Minggu, 28 Desember 2008

Pembaharuan Hukum

UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI


I. PENDAHULUAN

Korupsi merupakan suatu permasalahan yang sangat mendasar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sejarah, tidak satupun negara yang bebasa dari praktek korupsi. Hal yang membedakan korupsi di suatu negara dengan negara lain, antara lain intensitas dan kualitas dari tindak pidana korupsi itu sendiri, disamping modus operandi dari (pemilihan alat / waktu / cara / tempat, dan pengorganisasian) terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri. Hal lainnya yang turut membedakan adalah menyangkut unsur-unsur yang ada di dalam sistem hukum pidana tersebut susbstansi hukum pidana, struktur hukum pidana, dan budaya hukum pidana itu sendiri.
Dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat lokal maupun maupun asing, salah satunya dari lembaga monitoring internasional, disebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan keempat sebagai negara paling korup dari ratusan negara yang dijadikan obyek penelitian oleh lembaga tersebut. Hal ini sungguh memprihatinkan, di mana negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sangat menjungjung tinggi Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia justru banyak melakukan praktek korupsi, suatu perbuatan yang melanggar nilai-nilai agama dan keadilan sosial.
Korupsi ada di mana-mana dan dapat kita temukan di mana saja, baik itu di lingkungan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah, maupun di lingkungan swasta. Sebagai contoh misalnya : hampir setiap proyek-proyek pembangunan baik itu pembangunan gedung, jalan, jembatan dan lain sebagainya tidak dapat bebas dari praktek korupsi, bahkan bantuan-bantuan untuk rakyat miskin seperti jaring pengaman sosial dan bantuan untuk korban bencana alam-pun tidak luput dari praktek korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi sudah mengakar kuat atau membudaya di dalam masyarakat Indonesia, dan masyarakat juga tidak sungguh-sungguh di dalam memberantas korupsi tersebut. Masyarakat Indonesia sudah terlena dengan kenikmatan korupsi, sehingga tepat kalau dikatakan korupsi juga merupakan salah satu penyakit masyarakat yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya.
Hal lain yang juga sangat memprihatinkan adalah : dengan maraknya korupsi di berbagai bidang kehidupan dan di berbagai eleman masyarakat, di mana masyarakat dapat dengan seenaknya melakukan korupsi tanpa takut mendapat sanksi (utamanya sanksi pidana), menunjukkan bahwa supremasi hukum belum dikedepankan, hukum belum ditaruh di atas segala-galanya, hukum belum diberi kedudukan sebagai panglima tertinggi di dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan (utamanya permasalahan-permasalahan yang menyangkut pelanggaran hukum) yang terjadi di dalam masyarakat. Aparat penegak hukum-pun yang seharusnya menindak pelaku-pelaku tindak pidana, tidak dapat berbuat banyak, salah satunya akibat dari praktek korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, ini membawa akibat penegakan hukum-pun juga tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya (atau lebih tepatnya tidak berjalan).
Inilah alasan perlunya reformasi di bidang hukum, khususnya hukum pidana, sehingga dibutuhkan adanya suatu pembaharuan hukum pidana. Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengambil rumusan masalah tentang bagaimanakah upaya pembaharuan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia?

II. PEMBAHASAN

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu apa itu korupsi. Pengertian tentang korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari perkataan latin coruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan, disamping istilah korupsi tersebut di beberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi juga banyak dikaitkan dengan ketidak-jujuran seseorang seperti misalnya gin moung (Muangthai) yang berarti makan bangsa, tanwu (Cina) yang berarti keserakahan bernoda, oshoku (Jepang) yang berarti kerja kotor, dan lain sebagainya. Dalam Bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan, uang sogok, dan sebagainya.
Selanjutnya di dalam perkembangannya, rumusan mengenai korupsi mengalami perkembangan dari berbagai sisi pandang, antara lain sisi pandang kepentingan umum, sisi pandang politik, sisi pandang sosiologis, dan lain sebagainya. Menurut hukum positif, rumusan mengenai korupsi dikenal dengan sebutan delik korupsi atau tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dimaksud dengan tindak pidana korusi adalah :
- “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
- setiap orang yang dengan ntujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”.
Berdasarkan rumusan tentang tindak pidana korusi di atas, dapat diketahui bahwa rumsan tindak pidana korupsi dalam undang-undang tersebut, merupakan suatu delik formil, dimana terjadinya tidak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dalam undang-undang tersebut, tanpa harus menimbulkan akibat dari perbuatan tersebut. Hal ini bisa diperhatikan pada kata “dapat’ sebelum frasa merugikan keuangan negara.
Mengenai istilah pembaharuan hukum pidana, menurut Barda Nawawi : “Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu reorientasi dari reformasi hukum pidana positif, dilihat dari aspek sosio filosofik, sosio politik, dan sosio cultural yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegkan hukum di Indonesia”. Menurut Sudarto : “Pembaharuann hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana, di mana hakekat kebijakan hukum pidana adalah untuk mewujudkan peraturan-peraturan hukum pidan yang lebih baik”.
Secara garis besar, pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai memperbaharui ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku (ius constitutum), untuk menghasilkan ketentuan-ketentuan hukum pidana baru yang lebih baik di masa yang akan datang (ius constituendum). Ukuran di dalam menghasilkan ketentuan-ketentuan hukum pidana pidana yang lebih baik antara lain ketentuan-ketentuan hukum pidana baru tersebut haruslah lebih memenuhi nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat, lebih efektif di dalam menanggulangi kejahatan, dan disesuaikan pada saat hukum tersebut dibuat dan pada saat mendatang.
Sehubungan dengan rumsan permasalah tersebut di atas, maka upaya pembaharuan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat penulis kelompokkan sebagai berikut :
A. Urgensi atau Alasan-alasan Pembaharuan Hukum Pidana di Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
1. Alasan Filosofis-nya adalah menyelamatkan keuangan negara.
Hal tersebut dapat dilihat dari konsideran undang-undang nomor 20 tahun 2001 huruf a. Korupsi dianggap sebagai penghambat pembangunan nasional yang ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pnacasila dan Undang-Undang dasar 1945, sehingga dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka korupsi haruslah diberantas.
2. Alasan Yuridisnya adalah memberikan landasan hukum di dalam melaksanakan amanat pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, serta melaksanakan amanat TAP MPR-RI nomor XI/MPR/1998 (yang ditindak lanjuti dengan Undang-undang nomor 28 tahun 1999) tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Alasan sosiologis-nya memperbaiki tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini disebabkan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korusi, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat

B. Pendekatan Kebijakan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia merupakan suatu bagian dari kebijakan hukum pidana, kebijakan kriminal, sampai dengan kebijakan sosial. Berdasarkan hal tersebut, pertimbangan dalam menentukan perbuatan korupsi sebagai suatu tindak pidana dilihat dari pendekatan kebijakan harulah mempertimbangkan :
1. perbuatan korupsi tersebut merupakan suatu perbuatan yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan sangat merugikan keuangan negara, serta dianggap sebagai penghambat pembangunan nasional di dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pnacasila dan Undang-Undang dasar 1945, oleh karena itu pengaturan tentang tindak pidana korupsi haruslah dilakukan secara rasional, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat lebih efektif.
2. tercapainya keseimbangan antara penghitungan tentang biaya (cost) dari pembuatan undang-undang yang memuat rumusan tentang tindak pidana korupsi di dalam penegakan hukum-nya, dengan manfaat (benefit) yang akan dicapai, yaitu situasi yang tertib hukum, sehingga jangan sampai biaya penuntutan dari tindak pidana korusi lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi terebut.
3. pertimbangan tentang kemampuan daya kerja dari aparat-aparat penegak hukum di dalam menegakkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut, misalnya yang menyangkut tingakat pendidikan, profesionalitas, pengalaman, cara kerja, dan lain sebagainya dari aparat penegak hukum, serta birokrasi maupun prosedur dari penegakan hukumnya.
4. akibat-akibat atau dampak sosial yang ditimbulkan dari perumasan tindak pidana korupsi tersebut terhadap perilaku dan sikap dari pelaku pada khususnya, maupun masyarakat pada umumny. Akibat-akibat sosial yang ditimbulkan haruslah membawa perubahan-perubahan yang lebih baik di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

C. Pendekatan Nilai Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam setiap kebijakan, pastilah terkandung pertimbangan nilai, karena itulah pembahuruan hukum pidana haruslah berorientasi pada pendekatan nilai. Orientasi pada pendekatan nilai tersebut menyangkut nilai-nilai apa sajakah yang ingin dilindungi dari perumusan tindak pidana korupsi tersebut. Secara umum dapt penulis kemukakan sebagai berikut :
1. perlindungan terhadap nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal ini dapat terlihat pada penjelasan umum di dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001, di mana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera, perlu ditingkatkan secara terus menerus usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. nilai-nilai kepercayaan masyarakat. Perbuatan korupsi menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, yang pada akhirnya menimbulkan krisis di berbagai bidang, termasuk di antaranya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di dalam penegakan hukum dan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. perlindungan terhadap moralitas bangsa, dikarenakan perbuatan korupsi dapat merusak harkat dan martabat bangsa, dan menurunkan citra serta wibawa negara di dalam dunia internasional

Selain itu sebagai arah menuju kepada pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, diperlukan adanya kajian-kajian tentang korupsi di Indonesia langkah-langkah dan kebijakan yang tepat dalam penanggulangannya. Pengkajian-pengkajian tersebut disebabkan antara lain :
1. Korupsi bukanlah hal yang asing bagi setiap kalangan masyarakat, namun demikian meskipun bukan merupakan hal yang asing, korupsi merupakan suatu tindak pidana yang unik, multi dimensi, dan sangat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Karekteristik korupsi yang unik tersebut, menimbulkan pendapat dan penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan praktisi hukum maupn teoritisi hukum, tentang batasan korupsi, sehingga tidaklah mudah untuk menentukan apa yang menjadu sebab utamanya (causa prima)-nya, siapa yang menjadi pelaku, dan siapa yang menjadi korban.
3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tersendat-sendat, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat-aparat penegak hukum khususnya, dan pemerintah umumnya.
4. Dalam praktek, penanggulangan terhadap korupsi sering menghadapi kendala-kendala seperti kendala hukum materiil maupun kendala hukum formil, kendala birokrasi, kendala sosial, dan lain sebagainya. Teori-teori tentang hukum pidana dan pembuktian dalam hukum pidana sering kurang mendukung dan sudah tidak relevan lagi dalam penaggulangan korupsi.
5. Posisi Indonesia yang tidak menguntungkan dalam daftar negara-negara paling korup di dunia oleh beberapa hasil riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Internasional. Hal ini sedikit banyak menuntut bangsa Indonesia untuk menindak-lanjuti permasalahan-permasalahan korupsi yang terjadi.

Pembaharuan hukum pidana dilihat dalam konteks pembaharuan substansi hukum, khususnya yang menyangkut hukum materiilnya, yaitu Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 mempunyai beberapa semangat moral sebagai ujud pembaharuan hukum pidana itu sendiri, antara lain :
1. Mempunyai semangat untuk mengikis komunitas yang mengedepankan supremasi paternalistik (kekerabatan/kekeluargaan) secara tidak benar melalui ketentuan larangan suap terhadap pegawai negeri (pasal 5 dan pasal 6);
2. Memberdayakan kontrol sosial eksternal melalui ketentuan tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain dalam bentuk hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum, hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, dan dalam hal hadir, dalam proses penyelidikan, penyidikan dan sidang di pengadilan yang terkait (pasal 41-pasal 42);
3. Menunbuhkan budaya malu di kalangan masyarakat dan kalangan penyelenggara negara dengan kewajiban tersangka/terdakwa menerangkan asal-usul kekayaannya pribadi, kekayaan suami/istri, anak, dan korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (pasal 37 A ayat 1);
4. Mempunyai semangat untuk menjerakan atau setidaknya membuat orang takut untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, bahkan sampai pada pidana mati, serta juga ketentuan pidana tambahan yang sangat berat bagi tersangka/terdakwa (pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai pasal 11);
5. Melembagakan budaya anti korupsi secara terus menerus dan berkesinambungan di kalangan masyarakat maupun kalangan penyelenggara negara melalui ketentuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (pasal 43);
6. Menumbuhkan budaya kooperatif di kalangan penegak hukum, utamanya kepolisian dan kejaksaan melalui ketentuan tentang pembentukan Tim Penyidik Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung (pasal 27);
7. Melembagakan koordinasi horisontal dengan instansi/lembaga non penegak hukum, terutama untuk membuka rekening tersangka/terdakwa secara luas (pasal 29 dan pasal 30).

Selain hal tersebut di atas, menurut Romli Atmasasmita yang dapat dijadikan indikator bahwa Undang-undang nomor 20 tahun 2001 membawa pembaharuan di dalam hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, antara lain :
1. Tindak pidana korupsi dirumuskan secara delik formal, sehingga menagandung konsekuensi logis di mana pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan tuntutan pidananya, hanya sebagai faktor yang meringankan terdakwa (pasal 4). Perumusan delik formil juga dapat dilihat dari kata-kata “dapat” dalam pasal 2 dan pasal 3. Kata “dapat di situ dianggap sebagai delik formil, kerena menujukkan bahwa tidak perlu adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan korupsi tersebut dan akibat dari perbuatan korupsi tersebut, sehingga seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi dan perbuatannya tersebut memenuhi unsur melawan hukum, meskipun tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dirinya tetap dapat dipidana;
2. Dicantumkannya pengaturan tentang korporasi sebagai subyek hukum, disamping orang perseorangan itu sendiri (pasal 1);
3. Dicantumkannya pengaturan tentang yurisdiksi kriminal yang dapat diberlakukan ke luar batas territorial Indonesia(pasal 16);
4. Dicantumkannya sistem pembuktian terbalik (pasal 37). Sistem ini diadakan supaya pembuktian di sidang pengadilan tidak terlalu sulit, tidak seperti dalam pembuktian negatif yang dianut dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1971. Sistem pembuktian di dalam Undang-undang ini tidak murni sebagai sistem pembuktian terbalik, jadi sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang. Terbatas artinya, jika tersangka atau terdakwa dapat membuktikan dalihnya bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, bukan berarti dia tidak melakukan korupsi, karena penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya (tidak murni). Seimbang artinya sumber penghasilan terdakwa tidak boleh lebih kecil dari pengeluarannya (input tidak boleh lebih kecil dari output);
5. Dicantumkannya adanya ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, bahkan sampai pada pidana mati, serta juga ketentuan pidana tambahan yang sangat berat bagi tersangka/terdakwa (pasal 3, pasal 5 sampai pasal 11);
6. Dicantumkannya pidana mati dalam keadaan tertentu (pasal 2 ayat 2). Keadaan tertentu contohnya negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi yang sangat memprihatinkan seperti sekarang ini, tindak pidana korupsi dapt dijatuhi pidana mati;
7. Dicantumkannya penyidikan perkara gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya (pasal 27);
8. Dicantumkan tentang kewenangan meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa, bahkan dapat meminta kepada Bank untuk memblokir rekening tersebut (pasal 29);
9. Dicantumkannya peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai sarana kontrol sosial, dan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih efektif dan optimal (pasal 41-pasal 42);
10. Telah mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen, dan keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat (profesional), dan pengangkatannya harus persetujuan DPR (pasal 43);

III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian di atas, upaya pembaharuan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut pengamatan penulis telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Hal itu dapat terlihat di dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, baik itu permusan deliknya, pembuktiannya, maupun sanksi pidananya. Sayangnya pembaharuan tersebut masih sebatas pembaharuan subtansi hukum pidananya saja.
Pembaharuan dalam hukum pidana baru dapar dirasakan hasilnya apabila diikuti juga oleh pembaharuan struktur hukum (aparat-aparat penegak hukum), maupun pembaharuan budaya hukum. Masih banyak terlihat aparat-aparat penegak hukum yang terlibat dalam tindak korupsi, dan masih banyak juga budaya-budaya koruptif seperti suap-menyuap yang melanda hampir di setiap lingkungan masyarakat, lingkungan pemerintahan, bahkan sampai lingkungan peradilan. Hal ini tentunya memerlukan komitmen yang kuat dari negara maupun rakyatnya di dalam mewujudkan pembaharuan hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA



1. DAFTAR BUKU DAN MAKALAH

Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994.

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-undang nomor 31 tahun 1999), C.V. Mandar Maju, Bandung, 2001.

Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N.Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, C.V. Mandar Maju, Bandung, 2001.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.

Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.


2. DAFTAR PERATURAN

Undang-undang 20 Tahun 2001.

Tidak ada komentar: