Minggu, 28 Desember 2008

Paradigma Hukum Indonesia

PARADIGMA PEMIKIRAN HUKUM DI INDONESIA
(Orientasi Modernisasi Hukum dan Cita Hukum Indonesia)

Gatot Sugiharto

Abstrak
Indonesia is a country that professes positivism in the law form paradigm. There are many weaknesses in the law applied. In positivism view, law is one of norms that have been written, at the time the norms that are not written, it seem good or will are not said as a law, this makes often Indonesia experience the problems while it must face international criminal for example terrorism criminal.
Using to build the law in Indonesia that is more modern so the paradigm that must be used in that idea tries to leave positivism paradigm goes in the direction of social paradigm, it means putting law in the social context that is bigger with beside words law do not understand as the exoteric institutions and autonomy institutions but it is as branch from the social process that is the bigger, so it makes to build the law construction that is really response to demand period.


PENDAHULUAN
Modernisasi hukum merupakan usaha untuk membuat hukum menjadi lebih baik sesuai dengan perkembangan serta kemajuan disegala bidang. Pada masa penjajahan Belanda hukum yang diberlakukan di Indonesia merupakan hasil menjiplak, atau dengan penyesuaian dari hukum di negeri Belanda. Pemberlakuan hukum dari negeri belanda terhadap negeri jajahannya dalam hal ini Indonesia merupakan salah satu bentuk pemaksaan paradigma hukum, yang mau tidak mau harus diterima oleh negeri jajahan.
Harus diakui bahwa kaedah-kaedah hukum zaman belanda seperti KUHPerdata KUHP dan KUHD, cukup baik untuk ukuran waktu itu namun tidak cukup baik untuk ukuran zaman sekarang. Selain itu ketulusan dan kedisiplinan pemerintah dan hakim-hakim zaman belanda dalam menerapkan kaedah-kaedah hukum tersebut membuat penegakan hukum pada zaman itu relatif cukup baik, jauh lebih baik dari penegakan hukum pada zaman kemerdekaan, baik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun pada masa Presiden Soeharto.(Munir Fuadi, 2003:32)
Bahkan pada masa reformasi ditengarai bahwa penegakan hukum di Indonesia dapat dikatakan terpuruk, sudah sampai pada titik nadir. Dalam hubungannya dengan keterpurukan hukum di Indonesia ini. Ada majalah internasional yang menyebutkan bahwa kasus korupsi di Indonesia menempati urutan pertama terparah di Asia. Penegakan hukum untuk memberantas korupsi sangat buruk, tidak terpolakan, tidak jelas arahnya dan sama sekali tidak kelihatan hasilnya, bahkan korupsi justru terjadi ditataran pejabat yang mempunyai tugas untuk memberantas korupsi itu sendiri.
Dengan munculnya kejahatan-kejahatan baru, mengharuskan negara Indonesia mampu mengatasi permasalahan-permasalahan hukum. Persepsi masyarakat internasional terhdap kajahatan terorisme mengalami perubahan yang luar biasa pasca penyerangan WTC pada september 2001 termasuk Indonesia. Sebelumnya kejahatan terorisme meskipun beberapa telah dikeluarkan dalam bentuk resolusi PBB tetapi masih dianggap sebagai kasus lokal yang dapat diselesaiakan oleh masing-masing negara. Tetapi pasca penyerangan WTC tersebut kini kejahatan terorisme langsung mencuat dan menggemparkan dunia sehingga dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) yang operasionalnya telah melalui lintas negara.
Indonesia sebagai salah satu negara yang dianggap tidak luput dari ancaman terorisme, sebagai contoh peledakan Bom di Bali merupakan bukti bahwa, ternyata indonesia juga terancam permasalahan terorisme. Dengan adanya peledakan bom bali tersebut mengharuskan Indonesia berpikir untuk dapat mengadili tersangka peledakan bom bali tersebut. Karena dalam prinsip hukumnya indonesia memakai asas legalitas dan asas Nulum Delictum sine privea lege poenaly. Menurut asas ini tiada suatu perbuatan boleh dihukum, malainkan atas kekuatan pidana dalam Undang undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu. Namun dalam prakteknya dalam kasus Bom bali, asas tersebut disimpangi, sehingga terjadi banyak perdebatan yang mengatakan penerapan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 itu terhadap kasus bom bali tersebut melanggar asas Non Retroaktif. Namun pada kenyataannya dalam kasus bom bali tersebut tetap dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan UU nomor 2 tahun 2002 tersebut dengan melanggar asas non retroaktiv.
Indonesia yang lebih dikenal memakai paradigma positivisme dalam hukum, seharusnya tidak dapat memberi peluang undang-undang berlaku surut. Permasalahan di atas merupakan permasalahan paradigma dalam studi hukum yang harus didiskusikan demi terwujudnya hukum yang baik dengan berlandaskan kepada paradigma hukum menuju cita hukum Indonesia yang lebih baik. Oleh sebab itu dalam tulisan ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah paradigma hukum pisitivisme Indonesia masih tetap dapat dipertahankan eksistensinya dalam pergaulan masyarakat dan dunia?
2. Bagaimanakah seharusnya paradigma pembangunan Hukum menuju modernissi hukum dan cita hukum Indonesia?.

PEMBAHASAN
A. Paradigma Hukum Nasional
sebelum melangkah lebih jauh membicarakan permasalahan paradigma, maka perlu di jelaskan dahulu menyangkut pengertian paradigma. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan paradigma sebagai model teori ilmu pengetahuan, kerangka berpikir. Pedoman yang dipakai untuk mengajukan gugusan sistem pemikiran, bentuk kasus dan pola pemecahannya. Sedangkan menurut istilah, paradigma adalah suatu model percontohan, representatif, tipikal, karateristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan atau pencapaian dalam satu bidang ilmu pengetahuan. (Dep.Dik-Bud, 1990: 648)
Seperti halnya disiplin ilmu yang lainnya yang berkembang melanjutkan tradisi penelitian dan penemuan teori terdahulu, begitupun dengan ilmu hukum tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu hukum juga melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah asumsi-asumsi, dalam kerangka dasar umum habitat ilmu hukum. Timbulnya berbagai pandangan dalam ilmu hukum merupakan buah dari pemikiran para cendikiawan hukum itu sendiri, baik yang datang dari kelompok praktisi maupun akademisi, dan pada saat ini sudah diterima sebagai sebuah paradigma (Lily Rasyidi, 1996: 155). Kemudian paradigma itu menarik untuk dikaji bila kita mempelajari konsep paradigma yang disodorkan oleh Thomas Khun yang menjelaskan ke dalam 21 pengertian paradigma yang tidak mungkin dijelaskan disini diantaranya diartikan sebagai masterpiece matrix.
Chalmers menyatakan bahwa karateristik paradigma meliputi antara lain: tersusun oleh hukum paradigma dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan secara eksplisit, mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut kedalam situasi dan kondisi, mempunyai instrumen dan tekhnik-tekhnik instrumental yang diperlukan guna menjadikan hukum-hukum tersebut berjaya didunia nyata, terdiri dari beberapa prinsip metafisika yang memadu segala karya dan karsa di dalam lingkup paradigma dimaksud, mengandung beberapa ketentuan metodologis yang bersifat umum (lily Rasyidi, 1996: 156).
Paradigma hukum positif nasional Indonesia yang masih di terima secara bulat pada saat ini, adalah sebuah paradigma hukum yang lahir dari nuansa kebangsaan setelah melewati perjalanan sejarah panjang atau dalam istilah Soepomo sebagaimana dikutif oleh A Gunawan setiadji dalam bukunya yang berjudul dealektika hukum dan moral dalam pembangunan hukum di Indonesia. Disebut sebagai ”suasana bathin bangsa Indonesia” (1990: 158). Bermula dari jaman klasik, zaman agraris pedesaan dengan spesifikasi kekeluargaan , jaman gerakan revolusioner melawan penjajahan belanda dan jepang hingga jaman kemerdekaan yang menuju era indonesia modern sebagai negara maju. Pendekatan historis inilah akhirnya pancasila yang sebelumnya hanya berupa sekumpulan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dijadikan ideologi negara serta sebagai cita hukum nasional.
Pancasila sebagai perjanjian luhur yang diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 sejak kemerdekaan 17 agustus 1945 telah memberi warna dalam perkembangan hukum nasional dengan segala kekuarangan dan kelebihannya. Berbagai macam istilah di berikan kepada pancasila dalam prilaku yuridis seperti sumber dari segala sumber hukum, asas-asas hukum umum, asas-asas hukum nasional, asas-asas hukum pokok, asas-asas hukum dasar atau sistem hukum pancasila. Konsekuensinya pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dalam beberapa dekade kehidupan berbangsa telah merasuk kedalam semua aspek kehidupan tak terkecuali aspek hukum, artinya hukum tak terlepas dari pengaruh pancasila atau dengan kata lain hukum tidak boleh bertentangan dengan jiwa pancasila, sekalipun dalam beberapa kasus teori ini lebih banyak sepihak dan dipaksakan.
Ternyata pancasila yang tadinya dijadikan sebagai paradigma hukum nasional dengan karteristik religius, kemanusiaan, kebangsaan, persamaan, kedilan sosial, moralitas, partisipasi. Tetapi dalam perjalanan waktu lebih menonjol sebagai aspek ideologis ketimbang aspek yuridis itu sendiri. Aspek yuridis yang memiliki parameter-parameter ilmiah, rasional, logis, empiris, kritis dan metodologis yang terus berkembang mengikuti perubahan dunia. Manusia indonesia yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum positiv indonesia lebih dicurigai sebagai gerakan perlawanan kepada pemerintah yang syah, sehingga menyebabkan perspektif cita hukum nasional bermasa depan suram dan hanya sekedar sebuah wacana pembenaran.
Paradigma hukum nasional pancasila yang lahir dari sebuah ideologi politik pada aktualisasinya pun tidak lepas dari faktor dominan kekuasaan. Sehingga dalam hidup berbangsa, hukum hanya dijadikan alat justifikasi penguasa. Hukum sebagai panglima atau kesetaraan dalam hukum beralih fungsi hukum sebagai alat atau ketidaksamaan di depan hukum. Pengalaman buruk pada orde lama yang berakhir dengan gerakan 30 september 1965 adalah berawal dari sebuah ambisi yang menjadikan hukum sebagai alat revolusi. Kemudian disusul dengan pemerintahan orde baru yang berakhir dengan gerakan reformasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan indikasi yang kasat mata dari penyalahgunaan fungsi hukum sebagai sarana pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan dalih stabilitas negara (dalam makalah yang dihimpun oleh Mudzakkir dari Varia Peadilan). Diskripsi historis yuridis inilah yang seharusnya memberi nilai kesadaran kepada kita bahwa paradigma hukum pisitiv nasional tidak lagi baik.
B. Perkembangan Paradigma dalam pemikiran Hukum Indonesia
Masuk dan tumbuhnya kekuasaan barat di Indonesia menyebabkan masuk pulalah perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika kepada orang-orang indonesia diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Eropa. Orang-orang Indonesia mulai berkenalan dengan elemen-elemen ideologi aufklarung sebagai ideologi sekuler yang terkait erat pertumbuhannya dengan perkembangan rasionalisme. Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak asasi, kemerdekaan, persaman, demokrasi, republik, konstitusi, hukum negara dan masyarakat. Pemikir pemikir seperti John lock, Thomas hobbes, Rousseau, diketahui serta individulisme, liberlisme, kapitalisme, sosilisme dan marxisme didalaminya.
Pada awal abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda mulai menyediakan fasilitas pendidikan bagi orang Indonesia secara terbatas sehingga lambat laun berkembang cikal bakal kelas menengah yang berpendidikan, sekalipun masih sangat kecil. Sejumlah kecil mahasiswa indonesia yang berhasil belajar di Belanda , sangat dipengaruhi oleh kondisi politis maupun ide-ide politis yang mereka temukan disana. Kebebasan-kebebasan sipil dan pemerintahan demokratis yang mereka lihat di Belanda, sangat berlawanan dengan kondisi-kondisi di Indonesia, sehingga hal ini membuat para mahasiswa Indonesia sangat terkesan. Selain itu juga awal dekade 1960 an banyak kalangan intelektual Indonesia yang mulai akrab dengan teori-teori modernisasi yang mereka kenal baik selama studi di negeri Barat maupun dari bacaan-bacaan yang mereka peroleh.
Perkembangan pemikiran para ahli hukum Indonesia menjadi satu pembahasan yang menarik untuk didiskusikan. Munculnya sebuah teori pemikiran hukum juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang solusinya. Tipologi pemikiran hukum disini adalah satu kajian tentang tipe-tipe pemikiran para ahli hukum indonesia pasca kemerdekaan sampai masa orde baru khususnya dekade 1990-an. Pemikiran yang dikemukakan oleh para ahli hukum merupakan pemikiran yang tidak dipisahkan dari realitas budaya hukum di Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena pemikiran hukum mereka bukannya semata-mata membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan aspek normatif-doktriner, tetapi juga berhubungan dengan analisis, respon, dan refleksi mereka terhadap permasalahan hukum dan konseptualisasi hukum dalam perspektif sosiologis.
Sementara itu, penting dikemukakan bahwa tipologi yang diuraikan lebih merupakn peta yang didasarkan pada kecenderungan umum pemikiran hukum di Indonesia. Dari peta tersebut diharapkan sosok dan profil pemikiran para ahli hukum indonesia akan tampak lebih jelas, selain itu dalam diskripsinya , tipologi tidak semata-mata mendasarkan diri pada aliran pemikiran yang dianut oleh masing-masing ahli hukum, tetapi juga mengamati kerangka teoritis atau pendekatan yang digunakan.
Tipologi Pemikiran ahli hukum periode pasca kemerdekaan menunjukkan suatu model pemikiran yang mengutamakan komitmen pada hukum adat, dalam kontek politik hukum, pemikiran formalistik memperlihatkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang sebuah tatanan hukum yang dibayangkan, seperti terwujudnya suatu sistem hukum nasional, ekspresi simbolis dan idiom-idiom hukum yang entitasnya menuju hukum adat sebagai karateristik hukum nasional, oleh karena itu pemikir-pemikir hukum saat itu yang dipresentasikan oleh Prof.,Dr.,Mr. Soepomo dan Prof.,Dr.,Mr Soekanto sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme hukum adat (Khudzaifah Dimyati , 2004: 239).
Dalam perkembangannya pemikiran hukum dengan tipologi formalistik pada dekade 1960 sampai 1970. mulai memperlihatkan suatu karateristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada format-format postulat hukum pada pemikiran hukum pada periode ini. Salah satunya direpresentasikan oleh Prof. Djoko Soetono, Beliau mengatakan bahwa dalam pikiran seorang ahli tidak berdiri sendiri dan tidak otonom, tetapi dipengruhi oleh suasana sekitarnya. Oleh karena itu, selayaknya kita menyesuaikan diri dengan masalah pembentukan konstituante dan konstitusi.
Pada masa ini hukum adat masih menjadi dasar pembentukan hukum, karena hukum adat dianggap sebagai hukum yang universal dan nilainya melebihi hukum-hukum manapun serta melampui batas kewilayahan (pemikiran djoyodigoeno).
C. Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Fungsi Politisnya dalam Kehidupan Bernegara
Positivisme merupakan salah satu aliran dalam paham filsafat yang berkembang di Eropa kontinental, khususnya di Perancis dengan dua eksponennya yang terkenal, Henri Saint-Simon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857. positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesutu yang eksis, suatu obyek yang harus dilepaskan dari sembarang macam para konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya (Soetandyo Wignyosoebroto, 2002: 96). diaplikasikan kedalam pemikiran tentang hukum positiv menghendaki dilepasknnya pemikiran meta yuridis mengenai hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum haruslah eksis pada alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit sebagai kesepakatan antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya).
Hukum tidak lagi harus dikonsepsi sebagai asas-asas moral meta yuridis yang niskala (abstrak) tentang hakekat keadilan melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang dibilang hukum dan apapula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang terbilang hukum (Soetandyo Wignyosoebroto, 2002: 97)
Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius) agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege) sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral yang tak pula banyak bisa dijabarkan secara meluas. Tak pelak lagi, dalam pengalaman, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum dinegara-negera yng tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau penyatuan, tak Cuma yang menuju ke nation state melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionlisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk memonopoli kontrak sosial yang formal, melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif.
Produk positivisasi yang disebut dengan hukum positif itu sekalipun terbilang positif, dalam arti obyektifitasnya di akui dan di “ya” kan dengan tegas pada hakekatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif. Proses positivisasi pada hakekatnya adalah suatu proses obyektivitas sejumlah norma meta yuridis menjadi sejumlah norma yang positif, sehingga ilmu hukum yang terbangun daripadanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi, dan tidak berlogika normologis yang induktif untuk menemukan berjumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural bagimanapun juga hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normatif judgemen, bukan hasil observasi-observasi yang mendayagunakan metode sain guna menjamin obyektifitas dan realibilitas (Khudzaifah Dimyati , 2004: 240).
Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut positivisme dalam paradigma pembentukan hukumnya. Tentunya banyak hal yang dapat menjadi satu kelemahan dalam penerapan hukumnya, dalam pandangan positivisme, yang dikatakan hukum adalah satu norma-norma yang telah dipositifkan, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis sekalipun itu baik dan bagus bukan disebut sebagai hukum. Hal inilah yang sering kali indonesia mengalami persoalan ketika harus menghadapi kejahatan-kejahatan internasional, seperti kejahatan terorisme misalnya. Kasus-kasus terorisme yang menjadi satu kejahatan dunia telah masuk keindonesia yang mau-tidak mau dengan tekanan Internasional mengharuskan negara Indonesia terlibat dalam pemberantasan kejahatan terorisme tersebut, namun yang menjadi masalah adalah kejahatan terorisme yang telah melanda indonesia, ternyata indonesia dalam hukum positifnya belum mampu mengakomodir kejahatan tersebut. Sehingga mengharuskannya dalam waktu singkat membuat aturan hukumnya. Walaupun harus melanggar asas-asas umum dalam hukum indonesia.
D. Membangun Paradigma pemikiran Hukum di Indonesia menuju Modernisasi Hukum
Teori positivisme hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti diantisipasi oleh hukum positif dan oleh karena sangat terbatas, untuk tidak mengatakan gagal, apabila dihadapkan dengan suasana kemelut dan keguncangan seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu indonesia tidak boleh berlarut-larut dalam cara penegakan hukum sebagaimana selama ini dijalankan. Menurut Satcipto Rahardjo dalam buku teorisasi hukum karangan Khudzaifah Dimyati mengatakan Indonesia membutuhkan suatu tipe penegakan hukum progresif, karena pengamatan selama ini menunjukkan ,meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan keras namun hasilnya tetaplah mengecewakan (2004: 134).
Demikian halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektika terjadi pemikiran baru yang selalu berujung pada perubahan, reformsi 1998 misalnya merupakan perubahan paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan yang dibangun berdasarkan pardigma kekuasaan digantikan oleh paradigm moral akal budi selain itu juga Satcipto Rahrdjo mengatakan bahwa hukum bukan suatu institusi yang selesai tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus. Pemahaman hukum secara legalistik positivistik dan berbasis peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalistik positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang komplek telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik terutama untuk kepentingan profesi dalam kontek hukum Indonesia. Doktrin hukum demikian yang masih dominan termasuk kategori legismenya – Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan untuk kemudin meng-hakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Satcipto Raharjo, 2000: 9).
Untuk mulai membangun hukum indonesia maka paradigma yang harus dipakai dalam pemikiran tersebut adalah harus mencoba meninggalkan paradigma positivis menuju kepada paradigma sosial artinya menempatkan hukum pada kontek sosialnya yang lebih besar dengan kata lain, hukum tidak dipahami sebagai institusi yang esoterik dan otonom tetapi sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Sehingga terbangun konstruksi hukum yang benar-benar responsif terhadap kemungkinan yang akan terjadi.
PENUTUP.
Dari urian di atas dapat disimpulakan bahwa paradigma pembangunan hukum di indonesia yang mendasarkan pada paradigma positivistik, mempunyai keterbatsan serta banyak permasalahan, karena paradigma ini hanya menganggap bahwa hukum itu adalah norma-norma yang di positifkan saja, sehingga tidak dapat merespon perubahan sosial yang semakin berkembang.
Sehingga merujuk pada kenyataan tersebut perlu kiranya melakukan satu pemikiran hukum yang dapat merespon perkembangan sosial, serta hubungan internasional, sehingga pardigma yang dibangun pun harus sesuai dengan kondisi masyarakat dan perkembangan zaman.










DAFTAR PUSTAKA
Gunawan .S. 1990, Dialektika Hukum dan moral dalam pembangunan masayarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.
Khudzaifah Dimyati. 2004, Teorisasi Hukum (studi tentang perkembangan pemikiran Hukum di Indonesia) Surakrta: UMS Press.
Lili Rsyidi, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra ditya.
Munir Fudi, 2003, Aliran Hukum Kritis (paradigma ketidkberdayaan hukum) Bandung: PT. Adity bakti.
Mudzakir, Kumpulan Makalah, dari majalah Vria Peradilan.
Satcipto Rahardjo, 2000, Sosiologi Pembangunan Peradilan yang bersih Berwibawa, Jurnal Hukum Surakarta: UMS.
Sosetandyo.W, 2002, Hukum, Paradigma, metode dan dinamika masalahnya. Jakarta: Elsam.
R. Soesilo.1994. KUHP. Bandung: Politeis.

Tidak ada komentar: