SURINAME
Suriname terletak di pesisir utara Amerika Selatan. Guyana dan French Guyana merupakan dua wilayah yang mengapit Suriname di sisi timur dan barat, sementara Brazil terletak di sisi selatan Suriname. Ibukota Suriname adalah Paramaribo. Luas wilayahnya kurang lebih 164.000 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2000 adalah sebanyak 431.000 jiwa. Wilayah tenggara dan barat daya merupakan wilayah yang paling sering mengalami sengketa perbatasan dengan French Guyana maupun dengan Guyana. Perselisihan terbaru terjadi pada Juni tahun 2000 yaitu mengenai eksplorasi minyak di Corantijne River, yang merupakan daerah terluar dari Guyana. Dari seluruh wilayah Suriname 92% ditutupi dengan hutan, dan 15% dinyatakan sebagai area yang dilindungi. Suriname memiliki kondisi wilayah yang berbeda—dataran rendah, savana, rawa-rawa, dan dataran tinggi yang diliputi dengan hutan hujan. Corantijen River dan Marowijne River adalah dua sungai yang menjadi perbatasan di timur dan barat. Sungai-sungai penting lainnya adalah Suriname River dan Coppename. Iklim di sana adalah tropis dengan tempertur rata-rata adala 27°C.
Negara ini terbagi menjadi sepuluh distrik, tujuh diantaranya terletak di wilayah utara. Paramaribo memiliki penduduk sebanyak 170.000 jiwa; kota lainnya adalah Nieuw Nickerie yang terletak di tenggara dan Albina yang terletak di barat daya Suriname. Moengo merupakan pusat pertambangan bauksit yang terletak di tenggara. Harapan hidup bagi pria adalah sebanyak 67,5 tahun dan 72,7 tahun bagi wanita. Tingkat melek huruf di Suriname pada tahun 1997 adalah 93,5%. Komposisi suku yang tinggal di Suriname terdiri atas Hindustan yang berasal dari India sebanyak 37%; Creoles, yang merupakan campuran ras Afrika sebanyak 31%; suku Jawa yang berasal dari Indonesia sebanyak 15%; Bush Negroes atau Maroons, yaitu keturunan dari para budak yang melarikan diri sebesar 10%; Indian sebanyak 2%; Cina sebesar 2%; bangsa Eropa sebesar 2 %; dan suku lainnya sebesar 1%. Bush Negroes hidup di pinggir sungai , sedangkan suku Indian terdapat di kawasan pantai yang merupakan perbatasan dengan Brazil di selatan.
Bahasa Belanda merupakan bahasa nasional, sedangkan bahasa sehari-hari adalah Sranantongo; bahasa lain yang digunakan adalah bahasa Inggris, Sarnami (bahasa lain dari Suriname-Hindi-Urdu), bahasa Jawa, Cina, dan dialek seperti Saramaccan dan Paramaccan. Hindu adalah agama mayoritas dengan penganutnya sebesar 27,4% dari seluruh populasi; agama lain adalah Katolik sebanyak 25,2%; Protestan sebesar 22,8%; Islam sebanyak 19,6%; dan penganut animisme sebanyak 5%.
Selama tahun 1960 dan 1970an, Suriname merupakan salah satu dari bangsa terkaya di Amerika Latin, dengan tingkat pendidikan, angka tenaga kerja, serta kualitas pelayanan kesehatan yang dianggap jauh lebih baik daripada negara-negara tetangganya. Akan tetapi, selama tahun 1980an dan 1990an, keadaan ekonomi mengalami penurunan yang sangat tajam yang disebabkan oleh kudeta militer, perang saudara, penggunaan dana negara yang tidak bertanggung jawab, terjadinya migrasi yang dilakukan oleh para profesional ke luar negeri, dan berhentinya aliran dana dari Belanda dan Amerika. Pada saat ini, hampir 45% dari semua pekerja dibayar pemerintah. Pada tahun 1998, GNP per kapita adalah sebesar US$ 1,660, dan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata adalah 0,1%. Inflasi tiap tahunnya adalah 138% selama tahun 1990 hingga 1998, dan angka pengangguran adalah 20% pada tahun 1998. Produk ekspor yang paling penting di Suriname adalah bauksit, minyak mentah, kayu, udang dna ikan, beras, dan pisang. Rekan bisnis yang cukup penting bagi Suriname adalah Norwegia, Belanda, Amerika Serikat, Perancis, dan Jepang, sedangkan Inggris mulai menjadi partner bisnis yang sangat berperan tiap tahunnya.
Volume impor melebihi jumlah ekspor yaitu US$50 juta di tahun 1998. Impor tersebut berasal dari Amerika Serikat, Belanda, Trinidad, Jepang, Inggris, dan Brazil. Karena situasi ekonomi, banyak warga negara, terutama mereka yang tinggal di daerah pedalaman, yang melakukan penambangan emas. Faktanya, walaupun pertambangan emas memiliki sejarah kelam selama lebih dari 100 tahun, tak pernah ada banyak orang yang terlibat dalam kegiatan ini seperti saat ini. Jumlah pertambangan kecil juga menarik banyak minat para migran, terutama mereka yang datang dari Brazil atau disebut dengan garimpeiron. Karena penggunaan merkuri, tambang-tambang kecil tersebut cenderung merusak alam.
Pada tahun 1995, Suriname bergabung dalam the Caribbean Community and Common Market (CARICOM) dalam rangka memperkuat partisipasinya dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya regional. Kesempatan untuk terlibat bisnis dengan Uni Eropa ditetapkan dengan the African-Caribbean-Pacific-European Union Partnership Agreement, yang ditanda tangani di Cotonou pada tanggal 23 Juni 2000.
SEJARAH
Penduduk Suriname pertama, yang disebut dengan Amerindian, muncul pada tahun 5000 SM. Alonso de Ojeda, seorang keturunan Spanyol merupakan orang pertama yang menemukan Suriname pada tahun 1499. Setelah penemuan tersebut, para penjelajah melakukan perjalanan ke pedalaman, mencari emas El Derado. Pada tahun 1651, Suriname dijajah oleh Inggris, dan pada tahun 1667, ketika Inggris dan Belanda menandatangai perjanjian Peace of Breda, Suriname diberikan kepada Belanda, namun kemudian diberikan lagi kepada Inggris. Kecuali pada tahun 1799 hingga tahun 1802 dan 1804 hingga 1815, ketika dikuasai Inggris, Suriname masih merupakan bagian dari Belanda sampai mencapai kemerdekaannya sendiri pada tahun 1975.
Pada 1682, Suriname dijual kepada seorang pemilik tunggal, yaitu West Indian Company yang merupakan organisasi dagang komersil. Sejak saat itu hingga sekarang Suriname dengan cepat berkembang menjadi sebuah koloni. Selama abad 17 dan 18, kira-kira sebanyak 300.000 orang kulit hitam dikirim dan menjadi budak, di mana mereka dijual kepada pemilik perkebunan untuk bekerja di perkebunan kopi, tebu, indigo, dan dipekerjakan di hutan. Banyak dari para budak melarikan diri ke hutan dan membentuk komunitasnya sendiri, dan keberadaan mereka dianggap mengancam perkebunan. Keadaan ini masih berlangsung hingga abad 18, ketika perjanjian perdamaian ditandatangani antara Maroon dengan Belanda. Pada tahun 1850an, dalam rangka penghapusan perbudakan, para pekerja kontrak dikirim dari Cina. Setelah perbudakan dihapus, manusia dipekerjakan sebagai buruh kontrak yang datang dari India dan Indonesia, untuk mengisi kekosongan pekerja pada lahan pertanian. Dari tahun 1873 hingga 1917, 34.000 Hindustan beremigrasi dari India menuju ke Suriname sebagai pekerja kontrak, dan orang Indonesi, khususnya orang Jawa, beremigrasi ke Suriname pada tahun 1894 hingga 1939. Kedua kelompok emigran tersebut dengan sejumlah kecil petani keturunan Belanda yang telah ada sebelumnya pada abad 19, masih menjadi kekuatan yang dominan dalam pertanian di Suriname.
Pada awal abad 20, the Aluminium Company of America (Alcoa) mulai melakukan penambangan bauksit, yang kemudian menjadi industri penting bagi Amerika Serikat selama Perang Dunia II. Alcoa bekerja bersama dengan perusahaan nasional Suriname, Suralco. Setelah adanya penyerahan kedaulatan atas Indonesia kepada bangsa Indonesia pada tahun 1949, Suriname diberikan otonomi dalam urusan dalam negeri pada tahun 1954. Jadi, sistem parlemen diberikan dengan tanggung jawab penuh menteri yang bertindak di bawah Gubernur, yang pada saat itu merupakan pemimpin pemerintah konstitusi. Berkenaan dengan urusan non-internal, gubernur mewakili pemerintah Belanda. Pada tahun 1948, hak pilih pertama kali diperkenalkan, yang memudahkan orang untuk memilih wakil mereka di Suriname Staten (Parlemen). Pada akhir tahun 1940, partai politik mulai ambil bagian sejalan dengan etnis mereka. Creoles dengan partainya yaitu National Partij Suriname (NPS) dan Progressieve Suriname Volkspartij (PSV). Orang Indonesia pun memiliki partai politik yaitu Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI), dan orang Hindustan bergabung dalam Verenigde Hindoestaanse Partij (VHP). Pada tahun 1973, sebuah koalisi dari partai-partai politik tersebut memenangkan pemilihan umum. Dua tahun kemudian, pada 25 November 1975, Suriname memiliki kemerdekaannya secara konstitusional. Undang-undang dasar disahkan pada sehari sebelumnya. Sesaat setelah kemerdekaan, segelintir migran pergi menuju ke Belanda, mencari tempat yang lebih aman daripada kebebasan yang ditawarkan oleh Suriname kepada mereka. Johan Ferrier menjadi presiden Suriname yang pertama, sedangkan Henck Arron merupakan perdana menteri yang pertama.
Ekonomi dan urusan dalam negeri merupakan masalah yang dihadapi oleh pemerintahan yang pertama kali dibentuk tersebut. Pada tahun 1980an, sebuah konflik dengan angkatan bersenjata, di mana NCO atau noncomissioned officer melakukan kudeta yang dipimpin oleh Desiree Bouterse, yang mengambil alih pemerintahan dari pemerintah sipil dan menghapus kabinet. National Militaire Raad dibentuk sebagai bentuk kekuasaan tertinggi di negara tersebut, dan komandan militer mengambil alih semuanya. Pada 31 Agustus 1980, keadaan darurat dinyatakan oleh Bouterse, undang-undang dasar ditangguhkan, dan Parlemen dirumahkan; negara kemudian dijalankan oleh keputusan militer. Keadaan darurat tersebut berlangsung hingga 25 Februari 1986. Pada tahun 1982, Presiden Henk Chin A. Sen diusir dari kantornya dan setelah mendapatkan kekuasaannya militer mengeksekusi limabelas penduduk, dengan tuduhan telah melakukan konspirasi jahat yang mengancam keamanan negara. Sebagai akibat dari tindakan militer tersebut, Belanda membatalkan perjanjiannya dengan Suriname, yang memberikan dana sebesar 3,5 juta Gulden untuk membangun Suriname dan merupakan sumber pendapatan utama negara tersebut. Proses revolusi mulai berjalan. Namun revolusi ini tidak memberikan kemajuan baik ekonomi maupun sosial dan penduduk perlahan mulai kehilangan rasa percaya kepada pihak militer.
Pada pertengahan kedua tahun 1980an, kelompok gerilya di timur Suriname, yang dikenal sebagai Jungle Commando dan didpimpin oleh seorang mantan tentara bernama Ronnie Brunswijk, mulai menyerang National Army yang berdampak pada banyaknya korban yang tewas. Gagal untuk memperbaiki kondisi ekonomi, militer terpaksa bekerjasama kembali dengan pihak elit politik. Hal ini membawa pada undang-undang dasar baru pada September 1987, dengan diselenggarakan pemilihan umum dua bulan kemudian. Bouterse pun turut ambil bagian dalam pemilihan tersebut bersama dengan partai politiknya, Nationale Democratische Partij (NDP). Militer mengalami kekalahan yang cukup telak dengan dimenangkannya pemilihan oleh koalisi antara NPS, VHP, dan KTPI.
SEJARAH HUKUM
Setelah masa Napoleon dan Inggris berakhir, Belanda kembali unjuk kekuatan atas koloni pada tahun 1816. Berbeda dengan kebijakan yang mereka jalankan di koloni mereka yang terbesar, Indonesia, di mana penduduk pribumi diberikan hak untuk menggunakan hukum adat mereka sendiri, pemerintah Belanda membawa hukum Roma-Belanda di Suriname. Hukum Belanda berlaku dalam kehidupan pribadi dan keluarga; hukum Roma mengatur tetang kontrak dan budak, serta mengatur tentang tanah. Hukum Belanda dan hukum Roma juga mengatur dalam masalah pidana. Sampai dengan tahun 1948, Raja di Belanda memiliki kekuasaan yang absolut atas koloni Suriname. Dengan diperkenalkannya demokrasi parlemen di Belanda pada tahun 1848, menteri urusan koloni bertanggung jawab kepada Parlemen Belanda atas pengelolaan Suriname. Pada taun 1868, the Suriname Colonial Council, bekerja sama dengan gubernur jenderal, diberikan kewenangan untuk membuat perundang-undangan lokal di Suriname. Pada tahun1869, kodifikasi undang-undang yang baru disahhkan di koloni. Pada saat yang sama, kitab hukum perdata, kitab hukum acara perdata, kitab hukum dagang, ketentuan umum peraturan perundang-undangan, kitab hukum pidana, kitab hukum acara pidana diperkenalkan.
Kitab undang-undang tersebut hampir sama dengan yang ada di Belanda, karena kebijakannya mengikuti konkordansi, yang artinya kitab undang-undang negara induk dan yang dimiliki oleh koloninya haruslah seindentik mungkin. Sejak saat itu, legal order di Suriname berasal dari hukum perdata Belanda, yang merupakan turunan dari Belanda kuno, Perancis, dan hukum Roma. Ketika kodifkasi yang baru diperkenalkan, hukum Roma dan Belanda kuno dihapuskan.
KONSEP HUKUM
Suriname memiliki konstitusinya yang pertama adalah ketika mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1975. Konstitusi ini mencakup hak asasi manusia yang mendasar, dan juga adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kudeta oleh militer yang terjadi pada tahun 1980an mengakibatkan terjadinya keadaan yang kacau-balau mencerminkan situasi konstelasi kekuasaan pada saat itu. Pada saat itu, Suriname kemudian mengenal peranan politik presiden yang dikendalikan oleh militer. Adanya perpindahan kekuasaan kepada pemerintah sipil pada tahun 1987 membawa pada konstitusi baru, yang dirancang dengan sangat rahasia dan tidak adanya penjelasan resmi.
The 1987 Constitution mengatur tentang tujuan umum kebijakan negara, yang berkeinginan mengubah Suriname menjadi negara makmur seperti Eropa. Rupanya, tak ada yang mempertanyakan kemampuan negara dalam rangka merealisasikan amanat konstitusi tersebut.
Menurut konstitusi, sistem ekonomi dicirikan dengan pelaksanaan perusahaan negara, perusahaan swasta, perusahaan-perusahaan di mana negara dan swasta berpartisipasi, dan koperasi berdasarkan rule of law yang berlaku. Merupakan tugas negara untuk menjamin semua bentuk kegiatan ekonomi. Konstitusi juga mengamanatkan kebijakan negara yang bertujuan untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat yang didasarkan pada keadilan sosial.
Dalam kancah politik internasional, konstitusi menolak keras setiap bentuk tindakan agresi atau tiap bentuk tekanan ekonomi maupun politik serta adanya intervensi dalam urusan dalam negeri pada negara lain, serta menjunjung tinggi rasa solidaritas dan berkolaborasi dengan bangsa lain dalam rangka melawan kolonialisme, neokolonialisme, rasisme, dan genosida.
Konstitusi tidak mengacu kepada perbedaan budaya, bahasa, dan adat-istiadat, walaupun perbedaan seringkali terjadi. Jadi, Bush Negro dan komunitas Indian di pedalaman tidak dapat menikmati perlakuan khusus.
Segala bentuk hak asasi manusia terdapat dalam konstitusi, seperti perlindungan atas harta kekayaan; perlindungan dari segala bentuk diskriminasi; hak untuk integritas fisik, mental dan moral; serta pelindungan dari segala bentuk penyiksaan ataupun perlakuan yang tidak manusiawi. Kebebasan berpolitik seperti kebebasan mengemukakan pendapat juga ada dalam konstitusi. Di pengadilan, setiap orang berhak mendapatkan bantuan hukum, dan sistem hukum wajib memberikan bantuan hukum bagi yang tidak mampu atau miskin.
Konstitusi memberikan perhatian yang cukup besar atas hak-hak buruh, keadaan pekerjaan mereka, prinsip upah yang sebanding dengan pekerjaan mereka, serta posisi serikat dagang. Selain itu, begitu banyak aturan yang mengatur semua bentuk kebijakan negara dengan cara yang lebih retoris.
The National Assembly terdiri dari limapuluh satu anggota yang dipilih oleh distrik dengan dasar pemilihan yang bebas dan rahasia melalui sistem perwakilan proporsional yang didasarkan pada jumlah rata-rata terbesar dari para pemilih. Kekuasaan legislatif dilaksanakan the National Assembly bersama-sama dengan pemerintah. Tugas dari National Assemby antara lain adala memilij presiden berserta wakilnya, mengajukan calon anggota beserta calon ketua the Constitutional Court kepada presiden.
Presiden adalah kepala negara Republic of Suriname, kepala pemerintahan, kepala the Council of State, dan kepala the Security Council. Presiden bertanggung jawab kepada National Assembly. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden, yang memiliki kewenangan atas angkatan bersenjata, serta urusan luar negeri.
The Constitution of 1987 mengatur tentang the Council of State. Tugas dari Council of State adalah menjalankan pemerintahan dan mengawasi pemerintah dalam hal keputusan National Assembly. Council of State dapat membatalkan keputusan yang dibuat oleh the Council of Minister dalam rangka mengantisipasi keputusan presiden. Jelas, bahwa kekuasaan yang dimiliki Council of State mempengaruhi militer untuk menguasai Council of State. Reformasi pada tahun 1992 mengembalikan Council of State pada posisinya seperti pada masa revolusi. Sekarang, tugasnya tidak lebih daripada memberikan nasihat kepada pemerintah dan presiden.
Kekuasaan kehakiman berada di tangan presiden dan wakil presiden Court of Justice, anggota dan wakil anggota Court of Justice, jaksa publik bersama dengan Court of Justice, serta anggota Public Prosecutors Office dan fungsionaris kehakiman lain yang disebutkan oleh undang-undang. Pelaksanaan keadilan merupakan tanggung jawab presiden, wakil presiden, anggota dan wakil ketua Court of Justice.
Pemilihan hakim tidak dikenal di Suriname. Anggota kehakiman yang dipercaya untuk memberikan keadilan serta jaksa ditunjuk oleh pemerintah, setelah berkonsultasi dengan Court of Justice. Penunjukan presiden, wakil presiden, anggota Court of Justice dan jaksa umum adalah berlaku untuk seumur hidup. Walaupun konstitusi mengatur tentang penyelenggaraan mahkamah konstitusi, lembaga ini belumlah beroperasi. Menurut beberapa orang hakim hal ini tidaklah mengejutkan. Alasan lain berkenaan dengan penundaan pelaksanaan mahkamah konstitusi adalah karena masalah politik terkait dengan penunjukan para hakim.
Gugatan hukum tidaklah rumit di Suriname. Pertama, kasus dibahas di Magistrates’ Court, yang terdiri dari seorang hakim Court of Justice. Pembahasan dissenting opinion dihadapan publik dilarang keras, karena prinsip kerahasiaan berlaku.
Pada kasus-kasus pidana, penuntut memiliki kewenangan untuk tidak melanjutkan proses hukum dengan alasan kepentingan umum, walaupun pihak yang berkepentingan dapat mengajukan keluhan kepada Court of Justice. Hukum acara pidana bersifat inkuisitorial, yang artinya adalah hakim berhak untuk mendapatkan bukti dalam kasus tersebut. Prosedur inkuisitorial berbeda dengan gugatan dalam hukum perdata, di mana hakim harus mencari kebenaran dari yang disampaikan satu pihak yang disangkal oleh pihak lainnya. Juri tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana di Suriname. Untuk kasus pidana terhadap tentara, undang-undang mengatur hukum acara tersendiri.
Hukum acara yang berbeda memberikan karakter tersendiri bagi pelaksanaan keadilan dalam kasus-kasus administratif. Perselisihan masyarakat sipil dengan negara sebagai majikan mereka ditangani langsung oleh Court of Justice tanpa prosedur awal apapun. Perselisihan sengketa pajak merupakan kewenangan dari dewan banding tersendiri.
Pencarian keadilan di Suriname tidak berbeda dengan negara-negara penganut civil law lainnya. Sebagian besar, kitab hukum perdata dan hukum acara perdata, kitab hukum dagang, dan kitab hukum pidana dan hukum acara pidana harus ditafsirkan oleh hakim. Di Suriname, prinsip persamaan (equity) memiliki konotasi yang istimewa. Prinsip tersebut tidak memihak pada doktrin hukum sebagaimana yang terjadi pada negara-negara penganut common law. Namun prinsip tersebut harus dilihat sebagai acuan memberikan pendapat hukum, semisal dalam kasus pemenuhan isi perjanjian.
Dalam hukum administrasi, undang-undang administrasi harus dilaksanakan. Undang-undang ini tidak terlalu rinci di Suriname. Akibatnya, para hakim di Suriname harus berlindung di balik prinsip-prinsip pengelolaan yang layak sebagaimana yang dikenal dalam buku-buku Belanda.
Oleh karena masa lalu kolonialnya, hukum Suriname memiliki kesamaan dengan hukum Belanda. Pertama, pernikahan agama diakui dalam hukum Suriname. Hal ini mengatur masalah pernikahan antara Hindustan dengan muslim. Persyaratan bahwa usia pernikahan pada pernikahan agama lebih rendah daripada pernikahan sipil, serta adanya persetujuan dari orangtua tidak diperlukan. Ini menjadi alternatif bagi mereka yang hendak menikah manakala persyaratan dalam pernikahan sipil tidak terpenuhi. Pernikahan dalam Islam diakui oleh undang-undang yang sedikit mencerminkan syariah Islam di dalamnya. Namun, pada satu sisi undang-undang melarang poligami. Di sisi lain, seorang pria muslim dapat mengakhiri pernikahannya dengan menjatuhkan talak kepada istrinya. Si pria hanya perlu menyatakan kehendaknya tersebut dengan suara lantang untuk mengakhiri pernikahannya.
Sejak tahun 1990, permintaan penegakan keadilan semakin meningkat dengan tajam. Pelanggaran hak asasi manusia, penggunaan obat-obatan terlarang, pencucian uang, penyalahgunaan dana milik publik, dan lain sebagainya yang menjadi fenomena bagi masyarakat Suriname. Selain itu, konflik antar individu pun bermunculan. Kelangkaan dalam pasar modal mengakibatkan terjadinya banyak keluhan tentang riba yang dilakukan oleh para penyedia kartu kredit. Kemiskinan pun semakin memperbanyak kasus-kasus terkait dengan hukum keluarga.
Sistem peradilan benar-benar tidak siap untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut. Antara tahun 1978 hingga 1993, tak ada satupun hakim yang terlatih untuk melaksanakan tugasnya. Sementara undang-undang mengatur limabelas hakim, namun hanya sebelas hakim saja yang ada. Hanya ada satu hakim yang menangani kasus di persidangan yang mengakibatkan berlarut-larutnya persidangan selama berbulan-bulan. Sedikitnya jumlah hakim pun turut mempengaruhi penundaan untuk membawa tersangka ke pengadilan. Penantian yang panjang menjadi hal yang lumrah terjadi, yang tentu saja hal ini merupakan pelanggaran terhadap standar hak asasi manusia internasional.
Selain masalah keterbatasan hakim, pengadilan juga menghadapi masalah pengaruh politik yang menentukan komposisi pengadilan di bawah kekuasaan Wijdenbosch pada akhir 1990an. Rumor yang beredar menunjukan bahwa mantan diktator Bouterse membiaskan peradilan agar dirinya dinyatakan tidak bersalah. Hal tersebut mengakibatkan munculnya perlawanan dalam lingkaran hakim dan pengacara yang berdampak pada berhentinya mesin hukum di Suriname.
Pelaksanaan keadilan dihalangi oleh masalah-masalah seperti staf peradilan, komputerisasi, undang-undang yang kurang memadai, bahan-bahan hukum yang minim, dan lain sebagainya. Untungnya, Venetiaan II segera mengetahui permasalahan tersebut yang mendorong pemerintah Belanda untuk memberikan dana pengembangan untuk menangani permasalahan tersebut.
Kira-kira sebanyak enampuluh pengacara merupakan pengacara aktif di Suriname. Kasus pembunuhan ketua asosiasi pengacara oleh militer pada tahun 1982 mengakibatkan perpecahan diantara para pengacara. Selain asosiasi tersebut, asosiasi pengacara lain dibentuk, yang disebut dengan the Lawyer Association Suriname. Saat ini, telah ada asosiasi pengacara yang ketiga, yaitu the Young Lawyers. Memberikan bantuan hukum bagi yang tidak mampu bukanlah hal yang populer dikalangan para pengacara, disebabkan karena bayarannya yang sangat sedikit, walaupun ada juga pengacara yang mau. Program mediasi sebagai jalan alternatif selain penyelesaian sengketa di pengadilan masih belum dikenal di Suriname. Sebagian besar anggota ahli hukum Suriname merupakan anggota dari te Surinamese Jurists Association. Oleh karena legal branch merasa perlu untuk membentuk asosiasi pengacara, yang dikembangkan oleh hukum publik dan terdiri dari semua pengacara yang ada dengan tujuan antara lain adalah: mereformasi kode etik profesi, memberikan pendidikan hukum sebelum memulai menjadi pengacara, membuat rancangan undang-undang advokat yang telah dibuat pada tahun 1995 dan menunggu untuk disahkan.
Para pendukung rule of law di Suriname berharap bahwa keputusan pengadilan atas kasus pembunuhan pada tahun 1982 akan menjadi awal baru. Dengan demikian, kebisuan yang terjadi selama ini akan segera berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar