Jumat, 26 Desember 2008

Pornografi dan Pornoaksi

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DI INDONESIA

Gatot Sugiharto,S.H.,M.H.

Abstract

Upaya kriminalisasi terhadap tindakan pornografi dan pornoaksi di Indonesia mengalami hambatan, hal ini terkait dengan terjadinya pro dan kontra atas kriminalisasi perbuatan tersebut. Pembahasan Rancangan undang-undang pornografi dan pornoaksi masih terus diupayakan dengan memperhatikan pro dan kontra yang terjadi, terlepas dari persoalan pro dan kontra tersebut, tulisan ini mencoba untuk melihat dari sisi urgensi kriminasisasi terhadap pornografi dan pornoaksi di Indonesia dan dasar justifikasi Negara dalam mengatur persoalan moral individual warga negaranya, yang dikaji dengan menggunakan kajian kebijakan penanggulangan kejahatan, yang selanjutnya dapat dilihat strategi apa yang dilakukan oleh Negara dalam menanggulangi pornografi dan pornoaksi di Indonesia.


PENDAHULUAN
Pornografi dan pornoaksi dinilai memberikan andil besar atas kemerosotan moral bangsa Indonesia dari hari ke hari. Sebagaimana diberitakan Kantor Berita Associated Press (AP), Indonesia berada pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan.
Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Univesitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno. selanjutnya beliau juga mengungkapkan bahwa, Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama". Pernyataan ini tidak berlebihan jika selanjutnya muncul pertanyaan apakah sudah saatnya pornografi dan pornoaksi dikriminalisasikan?. Pertanyaan ini ternyata mendapatkan sikap yang berbeda-beda diantara masyarakat Indonesia. Paling tidak terdapat dua pendapat yang sangat kontradiktif berkaitan dengan permasalahn ini.
Pro dan kontra berkaitan dengan pengaturan tindakan pornografi dan pornoaksi ini, merupakan permasalahan pula bagi negara untuk dapat mewujudkan peraturan perundang-undangan mengenai pornografi dan pornoaksi. Yang kontra terhadap pengaturan pornografi dan pornoaksi beralasan bahwa, masalah pornografi tidak dapat diatur dalam Undang-undang karena akan menimbulkan ketegangan sosial dan mengancam kreativitas. Sebaliknya, beberapa kalangan, mulai para ulama, dai, ibu-ibu rumah tangga dan para pendidik sangat berharap terhadap pengesahan dan pemberlakuan UU Anti pornografi dan Pornoaksi. Mereka meyakini dengan pemberlakukan UU ini akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi.
Upaya yang selama ini dilakukan aparat kepolisian dalam pemberantasan tindak pornografi dan pornoaksi terhambat pada landasan hukum dan cakupan kewenangan bagi upaya tersebut. Karena KUHP ternyata tidak mampu mencakup sampai kepada perbuatan tersebut, sehingga pada akhirnya, pemberantasan tindak pornografi dan pornoaksi tidak menyelesaikan akar persoalannya. Di sisi lain, mereka juga berharap timbul kesadaran masyarakat untuk mendukung upaya tersebut.
Negara sebagai organisasi tertinggi, tetap melakukan upaya dalam rangka pengaturan pornografi dan pornoaksi tersebut. Secara serius di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencoba mencari titik temu agar persoalan pro dan kontra ini dapat di minimalisasi sehingga tidak mucul ketegangan yang berdampak pada kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pembahasan yang dilakukan oleh DPR sampai pada perubahan judul dari Rancangan Undang-undang (RUU) yang akan mengatur pornografi dan pornoaksi selain substansi dari RUU tersebut. RUU yang semula berjudul Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) kini berubah menjadi Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornaksi (RUU PP).
Terlepas dari persoalan pro dan kontra serta berlangsungnya pembahasan baik substansi isi RUU maupun Judul RUU tersebut, dalam kajian ini penulis mencoba melihat dari sisi Kebijakan hukum Pidananya, sehingga dalam tulisan ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah urgensi kriminalisasi terhadap tindakan pornografi dan pornoaksi di Idonesia? dan apakah dasar justifikasi negara dalam membuat aturan-aturan hukum yang bersifat intervensi terhadap masalah moral individual ? serta Bagaimana strategi Negara dalam mengkriminalkan tindakan pornografi dan pornoaksi di Indonesia?.
PEMBAHASAN
Perlu disampaikan bahwa ada dua persoalan yang cukup mendasar yang berkaitan dengan perspektif politik hukum pidana tentang rencana negara mengkriminalisasikan persoalan pornografi dan pornoaksi. Persoalan tersebut adalah:
1. Apakah untuk mengatur dan mencegah maraknya pornografi dan pornoaksi dimasyarakat dewasa ini, harus dengan menggunakan media berupa undang-undang hukum pidana baru ? apakah tidak cukup dengan mengefektifkan peraturan-peraturan yang sudah ada ? atau mengoktimalkan peran kaedah-kaedah sosial lainnya seperti agama, kesusilaan, dan kesopanan ?. persoalan ini menjadi sangat urgen untuk dibahas setelah ada penolakan dari sebagian masyarakat, sehingga RUU yang seyogyakanya akan menjadi undang-undang pidana menjadi tertunda dan tidak dapat dipastikan sampai kapan bisa diwujudkan atau justru tidak akan pernah menjadi undang-undang.
2. Apa dasar justifikasi yang dimiliki negara dalam “memperluas wewenangnya” sehingga masalah moralias individual yang merupakan sebuah Privacy semacam pornografi dan pornoaksi ?.
A. Urgensi Kriminalisasi Pornografi dan Pornoaksi di Indonesia
Sebelum membahas permasalahan urgensi kriminalisasi pornografi dan pornoaksi sebaiknya perlu disampaikan dahulu apa yang disebut pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Pertanyaan apa sebenarnya pornografi dan pornoaksi itu? Tidak dapat segera dapat dijawab dengan mudah, oleh karena sampai saat ini tidak ada kesepakatan mengenai pengertian pornografi dan pornoaksi. Sebagai gambaran tentang beberapa pendapat yang mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya.
Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor.
Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual.
Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu:
1. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.
2. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih.
Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat.
Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi adalah materi baik berupa tulisan atau gambar yang dengan sengaja maupun tidak sengaja di buat atau dirancang dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi/ seks. Namun dikecualikan untuk tulisan atau gambar yang dirancang untuk keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sedangkan pornoaksi dapat penulis devinisikan sebagai tindakan penggambaran dalam bentuk gerakan, liukan tubuh yang dapat membangkitkan nafsu birahi/seks.
Dampak-dampak serta fakta-fakta yang mungkin dapat dijadikan dasar berpijak sebelum membahas apakah kriminalisasi terhadap pornografi dan pornoaksi ini sudah sangat urgen?.Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan.
Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Universitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno. selanjutnya beliau juga mengungkapkan bahwa, Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama".
Hal yang telah disampaikan di atas hanya sebagian kecil, dari sejumlah kasus yang terjadi yang disebabkan oleh maraknya pornografi dan pornoaksi di Indonesia, namun ini cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa pornografi dan pornoaksi memiliki dampak buruk, bahkan nyaris tidak ada dampak positifnya. Sehingga dari gambaran di atas tidak berlebihan jika persoalan pornografi dan pornoaksi perlu mendapatkan perhatian serius.
Terhadap persoalan mendasar pertama yaitu apakah urgensi kriminalisasi tindakan pornografi dan pornoaksi, dalam kacamata politik hukum pidana dapat dikemukakan analisis sebagai berikut:
1. Bahwa suatu kejahatan atau tindak pidana selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan permasalah sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest social problem. Menghadapi masalah ini, dalam sejarah peradapan manusia telah banyak dilakukan berbagai upaya (kebijakan rasional) untuk menanggulanginya. Kebijakan rasional menanggulagi kejahatan inilah yang populer disebut dengan politik kriminal. Konggres PBB ke-6 tentang The Prevention of crime and the treatment of offender di Jenewa Swiss tahun 1981 hingga konggres ke-9 tentang hal yang sama di Havana Cuba tahun 1990, ditegaskan bahwa kebijakan menanggulangi suatu kejahatan hendaknya dilihat sebagai bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Mengingat kebijakan menanggulangi kejahatan tidak akan banyak artinya jika kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor Criminogen dan Victimogen. Selain itu ditegaskan pula bahwa upaya menanggulangi kejahatan haruslah dilakukan secara terpadu (integral) antara penggunaan sarana Penal (membuat serta menegakkan aturan hukum pidana) dengan sarana non penal (pendekatan selain hukum pidana misalnya politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain). Hal ini mengingat selain kebijakan penanggulangan kejahatan bukanlah semata-mata masalah hukum pidana, juga karena huku pidana sendir hakekatnya memiliki batas-batas kemampuan.
2. Dilihat dari segi sifatnya yang represif dan bobot sanksinya yang paling berat dibanding bidang hukum lain, maka dalam doktrin dikenal ajaran bahwa hendaknya fungsionalisasi hukum pidana benar-benar harus mempertimbangkan asas Ultimum Remidium. Artinya huku pidana mestinya diterapkan sebagai sarana terakhir setelah mempertimbangkan sanksi yang diberikan melalui bidang hukum lain atau melalui optimalisasi kaidah sosial lainnya dipandang tidak cukup berhasil dalam mengatasi (mencegah dan menanggulangi) masalah sosial yang dihadapi. Asas Ultimum Remidium ni penting, tidak hanya dierhatikan pada waktu melakukan kriminalisasi saja tetapi juga pada saat menerapan undang-undang itu sendiri dalam praktek penegakan hukum. Secara lebih rinci Muladi dan Barda Nawawi Arif menjelaskan bahwa konsep penggunaan undang-undang hukum pidana berdasarkan asas ltimum remidium tersebut maknanya adalah sebagai berikut:
a. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata,
b. Hukum pidana pun hendaknya janga digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya,
c. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut,
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampaingan (by Product) yang ditimbulan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasikan,
e. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak dapat efektif (unforceable),
f. Penggunaan hukum pidana pun hendaknya harus menjaga keserasian anara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan,
g. Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan,
h. Dan akhirnya penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat no penal (Prevention without punishment).
Bertolak dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam menghadapi suatu problem sosial bernama kejahatan, solusi berupa kebijakan dengan membuat dan menggunakan aturan hukum pidana untuk menanggulanginya pada prinsipnya tidak ada yang salah (sah-sah saja). Sepanjang kebijakan tersebut masih dalam koridor doktrin hukum pidana sebagai Ultimum Remidium.
3. Berkaitan dengan rencana pemerintah untuk mengkriminalisasikan pornografi dan pornoaksi, pertanyaan yang muncul adalah apakah perumusan rencana undang-undang sudah memenuhi doktrin ultimum remidium? Sehubungan dengan hal ini maka perlu dicermati hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi dengan segala bentuk dampak yang ditimbulkan adalah fakta yang tak terbantahkan. Kasus VCD “Bandung Lautan Asmara”, Casting Iklan Sabun Mandi, Artis ganti pakaian, yang melibatkan “korban” beberapa artis seperti sarah ashari, rachel maryam, femmy permatasari dan lain sebagainya, beredar bebasnya sejumlah tabloit atau koran beraliran “Syur” yang mengumbar gambar-gambar model dengan pose seronok, berita-berita seperti perzinaan, pelecehan seksual bahkan perkosaan yang ramai menghiasi media masa akhir-akhir ini, dengan pengakuan yang sangat mengejutkan bahwa mereka melakkan perbuatan itu karena setelah habis menonton VCD porno atau sehabis melihat pertunjukan yang berbau pornoaksi. Ini hanyalah sekedar contoh sekaligus indikasi yang menunjukkan betapa sangat memprihatinkannya dan seolah tidak dapat dikendalikan lagi fenomena pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Dalam kondisi demikian, maka masalah moralitas bangsa ke depan tentu menjadi taruhannya.
b. Semetara itu, upaya untuk menanggulanginya dengan pendekatan moral susila keagamaan (seperti yang terlihat dengan tumbuh suburnya berbagai majlis ta’liem maupun publikasi dan sosialisasi nila-nilai budi luhur warisan budaya bangsa yang mengkritik dan mencela fenomena pornografi dan pornoaksi tersebut) dalam kenyataannya tampak berlalu saja tanpa hasil yang berarti. Pengajian hanya merupakan kegiatan rutin keagamaan dan nilai-nilai budaya pun seolah-olah hanya bernasib sebagai warisan yang tidak diminati oleh generasi sekarang. Budaya trend dengan penampilan yang pornoaksi tampak lebih menjadi panutan. Ini fakta sehari-hari yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan benar-benar agama, serta nilai budaya nyaris tak berdaya.
4. Bagaimana dengan efektifitas peraturan hukum yang sudah ada ?. telah diketahui bahwa jauh sebelum RUU APP muncul yang akhirnya menimblkan konroversi mengenai urgensi kehadirannya, Indonesia sebenarnya sudah memiliki sejumlah piranti hukum ang berkaitan dengan pengaturan masalah pornografi dan pornoaksi, misalnya:
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai delik kesusilaan sebagaimana terdapat dalam pasal 281, 282, 283, 532, 533, 534 dan pasal 535.
b. UU No. 40/1999 tentang Pers terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pers nasional berkewajiban memberitakan eristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Dan ketentuan pasal 13 huruf a yang menegaskan: “pers nasional dilarang memuat pemberitaan atau iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.
c. Kode etik jurnalistik terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 2 angka 2 huruf c yang menegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
d. UU No. 27 Tahun 2002 Tentang Penyiaran terutama yang berkait dengan ketentuan pasal 36 yang antara lain pada ayat (1) menegaskan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hibuan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan seta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sedangkan pada ayat (5 huruf b) melarang tegas isi siaran yang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, pejudian, penyelahgunaan narkotika dan obat terlarang.
Sehubungan dengan berbagai macam ketentuan tersebut di atas, ada suatu pertanyaan yang sangat mendasar dan memerlukan jawaban jelas, yaitu: apa sesungguhnya batasan konkrit untuk membedakan antara pemberitaan/siaran pers maupun perilaku yang dapat dikatakan masih menghormati moral/kesusilaan masyarakat, dengan yang sudah melanggar atau menyinggung moral kesusilaan masyarakat alias sudah cabul/porno?.
Ketidak jelasan tentang batasan yuridis mengenai konsep porno itulah yang kemudian menimbulkan problema prakek penegakan hukum selama ini. Aparat terutama kepolisian sebagai penegak hukum di garis terdepan lebih sering terlihat gamang/ragu dalam menangani-kasus pelanggaran susila. Kalaupun ada kasus yang sampai ke pengadilan bahkan diputus pemidanaan (seperti kasus VCD artis ganti pakaian dengan terpidana Budi Han), namun tetap lebih banyak kasus-kasus serupa yang mengabang dan tidak jelas penyelesaianya.
Hubungannya dengan hal tersebut dengan menyitir pendapat Lawrence Friedman tentang hakekat sistem hukum, topo santoso menyatakan bahwa problema penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan masalah pornografi dan pornoaksi di Indonesia sesungguhnya bersumber pada tiga hal, yaitu: (1). Substansi/materi hukum yang tidak jelas/tegas pengaturan batasannya; (2). Struktur kelembagaan hukum berupa sikap dan cara pandang aparat yang sering terlihat gamang; dan (3). Kultur/budaya hukum masyarakat yang terlihat ambivalen, artinya meskipun sebagian (besar) masyarakat dengan tegas menolak kehadiran pornografi dan pornoaksi dalam segala bentuknya, tetapi tidak sedikit pula yang secara diam-diam atau bahkan terang-terangan menikmatinya bahkan kemudian mengemasnya dalam industri bisnis.
Jadi upaya mengefektifkan aturan hukum yang sudah ada selama ini, tampaknya akan terus mengalami hambatan signifikan karena ketidak jelasan aturan hukum itu sendiri, akibatnya akan muncul persepsi di masyarakat bahwa perilaku tertentu yang ditampilkannya belum tentu berkategori sebagai porno. Karena kaburnya batasan porno tersebut, meskipun mungkin hal itu benar-benar sudah bersifat porno.
Selanjutnya berkaitan dengan prasyarat harus adanya dukungan masyarakat sebagai legitimasi sosiologis bagi keberadaan suatu undang-undang pidana baru, tentu hal ini harus dipahami sebagai sebuah kemustahilan jika yang dimaksud dengan dukungan kuat tersebut adalah harus seluruh lapisan dan elemen masyarakat yang ada. Pro dan kontra terhadap regulasi suatu masalah yang pasti akan terjadi dikalangan masyarakat. Sebab sebuah undang-undang yang bersifat mengatur, apalagi pengaturan undang-undang pidana yang represif dan membatasi, pasti akan berimbas kepada phak-pihak tertentu yang kemudian melahirkan sikap-sikap penolakan secara apriori, bahka tanpa kompromi.
Oleh karena itu , makna dukungan kuat dari masyarakat tersebut kiranya harus dipahami sebagai dukungan mayoritas, akan tetapi tidak boleh terjebak pada sikap tirani. Itulah sebabnya perlu terus diadakan dialog dengan sekelompok minoritas yang bersikap menolak RUU APP dengan tujuan agar aspiras-aspirasi mereka sedapat mungkin tetaptercover dalam aturan hukum yang direncanakan.
Jadi ketika persoalan maraknya pornografi dan pornoaksi sudah sedemikian rupa nyaris tak terkedali, moralitas bangsa menjadi pertaruhannya, peran nilai susila dan agama untk menanggulanginya menghasilkan realita yang tidak berarti, efektifitas perangkat hukum yang sudah ada tidak mampu lagi mengatasinya sehingga kelahiran undang-undang baru yang mengatur persoalan pornografi dan pornoaksi sudah sangat urgen, apalagi hal tersebut sebenarnya sudah dinanti-nanti oleh sebagian besar masyarakat.
B. Dasar Justifikasi Negara dalam Membuat Aturan-aturan Hukum yang Bersifat Intervensi Terhadap Masalah Moral Individual.
Selanjutnya terhadap persoalan mendasar kedua, yakni mengenai dasar justifikasi Negara dalam membuat aturan-aturan hukum yang bersifat “intervensi” terhadap masalah moralitas individu. Kiranya dapat dikemukakan analisis sebagai berikut:
1. permasalahan ini sebenarnya bersumber dari adanya perbedaan pemaknaan tentang hak kebebasan dan ekspresinya berdasarkan paham-paham tertentu(individualisme versus kolektivisme). Dalam pandangan paham individualisme, menikmati pornografi dan pornoaksi adalah ekspresi hak kebebasan individual yang tidak perlu dicela apalagi dilarang dengan hukuman, sepanjang hal itu tidak melanggar hak kebebasan indivdu lain. Sedangkan dalam pandangan kolektivisme, perilaku pornografi dan pornoaksi dipandang sebagai ancaman yang dapat merusak nilai-nilai moral tentang martabat kenmanusiaan. Jadi disini ada Social victim dan Public Victim.
2. berkait dengan eksististensi dan kewenangan Negara dalam mengatur kehidupan warganya, kiranya perlu dicermati kembali ajaran tentang teori “kontrak social” oleh John Locke. Menurut teori ini, tindakan Negara dalam mengatur kehidupan warganya melalui suatu regulasi hukum dengan tujuan agar tidak terjadi konflik natar warga Negara sehingga dapat tercipta dan terpelihara tertib hidup bersama (social order), hakekatnya tidak dapat dipandang sebagai bentuk intervensi Negara terhadap rakyatnya. Sebab justru itulah fungsi dan tugas utama Negara setelah dibentuk oleh waganya. Bukankah tujuan mula Negara dibentuk adalah agar dapat menjadi pengelola (manager) yang baik atas implementasi hak-hak warga Negara? Dan untuk melaksanakan tugas mengelola tersebut, bukankah Negara memang diberi kewenangan untuk membuat alat berupa hukum/undang-undang sebagai konsensus tentang ”aturan main” dalam kehidupan bersama?.
3. dalam realitas kehidupan dalam masyarakat, memang ada yang berpandangan behwa fenomena pornografi dan pornoaksi bahkan kumpul kebo atau sex bebas, adalah fakta yang sudah mulai dianggap wajar/biasa oleh sebagaian masyarakat akibat permissivisme. Sehingga merekapun menilai bahwa kebijakan mengkriminalisasikan perbuatan-perbuatan seperti itu melalui undang-undang pidana , hakekatnya merupakan pengingkaran terhadap realitas social yang permissivistik tadi. Terhadap pandangan yang seperti ini, kiranya perlu diingatkan dengan petanyaan kontemplatif sebagai berikut, apakah realitas permissive yang negative tersebut harus dibiarkan bahkan disahkan dengan cara hukum tidak boleh mengaturnya , sehingga perkembangan kehidupan masyarakat akan berjalan ters menuju kea rah kehancuran moral ?. ataukan hukum perlu tampil mengarahkan perubahan social yang terjadi agar kembali pada jalur moral yang dicita-citakan ?. bukankah teori filsafat hukum juga mengajarkan bahwa dalam konteks perubahan social, fungsionalisasi hukum kiranya perlu ditekankan kepada dimensinya sebagai social ingeneering ?
