BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Viktimologi
Secara etimologi, victimologi berasal dari kata “Victim” yang berarti korban dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Dalam pengertian terminology, victimologi adalah studi yang mempelajari tentang korban, penyebab terjadinya korban/timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan social.
Yang dimaksud dengan korban dan yang menimbulkan korban dapat berupa individu, kelompok, korporasi, swasta atau pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan terhadap korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. Dan dalam kamus ilmu pengetahuan social disebutkan bahwa victimologi adalah studi tentang tingkah laku victim sebagai salah satu penentu kejahatan.
Pendapat Arif Gosita mengenai pengertian victimologi ini sangat luas, sebab dan kenyataan sosial yang dapat disebut sebagai korban tidak hanya korban perbuatan pidana (kejahatan) saja tetapi dapat korban bencana alam, korban kebijakan pemerintah dan lain-lain.
Perumusan ini membawa akibat suatu victimisasi yang harus dipahami sebagai berikut:
a. Korban akibat perbuatan manusia, korban akibat perbuatan manusia dapat menimbulkan perbuatan kriminal misalnya: korban kejahatan perkosaan, korban kejahatan politik. Dan yang bukan bersifat kriminal (perbuatan perdata) misalnya korban dalam bidang Administratif, dan lain sebagainya;
b. Korban di luar perbuatan manusia, korban akibat di luar perbuatan manusia seperti bencana alam dan lain sebagainya.
B. Tujuan dan Manfaat Victimologi
Sebagaimana diketahui bahwa viktimologi juga merupakan sarana penanggulangan kejahatan/ mengantisipasi perkembangan kriminalitas dalam masyarakat. sehingga viktimologi sebagai sarana penanggulangan kejahatan juga masuk kedalam salah satu proses Kebijakan Publik.
Antisipasi kejahatan yang dimaksud meliputi perkembangan atau frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, intensitas kejahatandan kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru.
Konsekuensi logis dari meningkatnya kejahatan atau kriminalitas adalah bertambahnya jumlah korban, sehingga penuangan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan korban dan tanpa mengenyampingkan pelaku mutlak untuk dilakukan, sehingga studi tentang viktimologi perlu untuk dikembangkan.
Adanya ungkapan bahwa seseorang lebih mudah membentengi diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum dari pada menghindari diri dari menjadi korban kejahatan. Dalam merespon arti pentingnya studi tentang korban telah dikembangkan setiap tiga tahun sekali symposium internasional tentang victimologi yaitu: Firs International symposium on victimologi. Tahun 1973 di Yerussalem adalah simpusium pertama, bahkan PBB telah menyelenggarakan beberapa kali konggres mengenai “The preventionof of crime and the treatment of offender” antara lain konggres keenam pada tahun 1980 di caracas.
Selain kajian-kajian ilmiah di forum internasional telah pula dilakukan beberapa riset tentang korban di berbagai Negara dan pula telah dibentuk beberapa lembaga-lembaga atau klinik korban sebagai bentuk kepedulian terhadap korban seperti salah satu contoh di Malaysia (one shof center).
Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:
1. Dengan viktimologi akan dapat diketahui siapa korban, hal-hal yang dapat menimbulkan korban, viktimisasi dan proses viktimisasi;
2. Viktimologi memberikan sumbangan pemikiran tentang korban, akibat tindakan manusia yang telah menimbulkan penderitaan fisik, mental dan social;
3. melalui studi victimologi akan memberikan pemahaman kepada setiap individu mengenai hak dan kewajibannya dalam rangka mengantisipasi berbagai bahaya yang mengancamnya;
4. viktimologi memberikan sumbangan pemikiran mengenai masalah viktimisasi tidak langsung, dampak social polusi industri, viktimisasi ekonomi, politik dan penyalahgunaan kewenangan.
5. viktimologi memberikan dasar pemikiran dalam penyelesaian viktimisasi criminal atau factor victimogen dalam sistem peradilan pidana.
Dari uraian di atas pada dasarnya ada tiga hal pokok berkenaan dengan manfaat studi tentang korban yaitu:
1) manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukumnya;
2) manfaat yang berkenaan dengan penjelasan tentang peran korban dalam suatu tindak pidana, dan
3) manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.
Peran Korban
Dalam symposium victimologi yang pertama di Yerusalem tahun 1973 NAGEL melaporkan bahwa victimologi dewasa ini merupakan gagasan atau pemikiran baru dalam kriminologi, karena telah terjadi pergeseran pemikiran yang tidak lagi melihat kejahatan melalui studi “Factor Criminoligy” akan tetapi mengarah pada “Criminologi of Relationship”.
Untuk melihat peran, karateristik pelaku dan korban kejahatan, CARROL mengajukan rumus yang cukup popular dengan pendekatan rasional analitis. Menurutnya kejahatan adalah realisasi keputusan yang diambil dengan turut mempertimbangkan beberapa factor antara lain SU (Subyektife Utility), p(S)(Probability of Success), G (Gain), p(F) (Probability of Fail) dan L (Loss).
Sehingga Carrol Menggambarkan dengan Rumus:
SU= (p(S)xG)-(p(F)xL)
Dari rumus diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang yang akan melakukan kejahatan harus mempertimbangkan beberapa hal yang seanjutnya kan menghasilkan keputusan, apakah ia akan melakukan tindak pidana ataukah tidak. Inilah yang dimaksud dengan Subyektive Utility (SU)
Hal-hal yang harus dipertimangkan adalah:
p(S) = seberapa besar kemungkinan keberhasilan rencana kejahatan
G (Gain) = seberapa besar keuntungan (materi/kepuasan)yang akan diperoleh;
p(F) = seberapa besar kemungkinan gagalnya rencana kejahatan dan;
L (Loss) = seberapa besar kerugian yang akan diderita manakala kejahatan yang dilakukan gagal dan tertangkap.
Jika rumus di atas dianalisis dengan optik korban, akan nampak bahwa factor p(S) dan p(F) sebagaian besar terletak pada korban artinya berhasil atau tidaknya rencana kejahatan tergantung pada keadaan diri ataupun tipologi calon korban.
Dengan meminjam istilah Manheim yang menggambarkan adanya laten Victim (Mereka yang cenderung menjadi korban dibandingkan orang lain,misalnya wanita, anak-anakdan manula) maka pelaku akan merasa optimis akan keberhasilan dari kejahatanya.
Sedangkan factor Gain terlihat pada sikap korban yang senang dengan gaya hidup mewah dan pamer materi yang lebih menjurus pada peningkatan daya tarik atau rangsang, sehingga pelaku kejahatan dengan cara dini sudah dapat memperkirakan besarnya keuntungan yang akan diperoleh.
C. Sejarah Perkembangan Viktimologi
D. Posisi Victimologi Dalam Hukum Pidana
Pengertian Korban
Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara social dan hukum . pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum.
Bila hendak membicarakan mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno. Dalam peradaban tersebut, asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan, yaitu” mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki kekuasaan”.
Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon, Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan kamus yaitu ”orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban”.
Pemahaman seperti itu ditentang habis-habisan oleh kaum feminist sekitar tahun 1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu “setiap orang yang terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris disini yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan menimbulkan penderitaan yang panjang”.
Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bias berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi”.
Kamus umum bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai pengertian:”korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya)sendiri atau orang lain”.
Pengertian korban menurut Arif Gosita adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Pengertian yang disampaikan oleh Arif Gosita tersebut sudah diperluas maknanya, tidak hanya untuk perorangan tetapi berlaku bagi subyek hukum yang lain, seperti badan hukum, kelompok masyarakat dan korporasi. Timbulnya korban erat kaitanya dengan kejahatan.
Sahetapy memberikan pengertian korban tidak hanya dibatasi sebagai korban kejahatan saja, karena dari sebab timabulnya dan akibat yang ada mempunyai aspek yang luas dilihat dari beberapa segi, hal ini dapat dilihat pendapatnya mengenai korban yaitu:
“korban adalah orang perorangan atau badan hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-bentuk kerugian lainnya yang dirasakan, baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dilihat dari segi ekonomi, politik maupun social budaya. Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung atau tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban.
Van Boven merujuk pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi korban Kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (Declaration of basic Principle of justice for victim of crime and abuse of power) yang mendefinisikan korban adalah:
Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik kerana tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).
Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut diatas, pengertian korban bukan hanya untuk manusia saja atau perorangan saja, akan tetapi dapat berlaku juga bagi badan hukum, badan usaha, kelompok organisasi maupun Negara. Perluasan pengertian subyek hukum tersebut karena badan hukum atau kelompok tersebut melaksanakan hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum atau dengan kata lain subyek hukum tersebut dapat merasakan penderitaan atau kerugian atas kepentingan yang dimiliki akibat perbuatan sendiri atau pihak lain seperti yang dirasakan oleh manusia.
Rancangan Deklarasi dan Resolusi Konggres PBB ke-7 yang kemudian menjadi Resolusi MU-PBB 40/34, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
Perlu dicatat, bahwa pengertian kerugian (Harm) menurut Resolusi tersebut, meliputi kerugian fisik maupun mental (Physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi manusia mereka (substantial impairment of theirfundamental rights). Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dapat di pertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah sipelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara sipelaku dengan korban.
1. Macam-macam Korban Kejahatan
Telah disempaikan sebelumnya bahwa pengertian korban telah diperluas sehingga tidak saja mencakup korban dari kejahatan konvensional, tetapi juga korban non konvensional dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada Kongres PBB kelima tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum (Jenewa, September 1957) telah dijadikan salah satu topic pembicaraan mengenai New forms and dimension of crime yang meliputi antara lain crime as business dan economic and social consequences of crime; new challenges for research and planning. Dalam Konggres tersebut telah dibicarakan masalah cost of crime yang dikatakan hit most severely the weaker members of society, permiting the powerful to commit crimes with impunity.
Konggres PBB ketujuh telah mengelompokkan macam-macam korban sebagai berikut:
1. Korban kejahatan konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa atau kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan lain-lain;
2. Korban non-konvensional adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana berat seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisir dan kejahatan computer;
3. Korban kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap hak asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.
Pengelompokan atas macam-macam korban tersebut didasarkan atas perkembangan masyarakat. Terhadap korban kategori ketiga adanya korban penyalahgunaan kekuasaan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Kemudian sejak viktimologi diperkenalkan sebagi suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji permasalahan korban serta segala aspeknya, maka wolfgang melalui penelitiannya menemukan bahwa ada beberapa macam korban yaitu:
1. Primary victimization, adalah korban individual/perorangan bukan kelompok;
2. Secondary Victimization, korbannya adalah kelompok, misalnya badan hukum;
3. Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas;
4. Non Victimozation, korbannya tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan hasil peroduksi.
Uraian mengenai macam-macam korban diatas maka dapat dipahami bahwa korban pada prinsipnya adalah merupakan orang yang mengalami penderitaan karena suatu hal yang dilakukan oleh orang lain, institusi atau lembaga dan structural. Yang dapat menjadi korban bukan hanya manusia saja, tetapi dapat pula badan hukum atau perusahaan, Negara, asosiasi, keamanan, kesejahteraan umum dan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siapa saja dapat menjadi korban, dengan kata lain semua orang berpotensi menjadi korban dan begitu pula sebaliknya semua orang berpotensi untuk menimbulkan korban.
Tipologi Korban
Untuk memahami peran korban, harus dipahami pula tipologi korban yang dapat diidentifikasi dari keadaan dan status korban. Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
b. Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
c. Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa.
e. Socially Weak Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan sebagainya.
f. Self Victimizing, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.
Munculnya perhatian terhadap korban dapat dikatakan sebagai reaksi perimbangan terhadap perhatian yang selama ini selalu ditujukan kepada pelaku kejahatan (Offender Oriented), padahal bagaimanapun pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari masalah korban, yang secara etiologis korbanadalah pihak yang mengalami kerugian dan sekaligus korban dapat pula memberikan daya rangsang secara sadar ataupun tidak terhadap pelaku kejahatan.
Kurangnya perhatian terhadap korban nampak jelas pada peran dan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana SPP. Padahal harus dipahami bahwa bergeraknya sistem peradilan pidana karena peranan korban juga. Melihat hal ini Mardjono Reksodiputro mengemukakan :
“sistem peradilan pidana yang sekarang ini berlaku terlalu difokuskan pada pelaku (menangkap,Menyidik,mengadili dan menghukum pelau) dan kurang sekali memperhatikan korban. Yang acapkali terjadi adalah bahwa terlibatnya korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan ketidakberdayaannya serta prustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup.SPP yang sekarang ini memang terlalu Offender Centered, sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi koban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan simbolik.”
Tahapan Proses Perlidungan Korban
Tahap I (Masa Kejayaan/Keemasan hak korban)/ Golden Ege
Dalam tahap ini victim langsung berhadapan dengan offender (Pelaku) tetapi belum ada pembagian hukum, antara hukum pidana dan hukum perdata. (Victim Vs Offender)
Tahap II (Tahap Tanggungjawab Negara/Raja)
Dalam tahapan ini, melanggar hak korban berarti melanggar hak Negara sehingga konsepnya:
Negara Vs Offender / Raja Vs Offender
Artinya kepentingan korban diwakili oleh Negara/raja, korban berada diluar sistem.
Tahap III (Tahap memberi hak kepada korban untuk memberikan masukan kepada Negara sebagai wakilnya)
Melanggar hukum pidana berarti melanggar hak Negara namun korban memiliki hak untuk memberi masukan kepada Negara demi kelancaran proses pembuktian,
Victim + Negara Vs Offender
Tahap IV (Tahap pertanggungjawaban merata)
Melanggar hukum pidana berarti melanggar hak korban, Negara sekaligus hak pelaku/offendernya sendiri.
TEORI PERLINDUNGAN KORBAN
Teori Perlindungan Korban ada dua model yaitu:
1. Services Model (SM)
2. Prosedural Right Model (PRM)
Ad.1. Services Model /SM (Model Pelayanan)
Memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Victim tidak terlibat dalam proses peradilan pidana
2. polisi dan jaksa adalah aparat Negara yang melayani kepentingan masyarakat termasuk didalamnya adalah korban (Penegakan hukum)
3. Negara bertanggungjawab terhadap rakyatnya/masyaraktnya termnasuk dalam menyantuni korban/rakyat.
Legal Reasoning, Kenapa Korban tidak dilibatkan ?
1. Keterlibatan korban akan mengacaukan sistem pelayanan public, pelayanan terhadap korban adalah bagian dari pelayanan public kalau korban ikut akan ada kepentingan individu yang masuk
2. bagian dari tugas polisi secara ekplisit adalah bagian dari layanan public.
Positif (keuntungan) model ini:
mengurangi beban korban
rasionalisasi reaksi terhadap kejahatan dapat berkurang
Negatif (Kerugian) Model ini:
Tidak bisa empati terhadap terhadap penderitaan korban
Ada alasan tindakan sewenang-wenang yang mengatasnamakan kepentingan public.
Ad.2. Procedural right model (PRM)
Ciri-cirinya:
1. Korban memiliki hak hukum dalam setiap tahapan proses peradilan.(hak bantuan hukum dan sebagainya)
2. korban dapat terlibat langsung dalam proses peradilan
3. kewajiban polisi +jaksa untuk memperhatikan mempertimbangkan hak-hak korban dan pemenuhannya.
Keuntungan (Positip):
Korban mempunyai kesempatan untuk tampil
Korban diberdayakan/ada pemberdayaan korban / tidak diluar sistem
Meminimalisasi penyalahgunaan wewenang.
Kelemahan (Negatif):
Mengacaukan SPP
Memungkinkan korban memperjuangkan secara emosional karena diberi kesempatan untuk balas dendam
Keadilan akan bersifat subyektif (individual justice)
Perlindungan Terhadap Korban
perlindungan terhadap korban menurut Barda Nawawi dapat dilihat dari dua makna yaitu:
1. Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana lagi (berarti perlindungan hak asasi manusia (HAM) atau kepentingn hukum seseorang);
2. Perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan /kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana “(jadi identik dengan penyantunan korban)”. Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi) pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan permaafan), pemberian gantirugi (restitusi, kompensasi, jaminan/ santunan kesejahteraan sosial) dan sebagainya.
Perlindungan hukum terhadap korban bukan hanya menjadi masalah nasional Perlindungan hukum diartikan sebagai pengakuan dan jaminan yang diberikan oleh hukum dalam hubungannya dengan hak-hak manusia. Perlindungan hukum merupakan “conditio sine quanon” penegakan hukum. Sedangkan penegakan hukum merupakan wujud dari fungsi hukum. Menurut Bisman Siregar dalam mengkaji perlindungan hukum tiada lain perlindungan hukum yang sesuai dengan keadilan. Mengkaji perlindungan hukum juga harus bersesuaian dengan KeTuhanan Yang Maha Esa, sila pertama pancasila, dasar Negara dan atas nama-NYA putusan diucapkan. Juga sila ke dua, kemanusiaan yang adil dan beradap.
Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai keTuhanan, Kemanusiaan, persatuan/permusyawaratan serta keadilan social. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.
Perlindungan hukum selain berfungsi untuk memenuhi hak-hak asasi pelaku juga memberikan perlindungan hukum terhadap korban secara adil. Sehingga hak-hak mereka dapat terlindungi dari tindakan sewenang-wenang para aparat hukum yang kadangkala melecehkan mereka yang menjadi korban.
Perlindungan hukum dari segi macamnya dapat dibedakan antara pasif dan aktif. Perlindungan hukum yang pasif berupa tindakan-tindakan luar (selain proses peradilan) yang memberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk pengaturan atau kebijaksanaan berkaitan dengan hak-hak pelaku maupun korban. Sedangkan yang aktif dapat berupa tindakan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-haknya. Perlindungan hukum aktif ini dapat dibagi lagi menjadi aktif prefentif dan aktif represif. Aktif preventif berupa hak-hak yang diberikan oleh pelaku, yang harus diterima oleh korban berkaitan dengan penerapan aturan hukum ataupun kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan aktif represif berupa tuntutan kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terhadap pengaturan maupun kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada korban yang dipandang merugikan.
Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh terjadinya tindak pidana sangat penting untuk dilindungi . Sehingga sistem peradilan pidana perlu melakukan langkah-langkah perlindungan yang konkrit terhadap korban yaitu dengan menjamin atau memberikan hak-hak kepada korban agar korban dapat membantu dalam pengungkapan perkaranya.
Hak-hak Korban
Untuk mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana menurut Arif Gosita adalah:
a. Korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut;
b. Korban menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukan);
c. Korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli earisnya, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku;
d. Korban mendapat pembinaan dan rehabilitasi;
e. Korban mendapatkan hak miliknya kembali;
f. Korban mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut;
g. Korban mendapatkan bantuan hukum;
h. Korban berhak mempergunakan upaya hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar