Senin, 30 Maret 2009

Lulu


Dilahirkan di Ciamis 6 tahun yang lalu.
Aktifitasnya: Sekolah, Modeling, les Acting dan Presenter
Imas nama Ibunya kerja sebagai Guru sebuah SMA di Yogya
Ayahnya: saya doooonk. Gatot...
Cita-citanya: Ingin jadi Dosen katanya hihihihi
centil amat sih

Selasa, 03 Maret 2009

HUKUM ACARA PIDANA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Undang-undang tidak memberikan pengertian resmi mengenai hukum acara pidana, yang ada adalah berbagi pengertian mengenai bagian-bgian tertentu dari hukum acara pidana, misalnya penyelidikan, Penyidikan, penangkapan dan lain sebagainya.

untuk mengetahui pengertian Hukum acara pidana dapat ditemukan dalam berbagai literatur yang dikemukakan oleh para pakar seperti Prof. MULYATNO menyebutkan bahwa HAP (Hukum Acara Pidana) adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan perbuatan pidana.

dari pengertian diatas tidak jauh berbeda dengan pengertian-pengertian yang disampaikan oleh pakar-pakar yang lainnya yang intinya bahwa Hukum Acara Pidana itu adalah Keseluruhan aturan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian perkara pidana meliputi proses pelaporan dan pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang pengadilan, putusan dan pelaksanaan putusan pidana

Proses dalam Sistem Peradilan Pidana merupakan wilayah HUKUM ACARA PIDANA

B. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana
Fungsi Hukum acara Pidana dapat di bagi dua yaitu:
Fungsi Represif, yaitu Fungsi Hukum acara pidana adalah melaksanakan dan menegakkan hukum pidana. artinya jika ada perbuatan yang tergolong sebagai perbuatan pidana maka perbuatan tersebut harus diproses agar ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam hukum pidana dapat diterapkan.

Fungsi Preventif: yaitu fungsi mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan. fungsi ini dapat dilihat ketika sistem peradilan pidan dapat berjalan dengan baik dan ada kepastian hukumnya, maka orang kan berhitung atu berpikir kalau kan melakukan tindak pidana.

dengan demikian maka dapat ditunjukkan bahwa antara hukum acara pidana dan hukum pidana adalah pasangan yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang sangat erat, diibaratkan sebagai Dua sisi mata uang

Adapun yang menjadi tujuan hukum acara pidana dalam pedoman pelaksanaan KUHAP menjelaskan sebagai berikut:
“ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

jika memperhatikan rumusan diatas mak tujuan hukum pidana dapat dikatakan bhwa tujuan hukum acara pidana meliputi tiga hal yaitu:
1. mencari dan mendapatkan kebenaran
2. melakukan penuntutan
3. melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan
namun dari ketiga hal tersebut dapat pula ditambahkan yangkeempat yaitu melaksanakan (Eksekusi) putusan hakim

menurut hukum acara pidana yang bertugas mencari dan menemukan kebenaran adalah pihak kepolisian dalam hal ini adalah penyelidik dan penyidik. kebenaran yang dimaksudkan adalah keseluruhan fakta-fakta yang terjadi yang ada hubungannya dengan perbuatan pidana yang terjadi.

adapun tujuan melakukan penuntutan adalah menjadi tugas dari kejaksaan yang dilakukan oleh JPU. penuntutan harus dilakukan secermat mungkin sehinggapenuntutan itu merupakan penuntutan yang tepat dan benar. sebab kesalahan penuntutan akan berakibat fatal yaitu gagalnya penuntutan yang berakibat pelaku bebas.

mengenai tujuan ketiga yakni melakukan pemeriksaan dan membuat dan menemukan putusan menjadi tugas hakim dipengadilan. pemeriksaan harus jujur dan tidak memihak dan putusannya pun harus putusan yang adil bagi semua pihak.

tujuan teakhir dari HAP adalah melaksanakan eksekusi putusan hakim, yang secara administratif dilakukan oleh jaksa akan tetapi secara operasionalnya dilakukan dan menjadi tugas lembaga pemasyarakatan kalau putusan itu putusan pidana penjara, namun jika putusanya pidana mati maka langsung dilakukan oleh regu tembak yang khusus disiapkan untuk itu.

C. Ilmu-ilmu bantu Hukum Acara Pidana
untuk mencapi tujuan hukum acara pidan tidak mudah dilakukan tanpa ada ilmu-ilmu yang membenatu dalm menemukan kebenaran. ilmu-ilmu ini akan sangat berguna bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara ,hakim maupun petugas lembaga pemasyarakatan) oleh karena itu bagi aparat penegak hukum wajib membekali diri dengan pengetahun dari berbagai ilmu bantu.

ilmu-ilmu bantu yang dimaksud adalah:
1. Logika.
ilmu bantu logika sangatdibutuhkan dalam proses penyidian dan proses pembuktian disidang pengadilan. kedua proses ini memerlukan cara-cara berpikir yang logis sehingga kesimpulan yang dihasilkan pun dapat dikatakan logis dan rasional.

2. Psikologi
sesuai dengn materi pokok ilmu ini, mak ilmu ini dapat berguna didalam menyentuh persoaln-pesoalan kejiwaan tersangka. hal ini sangat membantu penyidik dalam proses interograsi. dan hakim dapat memilih bagaimana dia harus mengajukan pertanyaan sesuai dengan kondisi kejiwaan terdakwa.

3. Kriminalistik
Peranan ilmu bantu kriminalistik ini sangat berguna bagi proses pembuktian terutama dalam melakukan penilaian fkta-fkta yang terungkap didalam sidang, dan dengan ilmu ini maka dapat dikonstruksikan dengan sistematika yang baik sehingga proses pembuktian akan lebih dapat dipertanggungjawabkan. ilmu ini yang banyak dipakai adalah ilmu tentang sidik jari, jejak kaki, toxikologi (ilmu racun) dan sebagainya.

4. Kedikteran Kehakiman dan Psikiatri
kedokteran kehakiman dan psikiatri sngat membantu penyidik,JPU dan hakim didalam menangani kejahatan yang berkaitan dengan nyawa atau bdan seseorang atau keselamatan jiwa orang.dalam hal ini hakim memerlukan keterangan dari kedokteran dan psikitri. dan ketika da yang menjelaskan tentang istilah istilah medis hakim jaksa dn pengacara tidak terlalu buta.

5. Kriminologi
Ilmu ini mempelajari seluk beluk tentang kejahatan baik sebab sebab dan latar belqkang kejahatanya maupun mengenai bentuk-bentuk kejahatan. ilmu akan membentu terutm pda hakim dalam menjatuhkan putusan tidak membabi but, harus melihat latar belakang dan sebab sebab yang menjadikan pelaku melakukan tindak pidana.

6. Penologi
ilmu ini sangat membantu hakim dalam menentukan alternatif penjatuhan hukuman termnasuk juga bagi petugs pemsyarktan jenis pembinaan apa yng tepat bgi nara pidana.



D. Istilah-Istilah umum dalam KUHAP
istilah-istilah umum dalam hukum acara pidana da disebutkan secara rinci dalam pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 1981 atau KUHAP.

E. Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana
Asas-asas yang berlaku dalam Hukum cara Pidana ada yang bersifat umum dan bersifat Khusus. yang bersifat umum berlaku pada seluruh kegiatan peradilan sedangkan yang bersifat khusus berlaku hanya didalam persidangan saja.
1. Asas-asas umum
a. Asas Kebenaran Materiil
bahwa pada pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan kepada penemuan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang sungguh sungguh sesuai dengan kenyataan.
prinsip ini terlihat dalam proses persidangan, bahwa walaupun pelku sudah mengakui kesalahannya namun belum cukup dijadikan alasan untuk menjatuhkan alasan. beda dengan di amerika.

b. Asas Peradilan Cepat, sederhana dan biaya murah.
peradilan cepat artinya. dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselenggarakann sesederhana mungkin dan dalam waktu yang sesingkat-singktnya.
Sederhana mengandung arti bahwa agar dalam penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan cara simple singkat dan tidak berbelit-belit.
Biaya murah berarti, penyelenggaraan peradilan ditekan sedemikian rupaagar terjangkau bagi pencari keadilan
hal ini ada didalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman pada pasal 4 ayat (2).

c. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion of inocene)
Asas praduga tak bersalah ini menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. pada semua tingkatan berlaku hal yang sama, implementasinya dapat ditunjukan ketika tersangka dihdirkan disidang pengadilan dilakukan dengan tidak diborgol

prinsip ini dipatuhi karena telah tertunag dalam UU No. 4 tahun 2004 pasal 8 yang mengatkan “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dituntut dn dihadapkan didepan pengadilan wjib dianggap tidak bersalah sebelum ad putusan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Asas lain yang sungguh berbeda dengan asas ini adalah sas praduga bersalah (Presmtion of Qualty) asas ini menjelaskan sebaliknya.

d. Asas Inquisitoir dan Accusatoir
asas Inquisitoir adalah asas yang menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia dan tertutup. asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperoleh hak sama sekali. seperti Bantuan hukum dan ketemu dengan keluarganya.

asas accusatoir menunjukkan bahwa seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai subyek. asas ini memperlihatkan pemerinsaan dilakukan secara terbuka untuk umum. dimana setiap orang dapat menghadirinya.

diIndonesia memakai asas Inquisatoir yang diperlunak atau dapat pula dikatakan Campuran. karena terdakwa masih menjadi obyek pemeriksaan namun dapt dilakukan secr terbuka dan terdakwa dapat berargumen untuk membela diri sepanjang tidak melanggar undang-undang, dan prinsip ini ada pada asas accusatoir.

e. Asas Legalitas dan sas oportunitas
asas legalitas adalah asas yang menghendaki bahw penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dn bgimana keadaan pelakunya.

asas oportunitas adalh memberi wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku dengan lasan kepentingan umum. inilah yang dianut Indonesia contohnya seseorang yang memiliki keahlian khusus, dan hanya dia satu-satunya di negara itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut.

2. Asas-asas Khusus
asas khusus ini hanya berlaku didalam persidangan saja. asas-asas yang dimaksud adalah:
a. Asas sidang terbuka untuk umum
maksud dari asas ini adlh bahwa dalam setiap persidangan harus dilakukan dengan terbuka untuk umum artinya siapa saja bisa menyaksikan, namun dalam hal ini ada pengecualianyya yaitu dalam hal kasus-kasus kesusilaan dan kasus yang terdakwanya adalah ank dibawah umur. dalam hl ini dapat dilihat dalam pasal 153 (3 dan 4) KUHAP yang mengatakan “ untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dn menytakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan tau terdakwanya nk-anak”.

“tidak dipenuhinya ketentuan ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

b. Peradilan dilakukan oleh hakim oleh karena jabatannya.
asas ini menghendaki bahwa tidak ada sutu jabatan yang berhak untuk melakukan peradilanatau pemeriksaan hingga mengambil putusan kecuali hanya diberikan pada hakim.

c. Asas Pemeriksaan langsung
Prinsip ini menghendaki agar pemeriksaan yang dilakukan itu harus menghadapkan terdakw didepan sidang pengadilan, termasuk pula menghdapkan seluruh saksi-saksi yang ditunjuk. langsung artinya hakim dan terdakwa ataupun para saksi berada dalam sidang yang tidak dibatasi oleh suatu tabir apapun..

namun dengan perkembangan tegnologi hal ini mungkin saja disimpangi krena sekarang sudah ada telekompren.









































BAB II
PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

Hukum acara pidana mengenal beberapa tahapan dalam menyelesaiakan perkara pidana, sekalipun secara tegas tidak ditentukan didalam KUHAP, namun berdasarkan rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHAP maka beberapa ahli hukum acara pidana yang ditemukan dalam berbagai literatur membagi tahapan itu menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu:
1. Tahapan pemeriksaan Pendahuluan,
2. Tahapan Penuntutan dan
3. Tahapan pemeriksaan disidang pengadilan.

Menurut S Tanusubroto yang dimaksud dengan Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan sebelum dilakukan di muka persidangan pengadilan. Seperti halnya dengan yang disampaikan oleh Soedjono D. yaitu Pemeriksaan yang dilakukan apabila ada persangkaan, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan sebelum pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan.

A. Tentang Penyelidikan.
Definisi dari Penyelidikan adalah ada didalam ketentuan umum Pasal 1 butir 5 yang menjelaskan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiw yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini (KUHAP).

pertanyaannya sekarang adalah siapa yang berwenang melakukan penyelidikan itu ? jika memperhatikan pasal 4 KUHAP yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah “setiap Pejabat polisi negara Republik Indonesia”. dalam pasal ini ditegaskan hanya polisilah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan pejabt diluar kepolisian tidak diperkenankan oleh undang-undang begitu pula jaksa.

dalam pasal 5 KUHAP diatur kewenangan penyelidik meliputi:
1. Kewenangan berdasarkan Kewajiban (Hukum)

a. Menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentng adanya tindak pidana;
b. mencari keterangan dan barang bukti;
c. menyryh berhenti seseorang yang dicurigai dn menanyakan serta memeriksa tnda pengenal diri;
d. mengadakn tindkan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

A.d.a. Kewenangan menerima laporan dan pengaduan
informasi awal adnya tindak pidana biasanya berasal dari msyarakat, sehingga dengan dasarinilah penyelidik mengambil tindakan berikutnya sesuai kewenangannya. jika ada laporan atau pengaduan mka penyelidik wajib untuk menerimanya.

beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyampaikan laporan dan pengduan yang harus dipenuhi yaitu:
jika laporan pengaduan dilakukan secara tertulis maka harus ditndatangni oleh pelapor dan pengadu;
jika laporan dan pengaduan diajukan secara lisan harus dictat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor/pengadu dan penyelidik;
jika pengadu dan pelapor tidak dapat menulis, hal itu harus dicatat dalam laporan atau pengaduan (pasal 103)

yang membedakan antara laporan dan pengaduan adalah:
Laporan dapat disampaikan oleh setiap orang dan merupakan kewajibannya, sementara pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang tertentu saja buka kewajibanny tapi merupakan hak.

dari segi obyeknya, laporan obyeknya adalah setiap delik/tindak pidana yang terjadi tidak ada pengecualiannya, jadi hal ini berkenaan dengan delik biasa. sementara pengaduan, obyeknya terbatas pada delik-delik aduan saja.

Dari segi isinya, laporan berisi tentang pemberitahuan tanpa disertai permohonan, sedangkan pengaduan isinya pemberitahuan disertai dengan permohonan untuk segera melakukan tindakan hukum.

Dari segi Pencabutan, Laporan tidak dapat dicabut kembali sementara pengaduan dapat dicabut kembali.

A.d.b.Wewenang Mencari Keterangan dan barang bukti
mencari keterangan dan barang bukti ini adalah dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan berupa fakta sebagai landasan hukum guna memulai proses penyidikan.

dalam mencari dan memperoleh barang bukti hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang profesional dan berdasarkan ilmu penyelidikan dan tidak terkesan yang penting untuk mengejar target penyelidikan saja.

yang dimaksud barang bukti adalah barang yang digunakan untuk melakukan atau yang berkaitan dengan tindak pidana.

sedangkan alat bukti disebutkan dalam pasal 184 KUHAP yaitu:
 Keterangan saksi
 Keterangan ahli
 Surat
 petunjuk
 keterangan terdakwa

A.d.c. Kewenangan menyuruh berhenti
kewenangan ini penting dimiliki oleh penyelidik , karena berkaitan dengan adanya orang yang dicurigai yang mengharuskan penyelidik mengambil tindakan memberhentikan guna melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan.

namun dalam hal orang yang dicurigai tidak mengindahkan peringatan penyelidik maka penyelidik pun tidak dapat melakukan upaya paksa yang dibenarkan undang-undang. karena kalau akan melakukan penangkapan harus ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi misalnya adanya surat perintah penangkapan.

A.d.d. Kewenangan penyelidik mengenai melakukan tindakan lain.
Kewenangan ini dalah kewenangan yang kabur dan tidak jelas dalam pasal 5 ayat 1 huruf a angka 4 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik guna kepentingan penyelidikan dengan syarat:
 tidak bertentangan dengan aturan hukum
 selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukanny tindakan jabatan
 tindkan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya
 atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
 menghormati hak asasi manusia.

meskipun telah dijelaskan dalam penjelasan tersebut namun belum memberikan penjelasan yang memuaskan, dan par ahli hukum pun msih berbeda-beda untuk memberikan contoh konkritnya.

2. Kewenangan berdasarkan Perintah Penyidik.
Kewajiban dan wewenang penyelidik ini muncul manakala ada perintah dari penyidik.

tindakan-tindakan yang dimaksud berupa:
 penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
 pemeriksaan dan penyitaan surat
 mengambil sidik jari dan memotret seseorang
 membawa dan menghadapkan seseorang pada penyelidik.

B. Tentang Penyidikan
Kata Penyidikan hampir mirip dengan penyelidikan namun sesungguhnya itu sangat berbeda.
penyidikan diatur dalam pasal 102-136 bagian kedua BAB XIV KUHAP, penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam pasal 6-13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP.

perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. penyelidikan pejabat yang melaksanakanya adalah yang terdiri dari pejabat POLRI saja, sedangkan Penyidikan, pejabat yang terdiri POLRI dan Pejabat Pegawai Negeri sipil (PPNS) tertentu.

perbedaan lainnya dari segi penekanannya, Penyelidikan penekanannya pada “mencari dan menemukan sesuatu peristiwa” yang diduga sebgai tindakan pidana. sedangkan Penyidikan penekanannya pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang,

dari segi pangkat pejabat polri, penyelidikan adalah mereka yang memiliki pangkat Pembantu Letnan dua, sedangkan untuk Penyidik adalah pembantu letnan satu keatas.

adapun kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan dapat ditemukan dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
1. menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang danya tindak pidana
2. melakukan tindakan pertama pada saat ditempatkejadian TKP
3. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tnda pengenal diri tersangka;
4. melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6. mengmbil sidik jari dan memotretseseorang;
7. mendatangkan orang ahli diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksan perkara;
8. mengadakan penghentian penyidikan
9. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

kewenangan penyidik ini terlihat lebih luas dari kewenangan penyelidik

yang perlu dijelaskan disini adalah mengenai Penghentian penyidikan, dan dalam hal apakah seorang penyidik mengentikan penyidikannya ? pertanyaan ini dapat dijawab dengn pasal 109 ayat (2) KUHAP, berdasarkan psal ini dapat dikemukakan bahwa penyidik harus menghentikan penyidikan jika:
a. apabila ternyata tidak cukup bukti untuk melnjutkan pekerjannya kepengdilan untuk diadili;
b. apabila tindakan yang dialkukan oleh seorang tersangka itu ternyata bukan merupakan suatu tindk pidana dan;
c. apabila penyidikan tersebut memang perludihentikan demi hukum.

dengan adanya penghentian penyidikan ini mengandung konsekuensi yuridis, sebab orang yang yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut kemudian diberi hak oleh undng-undang untuk dapat:
a. mengajukan permintaankepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah dan tidaknya penghentian penyidikan yang telah dilakukan penyidik terhadap dirinya.
b. mengjukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri untuk mendapatkan gnti rugi dan atau rehabilitasi sebagai akibat dri sahnya penghentian penyidikan yang telah diajukan kepada ketua pengadilan negeri tersebut (pasal 81 KUHAP)


C. Tentang Penangkapan
1. pejabat yang berwenang

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana (pasal 1 butir 20).

berdasarkan bunyi pegertian diatas maka yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik, namun dalam pasal 16 ayat (1) penyelidik dapat juga melakukan penangkapan asalkan terdapat perintah dari penyidik.

2. Tujuan dan alasan penangkapan
tujuan penangkapan disebutkan dalam 16 KUHAP yankni untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan, sementara itu alasan penangkapan ditentukan dalam pasal 17 KUHP yaitu: adanya dugaan keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. ( bukti permulaan yang cukup minimal satu alat bukti dan satu barang bukti)

3. Syarat sahnya penangkapan
adapun untuk syarat sahnya penangkapan diperlukan syarat sebagi berikut:
 dengan menunjukkan surat tugas penangkapan yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu;
 dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan serta tempat ia diperiksa;
 surat perintah penangkapan tersebut harus dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan didaerah hukumnya;
 dengan menyerahkan tembusan surat perintah penngkapan itu kepada keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan.

dalam hal tertangkap tangan maka penangkapan tidak perlu pakai surat perintah, dengan ketentuan bahw penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepadapenyidik ataupenyidik pembantu.


4. Batas waktu penangkapan
penangkapan ditentukan dalam pasal 19 ayat (1) yaitu dilakukan maksimum satu hari. jika lebih dari stu hari maka sudah terjadi pelangaran hukum dan dengan sendirinya penangkapan dianggap tidak sah. atau jika batas waktu itu dilanggar maka tersangka, keluarganya, penasehat hukumnya dapat memintakan pemeriksaan kepada praperadilan. dan sekaligus dapt menuntut ganti rugi.

namun akan jadi msalah jika ksusnya ada di pedalaman, mka untuk jalan keluarnya penangkapan harus dilakukan oleh penyidik sendiri agr pemeriksaannya dapat dilakukan sesegera mungkin ditempat terdekat. atau kalau tidk begitu dapat dilakukan surat perintah menghadap bukan surat perintah penangkapan.


D. Tentang Penahanan

1. alasan penahanan
alasan penahanan dibagi dua yaitu alasan obyektif dan alasan subyektif
Alasan Obyektif yaitu: karena undang-undang sendiri yan menentukan tindak pidana man yang akan dikenakan penahanan; hal ini ditentukan dalam pasal 21 ayat 14 ayat (4) KUHAP yaitu:
 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
 perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 335, 351 dan sebagainya.

Alasan Subyektif yaitu: alasan yang muncul dari penilaian subyektif pejabat yang yyang menitikberatka pada keadaan dan keperluan penahanan itu sendiri. hal ini ditentukan dalam dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu:
 adanya dugaan keras bahwa tersangka terdakwa melakukan tindak pidana berdsarkan bukti permulaan yang cukup;
 adanya keadaan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka dan terdakwa kan melarikan diri;
 adanyakekawatiran tersangka atau terdakw merusak dan atau menghilangkan barang bukti dn atau mengulangi tindak pidana.

Pejabat yang berwenang malakukan penahanan adalah:
1. Penyidik
2. Penuntut umum
3. Hakim pengadilan negeri
4. Hakim pegadila Tinggi
5. Hakim mahkamah Agung

dalam waktu penahanan dan perpanjangannya dapat dirangkum dalam tabel dibawah ini:

No Pejabat Penahanan Lama Penahanan Pejabat Perpanjangan Lama Perpanjangan Jumlah
1 Penyidik 20 H Penuntut umum 40 H 60 H
2 Penuntut umum 20 H Ket. PN 30 H 50 H
3 hakim PN 30 H Ket. PN 60 H 90 H
4 Hakim PT 30 H Ket. PT 60 H 90 H
5 Hakim MA 50 H Ket. MA 60 H 110 H
Total 400 H

rupanya penahanan tersebut pada masing-masing tingkatan masih mungkin diperpanjang lagi sebagaimana diatur dalam pasal 29 KUHAP. dalam hal ini perpanjangan dilakukan dalam hal:
 Tersangka atau tedakwa menderita gangguan fisik atau mental berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
 perkara yang diperiksa diancam penjara sembilan tahun atau lebih.

dalam hal ini yang memberikan perpanjangan berbeda dengan pada saat pertama, dapat digmbarkan dalam tabel dibawah ini:

No Pejabat Penahanan Pejabat Perpanjangan Jumlah Perpanjangan Pertama Jumlah Perpanjangan Kedua Jumlah
1 Penyidik Ket. PN 30 H 30 H 60 H
2 Penuntut umum Ket. PN 30 H 30 H 60 H
3 Hakim PN Ket. PT 30 H 30 H 60 H
4 Hakim PT MA 30 H 30 H 60 H
5 Hakim MA Ket. MA 30 H 30 H 60 H
Total 300 H

2. Penagguhan Penahanan

penangguhan penahanan ini sifatnya permohonan, sehingga dikabulkan dan tidaknya sangat tergantung pada pejabat yang menahannya. penangguhan penahanan dalam undang=undang dapat dilakukan dengan jaminan maupun tidak dengan jaminan namun hampir disetiap praktek tidak pernah ada penangguhan yang tidak pakai jaminan.

KUHAP membagi jenis penahanan menjadi 3 yaitu:
a. Penahanan Rumah Tahanan Negara
b. Penahanan Rumah
c. Penahanan Kota (pasal 22 ayat (1))

 pada tahanan rumah tahanan negara maka masa penahanan itu dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,
 untuk tahanan kota pengurangan tersebut seperlima (1/5) dari jumlah lamanya waktu penahanan,
 sedangkan dalam tahanan rumah dikurangkan sepertiga (1/3)

perhitungannya misalkan:
Pidana yang dijatuhkan = 10 bulan
Tahanan Rutan = 9 bulan
Perhitungannya 10 - 9 bulan = 1 bulan

Pidana yang dijatuhkan = 12 bulan
Tahanan Rumah = 8 bulan
Perhitungannya 12 – (1/3 x 8) bulan = 10 bulan

pidana yang dijatuhkan = 11 bulan
tahanan kota = 10 bulan
perhitungannya 10 – (1/5 x 10) bulan = 8 bulan


E. Tentang Penggeledahan

pada prinsipnya tak seorangpun yang boleh dipaksa menjalani gangguan secara sewenang-wenang dan tidak sah terhadap kekuasaan pribadinya, keluarganya, rumahnya atau surat menyuratnya. sekalipun demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan demi kepentingan penyidikan.

KUHAPmembagi penggeledahan menjadi dua yaitu:penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian dan badan. kedua penggeledahan tersebut harus dilakukan oleh oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik. dan dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip atau syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang.
prinsip atu syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan penggeledahan rumah adalah bahwa:
1. Penyidik harus mempunyai surat izin dari ketua pegadilan negeri setempat ( pasal33 ayat (1))
2. setiap memasuki suatu rumah, seseorang penyidik harus menunjukkan tanda pengenal (pasal 125)
3. jika penggeledahan itu dilakukan atas perintah tertulis penyidik maka penyelidik yang menjalankan perintah itu harus menunjukkan surat tugas;
4. Penyidik harus ditemani oleh dua orang saksi dalam hal tersangka ataupenghuninya menyetujuinya, jika yang terakhir ini menolak atau tidak hadir penyidik harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan serta dua orang saksi (pasal 33 ayat (3))
5. pelaksanaan dan hasil dari penggeledahan rumah itu, penyidik harus membuat suatu berita acara dalam dua hari dan turunannya di sampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (pasal 33 ayat (5)).

tempat-tempat yang dikcualikan dan tidak diperkenankan untuk memasukinya adalah:
Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR dan DPR
tempat dmana sedang diadakan /berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.

mengenai penggeledahan badan ini undang-undang tidak menjelaskan, namun dalam hal penggeledahan badan ini termasuk juga pada rongga badan. penggeledahan seorang wanita dilakukan olehseorang wanita juga dalam hal penyidik menganggap perlu untuk menggeledah rongga badan.

F. Tentang Penyitaan

Penyitaan berbeda dengan penggeledahan walaupun sama-sama merupakan upaya paksa, jikia penggeledahan tujuanya untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan, sedangkan penyitaan tujuanya untuk kepentingan pembuktian terutama ditujukan untuk barang bukti dimuka sidang.

penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada tahap penyidikan. sesudah lewat tahap penyidikan tak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk dan atas nama penyidik. karena pasal 38 menegaskan bahwa yang berwenang melakukan penyitaan adalah penyidik.

bentuk-bentuk penyitaan dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. penyitaan biasa atau umum;
2. penyitaan dalam keadaa perlu dan mendesak;
3. penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan.

Penyitaan biasa
penyitaan biasa adalh penyitaan yang menggunakan atau memlalui perosedur biasa yang merupakan aturan umum penyitaan.

adapun tata cara pelaksanaan penyitaan bentuk yang biasa atau umum dilakukan dengan cara:
 harus ada surat izin penyitaan dari pengadilan negeri;
 memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal;
 memperlihatkan benda yang akan disita;
 penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dan dua orang saksi;
 membuat berita acara penyitaan
 membungkus benda sitaan.

Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak

cara ini sebagai pengecualian dari penyitaan biasa, pasal 38 ayt 2 memberikan pengecualian untuk memungkinkan melakukan penyitaan tanpa menggunakan prosedur baku ataudengan memperoleh surat izin dari PN, hal ini diperlukan untuk memberikan kelonggara bagi penyidik untuk bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan.

dalam hal penyitaan tanpa menggunakan izin ini atau dengan katalain penyitaan dalam keadaan perlu dan memaksa, ini hanya dilakukan terhadap benda bergerak dan untuk itu wajib segera dilaporkan kepada ketua pengadilan untuk mendapatkan persetujuan (pasal 38 ayat (2)).

Penyitaan dalam hal tertangkap Tangan
jenis ini juga pengecualian dari penyitaan biasa. penyitaan dalam keadaan tertangkaptangan ini berdasarkan pasal 40 dapt dikenaklan terhadap benda dan alat:
 yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana
 atau benda dan alat yang “patut diduga” telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
 atau benda lain yang dapt dipakai sebagai barang bukti.

berkenaan dengan benda benda sitaan ini perlu juga memperhatikan ketentuan pasal 45 KUHAP sebagai berikut:
1. dalam hal benda sitaan tediri dari benda yang mudah lekas rusak atau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan terlalu lama sampai adanya putusan pengadilan, sehingga dalam kondisi seperti ini sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat mengambil tindakan sebagi berikut:
 apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebutdapat dijual lelang atau diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh tersangka dan kuasanya;
 apabila perkara sudahditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat dijual oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan yang disaksikan terdakwa dan kuasanya.
2. hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti;
3. guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda;
4. benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan ini misalnya narkoba.

adapun tempat penyimpanan barang sitaan adalah rumah penyimpanan benda sitaan negara ataudisingkat dengan sebutan RUPBASAN.

BAB III
PERIHAL TAHAPAN PENUNTUTAN

Ketika pemeriksaan pendahuluan selesai, maka untuk selanjutnya adalah tahapan penuntutan. tahapan ini merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara pidana sebelum hakim memeriksanya di sidang pengadilan.

penuntutan itu sendiri adalah kegiatan melimpahkan perkara pidana kepengadilan. didalam melimpahkan perkara itu tidak sekedar membawa perkara kepengadilan tapi ada beberapa hal yang dilakukan sebelum perkara itu disampaikan kepengadilan.

menurut martiman prodjohamidjoyo, sebelum jaksa melimpahkan perkara pidana kepengadilan dankemudian melakukan penuntutan, ia wajib mengambil langkah-langkah seperti:

1. menerima dan memeriksa berkas perkara;
2. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas kepada penyidik dengan memberikan petunjuk untuk penyempurnanya; ( waktunya 7 hari untuk wajib memberi tahukankekurangannya)
3. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4. membuat surat dakwaan
5. melimpahkan perkara kepegadilan;
6. menyampaikan pemberitahuan kepada ersangka tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada tedakwa maupun saksi-saksi;
7. melakukan penuntutan;
8. menutup perkara demi kepentingan hukum;
9. melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggungjawab sebagi penuntut umum;
10. melaksanakan putusan hakim.

A. Pra Penuntutan

istilah Pra penuntutan ada dalam pasal 14 KUHAP “ mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuarangan pada penyidikan dengan memperhatikanketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaanya penyidikan dari penyidik.

waktu yang diberikan kepada penuntut umum untuk “meneliti dan mempelajari” adalah 7 hari.


B. Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkar pidna kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurt cara yang diatur oleh undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan. menurut Wirjono menuntut seorang tedakwa dimuka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.
tujuan melakukan penuntutan adalah untuk mendapatkan penetapan dari penuntut umum, tentang adanya alasan yang cukup untuk menuntut seseorang terdakwa dimuka hakim.
penuntut umumberwenang melakukan peuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepengadilan yang berwenang mengadili (pasal 237)
yang dimaksud dengan “daerah hukum” daerah dimana menjadi kewenangannya dalam melakukan penuntutan. daerah hukum atau wilayah hukum kejaksaan negeri adalah sama dengan daerah hukum atau wilayah hukum pengadilan negeri.
wilayah suatu pengadila negeri adalah Kabupaten/kota.
pasal 141 menentukan bahwa penuntut umum dapat menggabungkan perkara dan membuatnya satu surat dakwaan, apabila pada waktu dan saat yang sama atu hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas. penggabungan perkaraini dapat dilakukan apabila memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang. yaitu:
1. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan hlangan terhadap penggabungannya;
2. beberapa tindak pidanana yang bersangkut paut satu dengan yang lain;
3. bebrapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dlam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

bahwa yang dimasud dengan bersangkut paut satu dengan yang lain itu apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
1. oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
2. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat mereka sebelumnya;

namun dalam pasal 142 justru memungkinkan melakukan pemisahan perkara, dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa perkara. seperti kasus terorieme dan korupsi yang melibatkan banyak pejabat misalnya

Menghentikan Penuntutan
menghentikan penuntutan berarti telah terjadi penuntutan namun karena terdapat beberapa hal seperti terdapat dalam pasal 140 ayat (2), karena tidak cukup bukti, ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum.

C. Surat Dakwaan

Ketika penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat suatdakwan dan setiap penuntut umum melimpahan perkara kepengadilan selalu disertaidengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dipengadilan.

KUHAP tidak menyebutkan pengertian surat dakwaan, KUHAP hanya menyebutkan ciri dan isi dari surat dakwaan itu seperti disebutkan dalam pasal 143 ayat (2) yakni.... surat dakwaan yang diberi tangal dan ditandatangani serta berisi:
1. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Bentuk Surat Dakwaan

surat dakwaan dapat disusun dalam berbagai bentuk tergantung kepeda perkara yang terjadi. oleh karena itu bentuk dakwaan dapat dibagi menjadi empat macam:
1. Dakwan yang disusun secara tunggal (dakwaan tunggal)
dakwaan ini dibuat untuk menuntut satu orang atu lebih yang dituduh melakukan satu perbuatanpidana saja, misalnya terdakwa hanya melakukan perbuatan pencurian (biasa) pasal 362 KUHP;

2. Dakwaan Kumulatif
dakwaan ini dibuat untuk menuntut seorang terdakwa atau lebih yang melakukan lebih dari satu perbuatan pidana, misalnya: disamping i melakukan perbuatan pencurian, ia pula membawa senjata api tanpa izin yang berwajib, artinya terdakwa (terdakwa-terdakwa) didakwa melakukan dua macam perbuatan pidana sekaligus. biasanya dakwaan ini ditandai dengan memberikan nomor urut dari dakwaan misalnya kesatu, kedua dan seterusnya.


3. Dakwaan Secara Alternatif
dakwaan ini menurut Prof. Bambang Purnomo dibuat untuk menentukan perkara pidana yang terdapat keraguraguan mengenai jenis perbuatan pidana mana yang paling tepat, sehingga dalam penuntutan diserahkan kepada pengadilan untuk memilih secara tepat berdsarkan hasil pembuktian sidang agar mendapat putusan satu jenis perbuatan pidana saja dari beberapa jenis yang dituduhkan. misalnya keragu-raguan untuk menuduh dengan dakwaan “kejahatan pencurian “ ataukah “kejahatan penggelapan”, dengan menunjuk kata “atau” di antara perbuatan-perbuatan yang dituduhkan dari dua pokok perbuatan.

4. Dakwaan secara Subsidair
dakwaan ini disusun untuk menuntut perkara pidana lebihdari satu dakwaan yang disusun dengan mempertimbangkan bobot pidana, pidana yang berat ditempatkan pada deretan pertama yang disebut sebagai dakwaan primer, kemudian disusul dengan dakwan yang lebih ringan sebagai dakwan subsidair. mungkin masih ada lagi yang lebih ringan dengan dakwaan Lebih subsidair dan seterusnya.

sebagai contoh dakwaan subsidair dalam kejahatan yang serupa, misalnya: untuk kasus “pembunuhan berencana” yang bobotnya lebih tinggi/tertinggi, ditempatkan lebih dahulu sebagai dakwaan primer. kemudian untuk “pembunuhan dengan sengaja”yang bobotnya lebih rendah ditempatkan pada dakwaan subsidair, seterusnya untuk “penganiayaan yang mengakibatkan mati” bobotnya lebih rendah lagi ditempatkan sebagaio dakwaan lebih Subsidair.

penempatan dakwaan primer, subsidair dan lebih subsidair dimaksudkan agarhakim memeriksa dakwaan primer dahulu, dan jika dakwaan primersudah terbukti maka dakwaan yang lain tidak perlu dibuktikan, namun jika dakwaan primer tidak terbukti maka hakim harus memeriksa dakwaan subsidair begitu seterusnya.

























BAB IV
PERIHAL PEMERIKSAAN DAN PUTUSAN PENGADILAN

A. Kompetensi Pengadilan Pidana
kompetensi pengadilan pidana atau sering disebut juga wewenang pengadilan untuk mengadili perkara pidana yang diajukan kepadanya. kompetensi pengadilan dalam teori dibagi dalam dua bagian yakni kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

1. Kompetensi Absolut (pertanyaanya adalah Pengadilan apa?)
kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara berdasarkan atas tingkatan pengadilan lain. tingkatan pengadilan sebagaimana yang dikenal selama ini adalah pengadilan tingkat pertama (PN) dan pengadilan tingkat kedua (PT dan MA) sementara jenis-jenis pengadilan adalah Peradilan Umum, peradilan militer, PTUN dan Pengadilan Agama.

atas dasar tinghkatan dan jenis pengadilan inilah maka kewenangan masing-masing pengadilan itu berbeda satu dengan yang lain tedapat beberapa prinsip yang memperlihatkan kewenangan masing-masing.

prinsip pertama: Pengadilan Negeri (PN) berwenang mengadili semua perkara pidana yang belum pernah diadili dan belum memperoleh putusan
Prinsip kedua: Pengadilan tinggi (PT) berwenang mengadili perkara yang sudah diputus oleh pengadilan negeri.
Prinsip ketiga: Mahkamah Agung (MA) berwenang mengadili perkara pidana yang dimintakan kasasi kepadanya.

2. Kompetensi Relatif (pertanyaannya adalah Pengadilan Mana ? )
kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara berdasarkan wilayah kekuasaanya hukum. wilayah hukum dari satu pengadilan negeri adalah satu wilayah kabupaten/kota.

didalam kompetensi relatif terdapat prinsip-prinsip untuk menentukan adanya kewenangan mengadili. prinsip-prinsip tersebuty dapat diketemukan dalam berbagi pasal dalam KUHAP yakni sebagai berikut:

Prinsip Pertama

prinsip ini dapat dijumpai didalam pasal 84 KUHAP yaitu:
1) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
2) Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagaian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
3) apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri tiu masing-msing berwenang mengadili perkara pidan itu;
4) terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkutpautnya dan dilakukan oleh orang yang sama dalam derah hukum berbgi pengadilan negeri, diadili oleh masing-msing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Prinsip kedua
prinsip kedua ini ada dalam pasal 85 KUHAP pasal ini menentukan bahwa didalam hal keadaan daerah tidak mengijinkan suatu pengadilan untuk mengadili suatu perkara, maka ats usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, mahkamah agung mengusulkan kepada menteri kehakiman (menteri yang berwenang kalau tidak ada menteri kehakiman mislnya menteri Hukum dan HAM) untuk menetapkan ataumenunjuk pengadilan negeri lain.

Prinsip Ketiga
Prinsip ketiga ini menentukan bahwa pengadilan yang berwenang mengadili perkara pidana yang dilakukan diluar negeri adalah pengadilan negeri jakarta pusat. hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 86 KUHAP yang bunyinya: apabila seseorang melakukan tindak pidana diluar negeri yang diadili menurt hukum Republik Indonesia maka pengadilan negeri jakarta pusat yang berwenang mengadilinya.

B. Pemeriksaan disidang pengadilan

Proses pemeriksaan perkara disidang pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam pemeriksaan perkara tergantung pada berat dan ringannya perkaranya yaitu:

1. Pemeriksaan dengan acara biasa;
2. pemeriksaan dengan acara singkat;
3. Pemeriksaan dengan Acara cepat.

proses pemeriksaan dengan acara biasa disidang pengadilan dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap yaitu:
a. Tahap pemanggilan
b. Tahap pembacaan surat dakwaan
c. Tahap eksepsi
d. Tahap pembuktian
e. Tahap requisitoir/tuntutan pidana
f. Tahap Pledoi/pembelaan
g. Tahap replik/duplik
h. Tahap putusan hakim.
1. Tahap Pemanggilan
ketika berkas perkara sudah sampai ke Pengadilan, ketua pengadilan menunjukhakim yang akan memeriksa perkara tersebut. selanjutnya hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi-saksi yang akan diajukan ke persidangan

pasal 152 ayat (2) KUHAP mengatakan bahwa pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan dengan suratpemanggilan oleh penuntut umum secara sah, dan harus sudah diterima oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Selanjutnya dalam pasal 146 ayat (1,2) menyatakan bahwa surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa mereka dipanggil.

sementara menurut ketentuan pasal 145 KUHAP bahwa surat panggilan tersebut hanya dapat dipandang sebagai surat panggilan yang sah apabila surat:
• panggilan itu disampaikan kepada terdakwa dialamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, maka disampaikan dialamat kediamannya terakhir;
• apabila terdakwa tidak ada ditempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yangbedaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir;
• dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara;
• penerimaan surat pangilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain, dilakukan dengan tand penerimaan;
• apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman digedung pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya.

setelah pemanggilan dilakukan, ada kemungkinan terdakwa tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan. dalam hal terjadi demikian, maka hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. jika terdakwa tidak di-panggil secara sah hakim ketua sidang menunda sidang dan memerintahkan supaya tedakwa dipanggil sekali lagi.

jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah namun tidak hadir tanpa alasan yang sah pula pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilakukan dan hakim memerintahkan agr terdakwa dipanggil sekali lagi. setelah dipanggil sekali lagi tidak hadir juga maka hakim ketua sidang memerintahkan agr terdakwa dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.


2. Tahap Pembukaan dan Pemeriksaan identitas terdakwa
tahap pemanggilan telah dilakukan dan selanjutnya adalah tahap pembukaan sidang dan pemeriksaan identitas terdakwa, setelah hakim, penuntut umum dan penasehat hukum menempati tempat duduknya masing-masing. hakim ketua kemudian membuka sidang (dengan ketentuan asas sidang dibuka dan terbuka untuk umum) kecuali dalam hal kasus kesusilaan dan terdakwanya anak kecil.

setelah disang dibuka, kemudian hakim memerintahkan kepada penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa dimuka persidangan. dan dalam pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan asas praduga tak bersalah artinya tidak boleh diborgol. setelah terdakwa duduk dimuka sidang maka hakim bertanya kepadanya tentang : Nama, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal terakhir, agama, pekerjaan. setelah itu hakim ketua kemudian bertanya apakah tedakwa dalam keadaan sehat dan siap diperiksa, kalau jawabannya sehat maka pemeriksaan dapat dilangsungkan, lalu hakim mengingatkan kepada terdakwa supayamemperhatikan segal sesuatu yang didengar dan dilihatnya didalam sidang.


3. Tahap Pembacaan Surat Dakwaan
Setelah hakim ketua mengingatkan pada terdakwa maka selanjutnya hakim ketua memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan, dengan dibacakannya surat dakwaan ini maka proses pemeriksan telah dimulai.

Secara singkat Surat dakwaan itu harus memuat secara jelas tentang:
• Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, agama dan pekerjaan tersangka;
• uraian secara singkat, jelas danlengkap perbuatan pidana yang dilakukan dengan menyebutkan waktu dan tempat perbuatan pidana dilakukan.

jika pembuatan surat dakwaan tidak memenuhi syarat tersebut maka suratdakwaan dikatakan batal demi hukum, maksudnya dianggap tidak pernah ada surat dakwaan. untuk menghindari surat dakwaan yang demikian maka diperlukan ketekunan, ketelitian dan kecermatan dalam menyusun surat dakwaan.

surat dakwaan harus dapst dimengerti oleh terdakwa tetapi apabila penuntut umum tekah membacakan surat dakwaan dan kemudian hakim menanyakan isi suray dakwaan itukepada terdakwa, apakah terdakwa sudah mengerti, kalau belum maka hakim memerintahkan kepada penuntut umum untuk membacakan point-point tertentu dan menjelaskannya kepada terdakwa, atauhakim sendiri yang menjelaskannya. Secara lengkap akan diuraikan dalam perdoman proses beracara di Pengadilan Negeri

PROSES PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI
dengan acara biasa
Gatot Sugiharto

A. Personel yang Terlibat dalam Persidangan Pidana
Personel yang terlibat dalam Persidangan Pidana di Pengadilan Negeri adalah:
A.1. Hakim / Majelis Hakim
Pada prinsipnya persidangan pidana dilaksanakan dengan tiga hakim terdiri dari satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Namun dalam hal tertentu dapat terjadi persidangan dilaksanakan dengan satu hakim saja misalnya dalam hal peradilan dengan perkara singkat, cepat. Sedangkan pengertian dari hakim itu sendiri diatur dalam pasal 1 butir 8 yaitu “ Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili “. Mengadili yang dimaksud dalam pasal 1 butir 8 itu adalah “ Serangkaian tindakan Hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang Pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini “(Pasal 1 butir 9 KUHAP).
A.2. Jaksa Penuntut Umum
Seringkali antara jaksa dan penuntut umum diartikan sama. Namun yang sebenarnya berbeda menurut tugas dan wewenangnya, walaupun antara jaksa dan penuntut umum dijabat oleh satu orang. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pengertian serta tugas dan wewenang dari jaksa dan penuntut umum ini adalah sebagai berikut :
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang (KUHAP) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir (6) poin a ).
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang (KUHAP) untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 butir (6) poin b).
A.3. Penasehat Hukum
Penasehat Hukum dalam hal ini dilakukan oleh Sarjana Hukum dengan profesi advokat dan pengacara praktek yang telah memiliki ijin praktek, namun setelah disahkannya Undang-Undang Advokat tidak ada lagi istilah pengacara praktek, yang ada hanya Advokat. Istilah “Penasehat Hukum” merupakan istilah baku sebagai pengganti dari “Pembela” atau “Pengacara” dalam perkara pidana (Al Wisnubroto, 2002:7). Dalam pasal 1 butir 13 disebutkan bahwa “ Penasehat Hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar Undang-Undang untuk memberi bantuan hukum “.
Dalam beracara tugas penasehat hukum mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya dengan klien yang sedang dibelanya dalam perkara tersebut, sehingga akan terjadi keseimbangan dalam persidangan yang akan berpengaruh pada keputusan Hakim yang adil. Jadi jelaslah tugas dari penasehat hukum dalam peradilan adalah memperjuangkan hak-hak tersangka / terdakwa dengan memperhatikan kepentingan masyarakat atau negara demi tegaknya hukum dan keadilan.
A.4. Panitera / Panitera Pengganti
Panitera adalah pejabat pengadilan yang salah satu tugasnya adalah membantu hakim membuat berita acara pemeriksaan dalam proses persidangan (Al Wisnubroto, 2002:7). Oleh karena begitu banyaknya tugas dari panitera ini sangat memungkinkan panitera tidak dapat ikut serta dalam persidangan pidana, maka dengan demikian panitera menunjuk panitera pengganti (PP) sebagai Notulen dalam persidangan pidana, yang tugasnya mencatat setiap kejadian dalam proses persidangan termasuk dalam pokok-pokok dialog antara pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan, misalkan tanya jawab antara hakim, penuntut umum, penasehat hukum dengan saksi dan terdakwa.
A.5. Terdakwa
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di Sidang Pengadilan (pasal 1 butir 15). Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana(pasal 1 butir 14).
A.6. Saksi / Saksi Ahli
Keberadaan saksi dalam persidangan pidana sangat menentukan dalam mencari kebenaran hukum. Menurut pasal 1 butir 26 KUHAP saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Untuk selanjutnya saksi ini memberikan keterangan disidang pengadilan mengenai suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia alami sendiri dan ia lihat sendiri, dan keterangan itu dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana yang diajukan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 butir 27 KUHAP.
Saksi ahli merupakan ahli yang memberikan keterangan di sidang pengadilan pidana berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Dalam ketentuan pasal 1 butir 28 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
A.7. Petugas Pendukung Kelancaran Sidang
A.7.1. Petugas Pengawalan
Tersangka yang akan dihadapkan ke muka sidang dilakukan pengawalan oleh petugas, karena penuntut umum berasal dari kejaksaan maka petugas pengawalan juga dilakukan oleh petugas dari kejaksaan, namun dalam kasus-kasus tertentu yang mengundang perhatian masyarakat maka pengawalan dibantu oleh petugas keamanan dari kepolisian.
A.7.2. Juru Panggil
Juru panggil ini biasanya berasal dari pegawai pengadilan dan atau pegawai kejaksaan, yang tugasnya adalah melakukan pemanggilan terhadap tersangka / terdakwa dan saksi untuk dihadirkan diruang sidang.
A.7.3. Juru Sumpah
Juru sumpah biasanya dilakukan oleh pegawai pengadilan, namun bukan berarti juru sumpah ini secara langsung membimbing sumpah terhadap saksi dan terdakwa tapi biasanya dibimbing oleh hakim yang diikuti oleh saksi dan terdakwa yang sedang disumpah. Jadi tugas juu sumpah ini tugasnya hanyalah mempersiapkan perlengkapan misalnya kitab suci Al Quran untuk yang muslim dan kitab lain sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Namun ketentuan dalam KUHAP ada tempat khusus bagi rohaniawan yang tugasnya menyumpah, namun dengan alasan teknis maka hal itu sampai sekarang belum dapat dilaksanakan.
A.7.4. Petugas Pengawalan
Petugas pengawalan sangat diperlukan dalam proses persidangan pidana khususnya dalam perkara-perkara tertentu yang mengundang perhatian masyarakat, biasanya dalam hal kasus-kasus besar seperti contoh : kasus dengan terdalwa Amrozi tersangka pengeboman di Bali tahun 2002. Petugas pengamanan ini bertugas menertibkan pengunjung diluar dan didalam persidangan agar jalannya persidangan dapat tertib.

B. Tahapan dan Tata Cara Sidang Perkara Pidana di Pengadilan Negeri
UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) secara umum mengatur mengenai tata cara sidang, yang secara garis besarnya proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertam di Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara biasa terdiri dari 4 (empat) tahap, namun seringkali tahapan-tahapan dan tata cara dalam persidangandalam prakteknya disesuaikan dengan keadaan berdasarkan kebijakan hakim / ketua majelis hakim atau atas kesepakatan antara pihak –pihak yang terlibat dalam pemeriksaan perkara pidana, sejauh tidak menyimpang dari asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana. Dan tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
B.1. Sidang Pertama Pada Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim / majelis hakim sidang pemeriksaan perkara pidana dibuka seperti ketentuan dalam pasal 152 dan 153 KUHAP, adapun tata cara dan urutannya adalah sebagai berikut:
A. Hakim / majelis hakim memasuki ruang sidang
Tahap pembukaan dan pemeriksaan identitas tersangka :
1. Yang pertama kali memasuki ruang sidang adalah panitera pengganti, jaksa penuntut umum (perorangan atau tim), penasehat hukum terdakwa dan pengunjung sidang, masing-masing duduk ditempat duduk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
2. Sebagai protokol sidang karena keterbatasan tenaga biasanya dilakukan oleh panitera pengganti, yang mengumumkan bahwa hakim / majelis hakim akan memasuki ruang sidang dengan perkataan kurang lebih sebagai berikut : “ Hakim / Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri “ (Pasal 2 PerMenKeh No.M.06.UM.01.06 Tahun 1983).
3. Semua yang hadir dalam ruang sidang berdiri untuk menghormati hakim / majelis hakim, termasuk jaksa penuntut umum dan penasehat hukum.
4. Hakim / Majelis Hakim memasuki ruang sidang melalui pintu khusus mulai dari yang terdepan hakim ketua diikuti oleh hakim anggota I (Senior) dan hakim anggota II (Junior).
5. Hakim / Majelis Hakim duduk ditempat duduknya masing-masing tersebut diatur sebagai berikut : Hakim Ketua ditengah, dan Hakim Anggota I berada disamping kanan dan Hakim Anggota II berada dikiri.
6. Panitera mempersilahkan hadirin untuk duduk kembali.
7. Hakim ketua membuka sidang dengan kata-kata kurang lebih sebagai berikut :
“Sidang Pengadilan Negeri ….(kota tempat pengadilan berada)… yang memeriksa perkara pidana nomor ….(nomor perkara yang bersangkutan)… atas nama terdakwa … pada hari … tanggal …. Dinyatakan dibuka dan TERBUKA UNTUK UMUM “ , diikuti dengan ketukan palu 3 (tiga).
B. Pemanggilan Tersangka Supaya Masuk Keruang Sidang
1. Hakim ketua bertanya kepada penuntut umum apakah tersangka telah siap untuk dihadirkan pada sidang hari ini. Jika penuntut umum tidak dapat menghadirkan tersangka pada sidang hari ini, maka hakim harus menunda persidangan pada hari yang akan ditetapkan dengan perintah kepada penuntut umum supaya memanggil dan menghadapkan tersangka.
2. Jika penuntut umum telah siap untuk menghadirkan tersangka, maka ketua memerintahkan supaya tersangka dipanggil masuk.
3. Penuntut umum memerintahkan pada petugas agar tersangka dibawa masuk diruang sidang.
4. Petugas membawa masuk tersangka keruang sidang dan mempersilahkan tersangka untuk duduk dikursi pemeriksaan. Jika tersangka tersebut ditahan, maka biasanya dari ruang tahanan pengadilan keruang sidang dikawal oleh petugas pengawalan, sekalipun demikian tersangka harus dihadapkan dalam keadaan bebas (tidak diborgol). Ini adalah salah satu penghormatan satu asas yaitu Presamtion of Inocence (asas praduga tidak bersalah).
5. Setelah tersangka duduk dikursi pemeriksaan, hakim ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
a. Apakah tersangka dalam keadaan sehat dan siap untuk diperiksa ?
b. Identitas tersangka (nama,umur,alamat,dan lain-lain) sebagaimana tersebut dalam pasal 155 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya hakim menginggatkan tersangka untuk agar memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam persidangan.
6. Hakim bertanya apakah tersangka akan didampingi oleh penasehat hukum.
a. Jika tersangka tidak didampingi penasehat hukum, maka hakim menegaskan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum, akhirnya tersangka diberi kesempatan untuk mengambil sikap menyangkut apakah akan maju sendiri, mengajukan permohonan agar pengadilan menunjuk penasehat hukum yang mendapinginya dengan cuma-cuma (Prodeo). Atau minta waktu untuk menunjuk penasehat hukum sendiri.
b. Jika tersangka didampingi oleh penasehat hukum maka selanjutnya hakim menanyakan pada penasehat hukum apakah benar dia bertindak sebagai penasehat hukum tersangka, lalu menanyakan surat kuasa khusus dan ijin praktek advokat, setelah ketua melihat lalu ketua menunjukkan pada hakim anggota perihal dokumen tersebut.
C. Pembacaan Surat Dakwaan
1. Hakim ketua sidang meminta kepada tersangka untuk mendengarkan secara seksama pembacaan surat dakwaan dan selanjutnya mempersilahkan pada penuntut umum membacakan surat dakwaan.
2. Mengenal tata cara pembacaan surat dakwaan ada dua cara, cara pertama jaksa membaca dengan berdiri dan kedua dengan cara duduk, namun yang sering dipakai adalah cara pertama alasannya adalah untuk menghormati sidang. Jika dakwaan panjang maka dapat dibaca bergantian (dalam hal penuntut umumnya lebih dari satu).
3. Setelah selesai pembacaan surat dakwaan, maka status tersangka seketika itu juga berubah menjadi terdakwa.
4. Selanjutnya hakim ketua menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham / mengerti tentang apa yang telah didakwakan padanya. Apabila terdakwa tidak mengerti maka penuntut umum harus membacakan kembali.
D. Pengajuan Eksepsi (Keberatan)
1. Setelah terdakwah menyaakan paham dan mengerti tentang maksud dakwaan, maka terdakwa puya hak untuk mengajukan eksepsi (keberatan yang menyangkut kompetensi pengadilan.
2. Tata caranya, hakim memberi kesempatan pada terdakwa untuk menanggapi berikutnya kesempatan kedua diberikan kepada penasehat hukumnya.
3. Apabila ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya tidak mengajukan eksepsi maka sidang dilanjutkan pada tahap pembuktian.
4. Apabila terdakwa/penasehat hukumnya akan mengajukan eksepsi, maka ketua menanyakan pada terdakwa dan penasehat hukumnya pakah sudah siap dengan nota eksepsi.
5. Kalau ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya belum siap maka hakim memberikan kesempatan untuk mengajukan pada sidang kedua, dan sidang di tunda untuk memberi kesempatan pada terdakwa dan penasehat hukumnya.
6. Kalau eksepsi sudah siap, hakim mempersilahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya untuk membacakan eksepsinya.
7. Pengajuan eksepsi dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis.
8. Apabila eksepsi tertulis, setelah dibacakan maka eksepsi tersebut diserahkan kepada hakim dan salinannya diserahkan pada penuntut umum.
9. Dalam hal pembacaan surat dakwaan berlaku juga bagi terdakwa dalam membacakan eksepsi.
10. Eksepsi dapat diajukan oleh penasehat hukum saja dalam hal terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya pada penasehat Hukumnya, dapat juga kedua-duanya mengajukan eksepsi menurut versinya masing-masing.
11. Apabila kedua-duanya akan mengajukan eksepsi maka kesempatan pertama diberikan pada penasehat hukumnya.
12. Setelah selesai terdakwa/penasehat hukumnya membacakan eksepsi, hakim ketua memberi kesempatan pada penuntut umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi (Replik).
13. Atas tanggapan tersebut, hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa/penasehat hukum untuk memberikan tanggapan sekali lagi (Duplik).
14. Atas eksepsi dan tanggapan-tanggapan tersebut, hakim meminta waktu untuk memeprtimbangkan dan menyusun “putusan sela”.
15. Apabila majelis hakim berpendapat bahwa pertimbangan untuk memutuskan eksepsi tersebut mudah/sederhana maka sidang apat diskors selama beberapa waktu untuk menentukan putusan sela.
16. Tatacara skorsing sidang ada dua macam yaitu;
a. Cara 1: Mejelis hakim meninggalkan ruang sidang untuk membahas/memeprtimbangkan putusan sela di ruang hakim, sedangkan penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum serta pengunjung tetap berada di ruang sidang.
b. Cara 2 : hakim tetap berada diruang sidang, jaksa penutut umum, penasehat hukum, dan pengunjung di mohon keluar (cara inilah yang sering dipakai).
c. Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan wkatu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.
17. Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan waktu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.
E. Pembacaan/pengucapan putusan sela
1. Setelah hakim mencabut, maka sidang dibuka kembali dengan acara pembacaan/pegucapan putusan sela.
2. Tata cara pembacaan putusan sela tersebut dibacakan dan diucapkan oleh hakim ketua sambil duduk dikursinya, dalam hal putusan sela tersebut panjang, dimungkinkan putusan sela dibaca secara bergantian dengan hakim anggota pembacaan amar putusan diakhiri dengan ketokan palu sebanyak 1 (satu) kali.
3. Putusan sela biasanya menyangkut 3 kemungkinan yang secara garis besarnya sebagai berikut;
a. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum diterima, sedangkan pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan/harus dihentikan.
b. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum ditolak maka sidang perkara tersebut dilanjutkan.
c. Eksepsi terakwa/penasehat hukum baru dapat diputus.
4. Setelah putusan sela selesai dibacakan hakim ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus menyampaikan hak penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum untuk mengambil sikap menerima putusan sela tersebut atau akan mengajukan perlawanan.


B.2. Sidang Pembuktian dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Setelah putusan sela dibacakan dan ternyata sidang harus dilanjutkan maka tahap selanjutnya adalah sidang pembuktian, yakni pemeriksaan terhadap alat buktian barang bukti. Berdasarkan paal 184 KUHP yang masuk sebagai alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan pengertian barang bukti adalah suatu barang/benda yagn dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya barang yang merupakan obyek delik, hasil delik maupun alat/sarana untuk melakukan delik (Al. Wisnubroto, 2002;15). Dalam keseluruhan proses, yang paling penting adalah tahap/proses pembuktian ini, karena pembuktian ini nantinya akan dijadikan daar pertimbangan hakim dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak serta sebagai dasar pemidanaan.

Sebelum acara pembuktian dimulai, hakim mempersilahkan terdakwa supaya duduk di kursi terdakwa. Proses dan prosedur pembuktiannya adalah sebagai berikut;
A. Pengajuan saksi yang memberatkan (saksi A charge) oleh jaksa penuntut umum.
1. Hakim ketua bertanya pada penuntut umum, apakah telah siap untuk menghadirkan saksi-saksi pada sidang hari ini.
2. Apabila penuntut umum sudah siap, maka hakim segera memerintahkan pada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi satu demi satu orang saksi ke ruang sidang (pasal 160 KUHP). Menurut pasal 159 KUHP, sebelumnya hakim memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu sama yang lain sebelum memberikan keterangan di sidang.
3. Saksi yang pertama kali dihadirkan adalah saksi korban, setelah itu baru saksi-saksi yang lain yang berhubungan dengan perkara. Saksi dapat yang sudah ditentukan dalam surat pelimpahan dapat juga saksi tambahan.
4. Tata cara pemerikaan saksi
a. penutut umum menyebutkan nama saksi yang akan diperiksa
b. petugas membaca saksi masuk ke ruang sidang dan memeprsilahkan saksi duduk dikursi pemeriksaan.
c. Hakim ketua bertanya pada saksi tentang
1. identitas saksi (nama, umur, alamat, pekerjaan dan lain-lain)
2. Apakah saksi kenal dengan terdakwa.
3. Apakah saksi memiliki hubungan darah dengan terdakwa, apakah saksi memiliki hubungan suami/istri dengan terdakwa atau dalam hubungan apa saksi dengan korban.
5. Hakim meminta agar saksi bersedia disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
6. Tata cara pelaksanaan sumpah yang biasa dilakukan di pengadilan negeri adalah;
a. saksi dipersilahkan untuk berdiri
b. bagi yang beragama Islam, aksi berdiri dan di atas kepalanya ditaruh kitab suci Al Quran. Untuk beragama Kristen/Katolik petusa membacakan ijil (Alkitab) disebalah kiri saksi saksi, pada saat pengucapan supah tangan kiri diletakkan di atas kitab dan tangan kanan diangkat dengan mengacungkan jari telunjuk (bagi agama katolik) dan bentuk V bagi agama kristen.
c. Mengenai lafal sumpahnya dibimbing oleh ketua majelis hakim.
d. Lafal sumpah bagi saksi adalah sebagai berikut, “saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya” (tim peneliti/pemeriksa buku II, Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi pengadilan buku II, proyek pembinaan teknis yustisial Mahkamah Agung RI, 1997;166-167).
e. Untuk saksi yang beragama Islam, lafal sumpah tersebut diawali dengan : Wallahi/demi Allah”, untuk sak yang beragama katolik dan kristen protestan lafal sumpah (janji) tersebut diakhir dengan ucapan … semoga Tuhan menolong saya”, untuk saksi yagn beragama Hindu lafal sumpah diawali dengan kata “ Om atah parama wisesa …”, untuk saksi yang beragama Budha sumpah diawali dengan ucapan “demi Sang Hyang Adi Budha …” (Al Wisnu Broto, 2002:17).
7. Setelah pengucapan sumpah selesai, Hakim mempersilahkan saksi duduk kembali dan mengingatkan agar memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya karena sudah terikat dengan sumpah. Dan memberikan keterangan brdasarkan apa yang dialami sendiri, dilihatnya sendiri dan didengarnya sendiri.
8. Selanjutnya Hakim mempersilahkan jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi, dan saksi menjawab dengan berdasarkan apa yang dialami sendiri, rasakan sendiri dan lihat sendiri.
9. Setelah jaksa menganggap selesai dalam mengajukan pertanyaan, maka jaksa mengembalikan kepada hakim, lalu hakim mempersilahkan kepada Penasehat Hukum untuk mengajukan pertanyaan.
10. Namun sering terjadi hakim juga ikut mengajukan pertanyaan kepada saksi, padahal seharusnya tidak demikian karena hakim fungsinya sebagai wasit bukan sebagai pemain, kalau hakim ikut bermain logikanya sangat wajar kalau terdakwa/penasehat hukumnya merasa dikerosak oleh hakim dan jaksa penuntut umum.
11. Setelah pertanyaan dari jaksa penuntut umum dan penasehat hukum dianggap selesai maka hakim harus menanyakan kepada terdakwa, “apakah keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut ebnar atau ada sanggahan? “ apakah keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut benar atau ada sanggahan? “apabila terdakwa menganggap benar maka tidak perlu lagi ditanya mana yang benar, namun jika terdakwa mengatakan ada yang tidak benar maka terdakwa diminta untuk memberikan mana yang dianggap tidak benar.
12. Untuk saksi berikutnya juga sama dalam pemeriksaannya seperti yang diatas, pemeriksaan saksi ini sesuai dengan jumlah yang diajukan jaksa penuntut umum, maka semuanya harus diperiksa satu persatu.
13. Satu catatan penting yang harus diperhatikan dalam mengajukan pertanyaan adalah tidak boleh mengajukan pertanyaan yang berisfat menjerat mislanya “waktu kamu melakukan pencurian, apakah kamu menggunakan alat ini”.
B. Pengajuan Saksi yang meringankan (Adcharge) oleh terdakwa/Penasehat Hukumnya.
1. Pemeriksaan saksi yang meringankan ini juga sama dalam hal teknisnya yaitu menyangkut identitas saksi, hakim bertanya pada saksi, apakah saksi ada hubungan darah dengan terdakwa dan lain sebagainya.
2. Saksi ini juga disumpah menurut agama dan kepercayaannya bahwa dia akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain daripada yang sebenarnya.
3. Dalam hal mengajukan pertanyaan teknisnya sama dengan pemeriksaan saksi diatas.
4. Satu hal juga yang paling penting diperhatikan oleh saksi, bahwa dia harus memberrikan keterangan yang sebenar-benarnya oleh sebab itu hakim harus selalu mengingatkan kepada saksi yang sedang diperiksa serta memberitahukan saksi yang harus diterima jika dia memberikan keterangan palsu. Namun apabila saksi tidak mengindahkan peringatan hakim dan tetap pada keterangan palsunya maka hakim ketua sidang karena jabatannya, atau atas permintaan penuntut umum dan atau penasehat hukum terdakwa untuk memerintahkan saksi untuk ditahan serta selanjutnya dituntut karena keterangan palsu (pasal 174 ayat (2)).
5. Selanjutnya kalau terjai keterangan palsu oleh saksi maka panitera membuat berita acara yang ditandatangani oleh hakim dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa alasan saksi adalah palsu, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk selanjutnya diselesaikan menurut Undang-undang yang berlaku.
6. Jika terdakwa dan saksi tidak bisa berbahasa Indonesia, maka hakim ketua menunjuk juru bahasa dan diminta berjanji untuk memberikan penjelasan dengan sebenar-benarnya. Dalam hal terdakwa dan saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis maka hakim mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terakwa. Atau saksi itu.
7. Setelah pemeriksaan saksi-saksi dianggap selesai maka hakim ketua menanyakan kepada terdakwa apakah benar apa yang dikatakan dalam keterangan saksi tadi, terdakwa boleh menjawab tidak benar apabila keterangan saksi memang tidak benar dan menjawab salah jika keterangannya salah.

C. Pemeriksaan Terdakwa
1. Setelah pemeriksaan terhadap saksi-saksi dianggap selesai maka hakim memerintahkan kepada terdakwa untuk duduk di kursi pemeriksaan untuk diperiksa.
2. Dalam pemeriksaan terdakwa ada perbedaan menyangkut sumpah, pada saat pemeriksaan saksi, perlu dilakukan sumpah sedangkan untuk terdakwa tidak perlu sumpah.
3. Setelah terdakwa duduk di kursi pemeriksaan, hakim menanyakan apakah terdakwa dalam keadaan sehat tidak menderita sakit apapun terdakwa untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak menyulitkan proses peradilan.
4. Selanjutnya ketua majelis hakim mulai menyampaikan pertanyaan-pertanyaan disusul hakim anggota kalau perlu hakim menunjukkan barang bukti untuk memperjelas pemeriksaan, kalau majelis hakim dirasa cukup maka kesempatan selanjutnya diberikan kepada jaksa penuntut umum untuk bertanya dilanjutkan oleh penasehat hukum mengenai tatacara pemeriksaan terdakwa sama dengan ketika pemeriksaan terhadak saksi-saksi.
5. Dalam hal terdakwanya lebih dari satu maka pemerisaan dilakukan satu persatu secara bergantian. Hakim dapat menilai kecocokan dari masing-masing keterangan terdakwa.
6. Kalau majelis hakim, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum telah selesai. Maka hakim dapat menyatakan bahwa seluruh rangkaian pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim meminta jaksa penuntut umum untuk mempersiapkan tuntutannya yang akan dibacakan dalam sidang tuntutan.

B.3. Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana (Requisitioir), Pleeidoi (Pembelaan), Replik dan Duplik (tanggapan-tanggapan).
1. Hakim ketua membuka sidang dan menjelaskan bahwa sidang pada hari itu adalah pembacaan tuntutan pidana.
2. Hakim bertanya pada jaksa penuntut umum apakah telah siap untuk membacakan tuntutannya? Kalau jaksa penuntut umum telah siap maka ketua majlis hakim mengingatkan pada terdakwa untuk mendengarkan secara cermat bunti tuntutan. Mengenai tacara pembacaan tuntutan sama dengan pembacaan surat dakwaan.
3. Setelah selesai pembacaan tuntutan, hakim menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham dengan isi tuntutan, jika perlu hakim sedikit menjelaskan poin-poin tuntutan jaksa, selanjutnya berkas tuntutan/surat tuntutan yang asli diserahkan kepada majelis hakim, dan salinannya diserahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya.
4. Hakim bertanya pada terdakwa dan penasehat hukum apakah akan mengajukan pembelaan (pleidooi) kalau akan mengajukan maka hakim meminta kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk memeprsiapkan nota pembelaan yang akan dibacakan pada sidang berikutnya.

B.3.2. Pembacaan Pembelaan (Pleidooi).
1. Kalau akan mengajukan pembelaan maka dalam hal mengajukan pembelaan terdakwa dapat dengan cara lisan maupun tertulis. Kalau mengajukannya dengan cara lisan maka terdakwa dipersilahkan untuk menyampaikan pembelaannya, namun dalam hal ini panitera harus aktif dan membuat berita acara, selain itu juga hakim harus mencatat poin-poin penting dari pembelaan tersebut. Namun dalam hal pembelaan diajukan dengan cara tertulis maka terdakwa dipersilahkan untuk membacakan pembelaan dengan cara berdiri, setelah selesai berkas atau nota pembelaan yang asli diserahkan kepada majelis hakim salinannya diserahkan kepada jaksa penuntut umum.
2. Kalau terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya kepada penasehat hukum, maka hakim pertanya pada penasehat hukum apakah sudah siap dengan naskah pembelaannya?. Kalau sudah siap maka ketua majelis hakim emmpersilahkan penasehat hukum untuk membacakannya. Mengenai tatacara pembacaannya sama dengan tatacara pembacaan eksepsi.
3. Setelah pembacaan pembelaan selesai selanjutnya naskah nota pembelaan yang asli diserahkan kepada ketua majelis hakim dan salinannya diserahkan kepada jaksa penutnut umum dan terdakwa.
4. Berikutnya hakim bertanya kepada jaksa penuntut umum apakah akan mengajukan tanggapannya (replik) kalau ternyata jaksa penuntut umum akan memberikan tanggapannya maka hakim memebrikan kesempatan untuk menyusun tanggapannya untuk diajukan dalam sidang berikutnya.

B.3.3. Pengujian tanggapan-tanggapan (Replik, Dublik, Rereplik, Reduplik)
1. Hakim membuka sidang, selanjutnya bertanya kepada jaksa penuntut umum apakah telah siap dengan tanggpannya ? kalau telah siap hakim mempersilahkan jaksa peuntut umum untuk membacakan tanggapannya (replik) tatacara pembacaan sama dengan tata cara pembacaan requisitoir.
2. Kesempatan selanjutnya hakim bertanya pada penasehat hukum apakah akan memberitanggapan juga (duplik) kalau akan megnajukan, maka hakim bertanya apakah telah siap dengan tanggapannya, selanjutnya hakim mempersilahkan pada penasehat hukum untuk membacakan tanggapannya. Tatacaranya sama dengan waktu membacakan pembelaan.
3. Setelah tanggapan pertama sudah selesai kalau dirasa masih ada yang perlu ditanggapi maka hakim mempersilahkan untuk memberikan tanggapan berikutnya (rereplik dan reduplik) kesempatan pertama diberikan pada jaksa penuntut umum dilanjutkan oleh penasehat hukum.
4. Pengajuan tanggapan-tanggapan sudah selesai maka hakim bertanya pada jaksa penuntut umum dan penasehat hukum apakah ada sesuatu lagi yang akan diajukan dalam pemeriksaan. Kalau tidak maka hakim menyatakan bahwa pemeriksaan dianggap selesai dan selanjutnya menutup sidang serta memberitahu bahwa sidang berikutnya adalah sidang pembacaan putusan.

B.4. Pembacaan Putusan Hakim (Vonis).
Dalam hal putusan hakim diatur dalam pasal 182 KUHP ayat (3) sampai ayat (7) yang secara ringkas dapat dijelaskan bahwa hakim dalam mengambil keputusan harus mendasarkan pada surat dakwaan, eksepsi requisitoir, pleidooi serta tanggapan-tanggapan. Dilakukan dengan cara musyawarah tertutup. Dalam mengajukan analisis serta argument hukum (legal reasoning) maka kesempatan pertama diberikan kepada hakim yuniour selanjutnya diberikan kesempatan kepada hakim senior dan terakhir kesempatan kepada ketua. Dalam mengambil keputusan selalu menggunakan suara terbanyak sebagai hasil putusan kecuali dalam hal tidak tercapai yang diatas maka keputusan diambil berdasarkan pertimbangan yang menguntungkan terdakwa. Putusan dituangkan dalam bentuk naskah dan dibukukan dalam buku khusus di Pengadilan Negeri dan buku ini safatnya rahasia yang sering disebut dissenting opinion. Setelah putusan dianggap siap untuk dibacakan maka urutan pembacaan putusan adalah sebagai berikut:
1. hakim membuka sidang selanjutnya terdakwa dipersilahkan untuk duduk dikursi pemeriksaan, hakim mengingatkan terdakwa agar mendengarkan putusan dengan cermat.
2. Hakim mulai membacakan putusan yang diawali dengan kata "“engadili"”dan seterusnya. Tatacara pembacaannya sama dengan ketika pembacaan putusan sela.
3. Ketika akan membacakan amar putusan diawali dengan kata "mengadili"”terdakwa dipersilahkan untuk berdiri setelah pembacaan amar putusan selesai hakim mengetukkan palu sebanyak IX kali selanjutnya terdakwa dipersilahkan duduk kembali. Selanjutnya hakim sedikit menjelaskan poin-poin dalam putusannya kepada terdakwa meyangkut bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga putusannya penjatuhan pidana atau bebas. Serta menyakan sikap dari terdakwa dan penasehat hukumnya. Apakah akan banding, pikir-pikir dulu. Atau menerima putusan tersebut.
4. Kalau terdakwa/penasehat hukum mengatakan pikir-pikir maka hakim memberikan waktu tujuh hari terhitung mulai hari itu untuk pikir-pikir. Namun jika terpidana menyatakan banding, maka hakim memerintahkan terpidana untuk menandatangi nota permohonan banding, kalau terdakwa menerima mka menandatangani berita acara menerima putusan yang telah dipersiapkan oleh panitera.
5. Jika majelis hakim menganggap seluruh rangkaian sidang dianggap selesai maka ketua majelis hakim menutup sidang dengan mengucapkan kira-kira “sidang dinyatakan ditutup” dengan ketukan palu 3 kali.
6. Selanjutnya panitera sebagai protokol mengucapkan “majelis hakim akan meninggalkan ruangan hadirin dimohon untuk berdiri” lalu majlis hakim keluar ruangan diawali ketua diikuti hakim anggota senior dan dibelakangnya hakim yunior. Namun dalam prakteknya sering kali tidak demikian karena setelah sidang ditutup hadirin sudah keluar sendiri-sendiri bahkan majelis hakim masih duduk dikursinya.