4. jika Negara memang memiliki justifkasi untuk mengatur kehidupan warganya demi terwujudnya dan terpeliharanya tertib social, apakah substansi pengaturan hukum pidana tersebut masih dapat dibenarkan jika menjangkau pada masalah-masalah yang bersifat pandangan moral individual warga ?. pertanyaan bernada “menggugat” ini,seolah mempertanyakan, apakah ada hubungannya antara hukum dan moral ? apalagi jika konsep moralias tersebut berbasis religi/agama. Tidakkah keduanya atau ketiganya (Hukum, moral dan agama) masing-masing memiliki cirri, sifat dan ranah yang berbeda ? dalam hubungannya dengan hal ini, mungkin patut direnungkan statement seorang filosof hukum bernama Alfred Denning. Yang mengatakan; ”Whitout religion there can be no morality, and whitout morality there can be no law” khusus dalam konteks pengaturan hukum pidana terhadap masalah moral tersebut, dalam arti batas-batas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat, D.A. Thomas pernah mengatakan bahwa: “System of substantive criminal law serve several purposes. Politically a criminal code may acquire symbolic significance as an expression of national unity morality, The code may amount to a concrete manifestation of the judgment of the community on the central values which bind it together and serve notice on the citizen on the limits of permissible behaviour within that society”.
5. bertolak dari rangkaian penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa mengingat harus eratnya hubungan antara norma hukum, moral dan agama, maka sudah semestinya jika basis moral religius menjadi suatu yang in hern dan integral dalam setiap regulasi hukum yang dibuat oleh Negara. Demikian demikian pula halnya dalam konteks kehadiran RUU yang akan mengatur permasalahan pornografi dan pornoaksi yang memenag bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi hakat dan martabat manusia yang beriman dan bertaqwa dalam rangka membentuk masyarakat yang berkepribadian luhur, memberikan perlindungan, pembinaan dan pendidikan moral serta akhlak masyarakat.
C. Strategi Negara dalam Mengkriminalkan Tindakan Pornografi dan Pornoaksi di Indonesia.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
1. Crininal Law Aplication;
2. Prevention Without Punishment;
3. Influencing Views of society on crime and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.
Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Permasalahan pornografi dan pornoaksi bukanlah permasalahan yang sederhana sehingga memerlukan keseriusan serta kebijakan yang mampu meminimalisir perbedaan pendapat, hal ini dikarenakan bahwa, di indonesia terjadi pro dan kontra berkaitan penanggulangan pornografi dan pornoaksi ini, yang mana masing-masing pihak yang pro dan kontra tetap mempertahankan argumentasi masing-masing.
Negara sebagai organisasi pemerintahan yang memiliki peran utama guna menanggulangi pornografi dan pornoaksi seyogyanya memilik strategi yang efektif. Yang diharapkan dengan tindakan baik represif maupun prefentif dengan tanpa mengabaikan pendapat-masing-masing yang pro dan kontra sebagai wujud dari negara demokrasi.
Upaya Negara dalam menanggulangi tindakan pornografi dan pornoaksi jika dilihat dari kebijakan yang ada dapatlah dikatakan bahwa Negara sebenarnya sudah mengambil strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), hal ini dapat ditunjukkan dengan munculnya sebuah rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP).
Namun demikian strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi yang dilakukan oleh Negara menggunakan hukum pidana bukanlah sesuatu yang mudah, karena kriminalisasi terhadap perbuatan pornografi dan pornoaksi terjadi pro dan kontra, yang semua tetap teguh pada argumentasinya masing-masing.
Pro dan kontra seputar pornografi dan pornoaksi ini berada pada tataran substansi dari isi rancangan-undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Namun menurut penulis bahwa sebenarnya argumentasi masing-masing yang pro dan yang kontra terakadang lebih mengedepankan emosi sehingga semakin memperkeruh persoalan.
Perdebatan dan perbedaan pendapat ini ternyata berlanjut, sehingga hal ini menjadikan pemerintah menunda pengesahan RUU APP tersebut menjadi undang-undang. RUU APP yang menjadi perdebatan tersebut masih dalam proses revisi guna memenui masukan-masukan dari pihak pro dan kontra. Sehingga judul RUU yang semula Rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) berubah menjadi rancangan undang-undang pornografi dan pornoaksi (RUU PP).
Terlepas dari strategi negara dalam rangka mengkriminasilasikan tindakan pornografi dan pornoaksi tersebut, penulis berusaha memberikan solusi dalam rangka meminimalisasi permasalahan pro dan kontra RUU Pornografi dan pornografi. Menurut penulis, permasalahan pro dan kontra pornografi dan pornoaksi tidak terlepas dari persoalan nilai yang berusaha dibangun oleh masing-masing pihak. Pihak yang pro berada pada tataran nilai etika dan moral sedangkan yang pro berada pada tataran nilai estetika dan hak asasi manusia (HAM).
Perbedaan paradigma tentang nilai inilah sebenarnya merupakan pertarungan ideologi mana masing-masing mempertahakan kebenaran ideologinya masing-masing. Sehingga berlanjut menjadi satu permasalahan yang selalu muncul diberbagai sektor, baik sektor ekonomi bisnis, politik, hukum dan lain-lain. Pro dan kontra diberbagai sektor ini sebaiknya pemerintah menyikapi dengan arif dan bijaksana dengan mencari titik kompromi sehingga perbedaan serta perselishan mampu diselesaikan.
Tindakan pemerintah dalam mencari titik kompromi ini memerlukan strategi agar dapat berhasil. Persoalan pornografi dan pornoaksi tersebut menurut hemat penulis pro dan kontra lebih banyak berada pada tataran seni dan kreatifitas yang berada pada nilai estetika dan bisnis dengan kepatutan dan kesopanan pada nilai etika dan moral. Sehingga negara dalam mencari titik kompromi guna mewujudkan undang-undang yang membatasi tindakan pornografi dan pornoaksi memerlukan strategi dengan melihat akar persoalan tersebut.
Strategi yang harus dilakukan adalah dengan meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan masukan kepada pemerintah berkaitan dengan hal ini. Selanjutnya negara dalam hal ini pemerintah dalam hal ini legislatif sebagai seorang formulator harus memasukkan kedua nilai tersebut dengan cara mengambil salah satu nilai yang dijadikan paradigma perumusan undang-undang dengan juga memperhatikan nilai yang lainnya. Dua nilai dalam perdebatan tersebut adalah nilai estetika dan etika, dimunculkan salah satu nilai tersebut menjadi paradigmanya misalnya nilai etika yang dimunculkan sebagai paradigma namun tanpa harus memasung nilai kreatifitas. Atau sebaliknya nilai estetika yang dijadikan paradigmanya namun estetika dan kreatifitas sebagai paradigma jangan sampai melanggar etika moral yang menjadi conduct norm atau aturan tingkah laku.
Jika kompromi dangan cara tersebut belum berhasil, maka diperlukan sikap tegas dan keberanian pemerintah untuk mengambil sikap memilih salah satu paradigma dengan mencari dampak buruk yang terkecil. Namun sebenarnya hasil pertemuan yang sering dilakukan di lembaga legislatif lebih banyak yang pro atau mendukung segera disahkanya RUU PP sebagai undang-undang dibandingka dengan yang kontra. Dengan alasan itu sebenarnya negara sudah dibenarkan untuk mengambil kebijakan. Perbedaan pasti akan tetap muncul, yang perlu dipahami adalah bahwa suara mutlak tidak akan pernah terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Sehingga perlu dilakukan pengambilan kebijakan dengan berdasarkan suara mayoritas.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, pengaturan permasalahn pornografi dan pornoaksi merupakan sesuatu yang sangat urgen, karena berdasarkan kajian kebijakan penanggulangan kejahatan (Crimnal policy) pornografi dan pornoaksi dirasakan sebagai sebuah tindakan yang ikut andil dalam kerusakan moral bangsa. Serta rencana mengkriminalkan tindakan pornografi dan pornoaksi tersebut sudah sesuai dengan asas dalam hukum pidana yaitu asas Ultimum Remidium.
Dasar justifikasi Negara dalam membuat aturan yang bersifat “intervensi” terhadap masalah moral individual dbenarkan secara teori, karena Negara melalui kontrak social masyarakat memiliki tugas dan wewenang mengatur keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara yang dalam imlementasinya melalui peraturan perundang-undangan sebagai acuan, dan oleh karena eratnya hubungan antara norma hukum, moral dan agama ini, maka sudah semestinya jika dalam setiap regulasi hukum yang dibuat oleh Negara antara moral dan agama menjadi sesuatu yang in hern dan integral.
B. Saran
Melihat fenomena perbedaan yang menghiasa munculnya RUU yang akan mengatur pornografi dan pornoaksi ini maka dapat diberikan saran bahwa:
1. dalam membuat suatu aturan hukum mensyaratkan adanya dukungan kuat dari warga negaranya, namun dukungan kuat ini jangan ditafsirkan sebagai dukungan mutlak karena dukungan mutlak ini tidak akan pernah ada dalam suatu pemerintahan, sehingga perlu ada prosentase dukungan, oleh karenanya maka dukungan kuat harus dimaksnai sebagai dukungan mayoritas, namun tetap diperhatikan kelompok minoritas sebagai wujud demokratisasi.
2. untuk mewujudkan peratuan perundang-undangan yang mengatur masalah pornografi dan pornoaksi perlu dialakukan suatu negosiasi antara kedua belah pihak yang bertentangan agar mendapatkan titik temu yang dapat menghindari konflik antar warga Negara yang menimbulkan menurunnya stabilitas nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arif Sidarta. 1996. Refleksi Tenang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Azimah Soebagyo. 2006. Porno !. Bandung: Saamil Cipta Media
Barda Nawawi Arif. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
-----------------------. 2000. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana Penjara. Semarang: Universitas Diponegoro.
-----------------------. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti,
Burhan Bungin. 2005. Pornomedia, sosiologi media, konstruksi social, teknologi telematika dan perayaan sek di media. Jakarta: Kencana
G PeterHoefnagel. 1973. The Other Side of Criminology. Holland: Kluwer de venter.
Jeff Olson. 1999. Lepas dari Jerat Pornografi (seri pemulihan diri). Yogyakarta: Yayasan Gloria
Mac Ancel. 1965. A Modern Aproach to Criminal Problems. London: Routledge & Kegan paul.
Mahfud MD. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Mardjono Reksodipoetro. 1994. HAM dalam SPP. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan pengabdian hokum Universitas Indonesia.
Muladi dan BNA. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni
Muladi. 2002. Demokratisasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesi. Jakarta: The Habibie Center.
Paul Scholten. 1997. Struktur Ilmu Hukum”diterjemahkan oleh BNA, dalam seri dasar-dasar ilmu hukum, Bandung: Laboratorium Fakultas Hukum Uniersitas Katolik Parahyangan.
Roslam Soleh. 1983. Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspekti. Jakarta: Aksara Baru.
Soedarto 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni
----------. 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
----------. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru.
Solly Lubis. 1989. Serba-serbi Politik dan Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Teguh Prasetya dan Abdul Halim B. 2005. Politik Hukum Pidana:Kajian kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisas., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
Undang-undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers
Undang-undang No. 27 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
RUU APP dan revisnya.

Jurnal:
Benedict A Alper, 1973, Changing Concept of Crime and Criminal Policy, Recourse material, No. 7. Tokyo: UNAFEI.
Sahetapy, 1993, Jurnal Hukum: Hukum dalam kontek Politik dalam kebijakan pembangunan system hokum”, Analisis CSIS Januari-Februari XXII, No.1, 1993

Makalah:
Abdul Kholik, 2003, Makalah Diskusi” Kontroversi RUU KUHP dan masa depan Hukum pidana Indonesia”, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
----------------, 2004, Makalah Seminar” Pro Kontra RUU APP, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Barda Nawawi Arif, 1991, Makalah seminar”Upaya non penal dalam penanggulangan kejahatan, Semarang: Universitas Diponegoro.

Media Masa:
Topo Santoso, Republika edisi 12 September 2003
----------------, Republika edisi 17 Juli 2003

Internet:
www.wilkimedia.com
Zubaidi, Artikel: UU Pornografi Perlukah? www.google.com
www.Kapanlagi.com

Tidak ada komentar: