Jumat, 17 April 2009

Ekspresifme Caleg Gagal


CA-LEG:
CALON LEGISLATIF VERSUS CALON DELEG-DELEG


Pasca pemilu legislatif menyisakan masalah sosial yang harus diselesaikan, tidak sedikit caleg yang tidak sanggup menerima kenyataan dari sebuah “kompetisi politik” di panggung pemilihan umum 9 april 2009 yang lalu. Sejumlah caleg yang merasa gagal dalam pemilu 2009 melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum seperti pengusiran terhadap warga yang tidak memilihnya, meminta kembali karpet yang telah disumbangkan untuk masjid, meminta kembali semen yang telah disumbangkan untuk pembangunan jalan dan tidak sedikit yang akhirnya harus mengalami gangguan jiwa seperti yang terjadi di jawa barat, ada 7 caleg mengalami gangguan jiwa setelah dinyatakan tidak terpilih. Ungkapan seorang teman yang mengartikan “Caleg” menjadi Calon Deleg-deleg (tidak punya daya upaya), merupakan ungkapan yang tidak terlalu salah jika melihat kondisi sekarang dengan banyak caleg yang gagal, dan melakukan tindakan yang tidak terpuji.
Pertanyaan yang muncul atas kondisi di atas adalah, apakah yang menjadi tujuan para caleg dalam pemilu 2009? Dan mengapa banyak caleg yang mengalami gangguan jiwa/psikologis karena tidak terpilih?. pertanyaan tersebut perlu kiranya dijawab sebagai refleksi atas kenyataan yang terjadi pasca pemilu legislatif 2009. Pemilu legislatif diselenggarakan sebagai sarana memilih anggota legislatif yang dapat mengemban tugas sebagai wakil rakyat dalam mengawasi kinerja pemerintah yang diharapkan dapat memegang amanah dengan sebaik-baiknya dan menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggungjawab. Tugas sebagai wakil rakyat hendaknya ditafsirkan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat pemilih, selain itu juga “amanah” harus dipahami sebagai sesuatu yang diberikan oleh pemilih/rakyat bukan diminta. Pada saat ini nampaknya terjadi pergeseran paradigma tentang konsep “amanah”, amanah ditafsirkan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dengan cara apapun untuk mendapatkannya.
Perubahan paradigma tersebut, ternyata merubah pula pemahaman tentang konsep kedudukan lembaga Legislatif sebagai lembaga perwakilan. Menjadi anggota legislatif dipahami sebagai jabatan yang terhormat, terpandang dan dapat memberikan keuntungan material yang melimpah sehingga untuk meraihnya-pun harus dengan perjuangan keras, cara-cara yang tidak dibenarkan oleh hukum pun terkadang dilakukan oleh sebagian caleg untuk dapat menduduki posisi sebagai anggota legislatif termasuk melakukan money politics, karena mungkin ada yang berkeyakinan setelah duduk menjadi anggota legislatif, akan mudah mengebalikan modal yang sudah dikeluarkan ketika kampanye. Asumsi awal adanya money politics, tidak berlebihan jika melihat kondisi sekarang, sebagian caleg yang sudah yakin tidak terpilih berani “blak-blakan” (berterus terang) kepada media tentang berapa banyak modal yang dikeluarkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, sampai-sampai menjual harta yang dimiliki termasuk tanah, mobil dan lain sebagainya. Hal ini memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa kenyataan money politic pada pemilu 2009 benar-benar terjadi dan bukan hanya dugaan belaka.
Dengan dalih sumbangan pembangunan masjid, perbaikan jalan dan lain sebagainya, bahkan tidak jarang pula dengan memberikan sejumlah uang dan imbalan langsung kepada calon pemilih seperti yang terjadi di karanganyar, dua caleg diperiksa berkaitan dengan bagi-bagi uang kepada masyarakat agar memilihnya (Kedaulatan Rakyat Rabu 15 April 2009), pendek kata, banyak dermawan “dadakan” menjelang pemilu legislatif 2009. Sumbangan-sumbangan yang diberikan diharapkan dapat meraih simpati calon pemilih yang nantinya dapat memilihnya pada pemilu legislatif. Namun ternyata masyarakat sudah mulai berpikir realistis, sumbangan-sumbangan dari sebagian caleg diterima karena hal itu merupakan sebuah pemberian yang halal namun urusan memilih merupakan urusan pribadi di bilik suara yang tak seorangpun mengetahuinya, bahkan tidak sedikit yang akhirnya tidak dapat menyalurkan hak pilihnya karena tidak terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif, hal inilah yang dianggap merugikan caleg yang sudah benyak mengeluarkan modal untuk dapat terpilih sebagai anggota legislatif.
Jika dengan menggunakan iming-iming uang dengan dalih apapun atau dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum tetap dilakukan oleh sebagian caleg untuk mendulang suara pada pemilu 9 april yang lalu, dan ternyata caleg yang bersangkutan tidak terpilih maka yang terjadi adalah kekecewaan caleg kepada pemilih yang berbuntut kepada tindakan-tindakan melanggar hukum. Dengan demikian siapa yang menang dalam pemilu 9 april 2009 yang lalu? Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa yang menang adalah rakyat. Sudah banyak dana yang dikeluarkan oleh caleg untuk kampanye bahkan tidak sedikit yang harus menggadaikan tanah dan rumahnya, namun kenyataannya justru berbalik dari harapan, sehingga tidak sedikit caleg yang tidak sanggup menerima kenyataan hasil pemilu 2009 mengalami tekanan batin (stress) yang berlebihan dan akhirnya mengalami gangguan jiwa.
Namun demikian tidak sedikit pula caleg yang akhirnya menerima hasil perhitungan suara pemilu legislatif yang lalu dengan lapang dada walaupun tidak terpilih, mungkin caleg tersebut sudah siap dengan resiko sebuah kompetisi pada dunia politik. Yang perlu menjadi perhatian dan refleksi bagi kita adalah bagaimana kita memahami esensi “pergulatan” di dunia politik yang mengadung resiko besar jika kita tidak mampu melakukan menejemen diri dengan baik maka kita akan menjadi “korban” permainan politik. Selain itu kejadian-kejadian pasca pemilu legislatif menyadarkan kepada kita bahwa dalam berpolitik dibutuhkan kehati-hatian, kesiapan mental dan spiritual. Hal ini juga menjadi cermin untuk kita semua, agar menjadikan politik sebagai sesuatu yang terhormat dan dijaga kehormatannya dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang dibenarkan oleh hukum terlebih oleh moralitas. Harapannya ke depan bagi masyarakat yang meniatkan diri sebagai caleg hendaknya memahami politik sebagai sesuatu yang baik dan menempuhnya pun dengan cara-cara yang benar, benar secara hukum dan benar secara moral.

Gatot Sugiharto,S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Dan Peserta Program Doktor Ilmu Hukum UII

Minggu, 12 April 2009

Problem Pasca Pemilu Legislatif 2009


PROBLEM PASCA PEMILU LEGISLATIF 2009
Oleh: Gatot Sugiharto,S.H.M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Dan Peserta Program Doktor Ilmu Hukum

Pemilu legislatif usai sudah, kini beberapa komponen disibukkan dengan perhitungan perolehan suara sementara yang berhasil dihimpun oleh beberapa lembaga survey. Sebagian partai sudah dapat bernafas lega karena partainya sudah memenuhi Parlementary Treshold atau telah mencapai 2.5 % perolehan suara sah nasional (Pasal 202 UU Nomor 10 Tahun 2008) pada pemilu legislatif. Namun tidak sedikit pula yang harus lebih bersabar karana partainya belum mencapai Parlemetary Treshold perhitungan sementara ini belum final karena baru final setelah ada penetapan KPU.
Secara sederhana pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April 2009 dapat dikatakan berjalan lancer, namun demikian persoalan-persoalan hukum yang dimungkinkan akan muncul adalah gugatan-gugatan dari partai politik tertentu yang tidak puas dengan hasil pemilu ataupun dari proses sebelum pemilihan umum yang berkaitan dengan banyaknya warga masyarakat yang tidak terdaftar sebagai daftar pemilih tetap pada pemilu 2009.
Sudah diduga sebelumnya bahwa persoalan yang akan muncul menyertai pemilihan umum 2009 adalah persoalan banyaknya warga masyarakat yang tidak masuk sebagai daftar pemilih tetap (DPT). Kekhawatiran tersebut ternyata beralasan, pasalnya dalam pelaksanaan pemilu legislatif 9 april lalu terdapat banyak warga yang tidak bias menyalurkan hak suaranya karena belum terdaftar. Pengakuan dari seorang warga di TPS Tertentu terdapat 27 warga yang tidak terdaftar dari 210 warga yang sudah berhak memilih. Dengan demikian berarti terdapat 10 % warga di TPS tersebut yang kehilangan suaranya pada pemilu legislatif yang lalu. Jika kita asumsikan pada setiap TPS terdapat 5 % saja warga yang tidak menyalurkan suaranya dikalikan jumlah TPS seluruh Indonesia maka dapat disimpulkan banyak sekali suara yang hilang haknya pada pemilu legislatif 2009.
Ketidakikutan warga masyarakat dalam memilih pada pemilu legislatif 2009 bukan berarti warga tidak ingin memilih atau golput namun demikian mereka tidak masuk dalam daftar pemilih tetap, hal ini sangat kontraproduktif dengan himbauan untuk tidak golput bagi warga masyarakat, akan tetapi syarat administrative yang memaksa masyarakat untuk golput hal ini dibuktikan dengan beberapa TPS menolak warga yang tidak terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap untuk menyalurkan hak suaranya.
Tidak berlebihan jika terdapat komponen masyarakat yang mengajukan gugatan kepada KPU yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemilu 2009 karena dirinya atau warga masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Beberapa partai politik bersiapsiap mengajukan gugatan terhadap masalah DPT tersebut yang beralasan bahwa menurunnya perolehan suara partainya disebabkan oleh tidak terdaftarnya simpatisan partai sebagai pemilih tetap.
Gugatan yang diajukan parpol maupun warga masyarakat sah-sah saja dilakukan selama hal tersebut merupakan pendidikan politik menuju system pemerintahan yang demokratis, bukan justru akan merusak proses demokratisasi. Masalah-masalah yang muncul pasca pemilu legislatif 2009 perlu disikapi dengan arif oleh berbagai kalangan, mungkin bukan hanya persoalan DPT yang muncul pasca pemilu 2009. Namun permasalahan kecurangan, dan usaha merubah data hasil pemilu sebagaimana yang terjadi di Sumatera Selatan juga perlu di waspadai, mungkin kejadian-kejadian diatas hanya sebagian kecil dari permasalahan yang muncul, dimungkinkan akan ditemukan permasalahanpermasalahan yang lebih besar lagi.
Dengan berbagai kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pemilu legislatif 9 april yang lalu hendaknya kita jadikan refleksi dan instropeksi bersama, masyarakat masih berharap pada pemilihan presiden mendatang aka nada perbaikan system penyelenggaraan pemilu. Dengan melihat pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum legislatif 2009, persoalan DPT hendaknya tidak lagi terjadi jika sebelum pemilu KPU sudah mengantsipasinya dengan melakukan pendataan ulang warga di setiap TPS yang tidak terdaftar di DPT, selain itu antisipasi terhadap permasalahan kecurangan dan pelanggaran-pelangaran lainnya yang pernah terjadi pada pemilu legislatif yang lalu, dengan demikian pada pemilu presiden mendatang dapat diminimalisir permasalahan yang muncul pasca pemilu.

Kegersangan Isu Narkoba: refleksi pasca kampanye calon legislatif


KEGERSANGAN ISU NARKOBA
Refleksi Paska Kampanye Calon Legislatif PEMILU 2009

Gatot Sugiharto
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogykarta dan aktivis sosial.


Kampanye usai sudah, masih teringat ungkapan para calon legislatif semasa kampanye untuk meraih kursi empuk di DPR baik tingkat kabupaten/kota maupun tingkat Nasional (DPR RI). Visi dan misi para Calon legislatif yang beragam disampaikan dengan berbagai bentuk rencana program, mulai dari program pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, sembako murah, pendidikan gratis, dan masih banyak lagi program lainnya. Upaya meraih simpati masyarakat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dengan metode dialogis sampai kampanye dengan pengerahan masa yang terkadang justru kontraproduktif dengan tujuan kampanye. tujuan kampanye yang diharapkan dapat meraih simpati masyarakat dengan berbagai program programnya namun dengan adanya kampanye yang terkadang mengganggu ketertiban justru menimbulkan ketidak simpatikan warga masyarakat terhadap adanya kampanye.
Yang menjadi menarik disini bahwa dari sekian banyak caleg yang tampil dalam kampanye pemilu legislatif 2009 belum ada yang menyentuh persoalan bagaimana memberantas kejahatan-kejahatan narkoba yang demikian luar biasa pengaruh buruknya bagi keberlangsungan dan keselamatan generasi muda penerus bangsa dikemudian hari. Upaya menyelamatkan generasi bangsa menjadi penting karena masa depan bangsa dan Negara berada ditangan para pemuda-dan pemudi yang kuat dan berkualitas yang mampu melakukan perubahan dan perbaikan sehingga mampu bersaing dengan dunia luar.
Penyalahgunaan narkoba terus berkembang dimasyarakat, Setiap hari media masa baik elektronik maupun cetak terdapat kasus-kasus peredaran narkoba baik yang dilakukan oleh kalangan pejabat, artis sampai dengan masyarakat menengah kebawah bahkan narkoba sudah merambah sampai kepada anak-anak kecil dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Undang-undang menggariskan bahwa narkotika, psikotropika dan obat berbahaya lainnya diatur penggunaannya oleh pemerintah dan hanya dibolehkan untuk dua kepentingan yakni untuk pengobatan dan ilmu pengetahuan, berarti penggunaan narkoba diluar dua kepentingan tersebut merupakan larangan atau penyalahgunaan. Mengapa peredaran narkoba perlu diatur ? Kita tahu bahwa penyalahgunaan narkoba bisa berdampak buruk bagi pelaku maupun bagi masyarakat, lebih luas lagi bagi bangsa dan Negara. Narkoba dapat memicu kejahatan-kejahatan yang lain seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan kejahatan lainnya karena narkoba menyerang susunan syaraf manusia yang memungkinkan terjadi perubahan karakter, perubahan spikologis manusia sehingga menjadi lebih berani melakukan perbuatan-perbuatan amoral karena tidak mampu berfikir secara sehat dan rasional.
Melihat dampak buruk penyalahgunaan narkoba tersebut perlu kiranya masyarakat peduli dengan kondisi ini, terlebih para calon pemimpin bangsa yang memiliki kewenangan ikut mengarahkan dan menyelenggarakan pemerintahan. Jika para caleg yang nanti terpilih sebagai anggota legislatif sudah tidak ada yang peduli terhadap maraknya penyalahgunaan narkoba dikawatirkan penyalahgunaan narkoba akan semakin bertambah luas dan mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat yang akhirnya berdampak pada terganggunya stabilitas nasional, yang lebih celaka lagi adalah rusaknya moralitas bangsa yang mengancam keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang disebabkan rusaknya generasi muda penerus bangsa yang berkualitas. Meskipun telah ada instrumen hukum yang mengatur penyalahgunaan narkoba yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, serta Undang-undang kesehatan dan lain sebagainya namun secara factual dapat kita lihat bersama penyalahgunaan narkoba terus merajalela bahkan dapat pula dikatakan semakin meningkat dari tahun-ketahun.
Minimnya isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba pada kampanye calon anggota legislatif (caleg) merupakan indicator minimnya kepedulian para calon legislatif (caleg) terhadap masalah masa depan generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu meneruskan perjuangan para pendiri Negara ini menjadi Negara yang kuat aman damai dan sejahtera yang menjadi tujuan utama didirikanya Negara ini. Indicator ini memang sangat sederhana jika dijadikan tolak ukur tidak adanya political will para calon legislatif (caleg) untuk melakukan pemberantasan penyalahgunaan narkoba sebagai bentuk kepedulian para calon legislatif terhadap masa depan generasi penerus bangsa, namun setidaknya dapat pula dikatakan bahwa sedikit sekali calon legislatif yang berani mengatkan berantas narkoba. karena mungkin disadari sepenuhnya bagi para calon legislatif isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba merupakan isu yang tidak dapat dijual dan menguntungkan secara politis dalam kampanye yang dilakukan. Sehingga para calon legislatif lebih suka mengusung isu-isu yang lebih menyentuh secara langsung kebutuhan masyarakat seperti menciptakan lapangan kerja, sembako murah dan lain sebagainya walaupun sebenarnya isu itu pun tidak jelas secara konseptual.
Strategi kampanye yang cenderung hanya merupakan konsep-konsep yang juga tidak terlalu jelas bagaimana implementasinya masih dipandang sangat efektif untuk meraih suara pada pemilu mendatang dengan bentuk kontrak politik menciptakan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, pendidikan gratis dan sebagainya. Namun perlu juga disadarai bahwa tidak sedikit pula masyarakat yang sudah mulai tidak peduli dengan program-program yang disampaikan para calon legislatif bahkan ada kecenderungan antipati terhadap kampanye itu sendiri yang menurutnya dianggap sebagai “obral janji tanpa bukti” berbagai slogan disampaikan dalam kampanye untuk maraih simpati masyarakat agar berhasil menduduki kursi di lembaga perwakilan sebagai wakil rakyat namun setelah menjadi anggota legislatif lupa dengan janjinya yang pernah diucapkannya semasa kampanye. Para calon legislatif dalam menyampaikan program-programnya dalam kampanye banyak yang tidak terbebani secara moral dengan kemungkinan keberhasilan implementasi programnya, Terlebih tidak ada sanksi yang jelas terhadap calon legislatif yang tidak memenuhi janjinya dalam kampanye kecuali hanya sanksi sosial yang sebagian masyarakat sudah menganggap itu sanksi yang tidak mampu menghukum dan menakuti secara tegas.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba menjadi relevan jika diangkat sebagai program kampanye para legislatif. Terlebih jika ada gerakan nyata para calon legislatif sebagi bentuk kepedulian terhadap masa depan generasi muda penerus bangsa. pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang disampaikan dalam kampanye, bisa jadi hanya slogan namun demikian, ketika ada calon legislatif yang mau mengusung isu pemberantasan penyalahgunaan narkoba penulis berfikir bahwa masih ada yang peduli terhadap kelangsungan generasi bangsa yang berkualitas yang mampu meneruskan tampuk kepemimpinan dan keteladanan bangsa sebagai upaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat dan bermanfaat.
Walaupun kampanye telah selesai dilakukan dan isu pemberantasan narkoba tidak dijadikan isu penting yang menjadi program para calon legislatif, namun masyarakat tetap berharap kepada para calon legislatif yang nanti berhasil menjadi wakil rakyat, untuk ikut peduli terhadap masa depan generasi penerus bangsa bukan justru ikut merusak generasi bangsa dengan ikut melakukan perbuatan penyalahgunaan narkoba, harapan masyarakat terhadap para calon pemimpin bangsa ini adalah terciptanya keamanan dan ketertiban bangsa agar dapat mewujudkan kesejahteraan. Kesejahteraan sebagai tujuan utama diselenggarakannya pemerintahan Menjadi sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika jalan menuju kepada kesejahteraan yaitu keamanan dan ketertiban tidak terwujud. Masyarakat akan merasa sejahtera jika dalam setiap aktifitasnya mendapat jaminan keamanan dan ketertiban dari pemerintah.
Perasaan aman tertib dan damai tidak mungkin diperoleh jika kejahatan terjadi dimana-mana dan tidak ada penyelesaian secara hukum dengan baik. Telah disampaikan di awal bahwa kejahatan yang terjadi sebagian besar dipicu oleh penyalahgunaan narkoba walaupun dapat dikatakan hal ini bukanlah satu-satunya pemicu kejahatan. Namun narkoba memiliki andil besar dalam terjadinya kejahatan seperti perampokan, pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika narkoba merupakan akar masalah dari permasalahan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, maka perlu ada pemikiran serius bagaimana strategi penyelesaiannya. Jika narkoba dianggap sebagai akar masalah mampu diselesaikan dengan baik, maka keamanan dan ketertiban pun akan terwujud dengan sendirinya, ibarat sebuah alur proses, bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dibutuhkan jaminan rasa aman dan tertib dari Negara, jika Negara aman dan tertib investor akan masuk dengan sendirinya yang membuka peluang bertambahnya lapangan pekerjaan dan dapat mengurangi pengangguran, jika Negara aman masyarakat dapat melakukan aktifitasnya dan berkarya tanpa mendapat gangguan dari siapapun Sehingga taraf hidup masarakat menjadi semakin baik sehingga akan terwujud kesejahteraan.
Hal ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua. Benarkah narkoba tidak memiliki pengaruh atau tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kesejahteraan? Ataukan masalah narkoba tidak perlu dibesar-besarkan ?. sebagai calon wakil rakyat tentunya orang yang sudah merasa mampu dan mau untuk melihat realita dan mampu melakukan analisis terhadap masalah sosial kemasyarakatan sehingga diharapkan bisa melihat permasalahan penyalahgunaan narkoba secara utuh dan komprehensif. Dan diharapkan setelah terpilih mampu memberikan kontribusi positif terhadap upaya pemberantasan penyalagunaan narkoba dimasyarakat, bagaimana melakukan kebijakan penal dan non penal terhadap penyalahgunaan narkoba yang sudah meraja lela.
Para calon legislatif perlu juga mengkaji bagaimana efektifitas penegakan hukum narkoba yang telah dilakukan selama ini sebagai dasar membuat satu kebijakan pemberantasan penyalahgunaan narkoba di dalam masyarakat. Dapat dipahami Sebagai legislator tentu memiliki kewenangan melakukan revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang dianggap tidak efektif ataukah membuat undang-undang yang efektif untuk menyelesaikan kejahatan penyalahgunaan narkoba. Namun jika undang-undang telah dianggap mampu dijadikan dasar pemberantasan penyalahgunaan narkoba maka sebagai anggota legislatif perlu melakukan control dalam upaya penegakan hukumnya karena diindikasikan bahwa proses penegakan hukum terhadap narkoba tidak sedikit oknum aparat penegak hukum yang ikut bermain di dalamnya. Sehingga keberanian dan kemauan para legislator sebagai wakil rakyat untuk melakukan control terhadap proses penegakan hukumnya diperlukan dalam upaya menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika peran legislatif dilakukan dan dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya maka masyarakat tidak akan kecewa dan antipati lagi terhadap setiap program anggota legislatif.