Minggu, 28 Desember 2008

Hukum perang di Laut

Catatan : Naskah ini adalah terjemahan yang dikerjakan oleh Tim TNI AL dan ICRC
(Perbanyakan dan penggandaan hanya dapat dilakukan atas ijin team penterjemah)

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT


BAB I

KETENTUAN UMUM


Bagian I
Ruang Lingkup Penerapan Hukum

1. Para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di laut terikat oleh prinsip dan ketentuan hukum humaniter internasional yang berlaku sejak kekuatan bersenjata mulai digunakan.

2. Dalam hal tidak diatur dalam dokumen ini atau oleh perjanjian internasional lainnya, penduduk sipil dan kombatan tetap dibawah perlindungan dan otoritas prinsip hukum internasional yang bersumber dari kebiasaan internasional, dari prinsip kemanusiaan dan dari nilai-nilai yang diterima masyarakat.


Bagian II
Konflik Bersenjata dan Hukum Pembelaan Diri.

3. Pelaksanaan hak pembelaan diri individu atau kelompok yang diakui dalam pasal 51 Piagam PBB tunduk pada persyaratan dan batasan yang termuat dalam Piagam PBB dan dalam hukum internasional umum khususnya prinsip kepentingan dan prinsip proporsional.

4. Prinsip kepentingan dan prinsip proporsional berlaku sama untuk semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata di laut dan mensyaratkan bahwa tindakan perlawanan yang dilakukan suatu negara tidak boleh berlebihan dalam tingkat dan jenis kekuatan yang digunakan untuk menghalau serangan bersenjata terhadapnya dan untuk mengembalikan keamanan negara, meskipun tidak dilarang oleh hukum konflik bersenjata.

5. Seberapa jauh suatu negara dibenarkan melakukan aksi militernya melawan musuh akan bergantung pada intensitas dan skala serangan bersenjata yang dapat dipertanggungjawabkan kepada musuh dan bergantung pada intensitas dan skala ancaman yang ada.

6. Aturan yang tercantum dalam dokumen ini dan dalam aturan hukum humaniter internasional lainnya harus diterapkan sama bagi pihak-pihak yang bersengketa. Penerapan yang sama atas ketentuan ini terhadap pihak yang bersengketa tidak boleh dipengaruhi oleh tanggung jawab internasional yang dipikul oleh salah satu pihak karena memulai sengketa.

Bagian III

Konflik Bersenjata Yang Telah Ditangani Dewan Keamanan PBB

7. Terlepas dari ketentuan dalam dokumen ini atau lainnya tentang hukum netralitas, bila Dewan Keamanan PBB bertindak sesuai kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB telah menyatakan satu atau lebih pihak yang berkonflik bersenjata sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum internasional, maka negara-negara netral :

a. Terikat untuk tidak memberikan bantuan selain bantuan kemanusiaan kepada negara yang berkonflik senjata tersebut, dan

b. Dapat memberikan bantuan ke negara manapun yang telah menjadi korban dari pelanggaran perdamaian atau korban tindakan agresi oleh negara yang berkonflik bersenjata tersebut.

8. Dalam hal penanganan suatu konflik bersenjata internasional, apabila Dewan Keamanan PBB telah mengambil tindakan pencegahan atau penegakan dengan menerapkan tindakan ekonomi berdasarkan Bab VII Piagam PBB, negara-negara anggota PBB tidak dapat mendasarkan hukum netralitas untuk membenarkan tindakan yang tidak sesuai dengan kewajibannya berdasarkan Piagam PBB atau berdasarkan keputusan Dewan Keamanan PBB.

9. Dengan tunduk kepada ketentuan paragraf 7, di mana Dewan Keamanan PBB telah mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan bersenjata, atau memberikan wewenang penggunaan kekuatan bersenjata kepada negara tertentu atau kelompok negara tertentu, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam dokumen ini dan ketentuan-ketentuan lain dari Hukum Humaniter Internasional yang berlaku pada konflik bersenjata di laut harus diberlakukan kepada pihak-pihak yang bersengketa terhadap berbagai konflik yang mungkin terjadi.


Bagian IV
Daerah Peperangan Laut

10. Dengan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain hukum sengketa bersenjata yang berlaku di laut yang termuat dalam dokumen ini atau dokumen lainnya, aksi tempur oleh kekuatan Angkatan Laut dapat dilaksanakan di laut dan atau udara di atasnya :

a. Laut teritorial, perairan pedalaman, wilayah daratan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, serta bila ada, perairan kepulauan dari negara-negara yang berperang.

b. Laut lepas, dan

c. Zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen negara-negara netral sebagai mana diatur pada paragraf 34 dan 35.

11. Para pihak yang bersengketa harus berusaha saling sepakat bahwa tidak ada aksi tempur yang dilakukan di daerah-daerah laut yang terdiri :

a. Ekosistem yang rawan atau langka, atau

b. Habitat yang dilindungi, species atau bentuk lainnya kehidupan lingkungan laut yang dalam bahaya atau yang terancam.

12. Dalam melaksanakan operasi di daerah-daerah dimana negara-negara netral mempunyai hak berdaulat, yurisdiksi, atau hak-hak lainnya berdasarkan hukum internasional umum, maka pihak yang berperang harus tetap menghormati hak dan kewajiban yang sah dari negara-negara netral tersebut.

Bagian V
Definisi

13. Untuk maksud dalam dokumen ini :

a. ‘Hukum Humaniter Internasional’ berarti ketentuan internasional, ditetapkan melalui traktat atau kebiasaan yang membatasi hak pihak yang berkonflik dalam menggunakan sarana atau metoda peperangan yang mereka pilih, atau untuk melindungi negara-negara yang tidak terlibat konflik atau orang-orang atau obyek-obyek yang akan atau mungkin terkena akibat karena adanya konflik.

b. ‘Serangan’ berarti tindakan kekerasan dalam menyerang atau bertahan.

c. ‘Korban ikutan’ atau ‘Kerusakan ikutan’ berarti hilangnya kehidupan, atau terlukanya penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi lainnya, dan rusak atau hancurnya lingkungan alam atau obyek-obyek yang bukan merupakan sasaran militer.

d. ‘Netral’ berarti negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik.
e. ‘Kapal rumah sakit, perahu penyelamat pantai, dan transportasi medis lainnya’ berarti kendaraan air yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa II tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977.

f. ‘Pesawat udara medis’ berarti pesawat udara yang dilindungi oleh Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977.

g. ‘Kapal perang’ berarti kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus karakter dan kebangsaan kapal tersebut, dibawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintahan negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa yang sesuai dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.

h. ‘Kendaraan air serba guna’ berarti kendaraan air selain kapal perang yang dimiliki atau dibawah kendali resmi angkatan bersenjata suatu negara dan sedang digunakan dalam kegiatan non komersial pemerintah.

i. ‘Kendaraan air niaga’ berarti kendaraan air selain kapal perang, selain kendaraan air serba guna, atau kendaraan air pemerintah seperti kapal bea cukai atau kapal kepolisian, yang dilibatkan untuk kegiatan komersial atau pribadi.

j. ‘Pesawat udara militer’ berarti pesawat udara yang dioperasikan oleh kesatuan resmi angkatan bersenjata suatu negara dengan memiliki tanda-tanda militer negara yang bersangkutan, dikomandani oleh anggota angkatan bersenjata dan diawaki oleh anak buah yang tunduk pada aturan disiplin angkatan bersenjata.

k. ‘Pesawat udara serba guna’ berarti kapal udara selain pesawat udara militer yang dimiliki atau dibawah kendali angkatan bersenjata Negara tersebut dan digunakan pada kegiatan pemerintah diluar kegiatan niaga.

m. ‘Pesawat udara sipil’ berarti pesawat udara selain pesawat udara militer, pesawat udara serba guna, atau pesawat uadar pemerintah seperti pesawat udara bea cukai atau pesawat udara kepolisian, yang dilibatkan untuk kegiatan komersial atau pribadi.

n. ‘Penerbangan sipil’ berarti pesawat udara sipil yang mempunyai tanda jelas dan dilibatkan untuk pengangkutan penumpang sipil secara terjadwal atau yang tidak terjadwal sesuai rute dari dinas pengaturan lalu lintas udara.



BAB II

KAWASAN OPERASI

Bagian I
Perairan Pedalaman, Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan.

14. Perairan netral terdiri dari perairan pedalaman, laut teritorial dan, bila ada, perairan kepulauan negara-negara netral. Ruang udara netral terdiri dari ruang di atas perairan netral dan wilayah daratan negara-negara netral.

15. Didalam dan diatas perairan netral, termasuk perairan netral yang didalamnya terdapat selat internasional dan perairan dimana hak lintas laut alur kepulauan dapat dilaksanakan, aksi-aksi tempur oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang adalah dilarang. Suatu negara netral harus mengambil beberapa tindakan yang konsisten dengan bagian II pada bab ini, termasuk melaksanakan pengamatan, sebagai sarana yang diijinkan, untuk mencegah adanya pelanggaran tentang kenetralannya oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang.



16. Aksi-aksi tempur yang dimaksud pada paragraf 15 antara lain :

a. Menyerang atau menangkap orang atau obyek yang berlokasi di laut dan atau udara di atas perairan atau daerah netral.

b. Menggunakan untuk pangkalan operasi, termasuk menyerang atau menangkap orang atau obyek yang berlokasi di luar perairan netral, bila penyerangan atau penyitaan dilakukan oleh kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang berlokasi di laut dan atau udara di atas perairan netral.

c. Menyebarkan ranjau, atau

d. Memeriksa, mencari keterangan, membelokkan arah atau menangkap.

17. Kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang berperang tidak boleh menggunakan perairan netral sebagai tempat perlindungan.

18. Pesawat udara militer dan pesawat udara serba guna pihak yang berperang tidak boleh memasuki wilayah udara netral. Jika mereka melakukannya, maka negara netral harus menggunakan sarana yang ada padanya untuk meminta pesawat udara tersebut mendarat dalam wilayah negara netral dan harus menahan pesawat udara bersama awaknya selama konflik bersenjata berlangsung. Jika pesawat udara tersebut menolak perintah untuk mendarat, dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan khusus yang berkaitan dengan pesawat udara medis sebagaimana tercantum pada paragraf 181 – 183, maka pesawat udara tersebut dapat diserang.

19. Dengan tunduk pada ketentuan paragraf 29 dan 33, negara netral berdasarkan prinsip non-diskiriminasi dapat memberikan persyaratan, pembatasan atau pelarangan memasuki atau melintasi perairan netralnya yang dilakukan oleh kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang.

20. Dengan tunduk pada kewajiban ketidak-berpihakan, dan ketentuan paragraf 21 dan 23 - 33, dan berdasar pada ketentuan-ketentuan demikian yang dapat ditetapkan, tanpa membahayakan kenetralan yang dimiliki, negara netral dapat mengijinkan tindakan-tindakan berikut di dalam perairan netralnya :

a. Melintasi laut wilayahnya, dan bila ada melalui perairan kepulauannya, bagi kapal perang, kendaraan-kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan negara yang berperang. Kapal perang, kendaraan air serba guna dan kapal tangkapan boleh menggunakan pandu dari negara netral selama melintas.

b. Bekal ulang yang dilakukan oleh kapal perang atau kendaraan air serba guna negara-negara yang berperang berupa makanan, air tawar, dan bahan bakar secukupnya untuk mampu mencapai suatu pelabuhan di wilayahnya sendiri, dan

c. Perbaikan seperlunya bagi kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang dilakukan oleh negara netral hanya untuk membuat mampu berlayar kembali, perbaikan demikian tidak diperbolehkan untuk mengembalikan atau meningkatkan kekuatan tempurnya.

21. Kapal perang atau kendaraan air serba guna pihak yang berperang tidak diperbolehkan memperpanjang waktu melintasi perairan netral, atau keberadaannya di perairan tersebut untuk bekal ulang atau untuk perbaikan melebihi 24 jam kecuali adanya sesuatu hal yang tidak dapat dihindari karena kerusakan atau gangguan cuaca. Ketentuan diatas tidak berlaku di selat internasional dan di perairan dimana hak lintas hak lintas alur kepulauan dapat dilaksanakan.

22. Jika pihak yang berperang melakukan pelanggaran rezim perairan netral, seperti yang tercantum dalam dokumen ini, negara netral berkewajiban mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Bila negara netral gagal dalam menghentikan pelanggaran yang terjadi di wilayahnya yang dilakukan oleh salah satu pihak yang berperang, maka pihak berperang yang lain harus memperingatkan pada negara netral dan memberikan waktu yang cukup kepada negara netral tersebut untuk terus menghentikan pelanggaran-pelanggaran kenetralan yang dilakukan oleh pihak yang berperang. Bila pelanggaran terhadap netralitas suatu negara yang dilakukan oleh pihak yang berperang menimbulkan ancaman mendadak dan serius bagi keamanan musuh pihak yang berperang dan pelanggaran tersebut tidak dihentikan, maka musuh pihak yang berperang, tanpa diketahui dan sesegera mungkin, dapat menggunakan beberapa kekuatannya yang diperlukan langsung untuk merespon ancaman yang timbul dari pelanggaran tersebut.


Bagian II
Selat Internasional dan Alur Laut Kepulauan

Ketentuan Umum

23. Kapal perang dan kendaraan air serbaguna dan pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna pihak yang berperang dapat melaksanakan hak lintas melalui di bawah atau di atas selat internasional netral dan alur laut kepulauan yang ditetapkan oleh hukum internasional umum.

24. Kenetralan dari suatu negara yang berbatasan dengan selat internasional harus tidak terancam oleh lintas transit kapal perang, kendaraan air serbaguna atau pesawat udara militer atau pesawat udara serbaguna pihak yang berperang. Juga tidak terancam oleh lintas damai kapal perang atau kendaraan air serbaguna pihak yang berperang setelah melalui selat tersebut.

25. Kenetralan dari negara kepulauan harus tidak terancam oleh pelaksanaan lintas laut alur kepulauan oleh kapal perang, kendaraan air serbaguna atau pesawat udara militer atau pesawat udara serbaguna pihak yang berperang.

26. Kapal perang, kendaraan air serbaguna dan pesawat udara serbaguna netral dapat melaksanakan hak melintas seperti apa yang tercantum dalam hukum internasional umum melalui, di bawah dan di atas selat internasional dan perairan kepulauan pihak yang berperang. Sebagai tindakan pencegahan, negara netral harus selalu memberitahu pelaksanaan hak lintasnya kepada pihak yang berperang.


Lintas transit dan lintas alur laut kepulauan

27. Hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang berlaku di selat internasional dan perairan kepulauan pada masa damai tetap berlaku pada masa konflik bersenjata. Hukum dan peraturan dari negara-negara yang berbatasan dengan selat dan negara kepulauan yang berkaitan dengan lintas transit dan lintas alur laut kepulauan yang ditetapkan berdasar hukum internasional umum tetap diberlakukan.

28. Kapal perang atas air, kapal selam, dan pesawat udara pihak yang berperang dan netral memiliki hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan melalui, dibawah, dan di atas semua selat dan perairan kepulauan dimana hak ini berlaku secara umum.

29. Negara netral tidak diperbolehkan menangguhkan, mempersulit, atau dengan kata lain menghalangi hak lintas transit atau hak lintas alur laut kepulauan.

30. Pihak yang berperang selama lintas transit melalui, di bawah dan di atas suatu selat internasional netral, atau selama lintas alur laut kepulauan di bawah dan di atas peraian kepulauan netral, dipersyaratkan lewat tanpa menunda untuk menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata terhadap intergritas wilayah atau kebebasan berpolitik negara pantai atau negara kepulauan netral atau segala tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB, atau dengan kata lain menahan diri dari setiap aksi tempur atau kegiatan lain yang tidak sesuai dengan perlintasannya. Pihak yang berperang yang melintas melalui, dibawah dan diatas selat netral atau perairan netral dimana berlaku hak lintas alur laut kepulauan diijinkan untuk mengambil tindakan defensif sesuai dengan situasi keamanan mereka, termasuk menerbangkan dan mendaratkan pesawat udara, berlayar dalam formasi tabir dan pengamatan akustik dan elektronik. Pihak yang berperang selama lintas transit dan lintas alur kepulauan, bagaimanapun juga, tidak dapat melaksanakan operasi ofensif terhadap kekuatan bersenjata musuh atau menggunakan perairan netral tersebut sebagai tempat perlindungan atau sebagai pangkalan operasi.


Lintas damai

31. Sebagai tambahan pada pelaksanaan hak lintas transit dan lintas alur laut kepulauan, kendaraan air dan kendaraan air serbaguna pihak yang berperang, dengan tunduk pada ketentuan paragraf 19 dan 21, dapat melaksanakan tindakan hak lintas damai di selat internasional netral dan perairan kepulauan sesuai dengan hukum internasional umum.

32. Kendaraan air netral dapat melaksanakan tindakan yang menyerupai hak lintas damai di selat internasional dan perairan kepulauan pihak yang berperang.

33. Hak lintas damai tanpa penangguhan di selat internasional tertentu yang diakui oleh hukum internasional, tidak dapat ditunda selama berlangsung konflik bersenjata.


Bagian III
Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen

34. Bila aksi tempur dilaksanakan dalam zona ekonomi eksklusif atau pada landas kontinen negara netral, sebagai tambahan adanya ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dalam hukum konflik bersenjata, pihak yang berperang harus menghormati sebagaimana mestinya hak dan kewajiban negara pantai, antara lain dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber ekonomi di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut. Mereka secara khusus, harus menghormati sebagaimana mestinya pulau-pulau buatan, instalasi bangunan serta kawasan aman yang ditetapkan negara netral di zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen.

35. Bila pihak yang berperang menganggap perlu untuk menyebar ranjau di zona ekonomi eksklusif atau dilandas kontinen suatu negara netral, pihak yang berperang harus memberitahu kepada negara tersebut, dan harus menjamin antara lain bahwa luas daerah sebaran ranjau dan jenis ranjau yang digunakan tidak akan membahayakan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan atau tidak akan mengganggu akses ke tempat tersebut dan harus menghindari sejauh mungkin gangguan yang timbul terhadap eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut yang dilakukan negara netral. Harus juga memperhatikan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.


Bagian IV
Laut Lepas dan Dasar Laut Diluar Yurisdiksi Nasional

36. Aksi-aksi tempur dilaut lepas harus dilaksanakan dengan memperhatikan sebagaimana mestinya pelaksanaan hak ekplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam dasar laut, dan dasar samudera, dan tanah di bawahnya yang berada di luar yurisdiksi nasional suatu negara netral.

37. Pihak yang berperang harus hati-hati untuk menghindari kerusakan kabel dan jaringan pipa dasar laut yang tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan pihak yang berperang.



BAB III

ATURAN DASAR DAN PEMBEDAAN SASARAN

Bagian I
Aturan Dasar

38. Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak yang bersengketa untuk memilih sarana atau metode peperangan adalah tidak tak terbatas.

39. Para pihak yang berkonflik setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi dengan kombatan dan antara obyek sipil atau obyek yang dikecualikan dengan sasaran militer.

40. Sejauh mengenai obyek, sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang karena sifat, tempat, peruntukan, atau penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif terhadap aksi militer dan obyek yang penghancuran seluruh atau sebagian serta penguasaan atau netralisasinya pada situasi yang berlaku pada saat itu, memberikan keuntungan militer yang berarti.

41. Serangan harus dibatasi hanya terhadap sasaran militer. Kendaraan air niaga dan pesawat udara sipil merupakan obyek sipil kecuali mereka merupakan sasaran militer menurut prinsip dan aturan yang tercantum dalam dokumen ini.

42. Sebagai tambahan dari berbagai larangan tertentu yang mengikat pihak yang berkonflik, dilarang menggunakan sarana atau metode peperangan yang :

a. Karena sifatnya dapat menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau

b. Secara membabibuta, yaitu :

1) Yang tidak, atau tidak dapat ditujukan terhadap sasaran militer tertentu; atau

2) Akibat yang ditimbulkannya tidak dapat dibatasi sebagaimana yang disyaratkan hukum internasional yang tercermin dalam dokumen ini.

43. Dilarang memberikan perintah yang bersifat pemusnahan, memberikan ancaman terhadap berbagai hal atau melakukan permusuhan dengan mendasarkan hal tersebut.

44. Sarana dan metode peperangan harus dipergunakan dengan memperhatikan sebagaimana mestinya lingkungan alam sesuai yang diatur pada aturan hukum internasional. Pengrusakan atau penghancuran lingkungan alam yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan sengaja adalah dilarang.

45. Kapal atas air, kapal selam dan pesawat udara terikat oleh prinsip dan aturan yang sama.


Bagian II
Tindakan Pencegahan Dalam Penyerangan

46. Berkenaan dengan penyerangan, tindakan pencegahan berikut ini harus dilaksanakan :

a. Mereka yang merencanakan, membuat keputusan atau yang melaksanakan suatu serangan harus mengambil tindakan-tindakan yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi yang akan membantu dalam menentukan ada atau tidaknya obyek-obyek yang bukan sasaran militer di daerah penyerangan.

b. Bila informasi yang dimaksud ada padanya, mereka yang merencanakan, membuat keputusan atau melaksanakan suatu serangan harus melakukan segala tindakan yang mungkin untuk menjamin bahwa serangan yang dilakukan, hanya ditujukan terhadap sasaran militer.
c. Mereka selanjutnya harus melaksanakan tindakan pencegahan yang memungkinkan dalam pemilihan sarana dan metode untuk menghindari atau meminimalkan korban atau kerusakan ikutan, dan

d. Suatu serangan harus tidak dilakukan jika diperkirakan dapat menimbulkan korban atau kerusakan ikutan yang berlebihan dalam kaitannya dengan keuntungan militer langsung dan nyata yang diantisipasi dari serangan secara keseluruhan. Suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda segera setelah nyata timbul korban atau kerusakan ikutan yang berlebihan.

Bagian VI bab ini akan memberikan tambahan tindakan pencegahan yang berkenaan dengan pesawat udara sipil.


Bagian III
Kendaraan Air dan Pesawat Udara Musuh
Yang Dikecualikan dari Serangan

Kelompok kendaraan air yang dikecualikan dari serangan

47. Kelompok kendaraan air musuh berikut ini dikecualikan dari serangan :

a. Kapal rumah sakit.

b. Perahu kecil yang digunakan untuk operasi penyelamatan di pantai dan transportasi medis lainnya.

c. Kendaraan air yang dijamin aman berdasarkan perjanjian antar pihak yang berperang, meliputi :

1) Kendaraan air cartel seperti kendaraan air yang ditunjuk dan dilibatkan dalam pengangkutan tawanan perang.

2) Kendaraan air yang dilibatkan dalam tugas kemanusiaan, termasuk kendaraan air yang mengangkut barang-barang kebutuhan demi kelangsungan hidup masyarakat sipil, dan kendaraan air yang dilibatkan untuk aksi bantuan bencana dan operasi penyelamatan.

d. Kendaraan air yang dilibatkan untuk transportasi benda budaya dibawah perlindungan khusus.

e. Kendaraan air penumpang yang dilibatkan hanya untuk mengangkut penumpang sipil.

f. Kendaraan air yang disewa oleh misi keagamaan, tugas-tugas ilmiah non militer dan misi kemanusiaan. Kendaraan air pengumpul data ilmiah untuk kepentingan militer tidak dilindungi.

g. Perahu kecil nelayan pantai dan perahu kecil yang dilibatkan dalam perdagangan pantai setempat, tetapi mereka tunduk kepada peraturan-peraturan dan pengawasan Komandan Angkatan Laut pihak yang berperang yang beroperasi didaerah tersebut.

h. Kendaraan air yang dirancang atau disesuaikan sedemikian rupa untuk menanggulangi pencemaran lingkungan laut.

i. Kendaraan air yang menyerah.

j. Alat apung dan perahu penyelamat.


Syarat-syarat dikecualikan dari serangan

48. Kendaraan air yang tercantum dalam paragraf 47 dikecualikan dari serangan, hanya bila mereka :

a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya.

b. Sanggup diidentifikasi dan diperiksa apabila diminta, dan

c. Tidak secara sengaja menghambat gerakan kombatan dan mematuhi perintah untuk berhenti atau bergerak menjauh apabila diminta.

Hilangnya pengecualian dari serangan

Kapal rumah sakit

49. Pengecualian dari serangan pada kapal rumah sakit akan hilang hanya karena terdapat alasan telah melanggar persyaratan pengecualian pada paragraf 48 dan, dalam hal demikian, hanya setelah diberi peringatan sebagaimana mestinya tentang pelanggaran yang ada dengan waktu yang cukup untuk menghindarkan diri dari hal yang membahayakan pengecualiannya, dan setelah peringatan demikian tetap tidak diindahkan.

50. Bila setelah diberi peringatan sebagaimana mestinya kapal rumah sakit tetap melanggar persyaratan tentang pengecualiannya, maka dia dapat ditangkap atau dilakukan tindakan lain yang perlu untuk memaksa kepatuhannya.

51. Kapal rumah sakit hanya dapat diserang sebagai jalan akhir bila :

a. Penghadangan atau penangkapan tidak mungkin dilaksanakan.

b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer.

c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan

d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan.


Kategori kendaraan air lainnya yang dikecualikan dari serangan

52. Bila kelompok kendaraan air lainnya yang dikecualikan dari serangan melanggar syarat pengecualian pada paragraf 48, dapat diserang hanya bila:

a. Penghadangan atau penangkapan tidak mungkin dilaksanakan.

b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer.

c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan

d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan.


Kelompok pesawat udara yang dikecualikan dari serangan

53. Berikut adalah kelompok pesawat udara musuh yang dikecualikan dari serangan :

a. Pesawat udara medis

b. Pesawat udara yang dijamin aman berdasarkan perjanjian antara para pihak yang bersengketa, dan

c. Penerbangan sipil.


Persyaratan pengecualian dari serangan bagi pesawat udara medis

54. Pesawat udara medis dikecualikan dari serangan hanya bila mereka :

a. Telah diakui demikian.

b. Bertindak sesuai dengan suatu perjanjian seperti yang diatur pada paragraf 177.

c. Terbang di daerah kendali kekuatan militer sendiri atau kekuatan militer kawan, atau

d. Terbang di luar daerah konflik bersenjata.

Dalam hal lain, pesawat udara medis beroperasi atas risiko mereka sendiri.


Persyaratan dikecualikan dari serangan
bagi pesawat udara yang dijamin aman

55. Pesawat udara yang dijamin aman dikecualikan dari serangan hanya bila mereka :

a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya, dan

b. Tidak dengan sengaja menghambat gerakan kombatan, dan

c. Mematuhi ketentuan perjanjian, termasuk kesediaan untuk diperiksa.


Persyaratan dikecualikan serangan bagi penerbangan sipil

56. Penerbangan sipil dikecualikan dari serangan hanya bila mereka :

a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya, dan

b. Tidak dengan sengaja menghambat gerakan kombatan.



Hilangnya pengecualian

57. Bila pesawat udara yang dikecualikan dari serangan melanggar persyaratan pengecualiannya seperti yang tercantum pada paragraf 54 - 56, mereka dapat diserang hanya bila :

a. Tidak memungkinkan dibelokkan arah untuk mendarat, dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan, dan kemungkinan dilakukan penangkapan.

b. Tidak ada metode lain yang memungkinkan untuk melaksanakan pengendalian militer.

c. Perihal ketidakpatuhannya sudah melampui batas sehingga kapal tersebut menjadi atau dapat dianggap sebagai sasaran militer, dan

d. Korban dan kerusakan ikutan tidak akan tidak proporsional dengan keuntungan militer yang diperoleh atau yang diharapkan.

58. Dalam hal timbul keragu-raguan apakah kendaraan air atau pesawat udara yang masuk kategori yang dikecualikan dari serangan sedang digunakan untuk memberikan kontribusi yang efektif pada suatu aksi militer, hal ini harus dianggap sedang tidak digunakan.


Bagian IV
Kendaraan Air dan Pesawat Udara Musuh Lainnya

Kendaraan air niaga musuh

59. Kendaraan air niaga musuh hanya dapat diserang bila mereka termasuk dalam definisi sasaran militer pada paragraf 40.
60. Kegiatan berikut ini dapat menyebabkan kendaraan air niaga musuh sebagai sasaran militer :

a. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh, seperti menyebar ranjau, menyapu ranjau, memutus kabel dan jalur pipa bawah laut, terlibat dalam pemeriksaan dan pencarian keterangan kendaraan air niaga netral atau dalam penyerangan terhadap kendaraan air niaga lainnya.

b. Bertindak sebagai kendaraan air serbaguna angkatan bersenjata musuh, seperti mengangkut pasukan atau memberi bekal ulang kepada kapal perang.

c. Bekerjasama atau memberi bantuan pada sistem pengumpulan data intelijen musuh seperti terlibat dalam pendeteksian, peringatan dini, pengamatan atau tugas-tugas untuk komando, kendali dan komunikasi.

d. Berlayar dalam konvoi kapal perang atau pesawat udara militer musuh.

e. Menolak perintah untuk berhenti atau secara aktif menolak dari pemeriksaan, pencarian keterangan atau penangkapan.

f. Dipersenjatai sedemikian rupa sehingga dapat merusak kapal perang, tidak termasuk senjata ringan perorangan untuk beladiri seperti melawan bajak laut, dan dilengkapi dengan sistem pengacau seperti chaff, atau

g. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer seperti mengangkut material militer.

61. Setiap serangan terhadap kendaraan air ini tunduk kepada aturan dasar yang tercantum pada paragraf 38-46.


Pesawat udara sipil musuh

62. Pesawat udara sipil musuh hanya boleh diserang bila mereka termasuk dalam definisi sasaran militer pada paragraf 40.

63. Kegiatan-kegiatan berikut ini dapat menyebabkan pesawat udara sipil musuh sebagai sasaran-sasaran militer :

a. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh seperti menyebar ranjau, menyapu ranjau, meletakkan atau memonitor sensor akustik, terlibat dalam peperangan elektronik, mengintersep atau menyerang pesawat udara sipil lainnya atau memberikan informasi sasaran kepada kekuatan militer musuh.

b. Bertindak sebagai pesawat udara serbaguna dalam angkatan bersenjata musuh, seperti mengangkut pasukan atau barang militer atau melakukan pengisian ulang bahan bakar ke pesawat udara militer.

c. Bekerjasama atau memberi bantuan pada sistem pengumpulan data intelijen musuh seperti terlibat dalam pendeteksian, peringatan dini, pengamatan atau tugas untuk komando, kendali dan komunikasi.

d. Terbang dibawah perlindungan kapal perang musuh atau pesawat udara militer musuh yang menyertainya.

e. Menolak perintah identifikasi diri, belok arah keluar dari jalurnya, atau bergerak guna pemeriksaan dan pencarian keterangan menuju lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk itu, atau mengoperasikan peralatan kendali tembakan yang merupakan bagian dari sistem senjata pesawat udara, atau saat diintersep secara jelas bermanuver menyerang pesawat udara militer pihak yang berperang yang mengintersepnya.
f. Dipersenjatai dengan senjata udara ke udara atau udara ke permukaan, atau

g. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer.

64. Setiap serangan terhadap pesawat udara ini tunduk kepada aturan dasar yang diatur pada paragraf 38 - 46.


Kapal perang dan pesawat udara militer musuh

65. Kecuali mereka yang termasuk dalam katagori dikecualikan dari serangan sesuai paragraf 47 atau 53, kapal perang dan pesawat udara militer musuh serta kendaraan air serbaguna dan pesawat udara musuh merupakan sasaran militer sesuai pengertian pada paragraf 40.

66. Mereka dapat diserang sesuai aturan dasar pada paragraf 38 - 46.


Bagian V
Kendaraan Air Niaga dan Pesawat Udara Sipil Netral

Kendaraan Air Niaga netral

67. Kendaraan air niaga berbendera negara netral tidak boleh diserang kecuali mereka:

a. Diyakini dengan alasan yang dapat diterima, mengangkut barang larangan/kontrabande atau melanggar blokade, dan setelah secara dini diperingatkan mereka nyata-nyata menolak untuk berhenti, atau nyata-nyata menolak dilakukan pemeriksaan, pencarian keterangan atau penangkapan,

b. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh,

c. Bertindak sebagai kendaraan air serbaguna pada kekuatan angkatan bersenjata musuh,

d. Bekerjasama atau membantu sistem intelijen musuh,

e. Berlayar dalam konvoi kapal perang atau pesawat udara militer musuh, atau

f. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer musuh seperti mengangkut material militer dan bagi pasukan penyerang tidak memungkinkan terlebih dahulu memindahkan penumpang dan awak kapal ke tempat yang aman. Apabila keadaan tidak memungkinkan untuk diserang, mereka diberi peringatan agar dapat merubah halu, bongkar muat atau berbuat hal yang harus diindahkan lainnya.

68. Setiap serangan terhadap kendaraan air niaga ini tunduk kepada aturan dasar pada paragraf 38 - 46.

69. Kenyataan bahwa kendaraan air niaga netral yang memiliki senjata, tidak menjadikan alasan untuk dilakukan penyerangan terhadapnya.


Pesawat udara sipil netral

70. Pesawat udara sipil negara netral tidak boleh diserang kecuali :

a. Diyakini dengan alasan yang kuat mengangkut barang larangan/kontrabande, dan setelah secara dini diperingatkan atau diintersep mereka nyata-nyata menolak merubah arah tujuan, atau nyata-nyata menolak bergerak menuju ke lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan.

b. Terlibat dalam aksi perang atas nama musuh,
c. Bertindak sebagai pesawat serbaguna pada kekuatan angkatan bersenjata musuh,

d. Bekerjasama atau membantu sistem intelijen musuh,

e. Dengan cara lain memberi kontribusi yang efektif dalam aksi militer seperti mengangkut barang militer, dan setelah secara dini diperingatkan atau diintersep, mereka nyata-nyata menolak merubah arah tujuan, atau nyata-nyata menolak bergerak menuju ke lapangan terbang pihak yang bersengketa yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan.

71. Setiap serangan terhadap pesawat udara ini tunduk kepada aturan dasar pada paragraf 38 - 46.


Bagian VI
Tindakan Pencegahan Berkenaan Dengan Pesawat Udara Sipil

72. Pesawat udara sipil harus menghindari daerah-daerah yang potensial berbahaya karena adanya kegiatan militer.

73. Di sekitar daerah operasi Angkatan Laut, pesawat udara sipil harus mengikuti perintah dari pihak yang berperang tentang arah dan ketinggian.

74. Pihak yang berperang dan negara netral yang berkepentingan, dan otorita pengatur lalu lintas udara, harus menetapkan prosedur dimana komandan kapal perang dan pilot pesawat udara militer harus selalu waspada terhadap rute yang dirancang atau rencana penerbangan yang dibuat pesawat udara sipil di daerah operasi militer, termasuk didalamnya informasi saluran komunikasi, mode dan kode identifikasi, tempat tujuan, para penumpang dan muatan.

75. Pihak yang berperang dan negara netral harus menjamin bahwa Peringatan Penerbangan (NOTAM = Notice to Airmen) dipublikasikan untuk pemberian informasi adanya kegiatan militer di daerah yang potensial berbahaya bagi pesawat udara sipil, termasuk kegiatan yang berbahaya atau pembatasan ruang udara secara temporer. Peringatan ini harus meliputi informasi mengenai :

a. Frekuensi radio yang harus selalu dipantau pesawat udara.

b. Pengoperasian radar cuaca serta mode dan kode identifikasi yang terus menerus.

c. Batasan ketinggian, arah dan kecepatan,

d. Prosedur menjawab panggilan radio oleh pasukan militer dan prosedur komunikasi dua arah, dan

e. Kemungkinan tindakan dari pasukan militer bila Peringatan Penerbangan (NOTAM) tidak diindahkan dan pesawat udara sipil dianggap oleh pasukan militer tersebut sebagai ancaman.

76. Pesawat udara sipil harus menyampaikan rencana penerbangan yang dibutuhkan dengan diketahui oleh dinas pengatur lalu lintas udara, dilengkapi dengan keterangan seperti administrasi pendaftaran, tujuan, penumpang, muatan, saluran komunikasi darurat, mode dan kode identifikasi, perubahan jalur penerbangan dan membawa sertifikat seperti pendaftaran, keselamatan penerbangan, para penumpang dan muatan. Mereka tidak dapat menyimpang dari jalur yang ditetapkan dinas pengatur lalu lintas udara atau menyimpang dari rencana penerbangan tanpa pengesahan dari dinas pengendali lalu lintas udara kecuali muncul kondisi yang tidak diinginkan seperti dalam situasi penyelamatan diri atau dalam situasi bahaya, dalam hal demikian maka harus segera dibuat pemberitahuan yang layak.

77. Bila pesawat udara sipil memasuki daerah potensi berbahaya karena adanya kegiatan militer, harus dilengkapi dengan Peringatan Penerbangan (NOTAM) yang sesuai. Pasukan militer harus menggunakan peralatan yang memadai untuk mengidentifikasi dan memperingatkan kepada penerbangan sipil dengan menggunakan, antara lain, mode dan kode radar pengamat sekunder, komunikasi, hal-hal yang berkaitan dengan informasi penerbangan, intersepsi pesawat udara militer, dan bila memungkinkan menghubungi fasilitas pengendali lalu lintas udara yang ada.



BAB IV

SARANA DAN METODE PEPERANGAN DI LAUT


Bagian I
Sarana Peperangan

Peluru kendali dan proyektil lainnya

78. Peluru kendali dan proyektil lainnya, termasuk juga yang mempunyai kemampuan melampaui cakrawala, harus digunakan sesuai dengan prinsip pembedaan sasaran yang tersebut pada paragraf 38 - 46.

Torpedo

79. Dilarang menggunakan torpedo yang tidak tenggelam atau jika tidak tenggelam harus menjadi tidak aktif setelah luncurannya berakhir.

Ranjau

80. Ranjau hanya dapat digunakan untuk maksud militer yang sah termasuk pencegahan penggunaan wilayah laut oleh musuh.

81. Tanpa mengesampingkan aturan yang tercantum pada paragraf 82, pihak yang bersengketa tidak boleh menyebar ranjau kecuali mampu menetralisirnya secara efektif ketika di lepas, atau jika tidak demikian maka kontrol terhadapnya menjadi hilang.

82. Dilarang menggunakan ranjau apung kecuali :

a. Ditujukan untuk sasaran militer, dan

b. Menjadi tidak berbahaya dalam jangka waktu satu jam setelah hilangnya kendali terhadap ranjau tersebut.

83. Penyebaran ranjau aktif atau ranjau aktif yang siap sebar harus diumumkan kecuali ranjau tersebut diyakini akan mengenai kendaraan air yang merupakan sasaran militer.

84. Pihak yang berperang harus mencatat lokasi ranjau yang disebar.

85. Operasi penyebaran ranjau di perairan pedalaman, laut wilayah atau perairan kepulauan negara yang berperang harus memberikan jalan keluar bagi kapal negara netral ketika operasi penyebaran ranjau tersebut mulai dilaksanakan.

86. Melaksanakan penyebaran ranjau di perairan netral oleh pihak yang berperang adalah dilarang.

87. Penyebaran ranjau tidak boleh berakibat mencegah lintas laut antara perairan netral dengan perairan internasional.

88. Negara penyebar ranjau harus menghormati sebagaimana mestinya penggunaan yang sah atas laut lepas dengan cara antara lain memberikan rute alternatif yang aman bagi pelayaran negara netral.

89. Lintas transit melalui selat internasional dan lintas laut melalui perairan yang tunduk kepada aturan hak lintas alur laut kepulauan tidak boleh terputus kecuali diberikan rute alternatif yang aman dan meyakinkan.
90. Setelah gencatan senjata, pihak yang bersengketa harus berusaha sedapat mungkin memindahkan atau menonaktifkan ranjau yang telah disebar, setiap pihak yang bersengketa memindahkan ranjau miliknya sendiri. Berkenaan dengan ranjau yang disebar di laut teritorial musuh, setiap pihak harus mengumumkan posisinya dan harus berusaha sesegera mungkin memindahkan ranjau di laut teritorialnya atau dengan kata lain memberikan jaminan keselamatan navigasi di laut teritorial.

91. Sebagai tambahan kewajiban mereka sesuai paragraf 90, pihak yang bersengketa harus berusaha mencapai kesepakatan diantara keduanya dan apabila mungkin dengan negara lain dan dengan organisasi internasional, tentang ketentuan asistensi informasi, teknis dan material, termasuk operasi bersama tentang hal-hal yang dibutuhkan guna membersihkan daerah ranjau, dengan kata lain menjadikannya tidak berbahaya.

92. Negara netral tidak melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan hukum netralitas dengan tetap melakukan pembersihan ranjau yang penyebarannya melanggar hukum internasional.



Bagian II
Metode Peperangan

Blokade

93. Suatu blokade harus dinyatakan dan diumumkan kepada seluruh pihak yang berperang dan kepada negara netral. (penjelasan Paragraf 83)

94. Pernyataan blokade harus mencantumkan kapan dimulainya, lamanya, tempat, dan perluasan daerah blokade dan periode kapan kapal negara netral dapat meninggalkan garis pantai blokade.

95. Suatu blokade harus efektif. Pertanyaan apakah suatu blokade efektif atau tidak efektif merupakan persoalan fakta.

96. Kekuatan militer yang melaksanakan blokade dapat ditempatkan pada jarak tertentu sesuai kebutuhan militer.

97. Suatu blokade dapat ditegakkan dan dipertahankan melalui kombinasi sarana dan metode peperangan yang sah, penentuan kombinasi ini tidak boleh mengakibatkan tindakan tidak konsisten dengan aturan yang tercantum dalam dokumen ini.

98. Kapal niaga yang diyakini dengan alasan yang kuat telah melanggar blokade, boleh ditangkap. Kapal niaga yang setelah secara dini diberi peringatan, tetap menolak untuk ditangkap, boleh diserang.

99. Suatu blokade harus tidak menghalangi akses menuju ke pelabuhan dan pantai negara netral.

100. Suatu blokade harus diterapkan sama untuk kendaraan air semua negara.

101. Penghentian, berhenti sementara waktu, penetapan ulang, perluasan atau perubahan lain suatu blokade harus dinyatakan dan diumumkan seperti yang dimaksud pada paragraf 93 dan 94.

