Minggu, 28 Desember 2008

Makalah HAM

PENGADILAN HAM DI INDONESIA:
PROSEDUR DAN PRAKTEK

Agung Yudhawiranata


1. Latar belakang pembentukan

Kondisi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia semakin memprihatinkan terutama semakin maraknya pelanggaran HAM berat yang terjadi. Penyelesaian kasus tanjung priok, DOM Aceh, Irian dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan dan ini disebabkan tidak adanya instrumen dan perlindungan hukum yang memadai untuk dapat mengadili para pelaku kejahatan hak asasi manusia tersebut.

Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Pembentukan ini juga didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia jika dilihat antara keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Pelanggaran HAM di Timor-timur mempunyai nuansa khusus karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit untuk diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair dan tidak memihak.

Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal/legalistik seringkali dijadikan alasan. Peradilan seringkali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini.

Jika melihat KUHP Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan statura roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extraordinary crimes yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakukan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran HAM yang berat.

Sesuai dengan prinsip hukum internasional, khususnya prinsip universal dimana tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kwalifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus. Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM.


2. Landasan yuridis berdirinya pengadilan

Berdasarkan kondisi tentang perlunya intrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini sempat menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh komnas HAM.

Karena berbagai alasan Perpu No. 1 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya perpu adalah sebagai berikut :
1. secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
2. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan HAM masih terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
- kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya.
- Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
- Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga.
- Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau overlapping dengan hukum positif.

Setelah adanya penolakan perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan HAM. Dalam penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.

Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM dilingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan HAM adalah undang-undang Nomor 26 tahun 2000.


3. Pengaturan tentang pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000

Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka pengadilan HAM perlu dibentuk.

Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan HAM yang sifatnya permanen dan menggunakan mekansime komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang salah secara konseptual. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan genocida dalam yurisdiksi pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana karena merupakan begian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan kedalam kitab undang-undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampauai asas legalitas. Sedangkan pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana. Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai upaya praktis dari pemerintah untuk secara cepat mengakomodir dan menghentikan upaya-upaya kearah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis.

Dari argumen tentang kesalahan secara konseptual ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilai perkara pidana yaitu peradilan pidana dan pengadilan HAM. Atas kesalahan konsep ini maka UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk masa yang akan datang harus dirubah dan diintegrasikan kedalam ketentuan pidana atau masuk peradilan pidana.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHAP).

Pengaturan tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :

a. Kedudukan

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
1. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar.
2. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.


b. Jenis kejahatan yang dapat diadili

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM adalah :
1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
a. membunuh anggota kelompok
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :
a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP.
b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.
c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secar sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hukum international.
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorag yang berada dibawah pengawasan.
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
j. Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu.

Definisi bahwa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil menurut UU No. 26 Tahun 2000 adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. Jenis-jenis kejahatan yang termasuk genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah jenis kejahatan yang diadopsi dari ketentuan Statuta Roma 1998 ( Rome Statute of The International Criminal Court). Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur kejahatan dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini dipersamakan dengan pengaturan dalam Statuta Roma termasuk mengenai unsur meluas dan sistematik.

Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida dari Statuta Roma kedalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang secara teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …”

Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan tegas. ) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir.

Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.

Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang. Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan.


c. Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.

Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam uu No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu :

Penangkapan

Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup . Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat yang dipersangkakan. Keluarga harus mendapatkan tembusan untuk adanya pengangkapan tersebut segera setelah penangkapan dilakukan.

Pelaku pelanggaran HAM berat yang tertangkap tangan, penangkapannya dilakukan tanpa surat perintah tetapi dengan segera bahwa orang yang menangkap harus segera menyerahkannya kepada penyidik. Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa penagkapan ini dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Ketentuan khusus mengenai penagkapan ini jika dikomparasikan dengan KUHAP tidak jauh berbeda. Yang membedakan adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas penangkapan adalah Jaksa Agung sedangkan dalam KUHAP yang melakukan penangkapan adalah petugas kepolisian Republik Indonesia.

Penahanan

Selama proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan lanjutan dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan yang berwenang melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan penetapan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang disyaratkan yaitu adanya dugaan keras melakukan pelanggaran HAM berat dengan bukti yang cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi pelanggaran HAM berat. Alasan penahanan ini adalah alasan yang berdasarkan atas alasan subyektif dari penyidik atas kondisi yang disyaratkan tersebut, artinya pertimbangan atas adanya bukti yang cukup, kekhawatiran akan menghilangkan barang bukti atau akan melakukan pelanggaran HAM yang berat adalah alasan atas penilaian dari pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau hakim yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk dapat dilakukan penahanan kepada tersangka maupun terdakwa.

Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan, maka dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya.

Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahnanan jika selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan belum dapat diselesaikan. KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum selesai.

Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari. Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi. Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.

Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum diputus.

Penyelidikan

Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

UU No 26 Tahun 2000 mengatur secara berbeda tentang siapa yang berhak melakukan penyelidikan. Dalam penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa diperlukan langkah-langkah yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang bersifat khusus, dimana diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan. Kewenangan penyelidikan yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai kekhususan mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.

Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas HAM dan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang sifatnya pro justitia. Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen baik dari segi institusi maupun anggotanya. Secara kelembagaan Komnas HAM dianggap tidak memiliki kepantingan kecuali terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia sedangkan anggota Komnas HAM dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan kemampuan teknis untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.

Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, memanggil saksi untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Disamping tindakan-tindakan diatas, atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa : pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka harus memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas adanya pelanggaran HAM yang berat maka hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7 hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan. Jika penyidik menganggap bahwa penyelidikan kurang lengkap maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi.

Disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.

Penyidikan

Definisi tentang penyidikan tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung. Penyelidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat dan pemerintah.

Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.

Jaksa Agung wajib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika dalam waktu yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3 ini, penyidikan atas kasus dapat dibuka kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan. Atas penghentian penyidikan ini, jika tidak dapat diterima oleh korban dan keluarganya, maka ada hak untuk mengajukan praperadilan bagi korban dan keluarganya atas penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan HAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai dengan KUHAP.

Penuntutan

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24. Pasal 23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut umum ad hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat tertentu.
Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan.

Pemeriksaan di sidang pengadilan

1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc

Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi.

Dari ketentuan diatas, pengaturan tentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat Peninjauan Kembali (PK), mengingat bahwa dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) proses bahwa peninjuan kembali atas suatu perkara pidana juga dimungkinkan dan itu merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya tetapi dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 ini tidak diatur tentang hakim ad hoc untuk pemeriksaan upaya hukum luar biasa dengan cara peninjauan kembali. Apakah masih menggunakan komposisi hakim ad hoc atau tidak. Hal ini pun tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini.

Pengertian hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat diluar hakim karir yang memenuhi persyaratan professional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

Jumlah hakim ad hoc di pengadilan HAM yang harus diangkat adalah sekurang-kurangnya 12 orang dan masa jabatannya adalah 5 tahun yang dapat diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi. Hakim ad hoc ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama untuk hakim ad hoc pada pengadilan tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc tingkat kasasi di Mahkamah Agung diangkat oleh presiden selaku kepala negara atas usulan dewan perwakilan rakyat RI dan lama jabatan hanya satu periode yaitu selama 5 tahun.

Hakim ad hoc ini dalam pemilihannya memerlukan syarat-syarat tertentu yang tertuang dalam pasal 29. Hakim ad hoc juga wajib mengucapkan sumpah. Syarat untuk menjadi hakim ad hoc ini berlaku untuk hakim tingkat banding dan hakim ad hoc tingkat kasasi. Perkecualian khusus untuk hakim ad hoc tingkat kasasi berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan tidak ada batasan maksimal umurnya.

Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan HAM. Pada tingkat banding maka perkara diperiksa dan diputus paling lama 90 hari. Jika perkara dimintakan kasasi maka perkara pelanggaran HAM berat ini di periksa dan diputus paling lama 90 hari atau selama 3 bulan.

Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah mengenai proses pelimpahan berkas perkara dalam tingkat pertama ke tingkat banding dan dari tingkat pertama ke kasasi ketika jaksa mengajukan kasasi saat terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan mengenai mekanisme pelinpahan berkas dalam ke tingkat banding dan kasasi menggunakan mekanisme KUHAP.

2. Prosedur Pembuktian

Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.

Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu pada alat bukti yang sesuai dengan KUHAP yaitu pasal 184. Hal-hal yang dapat dijadikan alat bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek peradilan internasional. Pengalaman-pengalaman internasional yang menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan.


d. Ketentuan Pemidanaan (Penal Codes)

Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjamin bahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang ringan.

Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama dengan kejahatan yang diatur dalam pasal 9 (tentang kejahatan terhadap kemanusiaan) huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d (pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa), atau j (kejahatan apartheid).

Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yaitu perbudakan diancam dengan pidana selama-lamanya 15 tahun dan paling singkat 5 tahun (ps 38). Demikian pula dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa penyiksaan diancan hukuman paling lama 15 tahun dan peling rendah 5 tahun (ps 39). Kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, kemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara diancam pidana selama-lamanya 20 tahun dan serendah-rendahnya selama 10 tahun (ps 40).

Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat berupa percobaan dan ikut serta berupa permufakatan jahat atau pembantuan terhadap terlaksanya pelanggaran HAM berat, ancaman hukumannya dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. ketentuan ini mengindikasikan bahwa apapun peranan pelaku baik karena percobaan pelanggaran HAM berat, ikut serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan pelanggaran HAM berat maupun pembantuan terhadap terlaksananya pelanggaran HAM berat tidak ada pengaturan pengecualian terhadap mereka karena ancamannya dipersamakan.

Ketentuan pemidaan yang dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38 , 39 dan 40 adalah untuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang komandan dari militer, polisi maupun sipil seperti yang diatur dalam pasal 42 ayat 3 UU No. 26 Tahun 2000.


e. Delik tanggung jawab komando

Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung jawab komando yaitu :
1. unsur militer :
diatur dalam ayat 1 yang menentukan Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu:
i. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
ii. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

2. unsur polisi atau sipil
dalam ayat 2 yang menentukan Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
i. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
ii. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun 2000 ini. pengertian tanggung jawab komando dalam pasal 42 ayat 1 menyatakan :

“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …”

Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.

Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…”

Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando.


4. Pengadilan Ham Ad Hoc

Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.

Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini.

Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Ayat 2 menyatakan bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.

Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1. adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
2. adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3. adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempus dan locus delicti tertentu.
4. adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.

Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari DPR. Meskipun masih diperdebatkan, sebagian kalangan praktisi dan akademisi hukum menganggap hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.

Tidak ada komentar: