Kamis, 30 Juli 2009

NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN KETATANEGARAAN ISLAM

NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM
PANDANGAN KETATANEGARAAN ISLAM
Oleh:
M. IMAM PURWADI

A. Latar belakang

Mendiskusikan Negara Kesejahteraan (welfare state) di Indonesia sangat menarik bagi kalangan akademisi dan praktisi ketatanegaraan. Mengapa? Karena, pertama: Indonesia, negara yang memiliki sumberdaya alam yang luar biasa, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan negara dengan jumlah penduduk pluralis yang besar.
Kedua, negara yang mempunyai landasan filosofis ketatanegaraan Pancasila yang di dalamnya mengandung nilai-nilai dasar kemanusiaan berdasarkan pada agama, budaya dan adat istiadat setempat.
Pertumbuhan ekonomi dewasa ini begitu cepat berkembang. Tuntutan untuk mencapai kemakmuran material menjadi prioritas kehidupan manusia. Segala cara dilakukan untuk meraih kemakmuran material. Dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank terus menjadi incaran masyarakat, baik masyarakat kalangan atas maupun bawah.
Di Indonesia pemenuhan kebutuhan masyarakat dilindungi dan dijamin oleh hukum. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan, melakukan kegiatan usaha dan untuk mendapatkan lapangan kerja.
Namun, sampai sekarang Indonesia adalah negara yang masih menghadapi persoalan kesejahteran yang serius. Ironisnya, kontribusi negara sebagai institusi yang seharusnya memiliki peran penting dalam mensejahterakan warganya, ternyata masih jauh dari harapan. Berbagai masalah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia seringkali disebabkan oleh kegagalan negara dalam memainkan perannya dengan baik. Seakan-akan negara tidak pernah dirasakan kehadirannya terutama oleh mereka yang lemah (dhaif) atau dilemahkan (mustadh’afin), yang miskin atau dimiskinkan.
Belum lama ini, Media Indonesia menyajikan hasil survei Litbang Media Group, terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telefon enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar). Responden ditanya bagaimana pendapatannya sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah dirasakan semakin berat atau ringan? Mayoritas responden (73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat; sebanyak 21% responden merasakan sama saja; dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar responden (89%) merasakan sekarang makin sulit mencari pekerjaan baru; sebanyak 5% responden merasakan sama saja; 4% merasakan makin mudah; dan 2% tidak tahu.
Hasil survei ini tidak berbeda dengan laporan mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk tahun 2007/2008 dari United Nations Development Programme (UNDP). Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) di tahun-tahun mendatang.
Capaian yang tergambar melalui IPM tersebut berkorelasi dengan dimensi kesejahteraan. Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan (capabilitas) manusia Indonesia. Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat; indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan; dan indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak. Dengan demikian, rendahnya peringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah. Bahkan, karena indikator IPM pada hakekatnya merujuk pada konsep basic human capabilities, dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar saja ternyata masih rendah.
Dengan kata lain, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan. Hingga saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan. Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut (TKPK, 2007). Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. Meskipun terjadi penurunan, secara absolut angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru (4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta). Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari.3 Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60% dari total penduduk.
Demikianlah, keadaan negara Indonesia yang masih berkutat dalam problema rakyat yang belum sejahtera. Kesejahteraan rayat haruslah menjadi prioritas dalam kebijakan publik. Jika, peran negara dikurangi maka akan timbul problema berkepanjangan, kemiskinan, kesejangan sosial, bahkan konflik sosial dan perang sipil akan muncul. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak asasi manusia, seperti pada tahun 1990 an sampai kini, di Somalia, Kamboja, Sudan, Haiti, Palestina, dan lain sebagainya.
Menurut Fukuyama, bahwa “negara harus diperkuat”, kesejahteraan tidak mungkin dicapai tanpa hadirnya negara yang kuat; yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan rakyatnya.
Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Globalisasi dan kegagalan pasar sering dicatat sebagai faktor penyebab mencuatnya persaingan yang tidak sehat, monopoli dan oligopoli, kesenjangan ekonomi di tingkat global dan nasional, kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang, serta ketidakmampuan dan keengganan perusahaan swasta mencukupi kebutuhan publik, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Mishra, dalam bukunya “Globalization and Welfare State” menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.
Oleh karena itu, memang negara bukan lah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghargai (to respect) hak-hak dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat Negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat “wajib”. Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat “tanggungjawab” (responsibility).
Dari kerangka di atas, tulisan ini hanya akan membahas bagaimana Negara kesejahteraan dalam pandangan Islam. Referensi pembahasan berdasarkan pemahaman singkat atas beberapa literatur saja.

B. Pembahasan

Konsep Negara Kesejahteraan.
Negara kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.
Menurut Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.”
Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya.. Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis.
Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya. Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.
Dengan demikian, negara kesejahteraan merupakan jalan tengah dari ideologi kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis.
Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Konsep kegunaan atau manfaat dalam teori ilmu hukum dikenal dengan “Asas kegunaan atau manfaat’“(the principle of utility) yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham.
Bentham (1748 – 1832) adalah pejuang yang gigih dalam hukum yang dikodifikaskan dan untuk merombak hukum Inggris yang menurutnya merupakan sesuatu yang kacau. Sumbangan yang terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang dipakai adalah ”apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan?”. Selanjutnya, ia mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap masyarakat secara individual.
Sekitar abad 18, di Inggris prinsip tersebut dikenal dengan paham utilitarianisme , yang merupakan bagian dari etika filsafat yang memusatkan perhatiannya pada baik atau buruknya perilaku, sehingga kajian etika dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan moralitas. Utilitarianisme secara sederhana dapat dipahami sebagai paham yang menganggap bahwa kebijaksanaan yang benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Artinya, segala keputusan tentang aktivitas yang dilakukan harus mengarah kepada sejauh mana tindakan yang diambil dapat membawa dampak yang posistif atau kebahagiaan kepada masyarakat lainnya. Dalam hal ini, penggunaan utility menjadi syarat mutlak dalam menentukan kebijakan demi untuk mewujudkan kebahagian bagi keseluruhan ataupun sebahagian besar masyarakat.
Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang dikembangkan Bentham, sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi. Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave).
Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke Negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompokkelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.
Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model negara kesejahteraan yang hingga kini masih beroperasi:
1. Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, negara kesejahteraan di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Negara kesejahteraan di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.
2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.
3. Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris: (a) jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum; (b) perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan (c) pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
4. Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) , UU Kesejahteraan Anak , UU Jamsostek dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan model ini.
Negara Kesejahteraan dalam Pandangan Islam
Dalam QS, Al-Baqarah: 177, dijelaskan bahwa:
”Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan zakat, orang-orang yang menpati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Surat al-Baqarah di atas, sejatinya memiliki nilai mengenai pentingnya kesejahteraan masyarakat ketimbang sekadar menghadapkan wajah kita ke barat atau timur dalam shalat. Tanpa memarginalkan pentingnya shalat, Al-Qur’an mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan kebijakan dan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memberi pesan tentang keimanan, Al- Qur’an mengingatkan penganutnya bahwa pernyataan keimanan kepada Allah, KitabNya, dan Hari Kiamat saja tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kepedulian dan pelayanan kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan musafir serta menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan pertolongan.
Sesungguhnya, dengan landasan ini ada satu sistem yang bisa dikembangkan dalam makna kesejahteraan bagi kemanusiaan, yaitu sistem yang bisa menjadi alternatif, sistem negara kesejahteraan Islam (Islamic welfare state).
Islam bukan hanya sekadar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan yang memadukan antara aspek material dan spiritual, keduniawian dan keukhrowian. Pada puncaknya, Islam bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan segelintir atau sekelompok orang.
Dalam Sistem ekonomi Islam misalnya, memiliki dua tujuan: memerangi kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit dalam pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara melakukan hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib.
Sebagai contoh, zakat merupakan salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu mentransfer uang dari orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba mencegah eksploitasi ekonomi yang merugikan kelompok lemah. Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini, kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu memenuhi kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, ”Setiap penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak berjuang dengan keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surga bersama mereka.”
Contoh lain, adanya program al-Qardh al-Hasan dalam Perbankan Syariah”. Penerapan program ini diprioritaskan bagi rakyat yang potensial, tetapi tidak memiliki modal selain kemampuan berusaha. Pembiayaan ini bukan kredit biasa, melainkan pembiayaan yang diberikan: a). berdasarkan pada prinsip kebajikan; b). diberikan kepada kelompok tertentu; c). berdasarkan kewajiban sosial; dan d). bersumber dari infaq, zakat dan shadaqah.
Dalam praktik Perbankan Syariah, al-Qardh al Hasan lebih sering dikenal sebagai pinjaman yang terbatas dalam jumlah uang tertentu dan dalam masa tertentu dan dikembalikan pada saat jatuh tempo dengan tanpa imbalan. Al-Qardh al Hasan kemudian dipahami sebagai salah satu produk Bank Syariah yang bersifat sukarela atau kebajikan saja.
Al-Qardh al Hasan adalah suatu sistem yang berkaitan dengan segala bentuk pinjaman tanpa imbalan yang berasaskan pada hukum al-Qardh al Hasan yang ada pada sistem hukum ekonomi Islam Apabila sistem tersebut dikelola dengan baik, maka akan membentuk sebuah institusionalisasi keuangan yang berdiri sendiri, misalnya Bank Syariah dengan prinsip al-Qardh al Hasan, Koperasi dengan prinsip al-Qardh al Hasan, Gadai dengan prinsip al-Qardh al Hasan, dan beberapa institusi keuangan lainnya. Sehingga, kegunaan atau manfaat al-Qardh al Hasan dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dalam pandangan Islam, salah satu tujuan negara adalah untuk menegakkan keadilan. Q.S. an-Nisa: 58, 135; Q.S al-Maidah: 9, 45; Q.S.al-A’raf: 29; Q.S. an-Nahl: 90, 152; Q.S. asy-Syuura: 15; dan Q.S. ar-Rahmaan:9. Secara substansial landasan syariah tentang negara berkaitan dengan tujuan negara yang berkeadian, mensyaratkan adanya proses hukum yang adil baik dari segi hukumnya maupun saksi-saksinya.
Dalam substansi pembahasan ini, fokus atau sasaran bagi Negera Kesejahteraan dalam upaya membangun kesejahteran nasional melalui berbagai program kegiatan bagi masyarakat, terutama, ditujukan kepada: 1). Kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja dan laju pertumbuhan ekonomi yang optimal; 2). Keadilan sosioekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata; 3). Mobilisasi tabungan untuk pembangunan ekonomi; dan 4). Pelayanan yang efektif dan transparan dari sistem ekonomi Islam.
Menurut Umer Chapra, dalam lapangan ekonomi, Islam menganjurkan kesejahteraan ekonomi melalui pemenuhan semua kebutuhan pokok manusia, menghapuskan semua sumber utama kesulitan dan ketidaknyamanan (kemiskinan, pengganguran, kesempatan kerja yang rendah, dsb.), meningkatkan kualitas kehidupan secara moral dan material. Bahkan, Islam menganjurkan penciptaan suatu lingkungan ekonomi yang mampu memanfaatkan waktu dan kemampuan fisik dan skill bagi pengayaan diri, keluarga, dan masyarakatnya.
Oleh karena itu, kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan Islam mempunyai ruang lingkup yang sangat luas baik menyangkut pelayanan publik (public service) maupun pelayanan privat (privat service) dan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan mekanisme, seperti misalnya, zakat, wakaf, infak, shadaqah, pajak, qardh al hasan, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
Di bawah ini akan dibahas 2 (dua) bentuk dan mekanisme dalam penyelenggaraan kesejahteran sosial sebagai wujud negara kesejateraan dalam pandangan Islam.
1. Program Jaminan Sosial.
Jaminan sosial sering disebut dengan istilah social security, adalah bantuan ekonomi berupa bantuan finansial yang diberikan oleh Negara bagi warganegaranya yang berada dalam kondisi-kondisi tertentu yang dipersyaratkan. Bantuan finansial atau tunjangan (benefit), misalnya: tunjangan untuk orang jompo (old age benefit), tunjangan untuk orang cacat (disability benefit), dan sebagainya. Sebagai tanggung jawab Negara, maka jaminan sosial ini termasuk salah satu bentuk hak ekonomi rakyat, yaitu hak untuk hidup layak secara ekonomis.
Dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dimaksud Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jenis program jaminan sosial meliputi: a). jaminan kesehatan; b). jaminan kecelakaan kerja; c). jaminan hari tua; d). jaminan pensiun; dan e).jaminan kematian.
Bentuk lain jaminan sosial di Indonesia selain UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tersebut di atas, ada UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan UU Kesejahteraan Anak merupakan bentuk tanggung jawab Negara dalam pemenuhan dan kebutuhan hak warganegaranya dalam bidang tertentu. Upaya ini, jelas merupakan wujud pelaksanaan negara kesejahteraan (welfare state) dalam arti luas.
Program jaminan sosial tersebut, diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kegotong-royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini, jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4. Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara suka rela, sehingga dapat mencakup petani, nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat.
6. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
7. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dalam pandangan Islam, bentuk perwujudan Negara dalam pemenuhan kebutuhan warganegaranya dipersonifikasikan dalam kepemimpinan atau khalifah atau amir atau imam. Menurut Agus Triyanta, sebagai implementasi perwujudan jaminan sosial memerlukan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pemimpin bertanggung jawab atas keadaan semua aspek rakyatnya.
2. Pelarangan penyalahgunaan kekuasaan.
3. Perlakuan sama terhadap semua warganegara.
Prinsip-prinsip tersebut memberikan beban sekaligus kewajiban kepada seorang pemimpin agar melayani dan menyangga tanggung jawab kepada rakyatnya. Konsep Islam tentang kepemimpinan ini sangat mendekati konsep modern mengenai pemerintah sebagai pelayan publik (public sevice). Sehingga penggunaan jabatan kekuasaan haruslah demi kepentingan rakyat, sebagaimana perintah Allah dalam Q.S. an-Nisa: 58, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu menetapkan hukum diantara manusia dengan hukum yang adil, sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Dalam Islam juga tidak pernah terjadi perlakuan diskriminasi, apalagi memberikan keistimewaan pada seseorang, sebagaimana hadis Rasulullah yang menegaskan bahwa ”demi zat yang jiwaku berada ditanganNya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya”
Lebih jauh Agus Triyanta menjelaskan, hak warganegara untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhannya sebagai perwujudan jaminan sosial dari negara, dperlukan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Hak untuk mendapatkan bantuan bagi kaum ekonomi lemah.
2. Hak untuk saling memikul beban ekonomi.
3. Kewajiban akan pembebasan kaum marginal dari keterpinggiran mereka.
4. Perhatian terhadap orang yang rawan ekonomi.
Demikianlah, dalam Islam telah memiliki prinsip dasar bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat. Negara, sebagai pemegang otoritas bertanggung jawab atas implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan warganegaranya.

2. Program al-Qardh al Hasan.
Dalam praktik Perbankan Syariah, al-Qardh al Hasan lebih sering dikenal sebagai pinjaman yang terbatas dalam jumlah uang tertentu dan dalam masa tertentu dan dikembalikan pada saat jatuh tempo dengan tanpa imbalan. Al-Qardh al Hasan kemudian dipahami sebagai salah satu produk Bank Syariah yang bersifat sukarela atau kebajikan saja.
Istilah al-Qardh, menurut bahasa Arab berarti pinjaman, yang di dalam al-Qur’an ditegaskan dalam surat al-Hadiid ayat 11 , yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Dalam kitab Hashiah al-Dasuqi, sebagaimana dikutip oleh Osman Sabran, pengertian al-Qardh disebut juga sebagai al-Qat’ atau potongan. yakni karena al-Qardh merupakan sebagian harta yang dipotong dari milik orang yang memberi potongan.
Dalam bahasa Arab, pinjaman juga disebut sebagai al-Salf, yaitu pinjaman yang dibayar balik kepada pemiutang tanpa syarat keuntungan. Peminjam hanya wajib mengembalikan sebanyak jumlah yang telah dipinjamnya.
Kata pinjaman juga bermakna memberi hutang (berpiutang), yang dalam bahasa Arab disebut al-Dayn yang berarti hutang, sebagaimana juga dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“…Apabila kamu berpiutang dengan sesuatu piutang hingga suatu masa yang ditetapkan, hendaklah kamu menulisnya….”

Dalam Kamus Dewan, pengertian pinjaman sebagai “barang yang dipinjam atau dipinjamkan”. Dalam bentuk uang, “pinjaman” adalah uang yang diberikan kepada seseorang, syarikat, atau sekumpulan orang dalam bentuk sementara dan perlu dikembalikan kemudian.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam qard adalah mudharabah, qiradh atau Qardh”. yang merupakan salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dan seseorang yang ahli dalam berdagang. Dalam literatur ekonomi syariah, Mirza Gamal memberikan pengertian bahwa Qardh merupakan satu bentuk transaksi kerjasama usaha yang bersifat sosial. Qardh, adalah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Sedangkan, Sutan Remy Sjahdeini memberikan istilah bahwa qard adalah perjanjian pinjaman. Dalam perjanjian pinjaman ini pemberi pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama ketika pinjaman diberikan.
Selanjutnya, Syafi’i Antonio dengan mengutip Sayyid Sabiq memberikan pengertian qardh sebagai berikut: “Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan . Adapun, Adiwarman Karim memberikan pengertian qardh, sebagai aqad meminjamkan uang yang diberikan tanpa mensyaratkan apa pun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu. Perjanjian (akad) qard ini di dalam literatur fiqih klasik, dikategorikan dalam aqad tathawwi atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial. Perjanjian ini dimasukkan ke dalam aqad tabarru’, yaitu perjanjian transaksi nirlaba (not-for profit transaction).
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 19/DSN-MUI/IX/2000, bahwa Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Selanjutnya, dalam fatwa tersebut dijelaskan tentang ketentuan mengenai penggunaan qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat diberikan batasan bahwa Qard adalah satu bentuk transaksi yang berupa pemberian pinjaman dan bisa diminta atau ditagih kembali tanpa imbalan atau syarat tambahan.
Kelahiran Perbankan Syariah dengan, salah satu, produknya yaitu al-Qardh al Hasan, sejalan dengan perkembangan perkonomian umat Islam Indonesia baik dalam bidang peningkatan pendidikan maupun peningkatan kesejahteraan kemasyarakatan. Perkembangan ini telah memberikan peluang yang lebih besar bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan kekuatan yang ada pada dirinya untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi dan kualitas hidupnya. Perubahan orientasi ekonomi dalam masyarakat dari ekonomi pertanian kepada ekonomi industri atau jasa merupakan indikator yang sangat penting dalam memahami arti penting adanya Perbankan Syariah.
Sebenarnya konsep sasaran pemanfaatan al-Qardh al Hasan sudah dirumuskan dalam berbagai tolak ukur dan berbagai pengkajian ilmu-ilmu terapan yang sudah begitu berkembang. Misalnya, dikenal konsep garis kemiskinan yang mungkin saja akan berubah dari waktu ke waktu . Konsep ini dikembangkan dari berbagai survey untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat. Perbankan Syariah sebagai organisasi yang mengembangkan manajemen secara profesional dalam pemberdayaan dan pengelolaan sumber-sumber dana harus melakukan survey seperti itu untuk mengumpulkan informasi-informasi dalam masyarakat dan menyusun konsep-konsep yang bisa dipakai sebagai tolak ukur profesionalnya.
Berdasarkan orientasi prinsip manfaat sebagai sesuatu yang aktual dalam kehidupan umat Islam, maka ada dua missi utama yang perlu dilaksanakan oleh Perbankan Syariah. Pertama, memahami konsep al-Qardh al Hasan secara tekstual dengan menggali nilai-nilai ilmiah dari ajaran Islam dan memperkaya persepsi masyarakat itu secara kontekstual dengan dimensi baru bahwa al-Qardh al Hasan merupakan suatu kekuatan yang memiliki dampak aktual terhadap kehidupan ekonomi umat Islam. Misi ini dapat diwujudkan melalui pengkajian dan penelitian ajaran al-Qardh al Hasan sebagai kekuatan ekonomi umat Islam tanpa menghilangkan nilai ibadah dalam pemberian tersebut. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk memperkuat landasan ilmiah dari ajaran al-Qardh al Hasan yang lebih berorientasi kepada aktualitas manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kedua, mengembangkan organisasi dan manajemen Perbankan Syariah secara profesional. Keberhasilan al-Qardh al Hasan sebagai suatu gerakan aktual dalam memperkuat ekonomi sangat terkait dengan terorganisasikanya kegiatan tersebut dalam berbagai kelembagaan dengan suatu kepemimpinan dan manajemen yang profesional. Perorganisasian kegiatan al-Qardh al Hasan dilaksanakan melalui berbagai fungsi kelembagaan, seperti fungsi pengumpulan dan penyimpanan sumber-sumber dana al-Qardh al Hasan, fungsi penyaluran, fungsi evaluasi, penelitian dan pengembanyan yang efektif.
Pada akhirnya apa yang bisa dicapai oleh Perbankan Syariah dalam memperdayakan dan pengelolaan al-Qardh al Hasan adalah terkumpulnya sejumlah sumber dana yang diharapkan dapat memberikan pengembangan perekonomian rakyat. Dalam hal ini, Perbankan Syariah diharapkan dapat menjadi lembaga pembiayaan dalam pengembangan manajemen al-Qardh al Hasan secara profesional.
Bank Syariah menerapkan prinsip qardh al hasan ini selain dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Juga untuk membantu umat dalam mengembangkan usahanya. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa qardh al hasan adalah pinjaman lunak bagi pengusaha yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada bank, tetapi hanya membayar biaya administrasi saja. Sedangkan, Zainal Arifin mengatakan “.…yang disebut al qardh al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjaman,....”
Selanjutnya, Warkum Sumitro menegaskan bahwa pembiayaan qardhul hasan adalah suatu perjanjian antara bank sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai penerima pinjaman, baik berupa uang maupun barang tanpa persyaratan adanya tambahan atau biaya apa pun. Peminjam (nasabah) berkewajiban mengembalikan uang atau barang yang dipinjam pada waktu yang disepakati bersama, dengan jumlah yang sama dengan pokok pinjaman
Dengan demikian dapat dipahami bahwa qardh al hasan merupakan satu bentuk aplikasi dari aqad qardh yang ditujukan bagi sektor usaha kecil atau sektor sosial lainnya berupa pemberian pinjaman kepada pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal dan harus dikembalikan sebesar pinjaman yang diberikan tanpa imbalan apa pun.
Yang harus dipahami adalah adanya perbedaan yang siqnifikan antara fungsi ekonomi konvensional dengan ekonomi berbasis syariah. Perbedaan ini menyangkut pada komitmen pada nilai-nilai spritiual, keadilan sosio-ekonomi, dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam ekonomi konvensional, fungsi siapa kuat itulah yang menang, tidak dikenal adanya nilai spiritual, keadilan, dan persaudaraan. Baginya, dengan sistem bunga semua menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan tidak peduli pada sisi sosial bagi orang yang membutuhkan.
Sebagai kesimpulan tentang karakteristik perekonomian rakyat dapatlah merujuk pada kerangka di atas, yaitu bahwa perekonomian berbasis kerakyatan berprinsip pada tolong menolong, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

C. Simpulan

Negara kesejahteraan dewasa ini sudah terbukti mampu mengembangkan ekonomi sekaligus melakukan perbaikan atas tingkat kehidupan masyarakat. Krisis welfare state yang belakangan ini sering diperdebatkan, baik di Eropa, Amerika Serikat, maupun Australia, hanyalah menyangkut ukuran dan kesanggupannya, dan bukan pada soal keberadaannya.
Sistem negara kesejahteraan bukan hal yang baru bagi Islam. Sebelum Barat menerapkannya, Dunia Islam telah mempraktikannya lebih dahulu. Oleh karena itu, jika sekarang ada gagasan untuk menerapkan sistem ini di Indonesia, ini tidak berarti dan tidak perlu mengikuti Barat. Melainkan, hanya merevitalisasi apa yang secara otentik dipesankan Islam dan pernah dipraktikkan oleh Dunia Islam sekian abad silam. Pengalaman penerapan welfare state di Negara Madinah maupun pada masa Kekhalifahan Umar yang kini diadopsi Barat, merupakan referensi yang berharga.
Yang menjadi sasaran negara kesejahteraan, orang miskin, jompo, cacat, anak-anak dan kelompok rentan mendapat perhatian dan perlindungan sosial dari negara secara komprehensif sebagaimana diajarkan Islam, justru di negara-negara Islam atau mayoritas penduduknya Islam jaminan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung seringkali malah diabaikan.
Oleh karena itu, kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan Islam mempunyai ruang lingkup yang sangat luas baik menyangkut pelayanan publik (public service) maupun pelayanan privat (privat service) dan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan mekanisme, seperti misalnya, zakat, wakaf, infak, shadaqah, pajak, qardh al hasan, jaminan sosial, dan lain sebagainya.

-----------------






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Dahlan, et., al., 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-pokok Perjanjian Islam di Indonesia, cet.1, Yogyakarta : Citra Media.
______________, 2007, Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (UU di bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI dan Peraturan Bank Indonesia), cet. pertama, Yogyakarta : UII Press.
______________, 2007, Perbankan Syariah di Indoensia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
_______________ dan Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media.
Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum dalam Praktik Ekonomi Syariah”, Makalah, 2007.
Adiwarman Karim, 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ed. 3 cet. 1 Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
______________, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press.
Afzalur Rahman, 2002, Economic Doctrines of Islam (diterjemahkan oleh Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf.
Austin M Chinhengo, 1995, Essential Jurisprudence – Essential Law Series, I Title II Series, First Published in Grest Britain by Cavandish Publishing Limited, The Glass House, Wharton Street, London WC1X9PX, .
Edi Suharto, 2006, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (cetakan ketiga), Bandung: Alfabeta.
__________, 2007, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta.
Francis Fukuyama, 2005, State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21), Jakarta: Gramedia (terjemahan).
Gufron A. Mas’adi, 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Merza Gamal, 2004. Qardh Al Hasan : Pola Alternatif Pengembangan Ekonomi Rakyat, REPUBLIKA, Senin, 9 Februari 2004, hlm. 4.
Muhammad Syafi’i Antonio,1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, Tazkia Institut, Jakarta
____________, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press Bekerja Sama Dengan Tazkia Cendekia.
M. Imam Purwadi dan Muhaimin, 2003, Penelitian tentang ”Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Qardhul Hasan Bagi Usaha Kecil Dan Menengah (Kajian Ke Arah Dukungan Pemberdayaan Masyarakat Untuk Meningkatkan Perekonomian Rakyat), Laporan Penelitian Dosen Muda DIKTI, Universits Mataram.
M. Umer Chapra, 2000, Perkembangan Keuangan dan Moneter dalam Perekonomian Islam (terjemahan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
M.A. Mannan, 1992, Ekonomi Islam: Teori dan praktik (Islamic Economics: theory and practce), Diterjemahkan oleh Potan Arif Harahap, Jakarta: Intermasa.
Osman Sabran, 2001, Urus Niaga al-Qardh al Hasan dalam Pinjaman Tanpa Riba, Kuala Lumpur: Uninersity Teknologi Malaysia.
Paul Spicker, 1995, Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall.
Ramesh Mishra, 2000, Globalization and the Welfare State, London: McMillan.
Rizka Halida, ”Kepemimpinan Nasional: Calon Presiden Muda Bisa Menang” dalam Media Indonesia, 15 Januari 2008.
Siswono Yudo Husodo, 2006, “Membangun Negara Kesejahteraan”, makalah disampaikan pada Seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, WismaMM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006.
United Nations Development Programme, Human Development Report 2007/2008: Fighting Climate Change, Human Solidarity in a Divided World, New York: Palgrave Mcmillan, 2008.
Sayyid Sabiq, 1996, Fikih Sunnah, Bandung: Al Ma’arif..
Sudin Haron, 1996, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn Bhd.
Suhrawardi K. Lubis, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta,
Sunardi, “Utilitarianisme dalam Kaitannya dengan Etika Politik”, makalah diskusi Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tanggal 12 Desember 2008,
Sutan Remy Syahdeini, 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, , Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Warkum Soemitro, 2003. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, ed. Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Zainul Arifin, 2002. Dasar-dasar manajemen Bank Syariah, Cetakan 1, Alvabet, Jakarta
____________, 2000, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, cet.3, Jakarta:abet Alvabet.
Republika, 2003. Bank Syariah Perlu Dukungan Ulama, Rabu 19 Februari 2003, hlm 13.


-------------------

Tidak ada komentar: