LAHIRNYA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN
Gatot Sugiharto
ABSTRACT
Genesis of the victim and witness protection institute (LPSK) constitutes new hope for the witness and victim of crime to get guarantee of the right fulfill. It gets in UU No. 13 2006 about the victim and witness protection; nevertheless the genesis of new institute has been regarded by some of the circle of society as the institute that still has many mistakes from the side of its institute or the side of the task and the competence. So, it needs efforts to complete this institute to become institute that is not real suitable with hope of the regulation. It is as the institute that is capable to give the protection to the witness and victim of crime.
PENDAHULUAN
Perlunya perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara baik bukan saja menjadi isu nasional, tetapi juga isu internasional. Oleh karena itu permasalahan ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Perhatian dunia internasional terhadap permasalahan ini dapat dilihat dengan dibentuknya Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia pada September 1985 yang dalam rekomendasinya disebutkan:
Offenders or third parties responsible for their behavior should, where appropriate, make fair restitution victims, their families or dependent. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as result of the victimization, the provision of service and the restoration of rights ( Dikdik M Arif Mansyur dan Elisatris Gultom, 2007: 23).
Bentuk perlindungan yang diberikan dalam Deklarasi tersebut mengalami perluasan tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan saja (Victim of Crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Penyelesaian perkara pidana seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban terabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah bahwa dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban (Andi Hamzah,1986: 33).
Banyak ditemukan dalam praktek bahwa korban kejahatan kurang mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat sebagaimana di kutip oleh S. H Kadish, dalam Encyclopedia of Crime and justice bahwa, “to much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims” (New York: The Free Pres: A devision of Macmilan Inc, 1983:Volume 4 hlm:1600). Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan hak-haknya adalah kecil (Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004:47).
Indonesia sebagai salah satu Negara yang juga wajib memberikan perlindungan hukum bagi korban kejahatan, setelah beberapa waktu melalui proses yang sangat panjang akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, Pemerintah berhasil mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006 tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan korban kejahatan, karena secara singkat dalam undang-undang tersebut mulai memperluas hak-hak yang dimiliki oleh saksi dan korban baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Undang-undang tersebut juga mengamanatkan pembentukan sebuah lembaga yang berwenang memberikan perlindungan kepada saksi dan korban kejahatan baik di dalam maupun di luar pengadilan, lembaga tersebut adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disebut LPSK. LPSK merupakan lembaga yang baru sehingga keberadaannya perlu diketahui secara lebih mendalam , oleh sebab itu tulisan ini bermaksud untuk mengetahui lebih jelas apakah tugas dan wewenang dan tanggungjawab LPSK serta bagaimana struktur dan pelaksanaan tugas LPSK ?.
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum UU Perlindungan Saksi dan Korban
Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih perlu dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, namun berlakunya undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban kejahatan.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental serta ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2006 yang menyebutkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Dikdik M Arif Mansyur dan Elisatris Gultom, 2007:153).
Pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 mengatur beberapa hak saksi dan/korban yang meliputi:
1. Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4. Mendapat penterjemah;
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6. Memperoleh informasi perkembangan kasus;
7. Memperoleh informasi putusan pengadilan;
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9. Mendapat identitas baru;
10. Mendapatkan tempat kediaman baru;
11. Penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
12. Mendapat penasihat hukum dan/ atau;
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan /atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Kasus-kasus tertentu dalam penjelasan disebutkan antara lain tindak pidana korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Khusus untuk korban pelanggaran HAM yang berat berdasarkan pasal 6 juga berhak atas bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial, yaitu bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban (penjelasan pasal 6 huruf b UU PSK). Selian itu juga korban dalam pelangaran HAM yang berat tidak menutup kemungkinan untuk menuntut hak atas kompensasi dan restiusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak pidana (pasal 7 ayat (1)).
Perlindungan lain yang diberikan kepada korban dalam suatu proses peradilan pidana meliputi:
1. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah ada izin dari hakim (pasal 9 ayat(1));
2. Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Guna memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban maka undang-undang mengamanatkan sebuah lembaga yang bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Mengikuti jalan pikiran Pembentuk Undang-undang setidaknya terdapat dua alasan penting mengenai pemberian perlindungan kepada saksi dan/atau korban yaitu:
1. Guna menjamin proses peradilan pidana berjalan secara efektif dengan kehadiran atau kesediaan saksi dan/atau korban memberikan keterangan di depan penegak hukum baik pada tahap penyelidikan, penyidikan maupun tahap pemeriksaan di dalam sidang pengadilan. Jaminan akan perlindungan ini penting karena dalam praktik tidak jarang terjadi seseorang yang mengetahui, mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana, tidak bersedia atau takut untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Selain itu, tidak jarang pula terjadi alat bukti berupa keterangan saksi yang telah diperoleh pada tahap penyidikan dan penuntutan ditarik kembali atau dicabut oleh para saksi ketika memberikan keterangan di bawah sumpah di depan sidang pengadilan.
2. Kehadiran atau kesediaan saksi dan/atau korban memberikan keterangan dalam proses peradilan tidak hanya penting bagi pembuktian untuk kasus yang bersangkutan, tetapi juga sekaligus untuk mengungkap jaringan kejahatan, terutama pada kejahatan-kejahatan yang melibatkan banyak orang atau kejahatan terorganisasi. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa tujuan akhir UU No. 13 Tahun 2006 dapat dilihat lebih luas yakni dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
B. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
1. LPSK sebagai Lembaga yang Mandiri
Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri, yang dimaksud mandiri dalam undang-undang tersebut mungkin tepatnya adalah sebuah lembaga independen (biasanya disebut sebagai komisi independent), yakni organ Negara (State organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif , maupun yudikatif, namun memiliki fungsi campuran antara ketiga cabang kekuasaan tersebut (Jimly Ashidiqi, 2003:tanpa halaman).
Karena merupakan lembaga yang mandiri maka UU Nomor 13 Tahun 2006 tidak meletakkan struktur LPSK berada d bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara. Pilihan undang-undang terhadap model lembaga seperti ini tentunya menyerupai berbagai lembaga negara yang telah ada seperti, Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Apa yang menjadi pertimbangan dari para perumus undang-undang untuk menetapkan model lembaga seperti ini?. Dari berbagai dokumen yang ada, keputusan untuk memilih model ini terkait dengan argumentasi. Pertama, keinginan untuk membuat lembaga yang secara khusus mengurusi masalah perlindungan saksi dan korban yang tidak berada di bawah institusi manapun, yakni kepolisian atau kejaksaan, Komnas HAM atau Departemen Hukum dan HAM. Kedua, karena institusi yang lainnya sudah memiliki beban tanggungjawab yang besar, oleh karena itu jangan sampai program perlindungan membebani lembaga-lembaga tersebut ( Supriyadi Widodo Eddyono, 2007:11).
Jika dibandingkan dengan beberapa model lembaga perlindungan saksi di beberapa negara, maka kedudukan lembaga perlindungan saksinya berada di bawah supervisi dari instansi tertentu. Amerika serikat misalnya, program perlindungan saksi berada di bawah Departement of Justice yang dipimpin oleh Jaksa Agung, yang ditujukan untuk mempermudah akses dan koordinasinya. Afrika Selatan juga membuat model yang hampir sama. Sedangkan Kanada meletakkan program perlindungan saksi di bawah Jaksa Agung yang di kelola oleh komisioner. Inggris memiliki program perlindungan saksi yang berada dalam struktur kepolisian negara bagian, dan juga ada struktur kepolisian federal, demikian juga dengan program perlindungan saksi di Jerman yang berada dalam struktur kepolisian yang disebut sebagai Zeugenschuttzdienststelle atau unit perlindungan saksi (Supriyadi Widodo Eddiyono, 2007:12).
Bila dilihat dari karateristik tugas dan pekerjaan maka LPSK sebenarnya merupakan model lembaga yang menjadi pendukung (Supporting) dari pekerjaan lembaga/institusi lainnya, implikasinya, atas karateristik pekerjaan tersebut menyebabkan LPSK tidak akan terlepas dari keberadaan beberapa lembaga penegak hukum yang ada. Dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan cara penempatan yang baik agar bisa menempatkan diri pada posisi tersebut. Oleh sebab itu maka LPSK dengan jelas harus membangun posisi kelembagaannya yang berada di diantara dua kepentingan yakni kepentingan pertama yang dimandatkan oleh undang-undang sebagai lembaga yang bersifat madiri, dan kepentingan kedua yakni untuk menjalankan program juga harus didukung oleh instansi terkait yang dalam prakteknya akan menimbulkan irisan kewenangan dengan instansi tersebut.
2. Kedudukan LPSK
Pasal 11 ayat (2) mengatakan bahwa LPSK berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia, hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi bagi kedudukan sebuah lembaga negara. Namun selain berkedudukan di Ibu Kota Negara undang-undang juga memberikan keleluasaan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan LPSK (pasal 11 ayat (3)). Pilihan undang-undang memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan ini adalah pilihan yang tepat mengingat kondisi geografis wilayah Republik Indonesia sangat luas yang mana akses informasi dan komunikasi sangat terbatas baik antar wilayah maupun antar Ibu kota.
Perwakilan di daerah lainnya ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat regional tertentu (antar propinsi) misalnya memilih dibeberapa wilayah tertentu, Indonesia Timur, barat dan lain sebagainya. Perwakilan LPSK bisa juga didirikan di tiap propinsi atau bahkan d tingkat kabupaten/ kota atau dalam kondisi khusus/mendesak.
Walaupun idealnya LPSK ini ada di setiap propinsi, namun kebutuhan untuk mendirikan perwakilan tersebut juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula, baik segi pembiayaan, maupun peyiapan sumber daya manusianya. Jangan sampai pendirian perwakilan justru kontraproduktif dengan tujuan dari LPSK misalnya membebani kerja-kerja yang justru menjadi prioritas LPSK karena problem administrasi dan lain sebagainya. Selain itu perlu dibuat sebuah standar kerja, indikator kebutuhan dan standar prioritas bagi pendirian perwakilan LPSK. Jangan sampai pendirian tersebut karena alasan-alasan yang berada di luar kebutuhan LPSK.
3. Struktur Organisasi LPSK
Pasal 16 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa LPSK terdiri atas pimpinan dan anggota. Pimpinan LPSK terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Masa jabatan Ketua dan Wakil ketua LPSK adalah selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Guna pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah kesekretariatan yang bertugas memberikan pelayananadministrasi sebagai kegiatan LPSK. Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Berkaitan dengan struktur organisasi LPSK maka secara sederhana akan disampaikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
UU No 13 Tahun 2006 hanya memberikan profil struktur organisasi secara sederhana sedangkan untuk rencana pengembangan struktur organisasi LPSK kemungkinan akan dikembangkan sendiri oleh LPSK sesuai dengan kebutuhan.
4. Tugas dan Kewenangan LPSK
Pasal 12 UU Nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah Lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/ atau korban sebagaimana diatur dalam undang-undang. Namun undang-undang tidak merinci tugas dan kewenangan LPSK tersebut lebih lanjut, perumus undang-undang kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam undang-undang Nomor 13 tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkan pada beberapa pasal.
Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar pada beberapa pasal dalam UU Nomor 13 tahun 2006 yaitu:
a. Menerima permohonan saksi dan/ atau korban untuk perlindungan (pasal 29);
b. Memberikan keputusan pemberian perlindungan saksi dan/ atau korban (pasal 29);
c. Memberikan perlindungan kepada saksi dan/ atau korban (pasal1);
d. Menghentikan program perlindungan saksi dan/ atau korban (pasal 32);
e. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, dan hak atas restitusi atau ganti rugi yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak pidana (pasal );
f. Menerima permintaan tertulis dari korban atau orang yang mewakili korban untuk bantuan (pasal 33 dan 34);
g. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikan bantuan kepada saksi dan/ atau korban (pasal 34);
h. bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (pasal 39).
Menurut Supriadi Widodo Eddyono, jika dilihat dari tugas dan kewenangan yang diberikan undang-undang perlindungan saksi dan korban terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi, namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai. Ada beberapa hal penting menurutnya yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK yang seharusnya masuk dalam UU Nomor 13 tahun 2006 yaitu (2007:14):
1. Diberikan kewenangan untuk menentukan layanan-layanan apa yang akan diberikan bagi saksi, untuk memberikan bukti dalam persidangan apapun. LPSK sebaiknya diperbolehkan membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan:
a. Bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;
b. Penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;
c. Konsultasi bagi para saksi;
d. Hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang perlu diatur untuk menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan.
Hal ini seperti model-model kewenangan yang ada dalam undang-undang perlindungan saksi di Afrika Selatan, Quensland, Kanada dan Amerika Serikat.
2. Melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan saksi dan orang-orang terkait termasuk menyangkut perlindungan sementaradan layanan-layanan lainnya;
3. Membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi, misalnya membuat kesepakatan dengan Departemen di lingkungan pemerintahan lainnya, atau membuat perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih luas lagi;
4. Diberikan wewenang untuk menggunakan fasilitas atau perlengkapan-perlengkapan milik atau yang ada di bawah penguasaan Departemen, orang, institusi atau organisasi tersebut, mendapatkan dokumen-dokumen atau informasi lainnya yang dibutuhkan dalam rangka perlindungan seseorang yang dilindungi, atau menyangkut berbagai hal yang akan membuat ketentuan-ketentuan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ini dapat berjalan;
5. menetapkan langkah-langkah dan cara-cara bagaimana ketentuan undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban mesti dijalankan oleh kantor-kantor cabangnya jika ada dan menunjuk tempat-tempat yang akan difungsikan sebagai tempat-tempat aman. LPSK juga harus mengawasi para staf di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
6. Secara tertulis mendelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya kepada anggota lain di LPSK. Anggota LPSK yang didelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam bagian di atas, harus menjalankan kewenangan melaksanakan fungsi dan tugas-tugas di bawah pengawasan dan petunjuk dari ketua LPSK;
7. Ketua LPSK dapat sewaktu-waktu mencabut pendelegasian secara tertulis, dan pendelegasian kewenangan, fungsi dan tugas-tugas tidak menghalangi ketua menjalankan, melaksanakan atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas itu sendiri;
8. Semua Departemen di lingkungan pemerintah harus memberikan bantuan yang sekiranya diperlukan dalam angka menjalankan, melaksanakan atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepada ketua oleh atau menurut undang-undang Perlindungan saksi dan korban;
9. Kewenangan lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga ini dalam kaitannya dengan lembaga penegak hukum lainnya adalah hak memberikan rekomendasi tentang kondisi saksi maupun korban termasuk ketika saksi akan memberikan keterangan dalam persidangan pidana;
10. Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data-data tertentu dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program perlindungan saksi.
Permasalahan atas minimnya kewenangan LPSK dalam prakteknya akan menyulitkan peranan-peranan dari LPSK, karena tidak bisa dipungkiri bahwa pada umumnya problem eksistensi antara lembaga negara maupun antar instansi pemerintah bisa dikatakan tidak akan pernah hilang, sebagai contoh Amerika Serikat ketika pertama kali menerapkan program perlindungan saksi, kecemburuan dan eksistensi antar lembaga merupakan faktor penghambat dalam operasi-operasi perlindungan (Pete Early dan Gerarld Shur, 2005: 24). Yang perlu diperhatikan juga adalah jangan sampai kewenangan LPSK berbenturan dengan lembaga lainnya. Jika ada benturan kewenangan atapun mandat sebaiknya segera mungkin diperkecil.
Oleh karena UU No 13 Tahun 2006 sudah menentukan secara terbatas kewenangan dari LPSK maka, untuk membantu dan mendukung kerja-kerja LPSK nantinya sebaiknya setelah terbentuk, LPSK harus segera membuat (pemetaan) daftar kewenangan dan turunan kewenangan yang telah dimandatkan leh UU No 13 Tahun 2006. setelah melakukan pemetaan, LPSK kemudian menyisir beberapa kelemahan dari kewenangan dan menutupinya dengan menetapkan dalam sebuah keputusan internal LPSK. Walaupun nantinya keputusa LPSK mungkin terbatas sekali dapa diterapkan di luar LPSK. Namun dengan melakukan pemetaan kebutuhan, LPSK bisa juga menggunakan perjanjian-perjanjian atau membuat surat keputusan bersama (SKB) dengan berbagi instansi lainnya, tentunya dengan difasilitasi oleh pemerinta. Dengan menggunakan model SKB atau perjanjian kerjasama ini diharapkan problem kewenangan antar lembaga ini dapat diminimalisir.
5. Tanggungjawab LPSK
UU No. 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa LPSK bertangungjawab kepada Presiden. Implikasi atas hal ni maka Presiden sebagai pejabat negara tertingi yang bertanggungjawab atas kerja-kerja LPSK dan oleh karena itu pula maka Presiden harus memfasilitasi lembaga ini sesuai dengan mandat dan tugasnya, jangan sampai lembaga ini dibiarkan menjadi lembaga yang dikucilkan dan tak terdukung oleh Presiden.
Disamping itu UU No 13 Tahun 2006 menugaskan kepada LPSK untuk membuat laporan berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Penugasan ini adalah sebagai fungsi kontrol dari DPR sebagai Perwakilan Rakyat Indonesia. Namun perlu diperhatikan isi dan format seperti apa yang harus dilaporkan kepada DPR maupun Presiden. Karena laporan-laporan tersebut jangan sampai membuka informasi yang justru telah ditetapkan sebagai rahasia aleh LPSK dan UU No 13 Tahun 2006 (Supriyadi Widodo Eddyono, 2007:16).
Disamping sebagai fungsi kontrol dan pengawasan kinerja, DPR juga seharusnya menjadi Partner dari LPSK baik sebagai pendukung program LPSK maupun pemberi rekomendasi yang membantu pengembangan program LPSK itu sendiri.
KESIMPULAN
Lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 mengamanatkan pembentukan sebuah lembaga yang bernama LPSK, munculnya lembaga baru ini tidak menutup kemungkinan terjadi kelemahan kelemahan baik dari sisi tugas dan wewenang maupun yang berkaitan dengan tanggungjawabnya. LPSK memiliki tugas dan kewenangan yang terbatas yang sangat memungkinkan terjadi benturan-benturan kewenangan dengan institusi lain sehingga perlu adanya strategi pemecahan yang baik sehingga munculnya lembaga baru yang bernama LPSK ini diharapkan sesuai dengan harapan awal yaitu terlindunginya saksi dan korban baik di dalam maupun di luar pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, 1986, Perlindungan hak-hak asasi manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Bina Cipta.
Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Ghalia Press.
Dikdik M Arif Mansyur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindunga Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jimly Ashsidiqi, 2003, Makalah:Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli.
Pete Early dan Gerarld Shur, 2005, WITSEC: Pengalaman Program Perlindungan Saksi Federal AS,
Jurnal:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar