Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan
dan Hak Atas Kesehatan: Catatan ELSAM
Ifdhal Kasim
I. Hak Atas Pendidikan
Situasi pemenuhan hak atas pendidikan sepanjang tahun 2005 masih jauh dari harapan masyarakat yang notabene berharap banyak terhadap pemerintahan baru. Meskipun buruknya pemenuhan hak atas pendidikan tahun ini adalah tak lepas dari tumpukan persoalan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, namun demikian persoalan-persoalan mendasar seperti akses terhadap pendidikan, pengurangan siswa putus sekolah, penguatan dan support atas institusi-institusi pendidikan dasar umum dan khusus (untuk anak-anak cacat) yang sudah ada dan penanganan akses pendidikan di wilayah terpencil belum tertanggulangi secara nyata.
Kondisi ini nampak terlihat jelas dalam laporan-laporan media massa di tahun 2005 yang masih menyoroti dalam pemberitaan mereka tentang jumlah angka anak tidak sekolah dan anak putus sekolah dari kalangan penduduk miskin yang terus merangkak naik. Disamping itu, pemberitaan media tentang runtuhnya bangunan sekolah serta ketidakmampuan sekolah menampung jumlah siswa yang membengkak adalah fakta bahwa upaya penguatan dan support atas institusi pendidikan dasar umum dan untuk anak-anak cacat oleh pemerintah terus menurun, termasuk juga disini buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi oleh institusi pendidikan dasar, menengah dan atas. Hal lain yang juga penting untuk dijadikan patokan dalam melihat minimnya pemenuhan hak atas pendidikan, adalah belum tersentuhnya akses pendidikan bagi anak-anak di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil yang selama ini belum tersentuh pembangunan nasional atau pun daerah.
Meskipun di beberapa level nampak terlihat adanya upaya-upaya pemerintah untuk menangani persoalan-persoalan tersebut, namun demikian langkah-langkah penanganan merupakan bagian dari upaya meredam kritik masyarakat ataupun meredam protes masyarakat luas atas penerapan kebijakan ekonomi baru yang mengganggu kehidupan perekonomian masyarakat, seperti dalam kasus pemberian DANA BOS sebagai bagian dari kompensasi kenaikan harga BBM. Pelimpahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah nasional ke pemerintah daerah sebagai jawaban pemerataan dan efektifitas pelaksanaan pendidikan juga tidak dengan sendirinya membuat pemenuhan hak atas pendidikan dapat dipenuhi secara minimal. Sebaliknya, pelimpahan kewenangan ini justru berakibat pada pemunduran kualitas pendidikan sebab tidak semua pemerintahan daerah memiliki kemampuan, baik dari sisi kapasitas personel dan anggaran, yang merata. Akibatnya banyak sekali laporan tentang robohnya gedung sekolan dan fasilitas sekolah yang jauh dari kebutuhan menunjang proses belajar mengajar, termasuk juga minimnya jumlah guru tetap yang mesti dimiliki oleh setiap institusi pendidikan dasar.
a. Anak tidak sekolah dan anak putus sekolah
Berdasarkan data Depdiknas, sampai dengan tahun 2005 masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pendidikan, terutama anak sekolah dasar dan sekoah menengah pertama. Dari tahun ke tahun, jumlah anak sekolah masih cukup tinggi. Pada tahun 2002/2003 terdapat 560.323 siswa SD yang tidak mampu melanjutkan sekolah, pada tahun 2003/2004 terdapat 542 258, tahun 2004/2005 angkanya masih cukup tinggi, yaitu sebesar 495.261. Jumlah anak putus sekolah di tingkat sekolah menengah juga mengalami peningkatan. Data MTs menunjukkan bahwa pada tahun 2002/2003 terdapat 88.809 siswa putus sekolah, tahun 2003/2004 melonjak menjadi 91.905 dan terus melonjak lagi 2004/2005 menjadi 92 417 siswa.
Tabel 1: Anak Putus Sekolah Di Beberapa Kabupaten
No Lokasi Jumlah Keterangan
1. Kota Bekasi 170.000 Tidak dapat dan belum melanjutkan pendidikan sekolah.
Lemahnya ekonomi keluarga
Perhatian daerah kurang maksimal
2 Kabupaten Majalengka, Jawa Barat 7.715 Telah diterbitkan 5000 kartu bebas biasa SPP, 1000 siswa SD, 3000 SMP, 1000 SMA dengan anggaran 2 milyar,
3 Kabupaten Lebak, Banten 11.422 Orang tua kurang mampu
4 Kabupaten dan Kota Bogor 27.000 Keluarga tidak mampu
5 Aceh 154.746 SD= 36.794; SMP= 51.838, SMA= 66.114
Karena kurang biaya
6 Kabupaten Sukabumi 20.000 Ekonomi keluarga lemah
7. Kuningan 3.000 Siswa SD yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya
393883
Sumber: Diolah dari Dokumentasi ELSAM-Hak Atas Pendidikan tahun 2005
Sebagian besar penyebab utama kasus anak putus sekolah adalah karena ongkos pendidikan yang terus merangkak mahal. Dalam pengamatan lapangan elsam di lapangan , besarnya pungutan yang diterapkan sekolah, mulai dari uang LKS dan Buku paket, SPP/Komite tiap bulan, pendaftaran masuk sekolah, uang bangunan, uang ujian, biaya praktikum, study tour, olah raga, hingga uang ekstrakurikuler menjadi penyebab tingginya anak tidak sekolah dan putus sekolah. Dalam sebuah wawancara ELSAM dan Suara Ibu Peduli awal 2005, diketahui bahwa kebanyakan para orang tua mengatakan bahwa mereka terpaksa tidak menyekolahkan anaknya atau mengeluarkan anaknya dari sekolah karena mereka harus mengeluarkan dana pendidikan lebih dari Rp 300 ribu per orang per bulan. Padahal jumlah itu adalah jumlah penghasilan mereka per bulan. Dalam beberapa soal mereka mencoba untuk mensiasati dengan meminta keringanan pembayaran dan mencicil proses pembayaran, namun demikian upaya tersebut tidak bisa dijalani oleh banyak keluarga karena jumlah anak yang harus mereka tanggung bukan hanya satu orang.
Dilain sisi, strategi keluarga untuk mensiasati pendidikan bagi anak-anak mereka ini pada akhirnya semakin menguatkan praktek-praktek pembatasan terhadap anak-anak perempuan mereka untuk bersekolah, terutama para perempuan yang tinggal di wilayah pedesaan. Dengan kembali mempergunakan nilai-nilai lama atau keyakinan di komunitasnya, mereka kembali melarang anak-anak perempuan untuk melanjutkan sekolah, dan mendesak mereka untuk segera menikah, agar beban keluarga sedikit berkurang. Di beberapa daerah dalam beberapa kesempatan kunjungan lapangan selama tahun 2005, ELSAM banyak sekali mendengar komentar para penduduk yang menyebutkan bahwa mereka lebih mengutamakan anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan tinggi ketimbang perempuan, karena anak laki-laki dapat diharapkan menjadi tulang punggung keluarga ketimbang perempuan, yang pada akhirnya akan keluar dari keluarga karena harus mengikuti suaminya kelak.
b. Menurunnya upaya perawatan dan penguatan institusi pendidikan dasar umum dan khusus anak-anak cacat oleh pemerintah
Potret memburuknya pemenuhan hak atas pendidikan ini semakin diperparah dengan munculnya laporan tentang kualitas dan kuantitas bangunan sekolah yang terus menyusut karena banyak sekali bangunan sekolah yang ambruk atau sudah tidak bisa dipergunakan akibat dimakan usia. Dilaporkan 801.216 ruang kelas SD yang ada, 168.655 atau hampir 21% mengalami rusak berat, dan secara bertahap mulai roboh. Sementara data Depdiknas menunjukkan bahwa ruang kelas SD yang rusak mencapai 489.573, atau hampir 60 persen dari total 877.772 ruang ruang kelas SD di Tanah Air. Ini belum termasuk kerusakan bangunan di tingkat SLTP dan SLTA. Angka-angka itu akan terus bertambah mengingat hampir sebagian besar bangunan sekolah yang terlalu tua atau kualitasnya yang buruk karena pembangunannya yang tidak sesuai dengan bestek. Di Maluku, dan Kalimantan Barat sebagian besar bangunan sekolah di wilayah tersebut dibangun pada tahun 1970-an.
Disamping kondisi bangunan sekolah umum yang tidak layak pakai, sorotan terhadap upaya untuk membangun dan memperkuat sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak cacat juga belum terlihat. Meskipun ELSAM belum memiliki data akurat tentang pembangunan dan penguatan institusi sekolah khusus bagi anak-anak cacat tahun 2005 ini, namun demikian jika melihat fakta menurunnya upaya pemerintah untuk membangun dan merawat gedung sekolah umum , sudah bakal dipastikan pembangunan gedung sekolah luar biasa untuk anak cacat pasti terabaikan. Sebuah keluarga di bilangan Cilandak Jakarta mengaku anaknya yang cacat mental terpaksa ia sekolahkan di sekolah umum—meski akhirnya si anak dikeluarkan oleh pihak sekolah—karena untuk menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa sangat mahal ketimbang sekolah umum dan tempatnya pun juga cukup jauh.
Tabel 2: Bangunan Sekolah Ambruk
No Lokasi Jumlah
1 Lampung
Way Kanan Sekitar 498 gedung SMP dan SMA rusak
diperkirakan 50 persen dari 4.568 sekolah dasar di provinsi itu pun rusak.
2 Provinsi Lampung sekitar 30.600 ruang dari 52.107 ruang kelas sekolah yang terdapat di berada dalam keadaan rusak.
SD sekitar 14.488 ruang dari 31.642 ruang yang ada.
3 Jawa tengah 27.495 dari 123.817 ruang kelas SD rusak berat
MI: 4.359 rusak dari 21.981 ruang
SMP: 676 dari 29.585 ruang
MTs: 522dari 8.806 ruang
SMA: 128 dari 9.923 ruang
MA: , dari 2.486 ruang
4 Jakarta Barat 10% dari 275 gedung SD di Jakarta Barat dalam kondisi tidak layak pakai lagi.
5 Sumatera Selatan Sekitar 1.000 dari 6.336 ruang kelas mengalami kerusakan parah
6 DKI Jakarta Sekitar 59 % gedung SDN dan SLTPN mengalami kerusakan
sekitar 1.002 dari 1.699 gedung SD di Jakarta tidak layak digunakan.
286 SLTP di seluruh wilayah DKI Jakarta rusak.
7 Provinsi Maluku 425 SD rusak berat
8 Kabupaten Sukabumi 40 persen dari 1.170 bangunan sekolah dasar rusak parah
9 Kota Makassar Sebanyak 200 dari 336 bangunan sekolah saat ini dalam keadaan rusak dengan tingkat kerusakan yang beragam
Sumber: Dokumentasi pemenuhan hak atas pendidikan ELSAM tahun 2005
c. Buruknya mekanisme perlindungan anak-anak dari tindak kekerasan dan praktek diskriminasi
Hal ini semakin diperparah dengan fasilitas penunjang belajar yang tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali, sehingga tak jarang proses belajar mengajar berjalan dengan apa adanya atau kembali membebani para orang tua siswa untuk mengatas keterbatasan tersebut. Sejumlah orang tua murid mengaku terpaksa mengajak orang tua siswa yang lain untuk membiayai perbaikan fasilitas kamar mandi sekolah anaknya, khususnya kamar mandi siswa perempuan yang kondisi kamar mandinya sangat tidak sehat dan rentan dari tindakkan pelecehan seksual dari kawan laki-lakinya, karena tidak pihak sekolah tidak mampu membiayai perbaikan tersebut.
Beberapa hal yang juga patut untuk disorot pada pemenuhan hak atas pendidikan adalah minimnya tindakkan kekerasan dan praktek diskriminasi terhadap siswa oleh institusi sekolah, termasuk disini para guru. Sejumlah laporan media massa menyebutkan adanya tindakan penganiayaan para siswa oleh para guru termasuk disini proses mempermalukan para siswa yang belum membayar biaya pendidikan dihadapan siswa yang lain. Di jakarta pertengahan tahun lalu dilaporkan sejumlah siswa sebuah SMP negeri di bilangan Jakarta Selatan karena belum melunasi uang ujian, tidak diperkenankan mengikuti ujian di dalam kelas. Kasus lainnya adalah, pelarangan para siswa yang belum melunasi biaya ujian untuk memperoleh rapor mereka, sehingga tak jarang orang tua siswa tidak mengetahui prestasi belajar anaknya. Bahkan di sebuah sekolah di Cilandak, seorang siswa terpaksa tidak naik kelas, meski ia naik kelas, karena belum melunasi uang SPP dan ujian. Bentuk-bentuk mempermalukan para siswa yang belum melunai biaya sekolah juga terlihat dari kasus-kasus bunuh diri siswa sekolah tahun ini.
Kasus-kasus itu antara lain, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3:
Kasus Siswa Bunuh Diri Atau Percobaan Bunuh Karena Kemiskinan
No Nama Korban Lokbasi Keterangan
1 Eko Haryanto (15) siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal
Pertengahan April 2005
2 Bunyamin (17) siswa kelas II Logam 1 SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal
7 April 2005
3 Elfi Mamora (15) siswi kelas III sebuah SMP Negeri di Tangerang
4 Femilia Umami (13) siswa kelas I SMP Al Falah di Kampung Salimah, Sukamanah Jambe, Tangerang, Banten, Jumat, 03 Juni 2005
5 Awang Aditya
siswi kelas empat sekolah dasar tewas gantung diri di Dusun Siyono Kidul, Desa Logandeng, Gunung Kidul, Yogyakarta. Kamis (15/12).
6 Muhammad Firdaus siswa kelas VI sekolah dasar di Kecamatan Jabung, Malang
7 Romdoni bin Husen (15) seorang pelajar SMA swasta di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang
Sumber: Diolah dari data Indok ELSAM
d. Terabaikannya pemenuhan hak atas pendidikan di wilayah terpencil dan pulau-pulau kecil
Sorotan lain dalam pemenuhan hak atas pendidikan pada tahun 2005 ini adalah tidak adanya penanganan atas persoalan terbatasnya penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil, termasuk disini masyarakat adat yang tinggal diatas gunung. Laporan tentang adanya sekolah yang tidak berfungsi karena tidak ada tenaga pengajar di wilayah pedalaman atau tidak adanya aktifitas sekolah di sebuah pulau terpencil masih kerap ditemui. Bahkan untuk masyarakat adat yang tinggal di daerah-daerah terpencil, hingga saat ini masih belum bisa mengakses pendidikan, dan kalaupun ada, mereka dipaksa untuk mengikuti system pendidikan umum yang jauh dari konteks budaya yang mereka jalani selama ini.
Di Pulau Bakau NTT, di pulau tersebut tidak ditemukan gedung sekolah dan aktifitas proses belajar mengajar, sehingga banyak sekali anak tidak sekolah di pulau tersebut. Di kepulauan Seribu, juga pernah di laporkan banyak sekolah yang tidak memiliki guru yang memadai karena banyak para guru yang beralih profesi karena seringnya keterlambatan penerimaan gaji mereka. Demikian pula dengan pendidikan bagi masyarakat adat, hingga saat ini belum tersedia bangunan sekolah dan system pendidikan yang bisa diikuti oleh anak-anak di Masyarakat Adat Anak Dalam, Badui, Osing, Pakafah, dan masyarakat adat di pegunungan Jayawijaya. Kebanyakan dari anak-anak pada komunitas khusus tersebut hingga saat ini masih belum bisa membaca, menulis dan berhitung, dengan dalih mereka masih sangat kolot dan tradisional sehingga sulit untuk dimajukan.
II. Hak atas Kesehatan: Memburuknya kualitas kesehatan masyarakat
Tahun 2005 merupakan tahun yang memprihatinkan bagi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak atas kesehatan. Alih-alih mengalami kemajuan, tahun ini diwarnai dengan berbagai indikasi melemahnya kualitas kesehatan masyarakat. Secara umum, terdapat dua jenis persoalan yang berkaitan dengan turunnya kualitas kesehatan ini, yaitu, masalah kesehatan yang bersifat luar biasa dan temporer namun memiliki dampak yang besar, seperti flu burung. Jenis lain adalah ancaman kesehatan yang sebenarnya merupakan kejadian yang berpotensi berulang setiap tahun, namun mengalami peningkatan baik kuantitas dan kualitas di tahun 2005. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan, dan busung lapar.
Kasus-kasus penyakit yang berkaitan dengan gizi ini, meskipun secara kuantitas banyak terjadi di wilayah Indonesia Barat. Namun secara kualitas, apabila diperbandingkan dengan prosentase jumlah penduduk di masing-masing wilayah, prevalensi kasus yang terjadi di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara, dan Sulawesi lebih tinggi disbanding di wilayah lain. Wilayah ini pada umumnya memiliki infra struktur yang sangat minim, tingkat kesejahteraan yang rendah serta jumlah prosentasi keluarga miskin diatas 30%.
Kasus busung lapar yang dilaporkan di wilayah Indonesia bagian timur terutama menimpa wilayah dimana prosentase produksi beras dibandingkan dengan kebutuhan pangan tidak memadai, seperti di wilayah Gorontalo ( 1022 kasus), Papua (1155 kasus). Selain itu tingginya prevalensi busung lapar juga berkaitan dengan tingginya prosentase keluarga miskin, seperti di wilayah NTT yang prosentase keluarga miskinnya mencapai lebih dari 60% sementara kemampuan produksi pangan (beras) juga rendah dibandingkan dengan tingkat kebutuhan pangan di wilayah ini .
Diawali dengan dampak Tsunami di Aceh, berbagai permasalahan terus menjalar dari provinsi paling barat ini, seperti bahaya epidemic flu burung, menjangkitnya kembali wabah polio dan merebaknya berbagai kasus busung lapar dan gizi buruk. Kembalinya prevalensi polio merupakan penanda awal kegagalan pemerintah untuk mempertahankan kualitas pemenuhan standar kesehatan dasar bagi masyarakat. Dalam tahun 2005, Departemen Kesehatan melaporkan setidaknya tercatat 71 815 kasus gizi buruk pada balita, 232 diantaranya meninggal dunia. Permasalahan gizi buruk ini mencapai puncaknya dengan tragedi kelaparan di Yahukimo beberapa saat lalu yang menelan tak kurang 57 jiwa, dan lebih dari 112 penduduk dalam kondisi kritis.
Hasil amatan ELSAM atas laporan kasus berkaitan dengan gizi dari pemberitaan 7 media masa sepanjang tahun 2005 mencatat sekurangnya sebanyak 1 091 474 orang bermasalah dengan gizi, yang tersebar di 73 kabupaten di seluruh nusantara. Sebaran kasus ini beragam mulai dari kurang gizi, gizi buruk sampai busung lapar. Dari total kasus yang terekam oleh media sepanjang tahun, tercatat beberapa kasus yang berakhir dengan kematian. Sekurangnya 61 orang meninggal dunia dalam berbagai kasus yang tersebar di sekurangnya 73 kabupaten, dengan prevalensi kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur.
Tabel 4:
Penyebaran Gizi Buruk dan Busung Lapar di Propinsi-Propinsi Non Konflik
Wilayah Angka Balita di bawah lima tahun. Penderita Kurang Gizi Penderita Gizi Buruk Penderita Busung Lapar. Korban Meninggal Penyebaran Di Tingkat Kabupaten/Kota Jumlah Kabupaten
NTT 55.543 85.604 12.925 451 50 16 Kabupaten:
Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Kupang 16
NTB 910 847 21 Lombok Timur, Lombok Barat, Dompu, Lombok Tengah, Mataram 4
JTG 367 13.376 34 26 Tegal, Semarang, Kota Semarang, Rembang, Boyolali, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan Pekalongan 12
JBR 148.120 61.805 18.136 140 1 Cirebon, Cianjur, Bogor, Indramayu, Cibinong, Karawang, Bandung 7
Banten 14.338 7.454 175 13 Lebak, Serang, Tangerang 3
SMU 2928 643 4 Gunungsitoli (P.Nias) 1
JTM 5 1.700 6.000 37 1 Kota Surabaya, Kediri, Situbondo, Bangkalan, Wonogiri, Ponorogo, Lamongan, Blitar, Bondowoso 10
LPG 287 176 2 Tanggamus 1
RIAU 567.545 11.000 12 2 Bengkalis 1
SMS 1.638
SLS 144.075 59 Kota Makasar, Takalar , Makassar, Pinrang, Maros, Lutra, Selayar, Gowa, Bone, Luwu, Soppeng, Pangkep, Wajo, Rejang Lebong dan Parepare 15
DIY 220.006 1000 Bantul, Yogyakarta, Sleman, Kodya, Kulonprogo, Gunungkidul 6
KLB 105 Sambas 1
DKI Jakarta 8.007 8.579 1.355 Koja-Jakut, Jakarta Barat, Jakpus 3
JBI 272 Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat Batanghari, 6
BKL 233 5
KLTG 72 7 Sukamara, Kotawaringin Timur, Kapuas, Barito Timur, Kota Palangkaraya 5
SLTG 1 Kendari 1
Jumlah seluruh 1.146.669 173.951 73.644 1.705 123 93
Meskipun demikian, kasus yang sesungguhnya terjadi di lapangan di perkirakan jauh lebih besar dari apa yang berhasil dicakup oleh pemberitaan media. Sebagai contoh, data malnutrisi yang dipublikasikan oleh badan pangan dunia FAO menyebutkan di tahun 2002 saja, jumlah populasi dengan malnutrisi di Indonesia tercatat sebanyak 6% dari populasi atau sekitar 12 juta jiwa. Angka ini jauh lebih buruk dari beberapa Negara tetangga seperti Malaysia yang mencatat angka kurang dari 12,5%. Data ini tentu bukan merupakan data yang paling akurat, salah satu survey yang dilakukan oleh departemen kesehatan di tahun 2005 misalnya, mencatat tak kurang dari 100 juta masyarakat bermasalah dengan gizi. Apabila data ini mendekati kebenaran, setidaknya separuh dari total populasi Indonesia bermasalah dengan gizi. Dengan demikian, berbagai pemberitaan mengenai busung lapar ataupun kurang gizi lebih merupakan puncak gunung es dari persoalan hak atas kesehatan yang sejauh ini seperti tersembunyi di bawah permukaan.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan gizi buruk terjadi di wilayah yang memiliki karakteristik yang mirip, yaitu, secara umum, daerah dengan prevalensi masalah gizi memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Karakteristik lain berupa tingginya tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, serta tingginya prosentase aktivitas ekonomi di bidang pertanian. Kabupaten Timor Timur Selatan, propinsi NTT misalnya, persentase kegiatan ekonominya digantungkan pada sector pertanian . Daerah Bantul, di Jawa yang mewakili prevalensi tertinggi kasus-kasus gizi buruk memiliki karakteristik yang serupa. Dengan prosentase kegiatan ekonomi terbesar di sektor pertanian, kabupaten Bantul baru mampu membiayai 6% dari total anggaran pembelanjaan daerahnya. Tingkat ketergantungan pada pusat ditunjukkan dengan besarnya nilai dana alokasi umum yang dikucurkan, yang mencapai lebih dari 70% total anggaran daerah yang dibutuhkan.
Dua karakteristik ini setidaknya menunjuk dua persoalan mendasar yang berkaitan kemampuan daerah dalam mengalokasikan sumber dana yang memadai untuk memenuhi hak. Sebagai bagian dari pilihan desentralisasi yang dimulai di tahun 1999, alokasi pembiayaan sektor kesehatan dialihkan dari pusat ke daerah. Di satu sisi, kebijakan ini membuka peluang lahirnya kebijakan yang lebih berbasis local dalam memberikan jaminan yang lebih baik terhadap hak kesehatan. Namun di sisi lain juga muncul risiko kegagalan yang lebih besar, khususnya melihat ketiadaan kriteria pemenuhan hak kesehatan minimum yang ditetapkan pemerintah pusat berkaitan dengan alokasi minimum APBD untuk menjamin penyediaan sarana dan pelayanan kesehatan dasar serta hal-hal yang mendukung tercapainya tingkat kesehatan masyarakat yang memadai. Akibatnya muncul disparitas yang tinggi dalam penyediaan layanan dasar kesehatan. Sementara di Sumut pemerintah daerah mampu mengalokasikan sebesar 58 milyar dana kesehatan bagi kelompok miskin, provinsi seperti papua dan Nusa Tenggara Timur jauh tertinggal di belakang.
Beberapa langkah jangka pendek dan respon cepat dilakukan oleh pemerintah melalui koordinasi interdepartemen. Namun langkah-langkah tersebut lebih bersifar kuratif, seperti dalam menghadapi penetapan wabah flu burung sebagai kondisi luar biasa. Tindakan lain berupa pembentukan tim operasi sadar gizi untuk merespon naiknya angka penderita gizi buruk di NTB, penerapan sistem kewaspadaan dini, perawatan kasus gizi buruk di Puskesmas dan rumah sakit, serta penyediaan sarana dasar seperti bantuan pangan dan penyediaan air bersih. Langkah ini diikuti oleh peningkatan alokasi pendanaan untuk perbaikan gizi masyarakat dengan proyeksi kenaikan lebih dari 10kali lipat untuk tahun anggaran 2006.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar