi dari globalisasi yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Fitrah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna adalah makhluk yang bermoral dan mampu berprilaku susila/baik, karena telah dikaruniai akal sebagai bekal untuk berpikir dan bertidak dengan koridor-koridor yang menjadi acuan hidup berperilaku, baik yang merupakan aturan tingkah laku yang tak tertulis (Conduct Norm) maupun aturan yang telah disepakati sebagai hukum tertulis.
Namun demikian manusia sebagai makhluk yang sempurna juga memiliki nafsu yang ikut berperan mengarahkan atau mempengaruhi perilakunya sehingga ada kecenderungan manusia melakukan perbuatan-perbuatan ammoral/ tidak bermoral dan asusila/ tidak susila. Keberadaan akal dan nafsu dalam diri manusia tersebut menimbulkan suatu keadaan perilaku yang mengarah kepada perbuatan baik dan buruk seorang manusia. Manusia sebagai obyek bermuaranya dua faktor berpengaruh mengharuskan manusia mampu memilih dan mengarahkan setiap tindakan yang akan dilakukan agar tidak dikuasai oleh nafsu sebagai salah satu faktor berpengaruh dalam diri manusia. Idealnya manusia itu mampu menekan nafsunya menggunakan akal yang dimilikinya agar setiap perilakunya menjadikan perilaku yang bermoral dan terarah.
Harapan akan idealitas kehidupan terkadang tidak dapat terwujud manakala manusia dikuasai oleh nafsunya, sehingga manusia cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan yang tidak susila. Manusia diciptakan didunia selain sebagai makhluk personal juga sebagai makhluk sosial sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan harus juga memperhatikan kepentingan orang lain yang berada dilingkungannya.
Bangsa Indonesia sebagai salah satu unsur dari negara juga tidak pernah lepas dari perilaku yang dipengaruhi oleh nafsu, sehingga muncul perbuatan-perbuatan yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai perbuatan yang buruk. Fenomena pornografi dan pornoaksi misalnya, Tindakan pornografi dan pornoaksi dinilai memberikan andil besar atas kemerosotan moral bangsa Indonesia dari hari ke hari. Sebagaimana diberitakan Kantor Berita Associated Press (AP), Indonesia berada pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi .
Indonesia merupakan negara peringkat kedua di dunia setelah Swedia dalam peredaran majalah dan VCD pornografi dan pornoaksi, sehingga kedepannya akan berdampak buruk pada masyarakat luas. "Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan," kata Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Univesitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno.selanjutnya dia juga mengungkapkan bahwa,,"Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama" .
Selain itu juga hilangnya kepekaan moral seperti perasaan menjijikkan, amoral dan menyesatkan, namun menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima serta mulai memandang orang lain sebagai obyek. Pada prinsipnya semua pihak sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi yang tersebar dewasa ini, tanpa ada pengontrolan yang baik akan berdampak pada generasi muda, Hal itu tidak bisa dipungkiri seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kegiatan yang menjurus ke hal itu juga ikut berkembang. Sebab perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dan mengalir ke rumah tangga tanpa batas.
Pro dan kontra berkaitan dengan pengaturan tindakan pornografi dan pornoaksi ini, merupakan permasalahan pula bagi negara untuk dapat mewujudkan peraturan perundang-undangan mengenai pornografi dan pornoaksi. Yang kontra terhadap pengaturan pornografi dan pornoaksi beralasan bahwa, masalah pornografi tidak dapat diatur dalam UU karena akan menimbulkan ketegangan sosial dan mengancam kreativitas serta negara tidak memiliki hak untuk ikut mencampuri urusan personal/individual warga masyarakatnya. Sebaliknya, beberapa kalangan, mulai para ulama, da’i, ibu-ibu rumah tangga dan para pendidik sangat berharap terhadap pengesahan dan pemberlakuan UU Anti pornografi dan Pornoaksi. Mereka meyakini dengan pemberlakukan UU ini akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi .
Peneltian secara komprehenshif terhadap permasalahan hubungan moralitas dan hukum khususnya yang berkiatan dengan fenomena pornografi belum banyak dilakukan, sehingga muncul dugaan-dugaan serta perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan masyarakat berkaitan pentingnya sarana hukum untuk mengatur moralitas bangsa. Indonesia sebagai negara hukum memberikan konsekuensi bahwa hukum sebagai sarana mengatur dan mengotol masyarakat diharapkan benar-benar memiliki andil agar moralitas bangsa menjadi baik. Selain itu hukum juga harus mampu memberika kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat.
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa indonesia harus dijadikan rujukan dalam mewujudkan peraturan perundangan. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum, sebagai suatu negara hukum, didalamnya terdapat sejumlah peraturan prundang-undangan/hukum yang keseluruhan merupakan satu kesatuan yang terseusun secara tertib hukum.(Legal Order atau Rechtsodnung). Suatu tertib hukum akan terlihat sebagai suatu bangunan yang tersusun secara hirearkis, atau tertib hukum derajat/tertib tingkat, dimana dalam susunan tersebut terdapat hukum yang berperan sebagai dasar dan sumber dari segala sumber hukum negara
Pertanyaan apa sebenarnya pornografi dan pornoaksi itu? Tidak dapat segera dapat dijawab dengan mudah, oleh karena sampai saat ini tidak ada kesepakatan mengenai pengertian pornografi dan pornoaksi. Sebagai gambaran tentang beberapa pendapat yang mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya.
Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor.
Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual.
Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu:
1. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.
2. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih.

Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat.
Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi adalah materi baik berupa tulisan atau gambar yang dengan sengaja maupun tidak sengaja di buat atau dirancang dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi/ seks. Namun dikecualikan untuk tulisan atau gambar yang dirancang untuk keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sedangkan pornoaksi dapat penulis devinisikan sebagai tindakan penggambaran dalam bentuk gerakan, liukan tubuh yang dapat membangkitkan nafsu birahi/seks.













BAB III
PENDEKATAN ALTERNATIF ATAS PERMASALAHAN PORNOGRAFI

A. Kriminalisasi Pornografi di Indonesia
Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya.
Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor.
Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual.
Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu:
3. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.
4. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih.
Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat.
Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Dampak-dampak serta fakta-fakta yang mungkin dapat dijadikan dasar berpijak sebelum membahas apakah kriminalisasi terhadap pornografi dan pornoaksi ini sudah sangat urgen?.Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan.
Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Universitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno. selanjutnya beliau juga mengungkapkan bahwa, Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama".
Hal yang telah disampaikan di atas hanya sebagian kecil, dari sejumlah kasus yang terjadi yang disebabkan oleh maraknya pornografi dan pornoaksi di Indonesia, namun ini cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa pornografi dan pornoaksi memiliki dampak buruk, bahkan nyaris tidak ada dampak positifnya. Sehingga dari gambaran di atas tidak berlebihan jika persoalan pornografi dan pornoaksi perlu mendapatkan perhatian serius.
Terhadap persoalan mendasar apakah urgensi kriminalisasi tindakan pornografi dan pornoaksi, dalam kacamata politik hukum pidana dapat dikemukakan analisis sebagai berikut:
1. Bahwa suatu kejahatan atau tindak pidana selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan permasalah sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest social problem. Menghadapi masalah ini, dalam sejarah peradapan manusia telah banyak dilakukan berbagai upaya (kebijakan rasional) untuk menanggulanginya. Kebijakan rasional menanggulagi kejahatan inilah yang populer disebut dengan politik kriminal. Konggres PBB ke-6 tentang The Prevention of crime and the treatment of offender di Jenewa Swiss tahun 1981 hingga konggres ke-9 tentang hal yang sama di Havana Cuba tahun 1990, ditegaskan bahwa kebijakan menanggulangi suatu kejahatan hendaknya dilihat sebagai bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Mengingat kebijakan menanggulangi kejahatan tidak akan banyak artinya jika kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor Criminogen dan Victimogen. Selain itu ditegaskan pula bahwa upaya menanggulangi kejahatan haruslah dilakukan secara terpadu (integral) antara penggunaan sarana Penal (membuat serta menegakkan aturan hukum pidana) dengan sarana non penal (pendekatan selain hukum pidana misalnya politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain). Hal ini mengingat selain kebijakan penanggulangan kejahatan bukanlah semata-mata masalah hukum pidana, juga karena huku pidana sendir hakekatnya memiliki batas-batas kemampuan.
2. Dilihat dari segi sifatnya yang represif dan bobot sanksinya yang paling berat dibanding bidang hukum lain, maka dalam doktrin dikenal ajaran bahwa hendaknya fungsionalisasi hukum pidana benar-benar harus mempertimbangkan asas Ultimum Remidium. Artinya huku pidana mestinya diterapkan sebagai sarana terakhir setelah mempertimbangkan sanksi yang diberikan melalui bidang hukum lain atau melalui optimalisasi kaidah sosial lainnya dipandang tidak cukup berhasil dalam mengatasi (mencegah dan menanggulangi) masalah sosial yang dihadapi. Asas Ultimum Remidium ni penting, tidak hanya dierhatikan pada waktu melakukan kriminalisasi saja tetapi juga pada saat menerapan undang-undang itu sendiri dalam praktek penegakan hukum. Secara lebih rinci Muladi dan Barda Nawawi Arif menjelaskan bahwa konsep penggunaan undang-undang hukum pidana berdasarkan asas ltimum remidium tersebut maknanya adalah sebagai berikut:
a. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata,
b. Hukum pidana pun hendaknya janga digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya,
c. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut,
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampaingan (by Product) yang ditimbulan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasikan,
e. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak dapat efektif (unforceable),
f. Penggunaan hukum pidana pun hendaknya harus menjaga keserasian anara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan,
g. Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan,
h. Dan akhirnya penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat no penal (Prevention without punishment).
Bertolak dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam menghadapi suatu problem sosial bernama kejahatan, solusi berupa kebijakan dengan membuat dan menggunakan aturan hukum pidana untuk menanggulanginya pada prinsipnya tidak ada yang salah (sah-sah saja). Sepanjang kebijakan tersebut masih dalam koridor doktrin hukum pidana sebagai Ultimum Remidium.
3. Berkaitan dengan pemerintah untuk mengkriminalisasikan pornografi , pertanyaan yang muncul adalah apakah perumusan undang-undang sudah memenuhi doktrin ultimum remidium? Sehubungan dengan hal ini maka perlu dicermati hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi dengan segala bentuk dampak yang ditimbulkan adalah fakta yang tak terbantahkan. Kasus VCD “Bandung Lautan Asmara”, Casting Iklan Sabun Mandi, Artis ganti pakaian, yang melibatkan “korban” beberapa artis seperti sarah ashari, rachel maryam, femmy permatasari dan lain sebagainya, beredar bebasnya sejumlah tabloit atau koran beraliran “Syur” yang mengumbar gambar-gambar model dengan pose seronok, berita-berita seperti perzinaan, pelecehan seksual bahkan perkosaan yang ramai menghiasi media masa akhir-akhir ini, dengan pengakuan yang sangat mengejutkan bahwa mereka melakkan perbuatan itu karena setelah habis menonton VCD porno atau sehabis melihat pertunjukan yang berbau pornoaksi. Ini hanyalah sekedar contoh sekaligus indikasi yang menunjukkan betapa sangat memprihatinkannya dan seolah tidak dapat dikendalikan lagi fenomena pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Dalam kondisi demikian, maka masalah moralitas bangsa ke depan tentu menjadi taruhannya.
b. Semetara itu, upaya untuk menanggulanginya dengan pendekatan moral susila keagamaan (seperti yang terlihat dengan tumbuh suburnya berbagai majlis ta’liem maupun publikasi dan sosialisasi nila-nilai budi luhur warisan budaya bangsa yang mengkritik dan mencela fenomena pornografi dan pornoaksi tersebut) dalam kenyataannya tampak berlalu saja tanpa hasil yang berarti. Pengajian hanya merupakan kegiatan rutin keagamaan dan nilai-nilai budaya pun seolah-olah hanya bernasib sebagai warisan yang tidak diminati oleh generasi sekarang. Budaya trend dengan penampilan yang pornoaksi tampak lebih menjadi panutan. Ini fakta sehari-hari yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan benar-benar agama, serta nilai budaya nyaris tak berdaya.

B. Pendekatan dalam Kriminalisasi Tindakan Pornografi
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
1. Crininal Law Aplication;
2. Prevention Without Punishment;
3. Influencing Views of society on crime and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.
Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Permasalahan pornografi dan pornoaksi bukanlah permasalahan yang sederhana sehingga memerlukan keseriusan serta kebijakan yang mampu meminimalisir perbedaan pendapat, hal ini dikarenakan bahwa, di indonesia terjadi pro dan kontra berkaitan penanggulangan pornografi dan pornoaksi ini, yang mana masing-masing pihak yang pro dan kontra tetap mempertahankan argumentasi masing-masing.
Negara sebagai organisasi pemerintahan yang memiliki peran utama guna menanggulangi pornografi dan pornoaksi seyogyanya memilik strategi yang efektif. Yang diharapkan dengan tindakan baik represif maupun prefentif dengan tanpa mengabaikan pendapat-masing-masing yang pro dan kontra sebagai wujud dari negara demokrasi.
Upaya Negara dalam menanggulangi tindakan pornografi dan pornoaksi jika dilihat dari kebijakan yang ada dapatlah dikatakan bahwa Negara sebenarnya sudah mengambil strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), hal ini dapat ditunjukkan dengan munculnya undang-undang pornografi.
Namun demikian strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi yang dilakukan oleh Negara menggunakan hukum pidana bukanlah sesuatu yang mudah, karena kriminalisasi terhadap perbuatan pornografi dan pornoaksi terjadi pro dan kontra, yang semua tetap teguh pada argumentasinya masing-masing.
Pro dan kontra seputar pornografi ini berada pada tataran substansi dari isi rancangan-undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Namun menurut penulis bahwa sebenarnya argumentasi masing-masing yang pro dan yang kontra terakadang lebih mengedepankan emosi sehingga semakin memperkeruh persoalan.
Terlepas dari strategi negara dalam rangka mengkriminasilasikan tindakan pornografi dan pornoaksi tersebut, penulis berusaha memberikan solusi dalam rangka meminimalisasi permasalahan pro dan kontra UU Pornografi. Menurut penulis, permasalahan pro dan kontra pornografi tidak terlepas dari persoalan nilai yang berusaha dibangun oleh masing-masing pihak. Pihak yang pro berada pada tataran nilai etika dan moral sedangkan yang pro berada pada tataran nilai estetika dan hak asasi manusia (HAM).
Perbedaan paradigma tentang nilai inilah sebenarnya merupakan pertarungan ideologi mana masing-masing mempertahakan kebenaran ideologinya masing-masing. Sehingga berlanjut menjadi satu permasalahan yang selalu muncul diberbagai sektor, baik sektor ekonomi bisnis, politik, hukum dan lain-lain. Pro dan kontra diberbagai sektor ini sebaiknya pemerintah menyikapi dengan arif dan bijaksana dengan mencari titik kompromi sehingga perbedaan serta perselishan mampu diselesaikan.
Tindakan pemerintah dalam mencari titik kompromi ini memerlukan strategi agar dapat berhasil. Persoalan pornografi dan pornoaksi tersebut menurut hemat penulis pro dan kontra lebih banyak berada pada tataran seni dan kreatifitas yang berada pada nilai estetika dan bisnis dengan kepatutan dan kesopanan pada nilai etika dan moral. Sehingga negara dalam mencari titik kompromi guna mewujudkan undang-undang yang membatasi tindakan pornografi dan pornoaksi memerlukan strategi dengan melihat akar persoalan tersebut.
Strategi yang harus dilakukan adalah dengan meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan masukan kepada pemerintah berkaitan dengan hal ini. Selanjutnya negara dalam hal ini pemerintah dalam hal ini legislatif sebagai seorang formulator harus memasukkan kedua nilai tersebut dengan cara mengambil salah satu nilai yang dijadikan paradigma perumusan undang-undang dengan juga memperhatikan nilai yang lainnya. Dua nilai dalam perdebatan tersebut adalah nilai estetika dan etika, dimunculkan salah satu nilai tersebut menjadi paradigmanya misalnya nilai etika yang dimunculkan sebagai paradigma namun tanpa harus memasung nilai kreatifitas. Atau sebaliknya nilai estetika yang dijadikan paradigmanya namun estetika dan kreatifitas sebagai paradigma jangan sampai melanggar etika moral yang menjadi conduct norm atau aturan tingkah laku.
Jika kompromi dangan cara tersebut belum berhasil, maka diperlukan sikap tegas dan keberanian pemerintah untuk mengambil sikap memilih salah satu paradigma dengan mencari dampak buruk yang terkecil. Namun sebenarnya hasil pertemuan yang sering dilakukan di lembaga legislatif lebih banyak yang pro atau mendukung segera disahkanya RUU PP sebagai undang-undang dibandingka dengan yang kontra. Dengan alasan itu sebenarnya negara sudah dibenarkan untuk mengambil kebijakan. Perbedaan pasti akan tetap muncul, yang perlu dipahami adalah bahwa suara mutlak tidak akan pernah terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Sehingga perlu dilakukan pengambilan kebijakan dengan berdasarkan suara mayoritas.
BAB IV
KEBIJAKAN PENAL DALAM MASALAH PORNOGRAFI

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
4. Crininal Law Aplication;
5. Prevention Without Punishment;
6. Influencing Views of society on crime and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.
Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Nilai-nilai normative yang dijadikan dasar acuan untuk penanggulangan pornografi merupakan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk kebijakan penal penanggulangan pornografi di ndonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UU pornografi maupun undang-undang pornografi itu sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum lahirnya undang-undang pornografi yang memungkinkan dijadikan dasar acuan penanggulangan pornografi adalah:
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai delik kesusilaan sebagaimana terdapat dalam pasal 281, 282, 283, 532, 533, 534 dan pasal 535.
b. UU No. 40/1999 tentang Pers terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pers nasional berkewajiban memberitakan eristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Dan ketentuan pasal 13 huruf a yang menegaskan: “pers nasional dilarang memuat pemberitaan atau iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.
c. Kode etik jurnalistik terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 2 angka 2 huruf c yang menegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
d. UU No. 27 Tahun 2002 Tentang Penyiaran terutama yang berkait dengan ketentuan pasal 36 yang antara lain pada ayat (1) menegaskan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hibuan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan seta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sedangkan pada ayat (5 huruf b) melarang tegas isi siaran yang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, pejudian, penyelahgunaan narkotika dan obat terlarang.
Berkaitan dengan efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih belum dapat berlaku efektif karena hal tersebut terbukti dengan masih maraknya tindakan pornografi dan penyebaran pornografi di Indonesia, melihat kenyataan masih maraknya pornografi di masyarakat mengharuskan Negara mengambil kebijakan penanggulangan pornografi dalam bentuk kebijakan penal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.
Undang-undang tersebut merupakan acuan normative dalam melakukan penanggulangan terhadap pornografi di Indonesia. Memang dalam prakteknya belum dapat dilihat ekektifitasnya namun dasar yang paling tepat dalam melakukan penanggulangan adalah Undang-unddang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.


















BAB V
KESIMPULAN

Ilmu hukum sebagai sebuah kajian sarat akan nilai-nilai moral sehingga pada setiap praktek penegakan hukum selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai moralitas, permasalahan pornografi merupakan fenomena yang harus disikapi dengan arif, karena hal ini terkait dengan permasalahan nilai moralitas dan budaya bangsa. Pro dan kontra terhadap permaalahan pornografi merupakan bukti adanya kepedulian bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai moralitas dan hak asasi manusia.
Namun demikian permasalahan pornografi sudah demikian komplek sehingga pemerintah harus menentukan alternative penyelesaian masalah tersebut, kebijakan yang diambil Negara dalam hal ini adalah kebijkan penal yaitu kebijakan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Sehingga pemerintah mengesahkan RUU menjadi undang-undang yakni UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang dijadikan acuan normative penyelesaian permasalahan pornografi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kholiliq. AF. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, Makalah diskusi panel bertema “membahas RUU APP Secara akademik dan proporsional. Diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hukum dasar bekerja sama dengan Departemen hukum pidana UII, Yogyakarta Tanggal 16 maret 2006.
A.Muktie Fadjar.2007, Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang
A Rasyid.1991, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers
Barda Nawawi Arif,2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Citra Aditya Bakti
-------------------------, Upaya non penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, Makalah seminar Nasional kriminologi VI, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang tangal 16-18 september 1991
Benedict A. Alper, Changing Concept of crime and criminal Policy, Resource Material Series No. 7, Tokyo: UNAFEI, 1973
Bungin Burhan, 2005, Pornomedia, Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Kencana
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1998,Jakarta
G Peter Hoefnagels, 1973,The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer Holland
H.L.A., Law; Liberty, and Morality (London: Oxford University Press, 1963)
Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi ( Seri Pemulihan Diri),Yogyakarta: Yayasan Gloria
John Z Loudoe.1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta:PT Bina Aksara
Jujun S Suriasumantri.1990, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Hara Pan
J.M. Van Bemmelen, Hukum Pdana I: Hukum pidana materiel bagian umum (terjemahan), Bandung: Bina Aksara
Mac Ancel, 1965, Social Defence, AModern Approach to Criminal Problems, London: Rautledge
Mardjono Reksodipoetro,1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Jakarta: Universitas Indonesia.
Muladi dan Barda Nawawi Arif1992, , Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni
Moch Fatich, TT, Aspek ontologism, epistimologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, makalah,
Musthafa Kamal Pasha Et all 2003, , Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri
Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Satcipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Siti Sumarti Hartono.1989, Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989
Sudarto,1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Bandung: Sinar Baru
Sudikno Mertokusumo, 1999, MengenalHukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty
Teguh Prasetya dan Abdulhalim Barkhatullah,2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Yogyakarta:Pustaka Pelajar
(Zubaedi, Artikel “UU Porngrafi Perlukah?, www.google.com)
Yahya S Hamid, (www.dwp.or.id)
http://www.kapanlagi.com/h/0000127902.html).
Republika 17 Juli 2003