102. Pernyataan atau penetapan blokade adalah dilarang bila :

a. Hal tersebut hanya dimaksudkan untuk membuat penduduk sipil kelaparan atau menghalangi masuknya barang-barang yang sangat diperlukan untuk mempertahankan hidup, atau

b. Menimbulkan atau dapat diperkirakan menimbulkan kerugian terhadap penduduk sipil, yang berlebihan jika dikaitkan dengan keuntungan militer konkrit dan langsung yang diharapkan dari blokade tersebut.

103. Jika penduduk sipil di wilayah yang diblokade tidak memperoleh makanan yang cukup dan barang-barang yang sangat diperlukan untuk mempertahankan hidupnya, maka pihak yang memblokade harus menyediakan alur bebas bagi bahan makanan dan barang-barang yang sangat diperlukan, dengan tunduk kepada :

a. Hak untuk menentukan persyaratan teknis, termasuk menentukan perlintasan yang diijinkan, dan

b. Syarat bahwa penyaluran barang-barang tersebut harus dilakukan di bawah pengawasan setempat dari Negara Pelindung atau organisasi kemanusiaan yang memberikan jaminan ketidakberpihakannya, seperti Komite Internasional Palang Merah.

104. Pihak yang berperang yang memblokade harus mengijinkan lintas bagi penyaluran barang medis kepada penduduk sipil atau kepada anggota tentara yang terluka dan sakit, dengan tunduk kepada hak untuk menentukan persyaratan teknis, termasuk menentukan perlintasan yang diijinkan.


Zona-zona

105. Pihak yang berperang tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban hukum humaniter internasional dengan menetapkan zona-zona yang dapat bertentangan dengan penggunaan yang sah dari zona-zona tersebut.

106. Jika suatu pihak yang berperang, sebagai tindakan pengecualian, menetapkan suatu zona yang demikian, maka :

a. Hukum yang sama berlaku baik di dalam maupun di luar zona.

b. Perluasan, tempat dan lamanya penetapan zona tersebut serta tindakan yang diambil tidak boleh melebihi apa yang benar-benar diperlukan bagi kepentingan militer dan prinsip proporsional.

c. Penghormatan sebagaimana mestinya harus diberikan terhadap hak negara netral atas penggunaan laut yang sah.

d. Lintas aman melalui zona yang diperlukan bagi kendaraan air dan pesawat udara netral harus diberikan :

1) Bila perluasan geografis dari zona secara jelas menghambat akses yang aman dan bebas menuju ke pelabuhan dan pantai negara netral,

2) Pada kasus lain dimana jalur pelayaran normal terganggu, kecuali jika kepentingan militer tidak mengijinkan, dan

e. Dimulainya, lamanya, tempat, dan perluasan zona, dan juga pembatasan yang ditetapkan, harus dinyatakan secara umum dan diberitahukan sebagaimana mestinya.

107. Kepatuhan-kepatuhan terhadap tindakan yang diambil oleh salah satu pihak yang berperang di suatu zona, tidak seharusnya dianggap sebagai suatu tindakan yang membahayakan bagi pihak berperang yang lainnya.

108. Tidak satupun dalam Bagian ini yang dianggap mengurangi, hak pihak yang berperang yang bersumber dari hukum kebiasaan untuk mengawasi kendaraan air dan pesawat udara netral di sekitar wilayah operasi Angkatan Laut.


Bagian III
Pengelabuan, Siasat Perang dan Perbuatan Curang

109. Pesawat udara militer dan pesawat udara serbaguna setiap saat dilarang berpura-pura berstatus sebagai yang dikecualikan dari serangan, sebagai pesawat sipil atau sebagai pesawat negara netral.

110. Siasat perang diperbolehkan. Kapal perang dan kapal serbaguna, bagaimanapun juga dilarang melakukan serangan sambil mengibarkan bendera palsu, dan setiap saat dilarang dengan sengaja meniru status dari :

a. Kapal rumah sakit, perahu kecil penyelamat pantai, atau transportasi medis.

b. Kendaraan air misi kemanusiaan.

c. Kendaraan air penumpang yang membawa penumpang sipil.

d. Kendaraan air di bawah perlindungan bendera PBB.

e. Kendaraan air yang dijamin keselamatannya oleh perjanjian sebelumnya antar pihak, termasuk kendaraan air cartel.

f. Kendaraan air yang berhak menggunakan lambang palang merah atau bulan sabit merah, atau

g. Kendaraan air yang digunakan untuk pengangkutan benda budaya dibawah perlindungan khusus.


111. Perbuatan curang dilarang. Tindakan yang mengundang keyakinan lawan sehingga pihak lawan tersebut percaya bahwa ia mempunyai hak, atau wajib mendapat perlindungan dibawah aturan hukum internasional yang berlaku dalam sengketa bersenjata, dengan maksud untuk mengkhianati keyakinan tersebut berarti melakukan perbuatan curang. Tindakan-tindakan perbuatan curang termasuk melakukan serangan sambil berpura-pura :

a. Bersatus dikecualikan dari serangan, penduduk sipil, berstatus netral atau dilindungi oleh PBB.

b. Menyerah atau berpura-pura dalam kondisi bahaya, seperti mengirim tanda mara bahaya, atau menempatkan awak kapal dalam suatu perahu penyelamat.



BAB V

TINDAKAN-TINDAKAN PENGGUNAAN KEKERASAN :
INTERSEPSI, PEMERIKSAAN, PENCARIAN KETERANGAN,
PEMBELOKAN ARAH DAN PENANGKAPAN


Bagian I
Penentuan ciri-ciri musuh
pada Kendaraan Air dan Pesawat Udara

112. Kenyataan bahwa suatu kendaraan air niaga yang mengibarkan bendera negara musuh atau suatu pesawat udara sipil yang memperlihatkan tanda negara musuh adalah menunjukkan ciri-ciri musuh.

113. Kenyataan bahwa suatu kendaraan air niaga yang mengibarkan bendera netral atau suatu pesawat udara sipil memperlihatkan tanda negara netral adalah menunjukkan ciri-ciri netral.

114. Bila Komandan Kapal perang mencurigai bahwa kendaraan air niaga berbendera netral pada kenyataannya menunjukkan ciri-ciri musuh, komandan tersebut berwenang untuk melaksanakan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan termasuk hak membelokkan arah untuk pencarian keterangan sesuai paragraf 121.

115. Bila pilot pesawat udara militer mencurigai bahwa pesawat udara sipil dengan tanda netral pada kenyataannya menunjukkan ciri-ciri musuh, pilot tersebut berwenang melaksanakan hak intersepsi dan bila keadaan mengharuskan demikian, berwenang membelokkan arah untuk tujuan pemeriksaan dan pencarian keterangan.

116. Bila setelah pemeriksaan dan pencarian keterangan terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa kendaraan air niaga berbendera netral atau pesawat udara sipil dengan tanda netral memiliki ciri-ciri musuh, maka kendaraan air atau pesawat udara tersebut boleh ditangkap untuk diproses secara hukum.

117. Ciri-ciri musuh dapat ditentukan dari dokumen pendaftaran, kepemilikan kapal, penyewa atau kriteria lainnya.




Bagian II
Pemeriksaan dan Pencarian Keterangan
Kendaraan Air Niaga.

Aturan Dasar

118. Dalam melaksanakan hak mereka yang sah dalam suatu konflik bersenjata internasional di laut, kapal perang dan pesawat udara militer pihak yang berperang mempunyai hak memeriksa dan mencari keterangan kendaraan air niaga di luar perairan netral apabila ada alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa kendaraan air tersebut dapat ditangkap.

119. Sebagai alternatif untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan, kendaraan air niaga netral atas persetujuannya boleh dirubah arahnya dari tujuan semula.

Kendaraan air niaga dalam
konvoi bersama kapal perang netral

120. Kendaraan air niaga netral dikecualikan dari pelaksanaan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan bila memenuhi persyaratan berikut :

a. Berlayar menuju pelabuhan netral.

b. Dalam konvoi bersama dengan kapal perang netral berkebangsaan yang sama atau kapal perang netral suatu negara dimana negara bendera kendaraan air niaga telah ada kesepakatan perjanjian tentang konvoi tersebut.

c. Negara Bendera kapal perang netral menjamin bahwa kendaraan air niaga tersebut tidak mengangkut barang larangan/kontrabande atau jika tidak terlibat dalam kegiatan yang tidak konsisten dengan status kenetralannya, dan

d. Komandan kapal perang negara netral, bila diminta oleh komandan kapal perang pihak yang berperang atau pesawat udara militer yang mengintersepnya, memberikan semua informasi tentang ciri-ciri kendaraan air niaga dan muatannya, jika tidak demikian akan diperoleh melalui pemeriksaan dan pencarian keterangan.


Pembelokan arah untuk tujuan pemeriksaan
dan pencarian keterangan


121. Bila pemeriksaan dan pencarian keterangan tidak memungkinkan dilakukan atau tidak aman, kapal perang pihak yang berperang boleh membelokkan arah kendaraan air niaga ke arah yang memungkinkan atau kepelabuhan dalam rangka melaksanakan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan.
Tindakan Supervisi

122. Dalam rangka menghindari adanya pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara yang berperang boleh melakukan tindakan yang beralasan untuk pemeriksaan muatan kendaraan air niaga dan membuat pernyataan hasil pemeriksaan bahwa suatu kendaraan air tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.

123. Kenyataan bahwa kendaraan air niaga netral yang telah dikenakan tindakan pengawasan seperti pemeriksaan muatan dan adanya pernyataan hasil pemeriksaan yang menyatakan tidak memuat muatan larangan/kontrabande oleh salah satu pihak yang berperang, bukanlah merupakan tindakan yang tidak netral terhadap pihak yang berperang lainnya.



124. Untuk menghindari pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara netral didorong untuk menegakkan tindakan pengawasan yang beralasan dan prosedur sertifikasi untuk meyakinkan bahwa kendaraan air niaga mereka tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.


Bagian III
Intersepsi, Pemeriksaan,
Pencarian Keterangan Pesawat Udara Sipil

Aturan Dasar

125. Dalam melaksanakan hak sah mereka dalam konflik bersenjata internasional di laut, pesawat udara militer pihak yang berperang memiliki hak mengintersep pesawat udara sipil di luar ruang udara netral dimana terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa pesawat udara sipil itu boleh ditangkap. Bila setelah intersepsi masih terdapat alasan yang kuat untuk mencurigai bahwa pesawat udara sipil dapat ditangkap, pesawat udara militer pihak yang berperang memiliki hak memerintahkan pesawat udara sipil tersebut menuju ke lapangan udara pihak yang berperang yang aman dan terdapat akses untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan. Bila tidak ada lapangan terbang pihak yang berperang yang aman dan terdapat akses untuk pemeriksaan dan pencarian keterangan, pesawat udara sipil boleh dibelokkan arah dari tujuan semula.

126. Sebagai alternatif dari pemeriksaan dan pencarian keterangan :

a. Pesawat udara musuh dapat dibelokkan arah dari tujuan semula.

b. Pesawat udara netral atas persetujuannya dapat dibelokkan arah dari tujuan semula.


Pesawat udara sipil dibawah kendali operasi bersama-sama
pesawat udara militer atau kapal perang netral

127. Pesawat udara sipil netral dikecualikan dari pelaksanaan hak pemeriksaan dan pencarian keterangan bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Menuju ke pelabuhan udara netral

b. Dibawah kendali operasi bersama :

1) Pesawat udara militer atau kapal perang netral berkebangsaan sama

2) Pesawat udara militer atau kapal perang negara netral dimana bendera negara pesawat udara sipil telah ada perjanjian untuk pengendalian demikian.

c. Negara bendera dari pesawat udara militer atau kapal perang netrall menjamin bahwa pesawat udara sipil netral tersebut tidak mengangkut barang larangan/kontrabande atau jika tidak terlibat dalam kegiatan yang tidak konsisten dengan status kenetralannya, dan

d. Pilot pesawat udara militer dan komandan kapal perang negara netral, bila diminta oleh pilot pesawat udara militer pihak yang berperang yang mengintersepnya, memberikan semua informasi tentang ciri-ciri pesawat udara sipil dan muatannya, jika tidak demikian akan diperoleh melalui pemeriksaan dan pencarian keterangan.


Tindakan-tindakan Intersepsi dan Supervisi

128. Negara yang berperang harus menetapkan dan mengikuti prosedur keselamatan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional yang berkompeten untuk mengintersep pesawat udara sipil.

129. Pesawat udara sipil harus menyampaikan rencana penerbangan yang dibutuhkan dengan diketahui oleh dinas pengatur lalu lintas udara, dilengkapi dengan keterangan seperti administrasi pendaftaran, tujuan, penumpang, muatan, saluran komunikasi darurat, mode dan kode identifikasi, perubahan jalur penerbangan dan membawa sertifikat seperti pendaftaran, keselamatan penerbangan, para penumpang dan muatan. Mereka tidak dapat menyimpang dari jalur yang ditetapkan dinas pengatur lalu lintas udara atau menyimpang dari rencana penerbangan tanpa pengesahan dari dinas pengendali lalu lintas udara kecuali muncul kondisi yang tidak diinginkan seperti dalam situasi penyelamatan diri atau dalam situasi bahaya, dalam hal demikian maka harus segera dibuat pemberitahuan yang layak.

130. Pihak yang berperang dan negara netral yang berkepentingan, dan otorita pengatur lalu lintas udara, harus menetapkan prosedur dimana komandan kapal perang dan pilot pesawat udara militer harus selalu waspada terhadap rute yang dirancang atau rencana penerbangan yang dibuat pesawat udara sipil di daerah operasi militer, termasuk didalamnya informasi saluran komunikasi, mode dan kode identifikasi, tempat tujuan, para penumpang dan muatan.

131. Di sekitar daerah operasi Angkatan Laut, pesawat udara sipil harus mengikuti perintah dari pihak yang berperang tentang arah dan ketinggian.

132. Dalam rangka menghindari adanya pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara yang berperang boleh melakukan tindakan yang beralasan untuk pemeriksaan muatan pesawat udara sipil netral dan membuat pernyataan hasil pemeriksaan bahwa suatu pesawat udara tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.

133. Kenyataan bahwa pesawat udara sipil netral yang telah dikenakan tindakan pengawasan seperti pemeriksaan muatan dan adanya pernyataan hasil pemeriksaan yang menyatakan tidak memuat muatan larangan/kontrabande oleh salah satu pihak yang berperang, bukanlah merupakan tindakan yang tidak netral terhadap pihak yang berperang lainnya.

134. Untuk menghindari pemeriksaan dan pencarian keterangan, negara netral didorong untuk menegakkan tindakan pengawasan yang beralasan dan prosedur sertifikasi untuk meyakinkan bahwa pesawat udara sipil mereka tidak mengangkut barang larangan/kontrabande.


Bagian IV
Penangkapan kendaraan Air musuh
dan barang-barangnya.

135. Dengan tunduk pada ketentuan paragraf 136, kendaraan air musuh baik niaga maupun lainnya dan barang-barang diatas kendaraan air tersebut dapat ditangkap di luar perairan netral. Tidak diharuskan untuk melaksanakan pemeriksaan dan pencarian keterangan lebih dahulu. (ada penjelasan)

136. Kendaraan-kendaraan air berikut dikecualikan dari penangkapan :

a. Kapal rumah sakit dan perahu kecil yang digunakan operasi penyelamatan di pantai

b. Transportasi medis lainnya, sepanjang mereka diperlukan untuk mengangkut orang-orang yang luka, sakit dan kecelakaan kapal laut.
c. Kendaraan air niaga yang dijamin aman penggunaannya oleh perjanjian antar pihak-pihak yang berperang termasuk :

1) Kendaraan air cartel seperti kendaraan air yang ditunjuk dan dilibatkan dalam pengangkutan tawanan perang.

2) Kendaraan air yang dilibatkan dalam tugas kemanusiaan, termasuk kendaraan air yang mengangkut barang-barang kebutuhan demi kelangsungan hidup masyarakat sipil, dan kendaraan air yang dilibatkan untuk aksi bantuan bencana dan operasi penyelamatan.

d. Kendaraan air yang dilibatkan untuk transportasi benda budaya dibawah perlindungan khusus.

e. Kendaraan air yang disewa oleh misi keagamaan, tugas-tugas ilmiah non militer dan misi kemanusiaan. Kendaraan air pengumpul data ilmiah untuk kepentingan militer tidak dilindungi.

f. Perahu kecil nelayan pantai dan perahu kecil yang dilibatkan dalam perdagangan pantai setempat, tetapi mereka tunduk kepada peraturan-peraturan dan pengawasan Komandan Angkatan Laut pihak yang berperang yang beroperasi didaerah tersebut.

g. Kendaraan-kendaraan air yang dirancang atau disesuaikan sedemikian rupa untuk mengatasi terjadinya pencemaran di lingkungan laut saat dilibatkan kegiatan-kegiatan tersebut.

137. Kendaraan air yang disebutkan pada paragraf 136, dikecualikan dari penangkapan hanya bila mereka:

a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya.

b. Tidak melakukan aksi yang membahayakan musuh.

c. Sanggup untuk segera diidentifikasi dan diperiksa apabila diminta, dan

d. Tidak secara sengaja menghambat gerakan kombatan dan mematuhi perintah untuk berhenti atau bergerak menjauh apabila diminta.

138. Penangkapan kendaraan air niaga dilaksanakan dengan membawa kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum. Bila situasi militer tidak memungkinkan membawa kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan di laut, maka kendaraan air tersebut dapat dibelokkan arahnya ke daerah atau ke pelabuhan yang memungkinkan untuk kelengkapan penangkapan. Sebagai alternatif dari penangkapan, kendaraan air niaga musuh boleh dibelokkan arah dari tujuan semula.

139. Tunduk pada ketentuan paragraf 140, suatu kendaraan air niaga musuh yang ditangkap, sebagai tindakan pengecualian, boleh dihancurkan bila situasi militer tidak memungkinkan membawa atau mengirim kendaraan air tersebut untuk diproses secara hukum sebagai barang tangkapan, hanya apabila kriteria berikut terlebih dahulu terpenuhi :

a. Keselamatan para penumpang dan awak kapal diperhatikan, dengan pengertian bahwa sekoci kapal tidak dianggap sebagai tempat penyelamatan kecuali bila keselamatan penumpang dan awak kapal dijamin aman dalam kondisi cuaca dan keadaan laut, berada dekat dengan daratan atau kehadiran kendaraan air lain yang dalam posisi dapat mengangkat mereka ke kapal.

b. Dokumen dan surat yang berhubungan sebagai barang bukti diselamatkan, dan

c. Bila memungkinkan, barang-barang pribadi para penumpang dan awak kapal diamankan.

140. Penghancuran di laut terhadap kendaraan air penumpang musuh yang hanya mengangkut penumpang sipil adalah dilarang. Demi keselamatan penumpang, kendaraan air tersebut harus dibelokkan arah ke daerah atau ke pelabuhan yang memungkinkan untuk kelengkapan penangkapan.


Bagian V
Penangkapan Pesawat Udara Musuh beserta Barang-barangnya

141. Tunduk pada ketentuan paragraf 142, pesawat udara sipil musuh beserta barang-barangnya di pesawat tersebut boleh ditangkap diluar ruang udara netral. Tidak diharuskan melakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan terlebih dahulu.

142. Pesawat udara berikut ini dikecualikan dari penangkapan:

a. Pesawat udara medis, dan

b. Pesawat udara yang dijamin aman penggunaannya berdasarkan perjanjian antar pihak yang bersengketa.

143. Pesawat udara yang disebut dalam paragraf 142 dikecualikan dari penangkapan hanya bila mereka:

a. Secara benar digunakan sesuai fungsi normalnya.

b. Tidak melakukan aksi yang membahayakan musuh.

c. Sanggup untuk segera diidentifikasi dan diperiksa apabila diminta, dan

d. Tidak secara sengaja menghambat gerakan kombatan dan mematuhi perintah untuk berhenti atau bergerak menjauh apabila diminta, dan

e. Tidak melanggar perjanjian sebelumnya

144. Penangkapan dilakukan dengan mengintersep pesawat udara sipil musuh, dengan memerintahkannya menuju lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk itu. Setelah mendarat pesawat udara tersebut diambil sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum. Sebagai alternatif penangkapan, pesawat udara sipil musuh boleh dibelokkan arahnya dari tujuan semula.

145. Bila penangkapan dilakukan, keselamatan para penumpang dan awak kapal dan barang-barang pribadi yang dimiliki harus diperhatikan. Dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan barang tangkapan harus diamankan.


Bagian VI
Penangkapan Kendaraan Air Niaga Netral
Beserta Barang-barangnya.

146. Kendaraan air niaga netral dapat ditangkap di luar perairan netral bila mereka terlibat dalam setiap kegiatan sebagaimana disebutkan pada paragraf 67, atau bila hal tersebut diputuskan dari hasil pemeriksaan dan pencarian keterangan atau dengan cara lainnya, bahwa mereka :

a. Mengangkut barang larangan/kontrabande.

b. Dalam pelayaran yang khusus digunakan untuk mengangkut penumpang perorangan yang merupakan anggota angkatan bersenjata musuh.

c. Dioperasikan secara langsung dibawah kendali, perintah, disewa, digunakan atau diarahkan musuh.

d. Menunjukkan dokumen yang tidak umum atau palsu, dokumen yang kurang lengkap atau dokumen yang hancur, cacat, atau menyembunyikan dokumen.

e. Melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh suatu pihak yang berperang didalam daerah disekitar daerah operasi Angkatan Laut, atau

f. Melanggar atau mencoba untuk menembus blokade.

Penangkapan suatu kendaraan air niaga netral dilaksanakan dengan membawa kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum.

147. Barang yang berada di dalam kendaraan air niaga netral dapat di tangkap hanya bila barang tersebut merupakan barang larangan/kontrabande.

148. Barang larangan/kontrabande didefinisikan sebagai barang-barang yang pada akhirnya dimaksudkan untuk dibawa ke daerah dibawah kendali musuh dan yang dapat dicurigai untuk digunakan dalam konflik bersenjata.

149. Untuk pelaksanaan hak penangkapan yang disebut dalam paragraf 146 a. dan 147, pihak yang berperang harus mengumumkan daftar-daftar barang larangan/kontrabande. Isi dari daftar barang larangan/kontrabande milik suatu pihak yang berperang dapat berbeda-beda tergantung pada situasi khusus dalam konflik bersenjata. Daftar barang larangan/kontrabande harus sedapat mungkin ditentukan secara spesifik disertai alasannya.

150. Barang yang tidak termasuk dalam daftar barang larangan/kontrabande pihak yang berperang merupakan “barang bebas”, sehingga tidak dapat ditangkap. Paling tidak, “barang bebas” harus meliputi :

a. Benda-benda keagamaan,

b. Barang-barang yang ditujukan untuk perawatan orang yang luka dan sakit, dan untuk pencegahan penyakit,

c. Pakaian, tempat tidur, bahan makanan pokok, dan peralatan untuk tempat berteduh bagi penduduk sipil pada umumnya, serta perempuan dan anak-anak pada khususnya, dengan syarat tidak ada alasan yang tepat untuk meyakini bahwa barang-barang tersebut akan dialihkan untuk tujuan lain, atau apabila suatu keuntungan militer tertentu dari musuh akan bertambah karena penggantian barang-barang musuh tersebut bisa digunakan untuk tujuan militer,

d. Barang-barang yang ditujukan untuk tawanan perang, termasuk bingkisan-bingkisan, dan kiriman bantuan kolektif yang berisikan bahan makanan, pakaian, peralatan pendidikan, budaya dan rekreasi,

e. Barang-barang yang tidak secara khusus dikecualikan dari penangkapan berdasarkan perjanjian internasional atau berdasarkan perjanjian khusus antar pihak yang berperang, dan

f. Barang-barang lainnya yang tidak mencurigakan untuk digunakan bagi konflik bersenjata.

151. Tunduk pada paragaraf 152, suatu kendaraan air netral yang ditangkap sesuai dengan paragraf 146, sebagai suatu tindakan pengecualian, boleh dihancurkan apabila situasi militer tidak memungkinkan untuk membawa atau mengirim kendaraan air tersebut sebagai barang tangkapan guna diproses secara hukum, hanya apabila kriteria berikut terlebih dahulu terpenuhi :

a. Keselamatan para penumpang dan awak kapal diperhatikan, dengan pengertian bahwa sekoci kapal tidak dianggap sebagai tempat penyelamatan kecuali bila keselamatan penumpang dan awak kapal dijamin aman dalam kondisi cuaca dan keadaan laut, berada dekat dengan daratan atau kehadiran kendaraan air lain yang dalam posisi dapat mengangkat mereka ke kapal.

b. Dokumen dan surat yang berhubungan sebagai barang bukti diselamatkan, dan

c. Bila memungkinkan, barang-barang pribadi para penumpang dan awak kapal diamankan.

Setiap usaha harus dilakukan untuk menghindari kehancuran kendaraan air netral yang ditangkap. Karena itu, penghancuran tidak boleh diperintahkan sebelum terpenuhi hal-hal bahwa kendaraan air tangkapan tersebut tidak dapat dikirim ke suatu pelabuhan pihak yang berperang, atau tidak dapat dibelokkan, atau tidak dapat dilepaskan secara layak. Suatu kendaraan air tidak boleh dihancurkan berdasarkan paragraf ini dikarenakan mengangkut barang larangan/kontrabande kecuali barang larangan/kontrabande tersebut setelah dihitung baik dari nilai, berat, volume atau muatan barang larangan/kontrabande tersebut didapati lebih dari setengah muatan kapal. Penghancuran harus dilaksanakan sesuai hukum.

152. Penghancuran di laut terhadap kendaraan air penumpang netral tangkapan yang mengangkut penumpang sipil adalah dilarang. Demi keselamatan para penumpang, kendaraan air tersebut harus dibelokkan menuju pelabuhan yang memungkinkan untuk kelengkapan penangkapan sebagaimana diatur dalam paragraf 146.



Bagian VII
Penangkapan Pesawat Udara Sipil Netral
beserta Barang-barangnya.


153. Pesawat udara sipil netral netral dapat ditangkap di luar wilayah udara bila mereka terlibat dalam setiap kegiatan sebagaimana disebutkan pada paragraf 70, atau bila hal tersebut diputuskan dari hasil pemeriksaan dan pencarian keterangan atau dengan cara lainnya, bahwa mereka :

a. Mengangkut barang larangan/kontrabande.

b. Dalam penerbangan yang khusus digunakan untuk mengangkut penumpang perorangan yang merupakan anggota angkatan bersenjata musuh.

c. Dioperasikan secara langsung dibawah kendali, perintah, disewa, digunakan atau diarahkan musuh.

d. Menunjukkan dokumen yang tidak umum atau palsu, dokumen yang kurang lengkap atau dokumen yang hancur, cacat, atau menyembunyikan dokumen.

e. Melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh suatu pihak yang berperang didalam daerah disekitar daerah operasi Angkatan Laut, atau

f. Terlibat menembus blokade.

154. Barang yang berada di dalam pesawat udara sipil netral dapat ditangkap hanya apabila barang tersebut merupakan barang larangan/kontrabande.

155. Aturan yang berkenaan barang larangan/kontrabande sebagaimana diatur dalam paragraf 148-150 juga harus berlaku terhadap barang yang berada di dalam pesawat udara sipil netral.

156. Penangkapan dilakukan dengan mengintersep pesawat udara sipil musuh, dengan memerintahkannya menuju lapangan terbang pihak yang berperang yang aman untuk jenis pesawatnya dan mempunyai akses untuk itu. Setelah mendarat dan setelah dilakukan pemeriksaan dan pencarian keterangan, pesawat udara tersebut diambil sebagai barang tangkapan untuk diproses secara hukum. Bila tidak pelabuhan udara pihak berperang yang aman dan mempunyai akses untuk itu, pesawat udara sipil musuh dapat dibelokkan arah dari tujuannya semula.

157. Sebagai alternatif dari penangkapan, suatu pesawat udara sipil netral, atas persetujuannya boleh dibelokkan arahnya dari tujuan semula.
158. Bila penangkapan dilakukan, keselamatan para penumpang dan awak pesawat serta barang-barang pribadi yang dimiliki harus diperhatikan. Dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan barang tangkapan harus diamankan.


BAB VI

ORANG YANG DILINDUNGI,
TRANSPORTASI MEDIS DAN PESAWAT UDARA MEDIS

Aturan Umum


159. Kecuali ditentukan dalam paragraf 171, ketentuan pada Bab ini disusun tidak dimaksudkan untuk menyimpang dari ketentuan Konvensi Jenewa II tahun 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977 yang berisi aturan rinci mengenai perlakuan terhadap orang yang terluka, sakit dan korban kapal karam dan untuk transportasi medis.

160. Pihak yang bersengketa, untuk tujuan kemanusiaan boleh menyetujui untuk menetapkan suatu zona di suatu daerah tertentu di laut dimana hanya kegiatan-kegiatan tertentu yang sesuai dengan tujuan kemanusiaan diijinkan.


Bagian I
Orang yang Dilindungi

161. Orang-orang yang berada di dalam kendaraan air dan pesawat udara yang telah jatuh ke tangan kekuasaan pihak yang berperang atau pihak netral harus dihormati dan dilindungi. Ketika di laut dan setelahnya hingga statusnya ditetapkan, mereka berada dibawah yurisdiksi negara pihak yang menguasainya.

162. Awak kapal rumah sakit tidak boleh ditangkap selama mereka bertugas di kapal tersebut. Awak perahu penyelamat tidak boleh ditangkap selama terlibat dalam operasi penyelamatan.

163. Orang-orang yang berada di dalam kendaraan air atau pesawat udara lainnya yang dikecualikan dari tindakan penangkapan sebagaimana tercantum dalam paragraf 136 dan 142 tidak boleh ditangkap.

164. Personel medis dan rohaniawan yang berugas di bidang perawatan kesehatan dan spiritual bagi orang-orang yang luka, sakit dan korban kapal karam tidak boleh dianggap sebagai tawanan perang. Namun demikian mereka boleh ditahan sepanjang pelayanan medis dan spiritualnya dibutuhkan untuk tawanan perang.

165. Warga negara dari suatu negara musuh, selain yang disebutkan secara khusus didalam paragraf 162 -164, berhak untuk mendapatkan status tawanan perang dan boleh dijadikan tawanan perang apabila mereka :

a. Anggota angkatan bersenjata negara musuh,

b. Orang-orang yang menyertai ke angkatan bersenjata musuh,

c. Awak kendaraan air serba guna atau awak pesawat udara serba guna,

d. Awak kendaraan air niaga musuh atau awak pesawat udara sipil musuh tidak dikecualikan dari tindakan penangkapan, kecuali mereka diuntungkan dari perlakuan yang lebih baik berdasarkan ketentuan-ketentuan lain dari hukum internasional, atau

e. Awak kendaraan air niaga netral dan awak pesawat udara sipil netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada musuh.
166. Warga negara dari suatu negara netral :

a. Yang menjadi penumpang di dalam kendaraan air netral atau kendaraan air musuh atau pesawat udara netral atau pesawat udara musuh harus dilepaskan dan tidak boleh dijadikan tawanan perang kecuali mereka merupakan anggota dari angkatan bersenjata musuh atau secara pribadi melakukan tindakan permusuhan melawan pihak yang menangkap.

b. Yang menjadi awak kapal perang musuh atau awak kendaraan air serba guna musuh atau awak pesawat udara militer musuh atau awak pesawat udara serba guna musuh berhak untuk mendapatkan status sebagai tawanan perang dan boleh dijadikan tawanan perang.

c. Yang menjadi awak kendaraan air niaga netral atau awak kendaraan air niaga musuh atau awak pesawat udara sipil netral atau awak pesawat udara sipil musuh harus dilepaskan dan tidak boleh dijadikan tawanan perang kecuali kendaraan air atau pesawat udara tersebut telah melakukan suatu tindakan sebagaimana yang diatur dalam paragraf 60, 63, 67, atau 70, atau awak kapal atau awak pesawat yang secara pribadi telah melakukan tindakan permusuhan melawan pihak yang menangkap.

167. Orang-orang sipil selain yang tercantum khusus pada paragraf 162-166 dilindungi sesuai Konvensi Jenewa IV tahun 1949.

168. Orang-orang yang telah jatuh ke dalam kekuasaan suatu negara netral, harus diperlakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Den Haag V dan XIII tahun 1907 serta Konvensi Jenewa II tahun 1949.


Bagian II
Transportasi Medis

169. Untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada kapal rumah sakit sejak saat pecahnya pertempuran, negara-negara terlebih dahulu boleh membuat pemberitahuan umum tentang ciri-ciri kapal rumah sakitnya sebagaimana diatur dalam pasal 22 dari Konvensi Jenewa II tahun 1949. Pemberitahuan demikian harus mencantumkan semua informasi mengenai peralatan-peralatan sehingga kapal tersebut dapat diidentifikasi.

170. Kapal rumah sakit boleh dilengkapi peralatan penangkal standar untuk maksud pembelaan diri seperti chaff dan flare. Keberadaan peralatan tersebut harus diumumkan.

171. Untuk memenuhi misi kemanusiaannya secara paling efektif, kapal rumah sakit harus diijinkan untuk menggunakan peralatan cryptographic. Peralatan tersebut dalam situasi apapun tidak boleh digunakan untuk mengirim data intelijen atau untuk dengan cara apapun untuk memperoleh setiap keuntungan militer.

172. Kapal rumah sakit, perahu kecil yang digunakan untuk operasi penyelamatan di pantai dan transportasi medis lainnya didorong untuk memenuhi alat-alat identifikasi sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran I Protokol Tambahan I tahun 1977.

173. Alat-alat identifikasi ini dimaksudkan hanya untuk memfasilitasi identifikasi dan bukan untuk mendapatkan status perlindungan.


Bagian III
Pesawat Udara Medis

174. Pesawat udara medis harus dilindungi dan dihormati sebagaimana disebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam dokumen ini.

175. Pesawat udara medis harus secara jelas ditandai dengan lambang palang merah atau bulan sabit merah, bersama dengan bendera kenegaraan pesawat, pada permukaan bawah, atas dan sampingnya. Pesawat udara medis setiap saat didorong untuk memenuhi alat-alat identifikasi lainnya sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran Protokol Tambahan I tahun 1977. Pesawat udara yang disewa oleh Komite Internasional Palang Merah boleh menggunakan alat identifikasi yang sama seperti pesawat udara medis. Pesawat udara medis sementara yang tidak dapat ditandai dengan lambang pembeda, baik karena kurangnya waktu atau karena ciri-cirinya, harus menggunakan alat identifikasi yang paling efektif yang ada.

176. Alat-alat identifikasi dimaksudkan hanya untuk memfasilitasi identifikasi dan bukan untuk mendapatkan status perlindungan.

177. Pihak yang bersengketa didorong untuk setiap waktu memberitahukan penerbangan-penerbangan medis dan membuat perjanjian-perjanjian, khususnya di daerah yang belum jelas pengendaliannya dari salah satu pihak yang bersengketa. Apabila suatu perjanjian tersebut telah dibuat, harus memuat ketinggian, waktu dan rute yang aman bagi operasi dan harus mencantumkan alat-alat identifikasi dan komunikasi.

178. Pesawat udara medis tidak boleh digunakan untuk melakukan aksi yang membahayakan musuh. Tidak boleh membawa peralatan yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dan mengirim data intelijen. Tidak boleh dipersenjatai, kecuali senjata ringan untuk pembelaan diri, dan hanya boleh membawa personel dan peralatan medis.

179. Pesawat udara lainnya baik militer atau sipil, baik pihak yang berperang atau netral, yang digunakan untuk pencarian keterangan, penyelamatan atau mengangkut orang-orang yang luka, sakit dan korban kapal karam, beroperasi atas resikonya sendiri, kecuali digunakan mengikuti perjanjian sebelumnya antar pihak yang bersengketa .

180. Pesawat udara medis yang terbang diatas daerah-daerah yang secara fisik dibawah kendali pihak lawan atau terbang di atas daerah-daerah yang secara fisik belum jelas pengendaliannya, boleh diperintahkan untuk mendarat dan guna dilakukan pemeriksaan. Pesawat udara medis harus mematuhi perintah yang demikian.

181. Pesawat udara medis pihak yang berperang tidak boleh memasuki ruang udara netral kecuali ada perjanjian sebelumnya. Jika di dalam ruang udara netral sesuai dengan perjanjian, pesawat udara medis harus mentaati ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian boleh menentukan pesawat udara tersebut untuk mendarat guna dilakukan pemeriksaan di pelabuhan udara tertentu di negara netral. Jika perjanjian tersebut menyatakan demikian, maka pengawasan dan tindakan-tindakan lanjutannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam paragraf 182-183.

182. Jika pesawat udara medis, dalam hal tidak ada suatu perjanjian atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan suatu perjanjian, memasuki ruang udara netral, baik karena kesalahan navigasi atau karena suatu keadaan darurat yang membahayakan keselamatan penerbangan tersebut, pesawat udara medis tersebut harus melakukan segala upaya untuk menyampaikan pemberitahuan dan menunjukkan identitas diri. Segera setelah pesawat udara dikenali oleh negara netral sebagai suatu pesawat udara medis, pesawat udara ini tidak boleh diserang tetapi boleh diminta mendarat untuk dilakukan inspeksi. Segera setelah pesawat udara ini telah diinspeksi dan jika pesawat udara ini ditetapkan pada kenyataannya sebagai pesawat udara medis, pesawat udara ini harus diijinkan untuk melanjutkan penerbangannya.

183. Apabila dari hasil pemeriksaan ternyata bahwa pesawat udara tersebut bukan pesawat udara medis, maka boleh ditangkap, dan orang-orang yang ditangkap, kecuali disepakati lain antara negara netral dan pihak bersengketa, harus ditahan dinegara netral sebagaimana dipersyaratkan oleh aturan-aturan hukum internasional tentang konflik bersenjata, dengan cara demikian mereka tidak dapat lagi ambil bagian dalam pertempuran.

Pengadilan HAM Internasional

Tentang “Pengadilan HAM” Internasional

Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M.


Pengantar

Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini.

Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility.

Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) melalui Resolusi Majelis Umum PBB no.174(II). Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi (pasal 16) –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility , kejahatan genosida (pasal 17), kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 18), kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya (pasal 19), serta kejahatan perang (pasal 20).

Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia (ICTY). Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana.

Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR) yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah: genosida (pasal 2); kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 3) ; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 (pasal 4).

Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional.

Ketika Statute for an International Criminal Court (Statuta Mahkamah Pidana Internasional) yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu: genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah: perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (equal gravity) (pasal 7 ayat 1.b)(pasal 8 ayat 2.b.xxii)(pasal 8 ayat 2.e.vi). Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg (Nuremberg War Crimes Trials), Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (Tokyo Tribunal) dan tinjauan instrumen atas Pengadilan HAM di Indonesia.


Pengadilan Militer Internasional, Nuremberg 1945

- pengadilan atas pelaku kejahatan perang Nazi diselenggarakan oleh empat negara sekutu utama Perang Dunia II (Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis)
- 12 persidangan diselenggarakan di bawah yurisdiksi Control Council Law No.10
- Selain persidangan-persidangan tersebut, juga diselenggarakan banyak persidangan lainnya yang dilakukan oleh pengadilan militer di berbagai negara lainnya  Howard S Levie, “War Crimes Programs: Europe”, Chapter III in Howard S Levie, Terrorism in War: The Law of War Crimes (Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications, 1993) p 135-139 (bagian statistik)

Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan  pasal 6:
- kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace)
- kejahatan perang (war crimes)
- kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)

Individual responsibility  pasal 6

By ommission: keikutsertaan dalam suatu konspirasi atau rencana bersama untuk melakukan kejahatan yang tersebut di atas  pasal 6

Tidak ada kekebalan (immunity) untuk tindak kejahatan yang dilakukan dengan alasan melaksanakan tugas negara, atau sebagai aparat negara  pasal 7

alasan menjalankan perintah atasan (defense of superior orders) tidak dapat diterima kecuali sebagai unsur pertimbangan peringanan hukuman (mitigation)  pasal 7

criminal organizations  pasal 9

konsekuensi dinyatakannya sebuah organisasi sebagai organisasi kriminal  pasal 10 dan 11

pengadilan in absentia diperbolehkan  pasal 12

pemberkasan dakwaan di Pengadilan Nuremberg:
1. menyusun rencana bersama atau melakukan konspirasi untuk menyelenggarakan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
2. pelaku kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan perang sebagai bentuk tindak agresi yang juga merupakan perang yang dilarang berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional.
3. pelaku kejahatan perang dari tanggal 1 september 1939 sampai 8 Mei 1945 di Jerman serta seluruh wilayah negara dan teritori yang dikuasai tentara Jerman sejak 1 September 1939, dan di Austria, Cekoslowakia, dan Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.
4. pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum 8 Mei 1945 di Jerman serta seluruh wilayah negara dan teritori yang dikuasai tentara Jerman sejak 1 September 1939, dan di Austria, Cekoslowakia, dan Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.

Pertanggung jawaban atas tindak kejahatan perang adalah atas: (a) tindakan secara langsung yang merupakan pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang; dan (b) tindakan yang merupakan kejahatan perang yang dilakukan oleh seseorang dimana atasannya juga dianggap bertanggung jawab, baik karena si atasan memerintahkan seseorang tersebut untuk melakukan tindakan yang termasuk sebagai kejahatan perang, atau karena si atasan telah gagal mencegah atau menyelidiki atau menghukum bawahannya atas tindakan tersebut.  Tanggung Jawab Komando

Catatan: tindakan yang termasuk dalam kategori kejahatan perang adalah yang dilakukan terhadap belligerents, atau penduduk sipil di wilayah yang diduduki; dan tidak berlaku atas tindakan yang dilakukan atas warga negara Jerman di Jerman oleh aparat negara Jerman. Yang terakhir masuk dalam wilayah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berdasarkan pasal 6(c) Statuta Pengadilan Nuremberg, kejahatan terhadap kemanusiaan mempunyai beberapa elemen. Yaitu:
- dilakukannya salah satu atau lebih tindak kejahatan spesifik sebagaimana tercantum dalam pasal (pembunuhan, dll sebelum dan selama masa perang; atau persecution)
- terhadap populasi sipil DI MANAPUN (berarti termasuk warga negara pelaku dan juga penduduk di wilayah yang dikuasai)
- sebagai bagian dari atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan (i.e. kejahatan perang dan kejahatan terhadap perdamaian)
- tanpa memperdulikan apakah tindakan tersebut merupakan kejahatan menurut hukum domestik negara dimana tindakan tersebut dilakukan.


Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (Tokyo Tribunal) 1946

Berdasarkan pasal 5 statuta (yurisdiksi atas pelaku dan tindak kejahatan):
Pengadilan mempunyai wewenang untuk mengadili dan menghukum para penjahat perang di Timur Jauh sebagai individu maupun sebagai anggota dari organisasi  jika seseorang didakwa dalam posisinya sebagai anggota organisasi tertentu maka yang dikenakan atasnya adalah dakwaan/tuntutan atas tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap perdamaian

Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan:  pasal 5
- kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan, dan pelaksanaan perang sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun tidak; atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian internasional; atau ikutserta dalam suatu rencana bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk kejahatan di atas.
- Kejahatan perang konvensional: pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang.
- Kejahatan terhadap kemanusiaan: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang, atau persecution berdasar politik atau ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut hukum domestik dimana tindakan tersebut dilakukan.

Konsep tanggung jawab komando:
Pemimpin, penyelenggara, pencetus, dan pembantu yang ikut ambil bagian dalam perencanaan atau pelaksanaan dari sebuah rencana bersama atau konspirasi untuk melakukan kejahatan yang mana saja yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan bertanggung jawab atas SEGALA tindakan yang dilakukan oleh SIAPAPUN dalam pelaksanaan rencana atau konspirasi tersebut.

Pemberkasan dakwaan di Pengadilan Tokyo:
1. Berkas 1-36: konspirasi dalam perencanaan (preparation), memulai (commencement) , dan pemajuan (furtherance) berbagai kejahatan perang.
2. berkas 37-52: pembunuhan, terutama pembunuhan dalam perang yang melanggar hukum dan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan dalam hukum dan kebiasaan perang.
3. berkas 53-55: tindakan kejahatan perang konvensional lainnya dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengadilan hanya berhasil membuktikan tindak kejahatan yang termasuk dalam berkas 1, 27, 29, 31, 32, 33, 35, 36, 54, dan 55




Penutup: Rekomendasi Bahan Bacaan


Yves Beigbeder, Judging War Criminals: The Politics of International Justice (New York: St Martin’s Press, 1999)

Benjamin D Ferencz, An International Criminal Court: A Step Toward World Peace: A Documentary History and Analysis (London: Oceana Publications, 1980)

Arnold C Brackman, The Other Nuremberg: The Untold Story of the Tokyo War Crimes Trials (New York: Quill, 1989)

Richard H Minear, Victor’s Justice: The Tokyo War Crimes Trial (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1971)

B V A Röling & C F Rüter (eds), The Tokyo Judgment (amsterdam: APA University Press, 1977) 2 vols.  berisi full text dari keputusan pengadilan Tokyo lengkap beserta lampiran dan dissenting opinion.

International Military Tribunal for the Far East, The Tokyo Major War Crimes Trial: the Records of the International Military Tribunal for the Far East: with an authoritative commentary and comprehensive guide, annotated, compiled, & edited by R. John Pritchard (Lewiston, NY published for the Robert MW Kempner Collegium by Edwin Mellen Press, 1998)

Makalah HAM 3

Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan
dan Hak Atas Kesehatan: Catatan ELSAM

Ifdhal Kasim


I. Hak Atas Pendidikan

Situasi pemenuhan hak atas pendidikan sepanjang tahun 2005 masih jauh dari harapan masyarakat yang notabene berharap banyak terhadap pemerintahan baru. Meskipun buruknya pemenuhan hak atas pendidikan tahun ini adalah tak lepas dari tumpukan persoalan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, namun demikian persoalan-persoalan mendasar seperti akses terhadap pendidikan, pengurangan siswa putus sekolah, penguatan dan support atas institusi-institusi pendidikan dasar umum dan khusus (untuk anak-anak cacat) yang sudah ada dan penanganan akses pendidikan di wilayah terpencil belum tertanggulangi secara nyata.

Kondisi ini nampak terlihat jelas dalam laporan-laporan media massa di tahun 2005 yang masih menyoroti dalam pemberitaan mereka tentang jumlah angka anak tidak sekolah dan anak putus sekolah dari kalangan penduduk miskin yang terus merangkak naik. Disamping itu, pemberitaan media tentang runtuhnya bangunan sekolah serta ketidakmampuan sekolah menampung jumlah siswa yang membengkak adalah fakta bahwa upaya penguatan dan support atas institusi pendidikan dasar umum dan untuk anak-anak cacat oleh pemerintah terus menurun, termasuk juga disini buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi oleh institusi pendidikan dasar, menengah dan atas. Hal lain yang juga penting untuk dijadikan patokan dalam melihat minimnya pemenuhan hak atas pendidikan, adalah belum tersentuhnya akses pendidikan bagi anak-anak di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil yang selama ini belum tersentuh pembangunan nasional atau pun daerah.

Meskipun di beberapa level nampak terlihat adanya upaya-upaya pemerintah untuk menangani persoalan-persoalan tersebut, namun demikian langkah-langkah penanganan merupakan bagian dari upaya meredam kritik masyarakat ataupun meredam protes masyarakat luas atas penerapan kebijakan ekonomi baru yang mengganggu kehidupan perekonomian masyarakat, seperti dalam kasus pemberian DANA BOS sebagai bagian dari kompensasi kenaikan harga BBM. Pelimpahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah nasional ke pemerintah daerah sebagai jawaban pemerataan dan efektifitas pelaksanaan pendidikan juga tidak dengan sendirinya membuat pemenuhan hak atas pendidikan dapat dipenuhi secara minimal. Sebaliknya, pelimpahan kewenangan ini justru berakibat pada pemunduran kualitas pendidikan sebab tidak semua pemerintahan daerah memiliki kemampuan, baik dari sisi kapasitas personel dan anggaran, yang merata. Akibatnya banyak sekali laporan tentang robohnya gedung sekolan dan fasilitas sekolah yang jauh dari kebutuhan menunjang proses belajar mengajar, termasuk juga minimnya jumlah guru tetap yang mesti dimiliki oleh setiap institusi pendidikan dasar.


a. Anak tidak sekolah dan anak putus sekolah

Berdasarkan data Depdiknas, sampai dengan tahun 2005 masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pendidikan, terutama anak sekolah dasar dan sekoah menengah pertama. Dari tahun ke tahun, jumlah anak sekolah masih cukup tinggi. Pada tahun 2002/2003 terdapat 560.323 siswa SD yang tidak mampu melanjutkan sekolah, pada tahun 2003/2004 terdapat 542 258, tahun 2004/2005 angkanya masih cukup tinggi, yaitu sebesar 495.261. Jumlah anak putus sekolah di tingkat sekolah menengah juga mengalami peningkatan. Data MTs menunjukkan bahwa pada tahun 2002/2003 terdapat 88.809 siswa putus sekolah, tahun 2003/2004 melonjak menjadi 91.905 dan terus melonjak lagi 2004/2005 menjadi 92 417 siswa.


Tabel 1: Anak Putus Sekolah Di Beberapa Kabupaten

No Lokasi Jumlah Keterangan
1. Kota Bekasi 170.000 Tidak dapat dan belum melanjutkan pendidikan sekolah.
Lemahnya ekonomi keluarga
Perhatian daerah kurang maksimal
2 Kabupaten Majalengka, Jawa Barat 7.715 Telah diterbitkan 5000 kartu bebas biasa SPP, 1000 siswa SD, 3000 SMP, 1000 SMA dengan anggaran 2 milyar,
3 Kabupaten Lebak, Banten 11.422 Orang tua kurang mampu
4 Kabupaten dan Kota Bogor 27.000 Keluarga tidak mampu
5 Aceh 154.746 SD= 36.794; SMP= 51.838, SMA= 66.114
Karena kurang biaya
6 Kabupaten Sukabumi 20.000 Ekonomi keluarga lemah
7. Kuningan 3.000 Siswa SD yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya
393883
Sumber: Diolah dari Dokumentasi ELSAM-Hak Atas Pendidikan tahun 2005



Sebagian besar penyebab utama kasus anak putus sekolah adalah karena ongkos pendidikan yang terus merangkak mahal. Dalam pengamatan lapangan elsam di lapangan , besarnya pungutan yang diterapkan sekolah, mulai dari uang LKS dan Buku paket, SPP/Komite tiap bulan, pendaftaran masuk sekolah, uang bangunan, uang ujian, biaya praktikum, study tour, olah raga, hingga uang ekstrakurikuler menjadi penyebab tingginya anak tidak sekolah dan putus sekolah. Dalam sebuah wawancara ELSAM dan Suara Ibu Peduli awal 2005, diketahui bahwa kebanyakan para orang tua mengatakan bahwa mereka terpaksa tidak menyekolahkan anaknya atau mengeluarkan anaknya dari sekolah karena mereka harus mengeluarkan dana pendidikan lebih dari Rp 300 ribu per orang per bulan. Padahal jumlah itu adalah jumlah penghasilan mereka per bulan. Dalam beberapa soal mereka mencoba untuk mensiasati dengan meminta keringanan pembayaran dan mencicil proses pembayaran, namun demikian upaya tersebut tidak bisa dijalani oleh banyak keluarga karena jumlah anak yang harus mereka tanggung bukan hanya satu orang.

Dilain sisi, strategi keluarga untuk mensiasati pendidikan bagi anak-anak mereka ini pada akhirnya semakin menguatkan praktek-praktek pembatasan terhadap anak-anak perempuan mereka untuk bersekolah, terutama para perempuan yang tinggal di wilayah pedesaan. Dengan kembali mempergunakan nilai-nilai lama atau keyakinan di komunitasnya, mereka kembali melarang anak-anak perempuan untuk melanjutkan sekolah, dan mendesak mereka untuk segera menikah, agar beban keluarga sedikit berkurang. Di beberapa daerah dalam beberapa kesempatan kunjungan lapangan selama tahun 2005, ELSAM banyak sekali mendengar komentar para penduduk yang menyebutkan bahwa mereka lebih mengutamakan anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan tinggi ketimbang perempuan, karena anak laki-laki dapat diharapkan menjadi tulang punggung keluarga ketimbang perempuan, yang pada akhirnya akan keluar dari keluarga karena harus mengikuti suaminya kelak.


b. Menurunnya upaya perawatan dan penguatan institusi pendidikan dasar umum dan khusus anak-anak cacat oleh pemerintah

Potret memburuknya pemenuhan hak atas pendidikan ini semakin diperparah dengan munculnya laporan tentang kualitas dan kuantitas bangunan sekolah yang terus menyusut karena banyak sekali bangunan sekolah yang ambruk atau sudah tidak bisa dipergunakan akibat dimakan usia. Dilaporkan 801.216 ruang kelas SD yang ada, 168.655 atau hampir 21% mengalami rusak berat, dan secara bertahap mulai roboh. Sementara data Depdiknas menunjukkan bahwa ruang kelas SD yang rusak mencapai 489.573, atau hampir 60 persen dari total 877.772 ruang ruang kelas SD di Tanah Air. Ini belum termasuk kerusakan bangunan di tingkat SLTP dan SLTA. Angka-angka itu akan terus bertambah mengingat hampir sebagian besar bangunan sekolah yang terlalu tua atau kualitasnya yang buruk karena pembangunannya yang tidak sesuai dengan bestek. Di Maluku, dan Kalimantan Barat sebagian besar bangunan sekolah di wilayah tersebut dibangun pada tahun 1970-an.

Disamping kondisi bangunan sekolah umum yang tidak layak pakai, sorotan terhadap upaya untuk membangun dan memperkuat sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak cacat juga belum terlihat. Meskipun ELSAM belum memiliki data akurat tentang pembangunan dan penguatan institusi sekolah khusus bagi anak-anak cacat tahun 2005 ini, namun demikian jika melihat fakta menurunnya upaya pemerintah untuk membangun dan merawat gedung sekolah umum , sudah bakal dipastikan pembangunan gedung sekolah luar biasa untuk anak cacat pasti terabaikan. Sebuah keluarga di bilangan Cilandak Jakarta mengaku anaknya yang cacat mental terpaksa ia sekolahkan di sekolah umum—meski akhirnya si anak dikeluarkan oleh pihak sekolah—karena untuk menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa sangat mahal ketimbang sekolah umum dan tempatnya pun juga cukup jauh.

Tabel 2: Bangunan Sekolah Ambruk

No Lokasi Jumlah
1 Lampung
Way Kanan Sekitar 498 gedung SMP dan SMA rusak
diperkirakan 50 persen dari 4.568 sekolah dasar di provinsi itu pun rusak.
2 Provinsi Lampung sekitar 30.600 ruang dari 52.107 ruang kelas sekolah yang terdapat di berada dalam keadaan rusak.
SD sekitar 14.488 ruang dari 31.642 ruang yang ada.
3 Jawa tengah 27.495 dari 123.817 ruang kelas SD rusak berat
MI: 4.359 rusak dari 21.981 ruang
SMP: 676 dari 29.585 ruang
MTs: 522dari 8.806 ruang
SMA: 128 dari 9.923 ruang
MA: , dari 2.486 ruang
4 Jakarta Barat 10% dari 275 gedung SD di Jakarta Barat dalam kondisi tidak layak pakai lagi.
5 Sumatera Selatan Sekitar 1.000 dari 6.336 ruang kelas mengalami kerusakan parah
6 DKI Jakarta Sekitar 59 % gedung SDN dan SLTPN mengalami kerusakan
sekitar 1.002 dari 1.699 gedung SD di Jakarta tidak layak digunakan.
286 SLTP di seluruh wilayah DKI Jakarta rusak.
7 Provinsi Maluku 425 SD rusak berat
8 Kabupaten Sukabumi 40 persen dari 1.170 bangunan sekolah dasar rusak parah
9 Kota Makassar Sebanyak 200 dari 336 bangunan sekolah saat ini dalam keadaan rusak dengan tingkat kerusakan yang beragam
Sumber: Dokumentasi pemenuhan hak atas pendidikan ELSAM tahun 2005

c. Buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi

Hal ini semakin diperparah dengan fasilitas penunjang belajar yang tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali, sehingga tak jarang proses belajar mengajar berjalan dengan apa adanya atau kembali membebani para orang tua siswa untuk mengatas keterbatasan tersebut. Sejumlah orang tua murid mengaku terpaksa mengajak orang tua siswa yang lain untuk membiayai perbaikan fasilitas kamar mandi sekolah anaknya, khususnya kamar mandi siswa perempuan yang kondisi kamar mandinya sangat tidak sehat dan rentan dari tindakkan pelecehan seksual dari kawan laki-lakinya, karena tidak pihak sekolah tidak mampu membiayai perbaikan tersebut.

Beberapa hal yang juga patut untuk disorot pada pemenuhan hak atas pendidikan adalah minimnya tindakkan kekerasan dan praktek diskriminasi terhadap siswa oleh institusi sekolah, termasuk disini para guru. Sejumlah laporan media massa menyebutkan adanya tindakan penganiayaan para siswa oleh para guru termasuk disini proses mempermalukan para siswa yang belum membayar biaya pendidikan dihadapan siswa yang lain. Di jakarta pertengahan tahun lalu dilaporkan sejumlah siswa sebuah SMP negeri di bilangan Jakarta Selatan karena belum melunasi uang ujian, tidak diperkenankan mengikuti ujian di dalam kelas. Kasus lainnya adalah, pelarangan para siswa yang belum melunasi biaya ujian untuk memperoleh rapor mereka, sehingga tak jarang orang tua siswa tidak mengetahui prestasi belajar anaknya. Bahkan di sebuah sekolah di Cilandak, seorang siswa terpaksa tidak naik kelas, meski ia naik kelas, karena belum melunasi uang SPP dan ujian. Bentuk-bentuk mempermalukan para siswa yang belum melunai biaya sekolah juga terlihat dari kasus-kasus bunuh diri siswa sekolah tahun ini.

Kasus-kasus itu antara lain, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

















Tabel 3:
Kasus Siswa Bunuh Diri Atau Percobaan Bunuh Karena Kemiskinan

No Nama Korban Lokbasi Keterangan
1 Eko Haryanto (15) siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal
Pertengahan April 2005
2 Bunyamin (17) siswa kelas II Logam 1 SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal
7 April 2005
3 Elfi Mamora (15) siswi kelas III sebuah SMP Negeri di Tangerang

4 Femilia Umami (13) siswa kelas I SMP Al Falah di Kampung Salimah, Sukamanah Jambe, Tangerang, Banten, Jumat, 03 Juni 2005

5 Awang Aditya
siswi kelas empat sekolah dasar tewas gantung diri di Dusun Siyono Kidul, Desa Logandeng, Gunung Kidul, Yogyakarta. Kamis (15/12).
6 Muhammad Firdaus siswa kelas VI sekolah dasar di Kecamatan Jabung, Malang
7 Romdoni bin Husen (15) seorang pelajar SMA swasta di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang
Sumber: Diolah dari data Indok ELSAM


d. Terabaikannya pemenuhan hak atas pendidikan di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil

Sorotan lain dalam pemenuhan hak atas pendidikan pada tahun 2005 ini adalah tidak adanya penanganan atas persoalan terbatasnya penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil, termasuk disini masyarakat adat yang tinggal diatas gunung. Laporan tentang adanya sekolah yang tidak berfungsi karena tidak ada tenaga pengajar di wilayah pedalaman atau tidak adanya aktifitas sekolah di sebuah pulau terpencil masih kerap ditemui. Bahkan untuk masyarakat adat yang tinggal di daerah-daerah terpencil, hingga saat ini masih belum bisa mengakses pendidikan, dan kalaupun ada, mereka dipaksa untuk mengikuti system pendidikan umum yang jauh dari konteks budaya yang mereka jalani selama ini.

Di Pulau Bakau NTT, di pulau tersebut tidak ditemukan gedung sekolah dan aktifitas proses belajar mengajar, sehingga banyak sekali anak tidak sekolah di pulau tersebut. Di kepulauan Seribu, juga pernah di laporkan banyak sekolah yang tidak memiliki guru yang memadai karena banyak para guru yang beralih profesi karena seringnya keterlambatan penerimaan gaji mereka. Demikian pula dengan pendidikan bagi masyarakat adat, hingga saat ini belum tersedia bangunan sekolah dan system pendidikan yang bisa diikuti oleh anak-anak di Masyarakat Adat Anak Dalam, Badui, Osing, Pakafah, dan masyarakat adat di pegunungan Jayawijaya. Kebanyakan dari anak-anak pada komunitas khusus tersebut hingga saat ini masih belum bisa membaca, menulis dan berhitung, dengan dalih mereka masih sangat kolot dan tradisional sehingga sulit untuk dimajukan.

II. Hak atas Kesehatan: Memburuknya kualitas kesehatan masyarakat

Tahun 2005 merupakan tahun yang memprihatinkan bagi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak atas kesehatan. Alih-alih mengalami kemajuan, tahun ini diwarnai dengan berbagai indikasi melemahnya kualitas kesehatan masyarakat. Secara umum, terdapat dua jenis persoalan yang berkaitan dengan turunnya kualitas kesehatan ini, yaitu, masalah kesehatan yang bersifat luar biasa dan temporer namun memiliki dampak yang besar, seperti flu burung. Jenis lain adalah ancaman kesehatan yang sebenarnya merupakan kejadian yang berpotensi berulang setiap tahun, namun mengalami peningkatan baik kuantitas dan kualitas di tahun 2005. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan, dan busung lapar.

Kasus-kasus penyakit yang berkaitan dengan gizi ini, meskipun secara kuantitas banyak terjadi di wilayah Indonesia Barat. Namun secara kualitas, apabila diperbandingkan dengan prosentase jumlah penduduk di masing-masing wilayah, prevalensi kasus yang terjadi di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Sulawesi lebih tinggi disbanding di wilayah lain. Wilayah ini pada umumnya memiliki infra struktur yang sangat minim, tingkat kesejahteraan yang rendah serta jumlah prosentasi keluarga miskin diatas 30%.

Kasus busung lapar yang dilaporkan di wilayah Indonesia bagian timur terutama menimpa wilayah dimana prosentase produksi beras dibandingkan dengan kebutuhan pangan tidak memadai, seperti di wilayah Gorontalo ( 1022 kasus), Papua (1155 kasus). Selain itu tingginya prevalensi busung lapar juga berkaitan dengan tingginya prosentase keluarga miskin, seperti di wilayah NTT yang prosentase keluarga miskinnya mencapai lebih dari 60% sementara kemampuan produksi pangan (beras) juga rendah dibandingkan dengan tingkat kebutuhan pangan di wilayah ini .


Diawali dengan dampak Tsunami di Aceh, berbagai permasalahan terus menjalar dari provinsi paling barat ini, seperti bahaya epidemic flu burung, menjangkitnya kembali wabah polio dan merebaknya berbagai kasus busung lapar dan gizi buruk. Kembalinya prevalensi polio merupakan penanda awal kegagalan pemerintah untuk mempertahankan kualitas pemenuhan standar kesehatan dasar bagi masyarakat. Dalam tahun 2005, Departemen Kesehatan melaporkan setidaknya tercatat 71 815 kasus gizi buruk pada balita, 232 diantaranya meninggal dunia. Permasalahan gizi buruk ini mencapai puncaknya dengan tragedi kelaparan di Yahukimo beberapa saat lalu yang menelan tak kurang 57 jiwa, dan lebih dari 112 penduduk dalam kondisi kritis.

Hasil amatan ELSAM atas laporan kasus berkaitan dengan gizi dari pemberitaan 7 media masa sepanjang tahun 2005 mencatat sekurangnya sebanyak 1 091 474 orang bermasalah dengan gizi, yang tersebar di 73 kabupaten di seluruh nusantara. Sebaran kasus ini beragam mulai dari kurang gizi, gizi buruk sampai busung lapar. Dari total kasus yang terekam oleh media sepanjang tahun, tercatat beberapa kasus yang berakhir dengan kematian. Sekurangnya 61 orang meninggal dunia dalam berbagai kasus yang tersebar di sekurangnya 73 kabupaten, dengan prevalensi kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur.

























Tabel 4:
Penyebaran Gizi Buruk dan Busung Lapar di Propinsi-Propinsi Non Konflik

Wilayah Angka Balita di bawah lima tahun. Penderita Kurang Gizi Penderita Gizi Buruk Penderita Busung Lapar. Korban Meninggal Penyebaran Di Tingkat Kabupaten/Kota Jumlah Kabupaten
NTT 55.543 85.604 12.925 451 50 16 Kabupaten:
Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Kupang 16
NTB 910 847 21 Lombok Timur, Lombok Barat, Dompu, Lombok Tengah, Mataram 4
JTG 367 13.376 34 26 Tegal, Semarang, Kota Semarang, Rembang, Boyolali, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan Pekalongan 12
JBR 148.120 61.805 18.136 140 1 Cirebon, Cianjur, Bogor, Indramayu, Cibinong, Karawang, Bandung 7
Banten 14.338 7.454 175 13 Lebak, Serang, Tangerang 3
SMU 2928 643 4 Gunungsitoli (P.Nias) 1
JTM 5 1.700 6.000 37 1 Kota Surabaya, Kediri, Situbondo, Bangkalan, Wonogiri, Ponorogo, Lamongan, Blitar, Bondowoso 10
LPG 287 176 2 Tanggamus 1
RIAU 567.545 11.000 12 2 Bengkalis 1
SMS 1.638
SLS 144.075 59 Kota Makasar, Takalar , Makassar, Pinrang, Maros, Lutra, Selayar, Gowa, Bone, Luwu, Soppeng, Pangkep, Wajo, Rejang Lebong dan Parepare 15
DIY 220.006 1000 Bantul, Yogyakarta, Sleman, Kodya, Kulonprogo, Gunungkidul 6
KLB 105 Sambas 1
DKI Jakarta 8.007 8.579 1.355 Koja-Jakut, Jakarta Barat, Jakpus 3
JBI 272 Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat Batanghari, 6
BKL 233 5
KLTG 72 7 Sukamara, Kotawaringin Timur, Kapuas, Barito Timur, Kota Palangkaraya 5
SLTG 1 Kendari 1
Jumlah seluruh 1.146.669 173.951 73.644 1.705 123 93


Meskipun demikian, kasus yang sesungguhnya terjadi di lapangan di perkirakan jauh lebih besar dari apa yang berhasil dicakup oleh pemberitaan media. Sebagai contoh, data malnutrisi yang dipublikasikan oleh badan pangan dunia FAO menyebutkan di tahun 2002 saja, jumlah populasi dengan malnutrisi di Indonesia tercatat sebanyak 6% dari populasi atau sekitar 12 juta jiwa. Angka ini jauh lebih buruk dari beberapa Negara tetangga seperti Malaysia yang mencatat angka kurang dari 12,5%. Data ini tentu bukan merupakan data yang paling akurat, salah satu survey yang dilakukan oleh departemen kesehatan di tahun 2005 misalnya, mencatat tak kurang dari 100 juta masyarakat bermasalah dengan gizi. Apabila data ini mendekati kebenaran, setidaknya separuh dari total populasi Indonesia bermasalah dengan gizi. Dengan demikian, berbagai pemberitaan mengenai busung lapar ataupun kurang gizi lebih merupakan puncak gunung es dari persoalan hak atas kesehatan yang sejauh ini seperti tersembunyi di bawah permukaan.

Berbagai kasus yang berkaitan dengan gizi buruk terjadi di wilayah yang memiliki karakteristik yang mirip, yaitu, secara umum, daerah dengan prevalensi masalah gizi memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Karakteristik lain berupa tingginya tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, serta tingginya prosentase aktivitas ekonomi di bidang pertanian. Kabupaten Timor Timur Selatan, propinsi NTT misalnya, persentase kegiatan ekonominya digantungkan pada sector pertanian . Daerah Bantul, di Jawa yang mewakili prevalensi tertinggi kasus-kasus gizi buruk memiliki karakteristik yang serupa. Dengan prosentase kegiatan ekonomi terbesar di sektor pertanian, kabupaten Bantul baru mampu membiayai 6% dari total anggaran pembelanjaan daerahnya. Tingkat ketergantungan pada pusat ditunjukkan dengan besarnya nilai dana alokasi umum yang dikucurkan, yang mencapai lebih dari 70% total anggaran daerah yang dibutuhkan.

Dua karakteristik ini setidaknya menunjuk dua persoalan mendasar yang berkaitan kemampuan daerah dalam mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk memenuhi hak. Sebagai bagian dari pilihan desentralisasi yang dimulai di tahun 1999, alokasi pembiayaan sektor kesehatan dialihkan dari pusat ke daerah. Di satu sisi, kebijakan ini membuka peluang lahirnya kebijakan yang lebih berbasis local dalam memberikan jaminan yang lebih baik terhadap hak kesehatan. Namun di sisi lain juga muncul risiko kegagalan yang lebih besar, khususnya melihat ketiadaan kriteria pemenuhan hak kesehatan minimum yang ditetapkan pemerintah pusat berkaitan dengan alokasi minimum APBD untuk menjamin penyediaan sarana dan pelayanan kesehatan dasar serta hal-hal yang mendukung tercapainya tingkat kesehatan masyarakat yang memadai. Akibatnya muncul disparitas yang tinggi dalam penyediaan layanan dasar kesehatan. Sementara di Sumut pemerintah daerah mampu mengalokasikan sebesar 58 milyar dana kesehatan bagi kelompok miskin, provinsi seperti papua dan Nusa Tenggara Timur jauh tertinggal di belakang.



Beberapa langkah jangka pendek dan respon cepat dilakukan oleh pemerintah melalui koordinasi interdepartemen. Namun langkah-langkah tersebut lebih bersifar kuratif, seperti dalam menghadapi penetapan wabah flu burung sebagai kondisi luar biasa. Tindakan lain berupa pembentukan tim operasi sadar gizi untuk merespon naiknya angka penderita gizi buruk di NTB, penerapan sistem kewaspadaan dini, perawatan kasus gizi buruk di Puskesmas dan rumah sakit, serta penyediaan sarana dasar seperti bantuan pangan dan penyediaan air bersih. Langkah ini diikuti oleh peningkatan alokasi pendanaan untuk perbaikan gizi masyarakat dengan proyeksi kenaikan lebih dari 10kali lipat untuk tahun anggaran 2006.

***