Minggu, 28 Desember 2008

Pengaruh Paradigma Positivistik Terhadap Keadilan dalam penegakan Hukum di Indonesia

PENGARUH PARADIGMA POSITIVISME TERHADAP KEADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Gatot Sugiharto.

Abstract
Getting justice forms hope every people who is facing with law problems, however not all people who is facing with law problems will always get justice. It is caused, the law paradigm that is built forms positivism paradigm that is more law certain propose then justice.
Positivism paradigm is a law paradigm in Indonesia that gives justice, it is not substantial justice but it gives procedural justice or formal justice.

PENDAHULUAN
Keadilan adalah sesuatu yang diharapkan oleh semua masyarakat sebagai perwujudan dari keseimbangan antara hak dan kewajiban. Manusia yang hidup di suatu negara tentunya memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang melekat pada diri setiap warga negaranya. Sebagai alat untuk menertibkan warga negara dalam bergaul, berbuat dan bertingkah laku tentunya ada sebuah aturan yang harus ditaati. Aturan-aturan inilah yang dalam kebiasaan bernegara yang dinamakan hukum.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (pasal 1 ayat (3)) Istilah “negara hukum” mengingatkan kita kepada konsep “rechtsstaat” Eropa kontinental maupun konsep “rule of law” Anglo Saxon. Namun harus disadari bahwa Republik Indonesia yang dibangun dan didasarkan kepada Proklamasi 1945 tidak dibangun dari konsep “rechtsstaat” dan “rule of law”, tetapi dibangun di atas dasar falsafah negara Pancasila. Oleh karena itu konsep negara hukum yang akan dibangun harus didasarkan kepada Pancasila juga, karena pengakuan atas harkat dan martabat manusia secara instrinsik melekat pada Pancasila.
Pengertian hukum di Indonesia yang dipengaruhi oleh paradigma positivisme, adalah aturan-aturan atau norma-norma yang tertulis saja yang dianggap hukum. Dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum selalu tujuannya adalah kepastian hukum. Indonesia yang oleh dunia dianggap sebagai salah satu negara terkorup di dunia, ternyata tidak mempunyai seorang koruptor. Pernyataan seperti ini adalah pernyataan yang berangkat dari paradigma legal positivism. Sebab, bagi penganut legal positivism, seseorang hanya dapat diberi label koruptor jika vonis hakim menyatakan demikian. Sekalipun seseorang telah merampok sedemikian banyak uang negara dan uang rakyat, tetapi jika hakim (karena telah disuap atau mendapat tekanan politik) tidak memutusnya bersalah, maka menurut paradigma positivisme, seseorang itu bukan penjahat. Dalam bahasa Inggris dapat dibahasakan bahwa ia memang not quilty (diputus tidak bersalah secara formal-prosedural), tetapi ia bukannya innocence (benar-benar tidak berdosa). Berbarengan dengan fenomena itu, kita semua sudah paham betul, betapa bobroknya dunia peradilan di Indonesia. Oleh karena itu, jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan bulat-bulat pada pengadilan yang unfair itu, jelaslah bahwa hukum (negara) takkan pernah bersentuhan dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah bahwa ide kepastian hukum yang sering didengung-dengungkan oleh kaum positivis, tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinannya ia hanyalah kepastian undang-undang (Achmad Ali, 2002: 38-39).
Paradigma positivisme di Indonesia tentunya mempunyai pengaruh bagi keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia oleh sebab itu penulis menganggap perlu untuk dapat mengetahui pengaruh tersebut, sehingga dalam tulisan ini penulis dapat merumuskan sebuah masalah yaitu bagaimana pengaruh paradigma positivisme terhadap keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia?.
PEMBAHASAN
A. Hukum dan Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Kalau melihat dari tujuan hukum itu sendiri adalah memang bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting bahkan ada yang berpendapat sebagai tujuan hukum satu-satunya. Contoh terakhir ini dapat ditunjukkan oleh seorang hakim Indonesia, Bisman Siregar dengan mengatakan,” bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan (Dardji Darmo dihardjo dan Sidarta, 2001: 153-154).
Menurut pengertian tradisional, yang cukup kuat di daratan Eropa, hukum pertama-tama menuju suatu aturan yang dicita-citakan yang memang telah direncanakan dan dirancang dalam suatu undang-undang, akan tetapi belum terwujud dan tak akan pernah terwujud sepenuhnya. Sesuai dengan dikotomi (pemisahan) ini terwujud dua istilah untuk menandakan hukum yaitu:
1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius/recht (dari regere = memimpin). Maka di sini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana dicita-citakan;
2. Hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil itu.
Perbedaan antara kedua istilah memang nyata: istilah “hukum” mengandung suatu tuntutan keadilan, istilah “undang-undang” menandakan norma-norma yang de facto digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut, tertulis atau tidak tertulis. Sangat jelas bahwa, kata “hukum” sebagai “ius” adalah lebih fundamental daripada kata “undang-undang”/lex, sebab kata “hukum” sebagai “ius” menunjukkan hukum dengan mengikut sertakan prinsip-prinsip atau asas-asas yang termasuk suatu aturan yang dikehendaki orang. “lex” itu merupakan untuk eksplisit dari “ius”. Hukum sebagai “ius” pertama sekali diwartakan secara kompak dalam semboyan filsafat Skolastik, yakni: “ius quia iustum” hukum karena adil (Theo Huijbers, 1995: 49).
Menemukan suatu defenisi tentang hukum yang disetujui semua ahli hukum adalah suatu pekerjaan yang sangat sulit, dan itu merupakan suatu hal yang mustahil. Namun tidak berarti bahwa kita tidak mengetahui tentang arti hukum. Hukum itu bukan sesuatu yang mistik seperti pada zaman purbakala, melainkan sesuatu yang rasional dan dapat dijangkau oleh tiap-tiap orang yang hidup dalam masyarakat secara sadar. Karenanya semua orang bicara tentang hukum, dan mengerti tentang apa yang mereka bicarakan.
Kesulitan timbul, bila orang ingin mengerti secara lebih mendalam. Ternyata arti hukum begitu kompleks sehingga macam-macam teori yang berbeda-beda masih dapat dianut sampai abad ke-20 ini. Yang terkenal adalah perkataan Imanuel Kant, yang diucapkannya dua abad yang lampau. Noch suchen die Juristen eine Defenition zu ihrem Begriffe vom Recht (para yuris masih mencari suatu defenisi bagi pengertian mereka tentang hukum). Apakah sama sekali mustahil membuat suatu defenisi tentang hukum, yakni suatu perumusan yang pendek dan substansial tentang makna hukum? L.J. van Apeldoorn menulis: Tidak mungkin memberikan defenisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadai kenyataan. Namun Huijbers berpendapat, bahwa tidak mustahil membuat suatu defenisi tentang hukum, hanya mustahil membuat defenisi yang memuaskan segala pihak (1995: 39).
B. Positivisme dan Perkembanganya.
Abad ke-19 menandai munculnya gerakan positivisme di dalam masyarakat dan di bidang hukum, positivisme di dalam bidang hukum dikenal dengan nama positivisme yuridis (Theo Huijbers, 1990: 128). Abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis, seperti halnya hukum alam. Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi pada abad ke-19 itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Pandangan serta sikap yang kritis terhadap hukum alam itu telah menimbulkan hasil-hasil yang merusak kehadiran hukum alam tersebut. Oleh pikiran kritis itu ditunjukkan, tetapi hukum tersebut tidak mempunyai dasar, atau merupakan hasil dari penalaran yang palsu (Satcipto Rahardjo, 1991: 267).
Aliran ini (positivisme) dikenal adanya dua sub aliran yang terkenal, yaitu (Lily Rasyidi, 1993: 42):
1. Aliran hukum positif yang analistis, pendasarnya adalah John Austin.
2. Aliran hukum positif yang murni, dipelopori oleh Hans Kelsen.
Aliran hukum positif yang analistis mengartikan hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik-buruk.
Aliran positivisme yang lahir sekitar 2 abad yang lalu tidak dapat dipisahkan dari konteks politik yang mewarnai kehadiran negara modern, yaitu faktor politik liberalisme. Fokus pemikiran liberal adalah pada kemerdekaan individu, maka adalah sangat logis jika positivime yang dalam sejarahnya lahir dalam atmosfir liberalisme tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas bagi masyarakat.
Sistem hukum, dalam paradigma positivime tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu. Paradigma positivisme berpandangan, demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan (Achmad Ali, 2002:40-410).
Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti sebagai positivisme. Austin (1790-1859) seorang positivisme yang utama, mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah. Lebih lanjut Austin menyebutkan hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Seorang positivism lainnya adalah Geremy Bentham (1748-1832) seorang pejuang yang gigih untuk pengkodifikasian hukum Inggris (Satcipto rahardjo, 1991: 227).
Pikiran positivisme terutama berkembang dalam keadaan masyarakat yang stabil. Namun yang menjadi sangat menarik adalah, baik Austin maupun Bentham tidak mengemukakan pikirannya tentang positivisme tersebut di dalam keadaan masyarakat yang stabil seperti saat itu. Bentham dan Austin berpendapat bahwa harus ada kejelasan yang menyeluruh terlebih dahulu mengenai hukum sebagaimana adanya. Positivisme keduanya dilandasi oleh adanya penolakan mereka terhadap naturalisme dan kecintaan mereka terhadap ketertiban dan ketepatan (Satcipto Rahardjo, 1991: 227).
C. Pengaruh Pardigma Positivisme Terhadap keadilan dalam Penegakan Hukum
Fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara dan warganya serta hubungan antar manusia, agar kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan di dalam masyarakat.
Realisasi dari sebuah negara hukum, agar mencapi tujuannya maka hal yang paling penting adalah bagaimana sistem penegakan hukumnya. Penegakan hukum dapat diartikan sebagai ”Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaedah-kaedah / pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir. Untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup” (Purnadi Purbacaraka, 1977: 25).
Dengan demikian, maka sistem penegakan hukum (yang baik) menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaedah-kaedah serta dengan perilaku nyata dari manusia.
Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan harus ditegakkan dan dilaksanakan dengan tegas. Untuk kepentingan itu maka kaedah-kaedah hukum tersebut harus diketahui sebelumnya dengan pasti. Oleh karena itu kaedah-kaedah hukum yang dinyatakan berlaku surut seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bagi suatu negara modern dewasa ini, tujuan negara adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian rakyat, atau dengan perkataan lain untuk mencapai keadilan sosial. Suatu negara yang hanya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum saja di dalam bentuknya yang negatif akan menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Berbeda dengan kepastian hukum yang bersifat umum, maka keadilan lebih menekankan pada faktor atau keadaan-keadaan yang khusus. Hal ini disebabkan oleh karena keadilan itu sebenarnya merupakan soal perasaan. Keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang yang apabila diganggu akan menimbulkan kegoncangan. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa keadilan senantiasa mengandung suatu unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan.
Paradigma pisitivisme menghendaki adanya kepastian hukum, walaupun harus mengesampingkan keadilan. Di Indonesia yang lebih dominan memakai paradigm positivisme ini menandakan bahwa hukum merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan demi terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Kalau demikian berbicara persoalan keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia dihadapkan pada persoalan yang sulit. Karena didalam penegakan hukum, harus dapat memenuhi keadilan prosedural /formal dan keadilan substansial. Sebagai negara hukum diterapkannya hukum merupakan proses yang adil namun dalam prakteknya sering kali penerapan hukum ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak adil di dalam masyarakat.
Paradigma positivisme, yang di maksud dengan hukum adalah aturan-aturan atau norma norma yng tertulis, atau dalam arti aturan yang sudah dipositifkan, sedangkan kalau hal ini akan berbicara keadilan sering kali penerapan aturan atau norma-norma yang tidak tertulis justru lebih adil secara substansi. Sehingga penegakan hukum dalam paradigma positivisme lebih mengutamkan kepastian hukumnya, tanpa melihat substansi dari apa yang terjadi. Melihat kenyataan tersebut maka di Indonesia dengan melihat kecenderungan paradigma positivisme ini akan menghasilkan sebuah keadilan yang formal/prosedural saja, sedangkan keadilan substansinya tidak dapat tercapai.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:konsep paradigma positivime adalah untuk mewujudkan kemerdekaan individu dengan senjata utamanya adalah kepastian hukum, bukan untuk mewujudkan keadilan. Sebagaimana semboyan paradigma positivime bahwa, demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Dari konsep tersebut maka keadilan dalam positivisme lebih mengarah pada konsep keadilan prosedural/formalnya saja karena konsep keadilan menurut positivisme adalah apabila hukum yang tertulis itu dapat diterapkan dengan baik dan menunjukkan kepastiannya.





























DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Dardji Darmo dihardjo dan Sidarta. 2001. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius
Theo Huijbers. 1990. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.. Yogyakarta: Kanisius
Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Lili Rasyidi. 1993. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Purnadi Purbacaraka. 1997. Penegakan hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan. Bandung: Alumni

Tidak ada komentar: