Kamis, 30 Juli 2009

FUNGSI HUKUM SEBAGAI ALAT DAN CERMIN PERUBAHAN MASYARAKAT DALAM POLITIK HUKUM INDONESIA

Oleh: Gatot Sugiharto

PENDAHULUAN.
Tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi hukum dalam pembangunan menurut Profesor Muchtar Kusumaatmaja menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentang pembangunan ini terdapat suatu kelesuan (melaise) atau kekurangpercayaan akan hukum dan gunanya dalam masyarakat.
Namun sebaliknya dan hal ini mungkin menjadi aneh kedengarannya, di puncak malaise ketiadaan kepercayaan mengenai guna bahkan adanya hukum di masyarakat kita ini, terdengar teriakan yang menandakan masih percayanya orang Indonesia terhadap keampuhan hukum. Tidak bosan-bosannya sebagian masyarakat megumandangkan the rule of law dengan harapan yang sering mengharukan bahwa dengan kembalinya ratu keadilan ke atas tahtanya, dengan sendirinya segala sesuatu akan baik kembali dan akan tercapai masyarakat yang aman damai dan sejahtera.
Keadaan yang dilukiskan di atas yaitu bahwa orang disatu pihak, acuh tak acuh atau hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi dilain pihak memiliki kepercayaan yang naif terhadap kekuatan yang seakan-akan menjadi Religious magis dari pada hukum mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang hukum.
Negara Indonesia sebagai negara hukum memberikan pengertian bahwa segala tindak-tanduk dan sikap tatalaku setiap warga negara maupun pemimpin harus didasarkan oleh hukum. Konsekuensi inilah yang harus dijalankan sebaga negara yang menamakan dirinya sebagai negara hukum. Hukum dibuat dimaksudkan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat walaupun sering pada implementasinya belum secara sempurna dapat dilakukan.
Masyarakat suatu negara tidak dapat menghindari perubahan disegala bidang, baik tekhnologi, sosial maupun budaya. Hal ini membawa dampak pada perubahan perilaku masyarakat yang mungkin harus melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi. Biasanya setiap perubahan membawa konsekuensi-konsekuensi yang harus disikapi pula dengan cara yang arif sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang justru menghambat kemajuan dan perubahan dalam masyarakat, karena kemajuan dan perubahan memang sudah seharunya terjadi agar manusia menjadi lebih berkualitas dan lebih baik.
Namun demikian, perubahan masyarakat disegala bidang dengan segala konsekuensinya itu perlu ada pengaturan melalui sebuah norma yang disepakati sebagai suatu kaedah yang disebut sebagai norma hukum yang diharapkan dpat mengawal perubahan masyarajat tersebut. Pertanyaan yang harus segera mendapat jawabannya adalah apakah hukum sebagai norma tertulis mampu dijadikan alat untuk melakukan perubahan dalam masyarakat? Dan apakah adanya hukum ini dapat dikatakan sebagai cermin dari perubahan masyarajat tersebut?
Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut perlu dilakukan penelusuran agar dapat diketahui bagaimana fungsi hukum itu dalam perubahan masyarakat dan fungsi hukum sebagai cermin perubahan masyarakat.

PEMBAHASAN
A. Fungsi Hukum dalam masyarakat.
Untuk tetap bertahan dalam hidupnya dan untuk mempermudah memenuhi kebutuhannya manusia harus berinteraksi dengan manusia yang lain. Manusia sering kali diidentifikasikan tidak hanya sebagai makhluk biologis saja tetapi juga sebagai makhluk sosial sebagaimana dikatakan oleh Paul Vinogradoff, pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosial. Bagi manusia, melakukan hubungan-hubungan sosial sudah merupakan perintah alam. Hal ini karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya dalam hidup dalam keadaan terisolasi dan terpisah dengan alam dan manusia lainnya karena dia senantiasa membutuhkan orang lain untuk melakukan kerjasama dan saling membantu dengan manusia lain.
Pertanyaan mengenai apa arti hukum itu yang sebenarnya dan fungsi hukum dalam masyarakat, dapat dikembalikan pada pertanyaan dasar apaka tujuan hukum itu. Tujuan pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat yang fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Lepas dari segala hal lain yang menjadi tujuan dari hukum , ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat, maka manusia, masyaraat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Disamping ketertiban menurut Prof, Muchtar Kusumaatmaja tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda si dan ukuranya, menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi merupakan syarajat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya secara optimal didalam masyarakat tempat dia hidup.
1. Hukum sebagai kaedah sosial
Adanya hukum sebagai kaedah sosial tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri diatur pula oleh agama , kaedah susila, kaedah kesopanan, adat-kebiasaan dan kaedah-kaedah sosial lainnya. antara hukum dan kaedah-kaedah sosial lainnya in, terdapat jalinan hubungan yang erat yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaedah-kaedah sosial lainnya itu.
Akan tetapi dalam satu hal, hukum berbeda dari kaedah sosial yang lainnya, yakni bahwa penataan ketetntuan-ketetntuannya dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur. Artinya, pemaksaan guna menjamin penataan ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tun duk pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanannya.
Hal ini tampak dengan jelas dalam suatu negara, pemaksaan itu biasanya berada di tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya. Soal pemaksaan ketaatan terhadap hukum ini membawa kita ke suatu masalah yang pokok bagi penyelamatan dari hakekat hukum, yakni masalah hukum dan kekuasaan.
Permasalahan yang menyangkut berfungsinya hukum dalam masyarakat tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Teori-teori hukum memaparkan tiga hal tentang berlakunya hukum sebagai kaedah; pertama.kaedah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya Kedua kaedah hukum tersebut efektif, artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan). Ketiga kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
2. Hukum sebagi sarana Pembangunan Masyarakat
Kata pembangunan biasanya diarahkan pada perubahan yang direncanakan dan dikehendaki. Proses perubahan yang direncanakan dapat dilakukan pada bidang-bidang kehidupan tertentu, tetapi dapat juga secara menyeluruh dan simultan. Dalam kenyataannya sangat sulit untuk membatasi perubahan dalam bidang tertentu. Hal ini dapat disadari karena semakin kompleknya permasalahan sehingga perubahan yang terjadi pada suatu bidang cenderung menjalar pada bidang kehidupan yang lain.
Pada masyarakat yang sedang membangun perubahan dibidang hukum akan berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu , fungsi hukum disatu pihak dapatlah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dan dilain pihak untuk mempertahankan susunan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi dimasa lalu.
Jika mengetengahkan hukum sebagai sarana pembahauan masyarakat yang sedang pada masa transisi, perlu ada penetapan prioritas-prioritas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan suber atau datanya dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian terhadap masyarakat diberbagai bidang kehidupan. Data yang sudah diperoleh kemudian diabstraksikan agar dapat dirumuskan kembali ke dalam norma hukum yang kemudian disusun menjadi tata hukum.
Karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi indonesia yaitu masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek, maka akan dihadapkan pada diferensiasi yang berbeda-beda pula yang akhirnya membawa akibat pada struktur masing-masing masyarakat.
Masyarakat transisi yang mengalami proses dari yang sederhana ke komplek tidak jarang dihadapkan pada sebagian nilai yang harus ditinggalkan, tetapi ada pula yang harus dipertahankan karena mendukung proses penyelesaian masa transisi. Memang setiap pebangunan maerupakan proses menuju suatu tujuan tertentu melalui berbagai terminal; selama terminal-terminal tadi masih harus dilalui maka transisi masih akan tetap ada.
Pada masayarakat yang sederhana, hukum timbul dan tumbuh bersama-sama dengan pengalaman-pengalaman hidup warga masyarakatnya. Disini penguasa lebih banyak mengesahkan atau menetapkan hukum yang sebenarnya hidup dimasyarakat. Akan tetapi hal yang sebaliknya agaknya terjadi pada masyarakat yang kompleks. Kebhinekaan masyarakat yang kompelks menyebabkan sulit untuk memungkinkan timbulnya hukum dari bawah. Diferensiasi yang tinggi dalam strukturnya membawa konsekuensi pada aneka macam kategori dan kepentingan dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak jarang saling bertentangan. Walaupun hukum datang dan ditentukan dari atas, sumbernya tetap dari masyarakat.
Dengan demikian peranan nilai-nilai didalam masyarakat harus dipertahankan untuk menetapkan kaedah hukum apabila diharapkan kaedah hukum yang diciptakan itu dapat berlaku efektif. Dengan demikian berhasil atau gagalnya suatu proses pembaharuan hukum, baik pada masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks sedikit banyak ditentukan oleh pelembagaan hukum didalam masyarakat. Jelas bahwa usaha ini memerlukan perencanaan yang matang, biaya yang cukup besar dan kemampuan meproyeksikan secara baik.
Di dalam masyarakat seperti Indonesia yang sedang mengalami masa peralihan menuju masyarakat modern tentunya nilai-nilai yang ada mengalami proses perubahan pula. Dengan demikian masyarakat yang melaksanakan pembangunan, proses perubahan tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga pada nilai-nilai dalam masyarakat yang mereka anut. Nilai-nilai yang dianut itu selalu terkait dengan sifat dan sikap orang-orang yang terlibat didalam masyarakat yang membangun. Jadi, perubahan yang terjadi tanpa melibatkan sikap dan sifat yang mengarak pada kehidupan modern tidak mustahil akan berakibat pemborosan dan sedikit sekali ati pembangunan itu. Jadi hakekat pembangunan nasional adaah masalah pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup. Hanya saja masalah yang dipahami adalah nilai-nilai dan sikap yang mana yang harus ditinggalkan dan dipertahankan dan nilai yang mana yang harus digantikan dengan yang baru.
Pemuka madzab sejarah mengatakan bahwa hukum itu ekpresi dan semangat dari jiwa rakyat (volksgeis). Selanjutnya dikatakan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Konsep demikian ini memang didukung oleh kenyataan dalam sejarah yaitu pada masyarakat yang masih sederhana sehingga tidak dijumpai perana pembuat undang-undang seperti terdapat pada masayarakat modern.
Di Indonesia madzab sejarah ini sangat berpengaruh mulai zaman Hindia Belanda melalui saluran pendidikan dan pemerintahan yang masih terasa hingga sekarang lewat ahli-ahli hukum adat. Madzab ini memainkan peranan penting dalam mempertahankan hukum adat sebagai pencerminan nilai-nilai kebudayaan penduduk pribumi dan berusaha untuk mencegah tejadinya pemaratan yang teralalu cepat.
Namun dibalik politik hukum yang diilhmi oleh madzab sejarah ini terdapat segi-segi yang kurang menguntungkan. Politik hukum yang dimaksud melindungi golongan pribumi justru dalam perkembangannnya telah mengislasi golongan ini dengan perkembangan hukum masa kini sehingga mengakibatkan keterbelakangan golongan ini sehingga tidak mampu bersaing dengan golongan lain.
B. Hukum sebagai alat dan cermin perubahan masyarakat dalam politik hukum Indonesia.
Melihat sub judul di atas mungkin akan muncul sebuah pertanyaan apakah hukum mampu mengubah masyarakat? Andi Amrullah mengamati bahwa para pemikir tentang hukm saat ini masih banyak yang belum dapat memandang atau bahkan menerima hukum suatu sistem yang di samping memiliki komponen-komponen substansif berupa kaedah-kaedah, juga memiliki komponen-komponen struktur dan kultur hukum. Masih banyak sarjana hukum indonesia yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kaedah yang ekslusif dan autonom. Sebagai konsekuensi dari pendangan tersebut banyak sarjana hukum indonesia hanya berfungsi sebagai a tool of social control (alat pengawasan/control masyarakat) yang secara pasif mengikuti perubahan masyarakat; manakala masyarakat berubah, maka hukumpun berubah pula. Jadi hukum disini hanya merupakan stabilisator yang bertugas menjaga keseimbangan hidup masyarakat.
Namun sebaliknya, konsepsi yang memandang hukum sebagai sistem yang memiliki komponen substantif (kaedah-kaedah) dan komponen struktural dan kultural memberikan fungsi hukum secara langsung dan aktif sebagai a tool off social engenering yang dapat memaksakan perubahan masyarakat.
Pandangan bahwa hukum tidak dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan perubahan dianut leh savigny. Ia dengan tegas menyangkal kemungkinan penggunaan hukum sebagai alat melakukan perubahan. Pendapatnya didasarkan atas konsepsinya mengenai hukum. Yaitu melihat hukum sebagai suatu yang tumbuh alamiah dari pergaulan masyarakat itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa savigny adalah pemuka madzab sejarah dalam hukum yang mengatakan bahwa hukum merupaka perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeis) yaitu bahwa semua hukum berasal dari adat-itiadat dan kepercayaan, dan bukan dari pembentuk undang-undang.
Masih banyak sarjana yang menganggap bahwa hukum selalu ketinggalan dari perubahan sehingga hukum tidak dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat, namun apakah keadaannya memang demikian dalam arti bahwa hukum tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat?
Kesadaran untuk menggunakan hukum sebagai sarana yang sengaja dipakai untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki, beranjak dari inti pemikiran yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yang dikenal dengan law as a tool off social engenering , yang di Indonesia mulai muncul sekitar tahun 1970 oleh seorang pakar hukum yang pada berbagai kesempatan mencoba untuk menarik perhatian orang mengenai penggunaan hukum sebagai sarana perubahan Dalam masyarakat.
Dalam prasaran yang dikemukakan pada seminar lembaga ilmu pengetahuan indonesia mengenai pengaruh faktor sosial budaya dalam pembangunan nasional permulaan tahun 1970, Ia sudah menyampaikan pendapatnya yang mengatakan bahwa hukum tidak dapat memainkan peranan penting dalam proses pembaharuan. Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa adanya ketertiban di dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. Disampiang itu hukum swbagai tata kaedah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke dalam tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seyogyanya dilakukan disamping fungsi hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial.
Berdasarkan pendapat di atas apabila melalui hukum akan dilakukan perubahan terhadap masyarakat dalam arti bahwa hukum digunakan sebagai sarana untuk menguba masyarakat dan perubahan itu ditujukan ke arah yang baru, berati hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan haus memuat bentuk masyaakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian untuk melakukan perubahan itu maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau yang diinginkan harus dirumuskan terlebih dahulu seta harus memenuhi unsur-unsur masyarakat yang dikehendaki. Jadi apabila akan membentuk masyarakat pancasila yang adil dan makmur, maka masyarakat pancasila yang dil dan makmur itu dirumuskan terlebih dahulu, dan hukum yang akan diberlakukan itu telah memuat rumusan masyarakat pancasila yang adil dan makmur.
Untuk melihat sejauh mana peran hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat, mochtar kusumaatmaja menunjuk beberapa contoh tentang putusan dilarangnya pengayauan, larangan pembakaran anda dibali. Dalam bidang hukum internasional mengenai hukum pertambangan, nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, contoh lain dapat pula dilihat dalam UUPA yang dalam banyak hal bertujuan membentuk masyarakat baru dalam bidang pertanahan. Contoh lain dapat pula disampaikan bahwa Keputusan Mahkamah Agung RI No. 179 K/Sip/1961 yang menetapkan bahwa anak perempua dan laki-laki dari seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta waisan
Dengan diundangkankannya UU Nomor 44 Tahun 2008 yang ingin mengubah tatanan masyarakat yang menganggap pornografi sebagai bagian dari budaya dan gaya hidup menjadi tatana masyarakat yang lebih bermartabat serta bermoral dimata manusia dan Tuhan, ini merupakan sebagai dari contoh yang dapat disampaikan berkaitan dengan fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat. Atau dengan kata lain bahwa hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat sangat berperan didalam proses pembaharuan.
Hukum di dalam masyarakat juga dapat di gunakan sebagai cermin perubahan, berubahnya masyarakat dapat dilihat bagaimana hukum melakukan perubahan terhadapnya. Dengan melihat sejarah bagaimana hukum di Indonesia cita hukum yang diperjuangkan dalam konteks hukum indonesia adalah cita hukum pancasila. Namun demikian Prof. Mahfud mengatakan sesuatu yang pasti dirasakan adalah bahwa dalam sembilan terakhir sejak era reformasi 1998 gema pancasila sudah sangat mengendur, sebelum era reformasi pancasila selalu dijadikan bahan teriakan dalam berbagai pidato pejabat, slogan di media masa dan alat untuk menyanjung dan menjatuhkan orang.
Selanjutnya mahfud mengatakan tetapi setelah gerakan reformasi berhasil menjathkan rezim orde baru yang ternyata penuh korupsi, kolusi dan nepotisme, maka gema pancasila pun nyaris lenyap. Hal ini dimungkinkan karena malu karena memiliki pemerintah yang selalu mendengungkan pancasila namun pada kenyataannya justru melakukan KKN.
Mahfud mengatakan bahwa pancasila bukan negara agama dan negara sekuler, ideologi pancasila itu bukan didasarkan pada individualisme dan bukan pada kolektifisme. Penjelasan yang substansinya benar tapi disampaikan oleh penguasa yang tidak konsekuen itu muncul celetukan, kalau pancasila ini bukan yang ini dan yang itu berarti pancasila itu konsep yang bukan-bukan.
Pernyataan bahwa pancasila dalam konteks negara bukan negara agama dan bukan negara sekuler serta dalam konteks ideologi bukan individualisme dan bukan kolektivisme menurut mahfud adalah benar adanya. Itu adalah pernyataan yang tepat untuk mengekpresikan kesepakatan para pendiri negara ketika bersepakat mendirikan negara pada tahun 1945.
Dengan meminjam istilah yang disampaikan oleh Fred W Rings Mahfud menyebut pancasila merupakan suatu konsep prismatik, Prismatik adalalh suatu konsep yang mengambil segi-segi yang baik dari sua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan masyarakat indonesia dan setiap perkembangannya. Negara indonesia bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi negara pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Negara pancasila adalah sebuah religions nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfaisilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk.
Negara pancasila mengakui manusia sebagai individu yang mempunyai hk dan kebebasan, sekaligus mengakui bahwa secara fitrah manusia manusia itu juga adalah mahkluk sosial yang tidak bisa mejadi manusiawi kalau tidak hidup bersama manusia-manusia lain. Dalam konsep keseimbangan yang seperti ini pancasila bukanlah penganut konsep individualisme yang memutlakkan hak dan kebebasan individu, tetapi juga bukan penganut konsep kolektivisme yang mau menyamakan semua manusia begitu saja tanpa menghargai hak dan kebebasan individu. Pengelolaan nilai kepentingan dan nilai sosial dari konsepsi yang seperti ini harus mengarah pada keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan bersama serta nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan.
Itulah konsep pancasila sebagai konsep prismatik yang mempertemukan secara integratif segi-segi baik dari berbagai konsep yang dipandang saling bertentangan. Dalam kaitanya dengan pembangunan hukum, Mahfud mengatakan pancasila dapat disebut sebagai bingkai dari sistem hukum pancasila, sebuah sistem yang khas indonesia dan berbeda dengan sistem hukum yang lain. Meski belakangan ini menurut mahfud banyak orang yang merasa kurang gagah untuk menyebut sistem hukum pancasila sebagai sebuah sistem hukum yang khas, namun harus ada keberanian untuk mengangkatnya kembali sebagai paradigma dalam pembangunan hukum kita. Satcipto rahardjo menyebut bahwa hukum pancasila mencerminkan kekhasan bangsa indonesia yang penuh kekluargaan dan gotong-royong yang karenanya memang berbeda dengan sitem hukum yang lain. Oleh sebab itu tisak ada yang salah ketika sistem hukum pancasila disebut sebagai sistem hukum yang khas untuk melayani masyarakat indonesia. Hukum adalah cermin dan pelayan masyarakatnya sehingga sistemnya pun harus sesuai dengan masyarakat yang dilayaninya. Masyarakat yang berbeda tentu dilayani oleh sistem hukum yang berbeda pula.
Sistem hukum pancasila berbeda dari sistem hukum eropa kontinental yang hanya menekankan pada legisme, civil law, adminitrasi, kepastian hukum, dan hukum-hukum tertulis yang negara hukumnya disebut Rechtsstaat. Sistem hukum pancasila juga berbeda dari sistem hukum Anglo saxon yang hanya menekankan pada pernan yudisial,Common law dan substansi keadilan yang negara hukumnya disebut The Rule of law.
Sistem hukum pancasila mengambil segi-segi terbaik dari Rechtsstaat dan The rule Off law yang didalamnya bertemu dalam sebuah ikatan prismatik dan integratif prinsip kepastian hukum dan keadilan substansial. Dalam penegakan hukum, sistem hukum pancasila menghendaki kepastian hukum bahwa keadilan telah ditegakkan. Sistem hukum pancasila menghendaki penegakan keadilan substansial melalui aturan-aturan hukum yang formal atau mengehndaki kepastian hukum berdasarkan aturan hukum formal yang menjamin terpenuhinya keadilan substansial. Permusyawaratan dan sikap gotong royong yang penuh kekeluargaan ditonjolkan didalam sistem hukum pancasila sehingga membawa perkara kepengadilan hanya akan ditempuh jika penyelesaian dengan kekeluargaan ternyata gagal untuk dicapai.
Itulah konsep perismatik sistem hukum pancasila yang sesuai dengan akar buday bangsa yang secara khas telah hidup didalam kenyataan bangsa indonesia sejak-berabad-abad lamanya. Sehingga dengan demikian tidak perlu malu dan segan sebagai bangsa indonesia untuk menganggap pancasila sebagai satu konsep sistem hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar berperilaku dalam mengkonsep tata hukum Indonesia. Karena sistem hukum pancasila sangat mencerminkan kepribadian bangsa indonesia sebagai sebuah sistem hukum.

KESIMPULAN.
Hukum sebagai suatu sistem memiliki sub-sistem yang menurut Friedmand ada tiga sub sistem yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Sehingga dalam konteks politik hukum harus mengarah pada ketiga sub sistem tersebut agar produk hukum yang ada dapat berfungsi sebagaimana yang diinginkan. Fungsi hukum didalam masyarakat adalah sebagai alat dan cermin perubahan, sehingga untuk dapat berlaku sebagai alat perubahan hukum harus diformulasikan terlebih dahulu agar dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. Namun demikian fungsi hukum selain sebagai alat perubahan masyarakat tentunya agar mampu juga menjadi efektif serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat perlu adanya satu konsep sistem hukum yang sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa tersebut. Sehingga keberadaan hukum ampu menjadi cermin dalam perubahan masyarakat.
Bangsa Indonesia dengan karakater masyarakatnya dalam politik hukumnya tentu harus memiliki konsep sistem hukum yang memiliki kekhasan bangsa indonesia dalam politik hukumnya agar sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia, sehingga bangsa indonesia menganggap pancasila sebagai cita hukum yag harus dipedomani yang telah diangap sesuai dengan kepribadian bangsa indonesiadan mampu menjadi cermin dalam mengawal perubahan masyarakatnya.






DAFTAR PUSTAKA

Lili Rasjidi, 1985, Filsafat Hukum: Apakah hukum itu?.Bandung: Remaja karya
Lili Rasjidi dan Arief Sidarta (Editor), 1998, Fungsi Hukum dalam Masyarakat yang sedang Membangun, andung:Bandung.
Mochtar Kusumaatmaja,1976, Fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta.
Mochtar Kusumaatmaja, 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni
Moh Mahfud, MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara \:Pasca amandemen konstitusi, Jakarta: LP3ES.
---------------------------, 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta, UII Press.
Satjipto Rahardjo,1986, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni
-------------------------,2003, Sisi-sisi lain tentang hukum Indonesia, Jakarta:Kompas.
Soeryono Soekanto dan Mustafa Abdullah,1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,Jakarta:Jakarta.
Sunaryati Hartono,1981, Politik Hukum Menuju sistem hukum nasional, Bandung: Alumni.

KONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

KONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
Oleh: Gatot Sugiharto

PENDAHULUAN
Teori kedaulatan hukum menyatakan bahwa hukumlah yang menjadi sumber dari segala kekuasaan. Negara itu sendiri hakekatnya adalah suatu bentuk hukum, dan oleh karena itu pemerintahan harus dijalankan menurut peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian Negara hukum ialah Negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan atas kekuasaan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarkan ketertiban hukum.
Pengertian diatas memberikan pengertian bahwa Negara, termasuk didalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus didasari oleh kepastian hukum. Dalam kehidupan bernegara yang didasarkan atas hukum maka semua hubungan antara seseorang dengan lainnya, atau antara seseorang dengan alat-alat pemerintahan dan alat-alat Negara diatur oleh peraturan-peraturan hukum.
Di dalam pembahasan Ilmu Negara, Negara hukum dapat dibagi menjadi dua, pertama, Negara hukum dalam arti luas yaitu Negara hukum dalam arti meteriil, bukan sekedar dalam arti formal. Kedua Negara hukum dalam arti sempit yaitu Negara hukum yang menjalankan fungsinya sebagaimana tugas “polisi lalu lintas” atau penjaga malam, yang menjaga agar jangan sampai terjadi pelanggaran hukum, dan akan bertindak keras terhadap para pelanggar hukum.
Pada umumnya konsep Negara hukum selalu dikaitkan dengan konsep negra hukum barat yaitu Negara hukum menurut konsep eropa continental yang dinamakan Rechtsstaat, model Negara hukum ini diterapkan oleh Negara Belanda, jerman dan perancis. Konsep Negara hukum Rule of law yang diterapkan dinegara-negara Anglo saxson antara lain Inggris dan Amerika. Yang mungkin juga disinggung adalah konsep Socialis Legality yang pernah diterapkan oleh uni soviet. Untuk konsep islam belum banyak di ulas, oleh sebab itu dalam makalah ini mencoba mengulas konsep Negara hukum selain dalam konsep barat juga dalam konsep islam dan konsep Indonesia.

PEMBAHASAN.
A. Konsep-konsep Negara Hukum
Dengan berpegang pada asumsi bahwa istilah Negara hukum merupakan suatu genus begrib, maka melalui penelusuran ditemukan dalam kepustakaan lma macam konsep Negara hukum sebagai spesies begrib yaitu:
1. Negara hukum menurut Alquran dan sunnah. Untuk konsep ini penulis cenderung menggunakan istilah nomokrasi Islam dari Malcoml H Kerr. Majid Khudori juga menggunakan istilah nomokrasi untuk konsep Negara dari sudut pandang islam. Namun untuk membedakannya dengan konsep Negara sekuler atau negara hukum menurut konsep barat penulis berpendapat istilah nomokrasi islam lebih tepat.
2. Negara hukum menurut konsep eropa continental yang dinamakan Rechtsstaat.
3. Konsep Rule of law yang diterapkan di Negara-negara anglo saxon.
4. Konsep Socialis legality yang diterapkan Negara unisoviet sebagai Negara komunis.
5. Konsep Negara hukum pancasila.
Penjelasan terhadap konsep Negara hukum diatas adaah sebagai berikut:
1. Nomokrasi Islam
Ibnu khaldun berpendapat, bahwa dalam Mulk Siyasi ada dua macam bentuk Negara hukum yaitu (1). Siyasah diniyah yang penulis terjemahkan dengan istilah nomokrasi islam dan (2). Siyasah agliyah yang sering disebut sebagai nomokrasi sekuler. Cirri pokok yang membedakan kedua macam nomokrasi ini adalah pelaksanaan hukum islam (syariah) dalam kehidupan Negara dan hukum sebagai hasil pemikiran manusia. Dalam nomokrasi islam baik syariah maupun hukum yang didasarkan pada rasio manusia, keduanya berfungsi dan berperan dalam Negara. Sedangkan nomokrasi sekuler manusia hanya menggunakan hukum semata-mata sebagai hasil pemikiran mereka.
Nomokrasi islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut:
1. Prinsip Kekuasaan sebagai amanah.
2. Prinsip Musyawarah,
3. Prinsip Keadilan;
4. Prinsip Persamaan;
5. Prinsip Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
6. Prinsip peradilan bebas;
7. Prinsip perdamaian,
8. Prinsip kesejahteraan;
9. Prinsip ketaatan rakyat.
Suatau mis konsepsi atau pemahaman yang tidak benar terhadap konsep Negara dari sudut pandang islam samapai sekarang masih berbekas pada persepsi para sarjana barat. Mereka memahami konsep Negara dalam islam sebagai “teokrasi” berasal dari kata Theos artinya Tuhan dan Kratos artinya kekuasaan jadi teokrasi adalah kekuasaan yang berasal dari tuhan atau yang berkuasa adalah tuhan.
Predikat yang tepat untuk konsep Negara dalam islam ialah nomokrasi islam dan bukan theokrasi. Karena theokrasi adalah suatu Negara, sebagai mana yang dirumuskan oleh Ryder Smith yang diperintah oleh tuhan atau Tuhan-Tuhan. Nomokrasi islam artinya kekuasaan yang didasarkan kepada hukum-hukum Allah,’ karena Tuhan itu Abstrak dan hanya hukum Nyalah yang nyata tertulis… Masjid Khaduri mengutif rumusan nomokrasi dari The oxford Dictionary sebagai berikut:” nomokrasi adalah suatu system pemerintahan yang didasarkan pada suatu kode hukum suatu rule of law dalam suatu masyarakat”. rumusan nomokrasi disini masih mengandung atau merupakan genus begrib, karena itu dalam kaitannya dengan konsep Negara menurut islam maka penulis berpendapat bahwa nomokrasi islam merupakan predikat yang tepat. Sehingga disebut sebagai rule of Islamic law.

2. Konsep Barat
Pemikiran Negara hukum di barat dimulai sejak Plato dengan konsepnya” bahwa penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah nomoi’. Kemudian ide tentang Negara hukum atau Rectsstaat mulai popular kembali pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi social politik di Eropa yang didominir oleh absolutism. Golongan yang pandai dan kaya atau “Menschen von Besitz und bilding” ditindas oleh kaum bangsawan dan gereja. Yang menumbuhkan konsep etatisme menginginkan suatu perombakan struktur social politik yang tidak menguntungkan itu. Karena itu mereka mendambakan suatu Negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing.
Dua orang sarjana barat yang berjasa dalam pemikiran Negara hukum yaitu Imanuel kant dan Friedrich Julius Stahl telah mengemukakan buah pikiranya. Kant memahami Negara hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat yang tugasnya adalah menjalankan ketertiban dan keamanan masyarakat, gagasan Negara hukum menurut konsep kant ini dinamakan Negara hukum liberal.
Konsep Stahl tentang Negara hukum ditandai empat unsure pokok yaitu : (1). Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2). Negara didasarkan pada teori Trias politika; (3). Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang; dan (4). Ada peradilan administrasi Negara yang bertugas menangani kasus-kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. Gagasan Negara hukum yang beraal dari stahl ini dinamakan Negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.
Padmo wahyono mencatat bahwa dalam perkembangannya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dianggap “lamban” dan karena itu diganti dengan pemerintahan yang berdasarkan hukum atau prinsip Rechtmatig bestuur . maka dengan demikian Negara hukum yang formil menjadi Negara hukum yang materil dengan cirri Rechtmatig Bestuur . kemudian lahirlah konsep-konsep yang merupakan varian dari rehtsstaat itu, antara lain welvaarstaat dan Verorgingstaats sebagai Negara kemakmuran.
Menurut Scheterma unsure-unsur Rechtsstaat adalah (1). Kepastian hukum, (2). Persamaan, (3). Demokrasi, (4). Pemerintahan yang melayani kepentingan umum. Karena konsep rechtsstat di eropa continental sejak semula didasarkan pada filsafat liberal yang indvidualistik, maka cirri individualistic itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum menurut konsep eropa continental itu.
Di Negara anglo saxon , berkembang pula suatu konsep Negara hukum yang semua dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) dengan sebutan Rule Of Law. Konsep ini menentukan ada tiga tolak ukur atau unsure utama yaitu: (1). Supremasi hukum (supremacy of law) (2). Persamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law), (3). Konstitusi yang didasarkan atas hakhak perorangan atau The Constitution based on individual rights. Perbedaan yang menonjol antara konsep Rechtsstaat dan Rule of law adalah pada konsep yang pertama peradilan administrasi Negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula cirri menonjol pada rechsstaat itu sendiri. Sebaliknya pada Rule Of Law peradilan administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar kepada peradilan umum. Cirri yang menonjol pada konsep Rule Of Law ialah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat. Karena semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum, maka ordinary court dianggap cukup untuk mengadli semua perkara termasuk perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.

3. Konsep Socialist Legality
Socialist Legality adalah suatu konsep yang dianut dinegaranegara komunis/sosialis yang tampaknya hendak mengimbangi konsep Rule Of Law yang dipelopori oleh Negara-negara Anglo saxon. Inti dari konsep socialist legality berbeda dengan konsep barat, karena dalam socialist legality hukum ditempatkan di bawah sosialisme. Hukum adalah sebagai alat untuk mencapai sosialisme. “hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan”.
Dalam socialist legality ada suatu jaminan konstitusional tentang propaganda anti agama yang memang merupakan watak dari Negara komunis/sosialis yang diwarnai oleh doktrin komunis bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Sebagaimana diketahui, komunisme mengajarkan sikap yang anti Tuhan. Sehingga disimpulkan bahwa socialist legality bertujuan untuk kepentingan Negara, bedanya dengan konsep barat yang bertujuan untuk melindungi individu sebagai manusia yang bermartabat. Maka dalam socialist legality yang terpenting adalah realisasi sosialisme itu sendiri.
4. Konsep Negara Hukum Pancasila
Indonesia secara tegas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1 yat (3). Sehingga konsekuensi dari bunyi pasal tersebut menandakan bahwa secara tegas Indonesia merupakan Negara hukum, namun pertanyaannya Negara hukum Indonesia ini menganut konsep Negara hukum yang mana Rechtsstaat ataukah Rule Of Law atau justru Sosialist Legality. Untuk menjawab hal tersebut baik kiranya ditelusuri darimana cita hukum Indonesia itu. Oemar seno adji mengatakan Negara hukum Indonesia memiliki cirri-ciri khas Indonesia.
Cita hukum Indonesia adalah cita hukum pancasila sehingga konsep Negara hukum yang dibagun pun bukan konsep dari barat ata dari komunis melainkan Negara hukum pancasila. Oleh karena itu pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum. Negara hukum pancasila memiliki cirri pokok adanya jaminan terhadap Freedom of Religion kekebasan memeluk agama. Tapi kebebasan beragama dalam konsep pancasila memiliki konotasi positif artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia.
Hubungan antara Negara dan agama di Indonesia tidak ada pemisahan yang rigit dan mutlak,cirri pokok Negara hukum pancasila adalah (1). Ada hubungan yang erat antara agama dengan Negara, (2). Bertumpu pada ketuhanan yang maha esa, (3). Kebebasan beragama dalam arti positif, (4). Ateisme tidak dibenarkan, (5). Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Ditinjau dari teori kedaulatan, Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945 menganut teori kedaulatan hukum (pasal 1 ayat (3), yang mengakui kedaulatan rakyat pasal 1 ayat (2) dan kedaulatan Tuhan (pembukaan alenia ke 3). Negara Indonesia berdasarkan pancasila merupakan Negara hukum dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan.

B. Prinsip-Prinsip Negara Hukum Menurut Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebelum membahas prinsip-prinsip umum nomokrasi Islam terlebih dahulu perlu diperhatikan salah satu doktrin pokok dalam Al Qur’an tentang siapakah sesungguhnya penguasa hakiki dan mutlak dalam pandangan islam. Terhadap pertanyaan ini, Q.s. Ali Imran ayat 189:

Artinya: kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan Allah maha perkasa atas segala sesuatu.
Ayat ini secara jelas menginformasikan bahwa sesungguhnya penguasa hakiki dan mutlak adalah Allah Swt. Kekuasaannya sangat luas dan tidak terbatas, mencakup segala sesuatu yang ada dialam semesta ini.
Prinsip-prinsip umum nomokrasi Islam menurut Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebgai berikut:
1. Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah
Perkataan amanah tercantum dalam Al Qur’an, surah An Nisaa ayat 58.

Artinya: Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha melihat.

Apabila ayat tersebut dirumuskan dengan menggunakan metode pembentukan garis hukum sebagaimana diajarkan oleh hazairin dan dikembangkan oleh sayuti Thalib, maka dari itu dapat ditarik dua garis hukum yaitu (1). Manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan (2). Menusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Dalam nomokrasi Islam kekuasaan adalah suatu karunia atau ni’mat Allah artinya ia merupakan rahmat dan kebahagiaan bak bagi yang menerima kekuasaan itu maupun bagi rakyatnya. Ini dapat terjadi, apabila kekuasaan itu diimplementasikan menurut petunjuk Al Qur’an dan tradisi nabi Muhammad, sebaliknya jiia kekuasaan itu diterapkan dengan cara yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip dasar Al Qur’an dan Sunnah maka akan hilanglah makna hakiki kekuasaan yaitu merupakan karunia atau nikmat Allah. Dalam keadaan begini kekuasaan bukan lagi merupakan karunia Allah dan nikmat Allah melainkan kekuasaan yang semacam ini akan menja bencana dan laknat Allah.

2. Prinsip Musyawarah.
Dalam Al Qur’an ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar nomokrasi islam. Ayat yang pertama surah Al Syuura yang artinya “…adapaun urusan kemasyarakatan diputuskan dengan musyawarah antara mereka”. Ayat ini menggambarkan bahwa setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya. Dalam sebuah hadist nabi digambarkan sebagai orang yang paling banyak melakukan musyawarah.
Beliau melakukan hal ini karena prinsip musyawarah adalah merupakan suatu perintah Allah sebagaimana digariskan dalam ayat yang kedua yang dengan tegas menyebutkan perintah itu dalam surat Ali Imron ayat 159. Yang artinya “…bermusyawarahlah engkau hai Muhammad dengan mereka dalam setiap urusan kemasyarakatan”. Ayat yang terakhir ini apabila dijadikan sebagai suatu garis hukum maka ia dapat dirumuskan sebagai berikut:”hai Muhammad engkau wajib bermusyawarah dengan para sahabat dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan”. Atau secara lebih umum”umat islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan’. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penguasa/penyelenggara kekuasaan Negara dalam melaksanakan kekuasaannya. Lebih lanjut prinsip musyawarah bertujuan melibatkan atau mengajak semua pihak untuk berperan serta dlam kehidupan bernegara.

3. Prinsip Keadilan
Perkataan keadilan bersumber dari Al Qur’an cukup banyak ayat Al qur’an yang menggambarkan tentang keadilan. Dalam hubungannya dengan paragraph ini akan dikutif dan dibicarakan beberapa ayat yang relevan dengan topic ini. Dalam surat An Nisaa ayat 135 :

Artinya: hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi kerena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atu enggan menjadi saksi, maka sesuangguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan”.

Dari ayat diatas sekurangnya dapat dtarik tiga garis hukum yaitu: (1). Menegakkan keadilan adaah kewajiban orang-orang yang berima; (2). Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil; (3). Munisia dilarang mengikuti hawa nafsu, dilarang menyelewenagkan kebenaran.
Dalam ayat lain Allah mengulangi lagi kewajiban manusia menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang adil. Ayat ini tercantum dalam surat Al maidah ayat 8.

Artinya: hai orang-orang yang beriman hendaknya kamu mejadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi yang adil, dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berbuat tidak adil, bersikaplah adil, karena adil itu lebih dekat keoada takwa dan bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah sangat mengetahui apa yang kamu lakukan.

Marsel A Boisard menegaskan bahwa: dalam doktrin islam keadilan merupakan gerak dari nilai-nilai yang pokok. Maka keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam Al Qur’an. Apabila prinsip keadilan dikaitkan dengan nomokrasi islam, maka ia harus selalu dilihat dari segi fungsi kekuasaan Negara. Fungsi itu mencakup tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara Negara atau suatu pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan yaitu: kewajiban menerapkan kekuasaan Negara dengan adil, jujur dan bijaksana. Seluruh akyat tanpa kecuali harus mendapatkan nikmat. Keadilan yang timbul dari kekuasaan Negara dalam bidang politik dan pemerintahan semua rakyat harus dapat memperoleh hak-haknya secara adil tanpa diskriminasi. Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya.

4. Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan dalam islam dapat dipahami antara lain dari Al Qur’an surah Al Hujurat ayat 13:

Arttinya: hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadilkan kamu bersukusuku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mengenal.

Prinsip persamaan dalam nomokrasi islam mengandung aspek yang luas. Mencakup persamaan dalam segala bidang kehidupan. Persamaan itu meliputi ika ada sementara pihak bidang hukum, politik, ekonomi, social dan lainnya. Persamaan dalam bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama terhadap semua manusia tanpa memandang kedudukannya. Prinsip ini telah ditegakkan oleh Rasul Muhammad sebagai kepala Negara Madinah, ketika ada pihak yang menginginkan dispensasi karena tersangka berasal dari kelompok elit. Nabi berkata dalam hal tersebut: Demi Allah seandainya Fatimah putriku mencuri tetap akan kupotong tangannya:”
Hadist diatas menunjukkan bahwa hukum harus dilaksanakan terhadap siapa saja, tanpa memandang latar belakang keturunan atau kedudukannya.
5. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Dalam nomokrasi islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Karena itu, dalam hubungan ini ada dua prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Prinsip-prinsip itu secara tegas digariskan dalam Al Qur’an antara lain dalam suat Al Israa ayat 70:

Artinya: dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak adam kami tebarkan mereka didarat dan di laut serta kami anugerahi mereka rezki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna dati pada kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.

Prokamasi ayat diatas mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi dalam nomokrasi islam ditekankan pada tiga hal utama yaitu: (1). Persamaan manusia, (2). Martabat manusia (3). Kebebasan manusia, dalam persamaan manusia sebagaimana ytelah dijelaskan dalam paragraph yang lalu Al Qur’an telah menggariskan dan menetapkan suatu status atau kedudukan yang sama bagi semua manusia. Karena itu Al Qur’an menentang dan menolak setiap bentuk perlakuan dan sikap yang mungkin dapat menghancurkan prinsip persamaan, seperti diskriminasi dalam segala bidang kehidupan, feodalisme, kolonialisme, dan lain.lain.
6. Prinsip Peradilan Bebas
Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi islam seseorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap putusan yang dambil bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Al Qur’an menetapkan suatu garis hukum:’… apabila kamu menetapkan hukum antara manusia hendalah kamu tetapkan dengan adil”. Putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Seorang yuris islam terkenal Abu hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan keputusan pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan bebas dalam nomokrasi islam bukan hanya sekedar cirri bagi suatu Negara hukum, tetapi juga merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim. Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan hukum.
Dalam nomokrasi islam, hakim memiiki kedudukan yang bebas dari pengaruh siapapun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan ia memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad dalam penegakan hukum. Ketika muadz bin jabal diangkat oleh nabi sebagai hakim di yaman, nabi sebagai kepala Negara madinah bertanya kepada muadz sebelum ia menempati posnya. Dengan apa engkau mengadilik suatu perkara? Jawab muadz dengan Al Quran, jika didalamnya tidak engkau jumpai ketentuan hukumnya ? kata nabi selanjutnya. Muadz menjawab dengan sunnah Rasul, kalau dalam sunahku juga tidak ada? Saya akan berijtihad dengan menggunakan akal pikiran saya.
Prinrip peradilan bebas dalam nomokrasi islam tidak boleh bertentangan dengan tujuan hukum islam. Jiwa Al Qur’an dan sunnah. Dalam melaksanakan prinsip peradilan bebas hakim wajib memperhatikan pula prinsip amanah. Karena kekuasaan kehakiman yang berada di tangannya adalah suatu amanah dari rakyat kepadanya yang wajib ia pelihara dengan sebaik-baiknya. Sebelum meutuskan ia pun harus bermusyawarah agar dicapai putusan yang seadil-adilnya. Putusan yanga adil merupakan tujuan utama dari kekuasaan kehakiman yang bebas.
7. Prinsip Perdamaian
Salah satu tugas pokok yang dibawa rasulullah melalui ajaran islam adalah mewujudkan perdamaian bagi seluruh manusia dimuka bumi ini. Arti perkataan islam itu sendiri kecuali penundukan diri kepada Allah, keselamatan, kesejahteraan dan pula ia mengandung suatu makna yang didambakan oleh setiap orang yaitu perdamaian. Al Qur’an dengan tegas menyeru manusia yang beriman agar masuk kedalam perdamaian;” wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semua dalam perdamaian”. bahng dilarangkan salah satu dari asma Allah adalah perdamaian.
Nomokrasi islam harus ditegakkan atas prinsip perdamaian. Hubungan dengan Negara-negara lain harus djalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya sikap permusuhan atau perang merupakan suatu yang terlarang dalam Al Qur’an. Perang hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensive atau membela diri. Al Qur’an hanya mengizinkan tindakan kekerasan atau perang apabila pihak lain memulai lebih dahulu melancarkan. Al Qur’an mengatur hukum perang dan menggariskan sebagaimana digariskan dalam Surat Al Baqarah 194.

Artinya: dan terhadap orang yang menyerangmu, maka seranglah ia seperti ia menyerang kamu”.

Begitu juga dalam surat Al Baqarah ayat 190:

Artinya: berperanglah demi Allah melawan orang-orang yang memerangi kamu tetapi janganlah kamu memulai permusuhan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang memulai permusuhan.

Apabila tindakan kekerasan atau perang terpaksa dilakukan, maka nabi Muhammad Saw. Telah memberikan beberapa kaedah dalam hukum perang. Dengan menggunakan prinsip kewajaran dan kasih saying terhadap sesama manusia.

8. Prinsip Kesejahteraan.
Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan social dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara Negara dan masyarakat. Pengertian keadilan social dalam nomokrasi islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materiil atau kebendaan saja. Akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh rakyat. Negara berkewajiabn memperhatikan dua macam kebutuhan itu dan menyediakan jaminan social untuk mereka yang kurang atau tidak mampu.
Al qur’an telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan social bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan social dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah Zakat, infaq Sodaqoh, hibah dan wakaf dengan tidak menutup kemungkinan bagi pendapatan pendapatan Negara dari sumber-sumber lain, seperti pajak, bead an lain-lain.
Nomokrasi islam keadilan social dan keadilan ekonomi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penimbunan harta ditangan seseorang atau sekelompok orang sementara anggota masyarakat lainnya mengalami kemiskinan. Salah satu misi islam ialah memerangi kemiskinan, sekurangnya menghilangkan kesenjangan antara golongan orang yang mmpu dan yang tidak mampu. Pendiran Al Qur’an mengenai kedudukan harta ialah bahwa harta milik seseorang mempunyai fungsi social karena itu bukan merupakan kepemilikan yang bersifat mutlak. Al Qur’an menegaskan bahwa didalam harta milik golongan hartawan itu ada hak orang lain yang membutuhkannya, maka ada kewajiban zakat sekurangnya 2 .1/2 % dari harta kekayaan.

9. Prinsip Ketaatan Rakyat.
Al Qur’an telah menetapkan suatu prinsip yang dapat dinamakan sebagai prinsip ketaatan rakyat prinsip itu ditegaskan didalam surah An Nisaa:59 yang artinya: hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya serta orang-orang yang berwenang dianara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu hal maka kembalilah kepada Allah (Al Qur’an) dan rasulnya (sunah) jika kamu benar-benar berian kepada Allah dan hari kiamat, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.
Prinsip ketaatan rakyat mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali berkewajiban mentaati pemerintah. Sejauh mana prinsip ini mengikat rakyat ? sarjana hukum islam sependapat bahwa kewajiban rakyat untuk mentaati penguasa atau pemerintah adalah sepanjang penguasa atau pemerintah itu menerapkan prinsip-prinsip nomokrasi, atau dengan perkataan lain penguasa atau pemerintah tidak bersikap dzalim (tiran atau otoriter/dictator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk kepada penguasa atau pemerintah.

PENUTUP
Konsep Negara hukum secara konseptual dan implementasinya dapat dikatakan hampir sama yang intinya segala tindak-tanduk warga Negara dan pemerintah harus berdasarkan hukum, namun demikian konsep nomokrasi islam sebagai konsep Negara hukum menurut islam memberikan pengaturan lebih detail dan lebih rinci sehingga dapat dikatakan nomokrasi islam adalah sebagai konsep Negara hukum yang tepat untuk dianut dalam konsep Negara hukum modern.














DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Al Hadist.
Arif Sidarta.2008. Bahan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum UII. Yogyakarta.
Hazairin. 1982. Hukum Kewarisan bilateral menurut Alquran dan hadist. Jakarta: Tinta Mas
JWM. Enggel. 1989. De RechtStaat Herdacht. W.E.J: Tjenk Willink Zwole.
Majid Khoduri. 1955. War and peace in the law of islam. London: The John Hopkins Press.
Malcolm H Kerr.1996. The political and legal Theoris of Muhammad Abduh and Rashid Ridho. Berkeley and Los Anggles: University Of California.
M Daud Ali. 1988. Islam untuk disiplin ilmu hukum social dan politik. Jakarta: Bulan Bintang
Muhamad Thaher Ashary. 1991. Negara Hukum studi tentang Prinsip-Prinsip Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.
Mustafa Khamal. 2003. Pancasila dalam tinjauan historis, yuridis dfan Filosofis. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Oemar Seno Adji. 1980. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga.
Padmo Wahyono. 1984. Beberapa Teori ketatanegaraan Prof Joko Soetono dalam Guru Pinandito. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI.
---------------------. 1988. Konsep Yuridis Negara HUkum Indonesia, Makalah.
Rasjidi. 1981. Koreksi terhadap Nurcholis madjid tentang sekulerisme. Jakarta: Bulan Bintang
Soedargo Gautama. 1973. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni.

NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN KETATANEGARAAN ISLAM

NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM
PANDANGAN KETATANEGARAAN ISLAM
Oleh:
M. IMAM PURWADI

A. Latar belakang

Mendiskusikan Negara Kesejahteraan (welfare state) di Indonesia sangat menarik bagi kalangan akademisi dan praktisi ketatanegaraan. Mengapa? Karena, pertama: Indonesia, negara yang memiliki sumberdaya alam yang luar biasa, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan negara dengan jumlah penduduk pluralis yang besar.
Kedua, negara yang mempunyai landasan filosofis ketatanegaraan Pancasila yang di dalamnya mengandung nilai-nilai dasar kemanusiaan berdasarkan pada agama, budaya dan adat istiadat setempat.
Pertumbuhan ekonomi dewasa ini begitu cepat berkembang. Tuntutan untuk mencapai kemakmuran material menjadi prioritas kehidupan manusia. Segala cara dilakukan untuk meraih kemakmuran material. Dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank terus menjadi incaran masyarakat, baik masyarakat kalangan atas maupun bawah.
Di Indonesia pemenuhan kebutuhan masyarakat dilindungi dan dijamin oleh hukum. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan, melakukan kegiatan usaha dan untuk mendapatkan lapangan kerja.
Namun, sampai sekarang Indonesia adalah negara yang masih menghadapi persoalan kesejahteran yang serius. Ironisnya, kontribusi negara sebagai institusi yang seharusnya memiliki peran penting dalam mensejahterakan warganya, ternyata masih jauh dari harapan. Berbagai masalah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia seringkali disebabkan oleh kegagalan negara dalam memainkan perannya dengan baik. Seakan-akan negara tidak pernah dirasakan kehadirannya terutama oleh mereka yang lemah (dhaif) atau dilemahkan (mustadh’afin), yang miskin atau dimiskinkan.
Belum lama ini, Media Indonesia menyajikan hasil survei Litbang Media Group, terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telefon enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar). Responden ditanya bagaimana pendapatannya sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah dirasakan semakin berat atau ringan? Mayoritas responden (73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat; sebanyak 21% responden merasakan sama saja; dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar responden (89%) merasakan sekarang makin sulit mencari pekerjaan baru; sebanyak 5% responden merasakan sama saja; 4% merasakan makin mudah; dan 2% tidak tahu.
Hasil survei ini tidak berbeda dengan laporan mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun mendatang.
Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (capabilitas) manusia Indonesia. Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah. Bahkan, karena indikator IPM pada hakekatnya merujuk pada konsep basic human capabilities, dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar saja ternyata masih rendah.
Dengan kata lain, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan. Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan. Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari.3 Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.
Demikianlah, keadaan negara Indonesia yang masih berkutat dalam problema rakyat yang belum sejahtera. Kesejahteraan rayat haruslah menjadi prioritas dalam kebijakan publik. Jika, peran negara dikurangi maka akan timbul problema berkepanjangan, kemiskinan, kesejangan sosial, bahkan konflik sosial dan perang sipil akan muncul. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak asasi manusia, seperti pada tahun 1990 an sampai kini, di Somalia, Kamboja, Sudan, Haiti, Palestina, dan lain sebagainya.
Menurut Fukuyama, bahwa “negara harus diperkuat”, kesejahteraan tidak mungkin dicapai tanpa hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan rakyatnya.
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Globalisasi dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai faktor penyebab mencuatnya persaingan yang tidak sehat, monopoli dan oligopoli, kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional, kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan keengganan perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Mishra, dalam bukunya “Globalization and Welfare State” menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.
Oleh karena itu, memang negara bukan lah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghargai (to respect) hak-hak dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat Negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat “wajib”. Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat “tanggungjawab” (responsibility).
Dari kerangka di atas, tulisan ini hanya akan membahas bagaimana Negara kesejahteraan dalam pandangan Islam. Referensi pembahasan berdasarkan pemahaman singkat atas beberapa literatur saja.

B. Pembahasan

Konsep Negara Kesejahteraan.
Negara kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.
Menurut Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.”
Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya.. Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis.
Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya. Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.
Dengan demikian, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis.
Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Konsep kegunaan atau manfaat dalam teori ilmu hukum dikenal dengan “Asas kegunaan atau manfaat’“(the principle of utility) yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham.
Bentham (1748 – 1832) adalah pejuang yang gigih dalam hukum yang dikodifikaskan dan untuk merombak hukum Inggris yang menurutnya merupakan sesuatu yang kacau. Sumbangan yang terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang dipakai adalah ”apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan?”. Selanjutnya, ia mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap masyarakat secara individual.
Sekitar abad 18, di Inggris prinsip tersebut dikenal dengan paham utilitarianisme , yang merupakan bagian dari etika filsafat yang memusatkan perhatiannya pada baik atau buruknya perilaku, sehingga kajian etika dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan moralitas. Utilitarianisme secara sederhana dapat dipahami sebagai paham yang menganggap bahwa kebijaksanaan yang benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Artinya, segala keputusan tentang aktivitas yang dilakukan harus mengarah kepada sejauh mana tindakan yang diambil dapat membawa dampak yang posistif atau kebahagiaan kepada masyarakat lainnya. Dalam hal ini, penggunaan utility menjadi syarat mutlak dalam menentukan kebijakan demi untuk mewujudkan kebahagian bagi keseluruhan ataupun sebahagian besar masyarakat.
Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang dikembangkan Bentham, sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi. Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave).
Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke Negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompokkelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.
Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi:
1. Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.
2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.
3. Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum; (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c) pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
4. Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) , UU Kesejahteraan Anak , UU Jamsostek dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan model ini.
Negara Kesejahteraan dalam Pandangan Islam
Dalam QS, Al-Baqarah: 177, dijelaskan bahwa:
”Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan zakat, orang-orang yang menpati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Surat al-Baqarah di atas, sejatinya memiliki nilai mengenai pentingnya kesejahteraan masyarakat ketimbang sekadar menghadapkan wajah kita ke barat atau timur dalam shalat. Tanpa memarginalkan pentingnya shalat, Al-Qur’an mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan kebijakan dan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memberi pesan tentang keimanan, Al- Qur’an mengingatkan penganutnya bahwa pernyataan keimanan kepada Allah, KitabNya, dan Hari Kiamat saja tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kepedulian dan pelayanan kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan musafir serta menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan pertolongan.
Sesungguhnya, dengan landasan ini ada satu sistem yang bisa dikembangkan dalam makna kesejahteraan bagi kemanusiaan, yaitu sistem yang bisa menjadi alternatif, sistem negara kesejahteraan Islam (Islamic welfare state).
Islam bukan hanya sekadar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan yang memadukan antara aspek material dan spiritual, keduniawian dan keukhrowian. Pada puncaknya, Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan segelintir atau sekelompok orang.
Dalam Sistem ekonomi Islam misalnya, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit dalam pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib.
Sebagai contoh, zakat merupakan salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu mentransfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba mencegah eksploitasi ekonomi yang merugikan kelompok lemah. Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu memenuhi kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, ”Setiap penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak berjuang dengan keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surga bersama mereka.”
Contoh lain, adanya program al-Qardh al-Hasan dalam Perbankan Syariah”. Penerapan program ini diprioritaskan bagi rakyat yang potensial, tetapi tidak memiliki modal selain kemampuan berusaha. Pembiayaan ini bukan kredit biasa, melainkan pembiayaan yang diberikan: a). berdasarkan pada prinsip kebajikan; b). diberikan kepada kelompok tertentu; c). berdasarkan kewajiban sosial; dan d). bersumber dari infaq, zakat dan shadaqah.
Dalam praktik Perbankan Syariah, al-Qardh al Hasan lebih sering dikenal sebagai pinjaman yang terbatas dalam jumlah uang tertentu dan dalam masa tertentu dan dikembalikan pada saat jatuh tempo dengan tanpa imbalan. Al-Qardh al Hasan kemudian dipahami sebagai salah satu produk Bank Syariah yang bersifat sukarela atau kebajikan saja.
Al-Qardh al Hasan adalah suatu sistem yang berkaitan dengan segala bentuk pinjaman tanpa imbalan yang berasaskan pada hukum al-Qardh al Hasan yang ada pada sistem hukum ekonomi Islam Apabila sistem tersebut dikelola dengan baik, maka akan membentuk sebuah institusionalisasi keuangan yang berdiri sendiri, misalnya Bank Syariah dengan prinsip al-Qardh al Hasan, Koperasi dengan prinsip al-Qardh al Hasan, Gadai dengan prinsip al-Qardh al Hasan, dan beberapa institusi keuangan lainnya. Sehingga, kegunaan atau manfaat al-Qardh al Hasan dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dalam pandangan Islam, salah satu tujuan negara adalah untuk menegakkan keadilan. Q.S. an-Nisa: 58, 135; Q.S al-Maidah: 9, 45; Q.S.al-A’raf: 29; Q.S. an-Nahl: 90, 152; Q.S. asy-Syuura: 15; dan Q.S. ar-Rahmaan:9. Secara substansial landasan syariah tentang negara berkaitan dengan tujuan negara yang berkeadian, mensyaratkan adanya proses hukum yang adil baik dari segi hukumnya maupun saksi-saksinya.
Dalam substansi pembahasan ini, fokus atau sasaran bagi Negera Kesejahteraan dalam upaya membangun kesejahteran nasional melalui berbagai program kegiatan bagi masyarakat, terutama, ditujukan kepada: 1). Kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja dan laju pertumbuhan ekonomi yang optimal; 2). Keadilan sosioekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata; 3). Mobilisasi tabungan untuk pembangunan ekonomi; dan 4). Pelayanan yang efektif dan transparan dari sistem ekonomi Islam.
Menurut Umer Chapra, dalam lapangan ekonomi, Islam menganjurkan kesejahteraan ekonomi melalui pemenuhan semua kebutuhan pokok manusia, menghapuskan semua sumber utama kesulitan dan ketidaknyamanan (kemiskinan, pengganguran, kesempatan kerja yang rendah, dsb.), meningkatkan kualitas kehidupan secara moral dan material. Bahkan, Islam menganjurkan penciptaan suatu lingkungan ekonomi yang mampu memanfaatkan waktu dan kemampuan fisik dan skill bagi pengayaan diri, keluarga, dan masyarakatnya.
Oleh karena itu, kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan Islam mempunyai ruang lingkup yang sangat luas baik menyangkut pelayanan publik (public service) maupun pelayanan privat (privat service) dan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan mekanisme, seperti misalnya, zakat, wakaf, infak, shadaqah, pajak, qardh al hasan, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
Di bawah ini akan dibahas 2 (dua) bentuk dan mekanisme dalam penyelenggaraan kesejahteran sosial sebagai wujud negara kesejateraan dalam pandangan Islam.
1. Program Jaminan Sosial.
Jaminan sosial sering disebut dengan istilah social security, adalah bantuan ekonomi berupa bantuan finansial yang diberikan oleh Negara bagi warganegaranya yang berada dalam kondisi-kondisi tertentu yang dipersyaratkan. Bantuan finansial atau tunjangan (benefit), misalnya: tunjangan untuk orang jompo (old age benefit), tunjangan untuk orang cacat (disability benefit), dan sebagainya. Sebagai tanggung jawab Negara, maka jaminan sosial ini termasuk salah satu bentuk hak ekonomi rakyat, yaitu hak untuk hidup layak secara ekonomis.
Dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dimaksud Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jenis program jaminan sosial meliputi: a). jaminan kesehatan; b). jaminan kecelakaan kerja; c). jaminan hari tua; d). jaminan pensiun; dan e).jaminan kematian.
Bentuk lain jaminan sosial di Indonesia selain UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tersebut di atas, ada UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan UU Kesejahteraan Anak merupakan bentuk tanggung jawab Negara dalam pemenuhan dan kebutuhan hak warganegaranya dalam bidang tertentu. Upaya ini, jelas merupakan wujud pelaksanaan negara kesejahteraan (welfare state) dalam arti luas.
Program jaminan sosial tersebut, diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kegotong-royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini, jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4. Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara suka rela, sehingga dapat mencakup petani, nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat.
6. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
7. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dalam pandangan Islam, bentuk perwujudan Negara dalam pemenuhan kebutuhan warganegaranya dipersonifikasikan dalam kepemimpinan atau khalifah atau amir atau imam. Menurut Agus Triyanta, sebagai implementasi perwujudan jaminan sosial memerlukan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pemimpin bertanggung jawab atas keadaan semua aspek rakyatnya.
2. Pelarangan penyalahgunaan kekuasaan.
3. Perlakuan sama terhadap semua warganegara.
Prinsip-prinsip tersebut memberikan beban sekaligus kewajiban kepada seorang pemimpin agar melayani dan menyangga tanggung jawab kepada rakyatnya. Konsep Islam tentang kepemimpinan ini sangat mendekati konsep modern mengenai pemerintah sebagai pelayan publik (public sevice). Sehingga penggunaan jabatan kekuasaan haruslah demi kepentingan rakyat, sebagaimana perintah Allah dalam Q.S. an-Nisa: 58, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu menetapkan hukum diantara manusia dengan hukum yang adil, sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Dalam Islam juga tidak pernah terjadi perlakuan diskriminasi, apalagi memberikan keistimewaan pada seseorang, sebagaimana hadis Rasulullah yang menegaskan bahwa ”demi zat yang jiwaku berada ditanganNya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya”
Lebih jauh Agus Triyanta menjelaskan, hak warganegara untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhannya sebagai perwujudan jaminan sosial dari negara, dperlukan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Hak untuk mendapatkan bantuan bagi kaum ekonomi lemah.
2. Hak untuk saling memikul beban ekonomi.
3. Kewajiban akan pembebasan kaum marginal dari keterpinggiran mereka.
4. Perhatian terhadap orang yang rawan ekonomi.
Demikianlah, dalam Islam telah memiliki prinsip dasar bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat. Negara, sebagai pemegang otoritas bertanggung jawab atas implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan warganegaranya.

2. Program al-Qardh al Hasan.
Dalam praktik Perbankan Syariah, al-Qardh al Hasan lebih sering dikenal sebagai pinjaman yang terbatas dalam jumlah uang tertentu dan dalam masa tertentu dan dikembalikan pada saat jatuh tempo dengan tanpa imbalan. Al-Qardh al Hasan kemudian dipahami sebagai salah satu produk Bank Syariah yang bersifat sukarela atau kebajikan saja.
Istilah al-Qardh, menurut bahasa Arab berarti pinjaman, yang di dalam al-Qur’an ditegaskan dalam surat al-Hadiid ayat 11 , yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Dalam kitab Hashiah al-Dasuqi, sebagaimana dikutip oleh Osman Sabran, pengertian al-Qardh disebut juga sebagai al-Qat’ atau potongan. yakni karena al-Qardh merupakan sebagian harta yang dipotong dari milik orang yang memberi potongan.
Dalam bahasa Arab, pinjaman juga disebut sebagai al-Salf, yaitu pinjaman yang dibayar balik kepada pemiutang tanpa syarat keuntungan. Peminjam hanya wajib mengembalikan sebanyak jumlah yang telah dipinjamnya.
Kata pinjaman juga bermakna memberi hutang (berpiutang), yang dalam bahasa Arab disebut al-Dayn yang berarti hutang, sebagaimana juga dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“…Apabila kamu berpiutang dengan sesuatu piutang hingga suatu masa yang ditetapkan, hendaklah kamu menulisnya….”

Dalam Kamus Dewan, pengertian pinjaman sebagai “barang yang dipinjam atau dipinjamkan”. Dalam bentuk uang, “pinjaman” adalah uang yang diberikan kepada seseorang, syarikat, atau sekumpulan orang dalam bentuk sementara dan perlu dikembalikan kemudian.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam qard adalah mudharabah, qiradh atau Qardh”. yang merupakan salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dan seseorang yang ahli dalam berdagang. Dalam literatur ekonomi syariah, Mirza Gamal memberikan pengertian bahwa Qardh merupakan satu bentuk transaksi kerjasama usaha yang bersifat sosial. Qardh, adalah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Sedangkan, Sutan Remy Sjahdeini memberikan istilah bahwa qard adalah perjanjian pinjaman. Dalam perjanjian pinjaman ini pemberi pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman diberikan.
Selanjutnya, Syafi’i Antonio dengan mengutip Sayyid Sabiq memberikan pengertian qardh sebagai berikut: “Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan . Adapun, Adiwarman Karim memberikan pengertian qardh, sebagai aqad meminjamkan uang yang diberikan tanpa mensyaratkan apa pun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu. Perjanjian (akad) qard ini di dalam literatur fiqih klasik, dikategorikan dalam aqad tathawwi atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial. Perjanjian ini dimasukkan ke dalam aqad tabarru’, yaitu perjanjian transaksi nirlaba (not-for profit transaction).
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 19/DSN-MUI/IX/2000, bahwa Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Selanjutnya, dalam fatwa tersebut dijelaskan tentang ketentuan mengenai penggunaan qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat diberikan batasan bahwa Qard adalah satu bentuk transaksi yang berupa pemberian pinjaman dan bisa diminta atau ditagih kembali tanpa imbalan atau syarat tambahan.
Kelahiran Perbankan Syariah dengan, salah satu, produknya yaitu al-Qardh al Hasan, sejalan dengan perkembangan perkonomian umat Islam Indonesia baik dalam bidang peningkatan pendidikan maupun peningkatan kesejahteraan kemasyarakatan. Perkembangan ini telah memberikan peluang yang lebih besar bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan kekuatan yang ada pada dirinya untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi dan kualitas hidupnya. Perubahan orientasi ekonomi dalam masyarakat dari ekonomi pertanian kepada ekonomi industri atau jasa merupakan indikator yang sangat penting dalam memahami arti penting adanya Perbankan Syariah.
Sebenarnya konsep sasaran pemanfaatan al-Qardh al Hasan sudah dirumuskan dalam berbagai tolak ukur dan berbagai pengkajian ilmu-ilmu terapan yang sudah begitu berkembang. Misalnya, dikenal konsep garis kemiskinan yang mungkin saja akan berubah dari waktu ke waktu . Konsep ini dikembangkan dari berbagai survey untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat. Perbankan Syariah sebagai organisasi yang mengembangkan manajemen secara profesional dalam pemberdayaan dan pengelolaan sumber-sumber dana harus melakukan survey seperti itu untuk mengumpulkan informasi-informasi dalam masyarakat dan menyusun konsep-konsep yang bisa dipakai sebagai tolak ukur profesionalnya.
Berdasarkan orientasi prinsip manfaat sebagai sesuatu yang aktual dalam kehidupan umat Islam, maka ada dua missi utama yang perlu dilaksanakan oleh Perbankan Syariah. Pertama, memahami konsep al-Qardh al Hasan secara tekstual dengan menggali nilai-nilai ilmiah dari ajaran Islam dan memperkaya persepsi masyarakat itu secara kontekstual dengan dimensi baru bahwa al-Qardh al Hasan merupakan suatu kekuatan yang memiliki dampak aktual terhadap kehidupan ekonomi umat Islam. Misi ini dapat diwujudkan melalui pengkajian dan penelitian ajaran al-Qardh al Hasan sebagai kekuatan ekonomi umat Islam tanpa menghilangkan nilai ibadah dalam pemberian tersebut. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk memperkuat landasan ilmiah dari ajaran al-Qardh al Hasan yang lebih berorientasi kepada aktualitas manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kedua, mengembangkan organisasi dan manajemen Perbankan Syariah secara profesional. Keberhasilan al-Qardh al Hasan sebagai suatu gerakan aktual dalam memperkuat ekonomi sangat terkait dengan terorganisasikanya kegiatan tersebut dalam berbagai kelembagaan dengan suatu kepemimpinan dan manajemen yang profesional. Perorganisasian kegiatan al-Qardh al Hasan dilaksanakan melalui berbagai fungsi kelembagaan, seperti fungsi pengumpulan dan penyimpanan sumber-sumber dana al-Qardh al Hasan, fungsi penyaluran, fungsi evaluasi, penelitian dan pengembanyan yang efektif.
Pada akhirnya apa yang bisa dicapai oleh Perbankan Syariah dalam memperdayakan dan pengelolaan al-Qardh al Hasan adalah terkumpulnya sejumlah sumber dana yang diharapkan dapat memberikan pengembangan perekonomian rakyat. Dalam hal ini, Perbankan Syariah diharapkan dapat menjadi lembaga pembiayaan dalam pengembangan manajemen al-Qardh al Hasan secara profesional.
Bank Syariah menerapkan prinsip qardh al hasan ini selain dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Juga untuk membantu umat dalam mengembangkan usahanya. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa qardh al hasan adalah pinjaman lunak bagi pengusaha yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada bank, tetapi hanya membayar biaya administrasi saja. Sedangkan, Zainal Arifin mengatakan “.…yang disebut al qardh al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjaman,....”
Selanjutnya, Warkum Sumitro menegaskan bahwa pembiayaan qardhul hasan adalah suatu perjanjian antara bank sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai penerima pinjaman, baik berupa uang maupun barang tanpa persyaratan adanya tambahan atau biaya apa pun. Peminjam (nasabah) berkewajiban mengembalikan uang atau barang yang dipinjam pada waktu yang disepakati bersama, dengan jumlah yang sama dengan pokok pinjaman
Dengan demikian dapat dipahami bahwa qardh al hasan merupakan satu bentuk aplikasi dari aqad qardh yang ditujukan bagi sektor usaha kecil atau sektor sosial lainnya berupa pemberian pinjaman kepada pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal dan harus dikembalikan sebesar pinjaman yang diberikan tanpa imbalan apa pun.
Yang harus dipahami adalah adanya perbedaan yang siqnifikan antara fungsi ekonomi konvensional dengan ekonomi berbasis syariah. Perbedaan ini menyangkut pada komitmen pada nilai-nilai spritiual, keadilan sosio-ekonomi, dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam ekonomi konvensional, fungsi siapa kuat itulah yang menang, tidak dikenal adanya nilai spiritual, keadilan, dan persaudaraan. Baginya, dengan sistem bunga semua menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan tidak peduli pada sisi sosial bagi orang yang membutuhkan.
Sebagai kesimpulan tentang karakteristik perekonomian rakyat dapatlah merujuk pada kerangka di atas, yaitu bahwa perekonomian berbasis kerakyatan berprinsip pada tolong menolong, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

C. Simpulan

Negara kesejahteraan dewasa ini sudah terbukti mampu mengembangkan ekonomi sekaligus melakukan perbaikan atas tingkat kehidupan masyarakat. Krisis welfare state yang belakangan ini sering diperdebatkan, baik di Eropa, Amerika Serikat, maupun Australia, hanyalah menyangkut ukuran dan kesanggupannya, dan bukan pada soal keberadaannya.
Sistem negara kesejahteraan bukan hal yang baru bagi Islam. Sebelum Barat menerapkannya, Dunia Islam telah mempraktikannya lebih dahulu. Oleh karena itu, jika sekarang ada gagasan untuk menerapkan sistem ini di Indonesia, ini tidak berarti dan tidak perlu mengikuti Barat. Melainkan, hanya merevitalisasi apa yang secara otentik dipesankan Islam dan pernah dipraktikkan oleh Dunia Islam sekian abad silam. Pengalaman penerapan welfare state di Negara Madinah maupun pada masa Kekhalifahan Umar yang kini diadopsi Barat, merupakan referensi yang berharga.
Yang menjadi sasaran negara kesejahteraan, orang miskin, jompo, cacat, anak-anak dan kelompok rentan mendapat perhatian dan perlindungan sosial dari negara secara komprehensif sebagaimana diajarkan Islam, justru di negara-negara Islam atau mayoritas penduduknya Islam jaminan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung seringkali malah diabaikan.
Oleh karena itu, kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan Islam mempunyai ruang lingkup yang sangat luas baik menyangkut pelayanan publik (public service) maupun pelayanan privat (privat service) dan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan mekanisme, seperti misalnya, zakat, wakaf, infak, shadaqah, pajak, qardh al hasan, jaminan sosial, dan lain sebagainya.

-----------------






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Dahlan, et., al., 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-pokok Perjanjian Islam di Indonesia, cet.1, Yogyakarta : Citra Media.
______________, 2007, Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (UU di bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI dan Peraturan Bank Indonesia), cet. pertama, Yogyakarta : UII Press.
______________, 2007, Perbankan Syariah di Indoensia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
_______________ dan Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media.
Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum dalam Praktik Ekonomi Syariah”, Makalah, 2007.
Adiwarman Karim, 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ed. 3 cet. 1 Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
______________, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press.
Afzalur Rahman, 2002, Economic Doctrines of Islam (diterjemahkan oleh Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf.
Austin M Chinhengo, 1995, Essential Jurisprudence – Essential Law Series, I Title II Series, First Published in Grest Britain by Cavandish Publishing Limited, The Glass House, Wharton Street, London WC1X9PX, .
Edi Suharto, 2006, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), Bandung: Alfabeta.
__________, 2007, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta.
Francis Fukuyama, 2005, State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21), Jakarta: Gramedia (terjemahan).
Gufron A. Mas’adi, 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Merza Gamal, 2004. Qardh Al Hasan : Pola Alternatif Pengembangan Ekonomi Rakyat, REPUBLIKA, Senin, 9 Februari 2004, hlm. 4.
Muhammad Syafi’i Antonio,1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Tazkia Institut, Jakarta
____________, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press Bekerja Sama Dengan Tazkia Cendekia.
M. Imam Purwadi dan Muhaimin, 2003, Penelitian tentang ”Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Qardhul Hasan Bagi Usaha Kecil Dan Menengah (Kajian Ke Arah Dukungan Pemberdayaan Masyarakat Untuk Meningkatkan Perekonomian Rakyat), Laporan Penelitian Dosen Muda DIKTI, Universits Mataram.
M. Umer Chapra, 2000, Perkembangan Keuangan dan Moneter dalam Perekonomian Islam (terjemahan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
M.A. Mannan, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan praktik (Islamic Economics: theory and practce), Diterjemahkan oleh Potan Arif Harahap, Jakarta: Intermasa.
Osman Sabran, 2001, Urus Niaga al-Qardh al Hasan dalam Pinjaman Tanpa Riba, Kuala Lumpur: Uninersity Teknologi Malaysia.
Paul Spicker, 1995, Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall.
Ramesh Mishra, 2000, Globalization and the Welfare State, London: McMillan.
Rizka Halida, ”Kepemimpinan Nasional: Calon Presiden Muda Bisa Menang” dalam Media Indonesia, 15 Januari 2008.
Siswono Yudo Husodo, 2006, “Membangun Negara Kesejahteraan”, makalah disampaikan pada Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, WismaMM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.
United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008: Fighting Climate Change, Human Solidarity in a Divided World, New York: Palgrave Mcmillan, 2008.
Sayyid Sabiq, 1996, Fikih Sunnah, Bandung: Al Ma’arif..
Sudin Haron, 1996, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn Bhd.
Suhrawardi K. Lubis, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta,
Sunardi, “Utilitarianisme dalam Kaitannya dengan Etika Politik”, makalah diskusi Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tanggal 12 Desember 2008,
Sutan Remy Syahdeini, 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, , Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Warkum Soemitro, 2003. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, ed. Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Zainul Arifin, 2002. Dasar-dasar manajemen Bank Syariah, Cetakan 1, Alvabet, Jakarta
____________, 2000, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, cet.3, Jakarta:abet Alvabet.
Republika, 2003. Bank Syariah Perlu Dukungan Ulama, Rabu 19 Februari 2003, hlm 13.


-------------------