Minggu, 28 Desember 2008

Sistem Peradilan Pidana Terpadu

SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
(SPPT-PKKTP)
Gatot sugiharto

PENDAHULUAN
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Mengapa kejahatan terjadi dan bagaimana memberantasnya, merupakan persoalan yang tiada henti diperdebatkan. Kejahatan merupakan problema manusia (Made darma Wedha, 1996:11)sejalan dengan ini Frank Tanembaum menyatakan “Crime is eternal as eternal as society” artinya dimana ada manusia disana pasti ada kejahatan (J.E. Sahetapy, 1979:1).
Hal itu menunjukkan, bahwa kejahatan itu terjadi dan tumbuh berkembang dalam lingkungan kehidupan manusia. Eksistensi kejahatan menjadi gambaran lain dari eksistensi kehidupan manusia itu sendiri. Ada suatu problem, seperti misalnya desakkan kepentingan yang mengakibatkan terjadinya kejahatan.
Berkaitan dengan kejahatan yang sering terjadi terhadap perempuan adalah persoalan kekerasan , dengan merenungkan realitas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan hasil kerjasama komnas perempuan dengan para mitranya, dapat dirasakan adanya secercah harapan. Jika dilihat dari hambatan yang memberati langkah menuju penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Surat kesepakatan bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang “Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” menunjukkan bahwa pemerintahtelah merealisasikan niat baiknya untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tentunya masih ada tantangan dalam penyamaan perspektif jender dianara lembaga-lembaga ini (Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum, Kertas kebijakan, 2005;19).
Keadilan bagi perempuan korban kekerasan bukan hanya soal hak dan prinsip yang harus ditegakkan sebagai bagian dari kehidupan yangberprikemanusiaan dan berdemokrasi. Pemikiran inipun sudah merupakan proses tersendiri untuk dikembangkan dan disebarluaskan . keadilan bagi perempuan korban kekerasan juga mensyaratkan adanya suatu sistem peradilan yang perlu dibagun bersama. Pengalaman perempuan menghadap meja hijau, berinteraksi dengan jajaran aparat penegak hokum, masih dipenuhi dengan kondisi, kata-kata serta sikap yang mengecilkan hati, apalagi bagi perempuan korban kekerasan. Oleh sebab itu perlu ada satu konsep sistem peradilan pidana terpadu yang lebih memberikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan.
Tulisan ini memberikan ilustrasi serta usulan yang dapat dijadikan bahan kajian dalam rangka menyusun konsep sistem peradilan pidana terpadu dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sehingg dalam tulisan ini diberi judul “Sistem peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan”.

PEMBAHASAN
Kekerasan Terhadap Perempuan
Sebelum lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), didalam system hokum Indonesia, secara spesifik, tidak ditemui istilah atau definisi tentang kekerasan terhadap perempuan (Violence again women).dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), kekerasan yang terjadi terhadap perempuan tidak dianggap sebagai suatu kekerasan yang melangar harkat dan martabat perempuan, melainkan merupakan bentuk pelanggaran terhadap norma-norma, nilai-nilai atau kesusilaan yang terjadi dimasyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Bab XIV KUHP tentang kejahatan terhadap kesopanan. Bab ini sebenarnya mengatur tentang kejahatan seksual yang umumnya dialami oleh perempuan , tetapi para pembuat kebijakan pada saat itu tidak menganggapnya sebagai bentuk kejahatan terhadap integritas tubuh perempuan, melainkan suatupelanggaran atau kejahatan terhadap norma-norma kesopanan atau kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Padahal istilah kekerasan terhadap perempuan sudah hamper tiga decade disuarakan dan dipelajari oleh sejumlah kalangan masyarakat, baik di Indonesia maupun diberbagai Negara. Dari ungkapan hasil-hasil pembelajaran maupun penelitian diatas didapati fenomena yang mengejutkan bahwa kebanyakan perempuan dan anak-anak adalah korban kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan akhirnya diakui sebagai suatu masalah social yang serius.(Komnas Perempuan,2001:12)
Konferenasi internasional di Wina, tahun 1993, yang mencetuskan terobosan bagi perjuangan mengahpus kekerasan terhadap perempuan, dengan memperkenalkan ke masyarakat dunia bahwa” hak asasi perempuan integral dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang sifatnya universal”. Dengan demikian juga merupakan bagian yang tidak terpisahkn dari kegiatan-kegitan HAM PBB.

Bentuk-bentuk Kekerasa Terhadap Perempuan
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dijelaskan dalam pasal 2 Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan:
Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tapi tidak hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan, kanak-kanak dalam rumh tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan, dan praktek-praktek kekejaman tradisional lainnya terhadap perempuan, kekerasan diluar hubungan suami istridan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi;
b. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosan, penyalahgunan seksual, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan danpelacuran paksa;
c. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh Negara, dimanapun terjadinya.

Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Indonesia telah mengatur bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dalam ruang lingkup rumah tangga, yaitu:
a. Kekerasan Fisik;
b. Kekerasan Psikologis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran dalam Rumah tangga.
Akar Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan
Moore menyebutkan bahwa kekerasan itu muncul sebagai akibat dri adanya bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis kelamin yang dikaitkan dengan bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya (1994:34). Hal ini membantu menjelaskan mengapa kekerasan sering kali merupakan hasil dari sebuah ketakutan yang dipersepsikan oleh pelaku ketimbang ketaktan yang sebenarnya. Misalnya istri yang menjadi korban kekerasan suami hanya karena suami menganggap istri serong apabila pergi ke kantor. Dengan demikian kekerasan sebenarnya lebih merupakan alat untuk melakukan control social dan secara disadari atau tidak , memberi dampak buruk kepada korban.
Randhika Comawarraswamy, Special Rapporteur PBB tentang kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana dikutif oleh Nursyahbani dalam bukunya “studi kasus kekerasan domestic: Kejahatan yang tak dihukum. Menguraikan bahwa kekerasan berbasis jender terjadi Karen beberapa alasan.( Nursyahbani, 2004:22)
Pertama, kekerasan terjadi karena korban berjenis kelamin perempuan, oleh karena itu menjadi obyek atau sasaran kekerasan seperti misalnya dalam kasus penyunatan atau mutilasi genital (Genital Mutilation), pembunuhan bayi atau janin perempuan (Female infanticide) karena menganggap bayi bayi laki-laki lebih berharga dari pada bayi perempuan, dan kejahatan seksual (Sex elated Crime). Kekerasan jenis ini berakar pada konstruksi masyarakat tentang seksualitas perempuan dan peran dalam hirarki social.
Kedua, karena relasinya dengan laki-laki baik karena perkawinan atau pertalian darah atau relasi intim lainnya, seorang perempuan menjadi sangat rentan kekerasan domestic. Di beberapa tempt seperti halnya di India , kekerasan jenis ini terkadang mengambil bentuk-bentuk kebiasaan yang dibenarkan oleh budaya setempat seperti misalnya Dowry (pembayaran sejumlah uang dari pengantin perempuan kepada keluarga laki-laki yang jika tidak dibayar bias berakhir penyiksaan atau pembunuhan) dan sati yakni upacara bunuh diri karena kematian suami.
Ketiga, karea perempuan menjadi anggota dari sekelompok perempuan tertentu. Pada saat perang, kerusuhan etnis, agama, kelas atau kasta dan sebagainya, kaum perempuan kerap menjadi sasaran kekerasan seperti misalnya yang terjadi pada kerusuhan mei 1998 terhadap perempuan etnis Tionghoa demikian pula yang terjadi di Aceh dan Yugoslavia.

Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut berada batas-batas toleransi masyarakat. Gambaran ini hanya salah satu dari tujuan sistem peradilan pidana secara universal sehingga cakupan tugas sistem peradilan pidana itu memang dapat dikatakan luas, meliputi:(Marjono Reksodipoetro,1994:85)
1. Mencegah Masyarakat menjadi korban kejahatan;
2. menyelesaiakan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah dipidana; dan
3. berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi perbuatan lagi.
Sistem peradilan pidana atau Criminal justice system, menurut Ecsyclopedia Crime and Justice, (Sanford H Kadsih,1983:12) dibedakan menjadi tiga batasan pengertian yaitu batasan normative, administrative dan social. System peradilan pidana dilihat dari aspek norma atau sebagai sistem normative adalah a body of legal rules expressing social values through prohibitions backed by penal sanction against conduct viewed as seriously wrong or harmful. Kedua sistem peradilan pidana sebagai sistem administrative, melihat sistem peradilan pidana sebagai comprehend the official apparatus for enforcing the criminal law, including the police and other frontline enforcement agencies, procecutorial authorities, the judiciary, and penal and correctional facilities and services. Ketiga, sistem peradilan pidana dari sudut sosial atau sebagai sistem sosial yang merupakan pendefinisian dan peng-ungkapan yang terkait dengan seluruh unsur-unsur dalam masyarakat dan cakupannya tidak hanya dalam lingkup hukum pidana yang diundangkan oleh pembentuk undang-undang melainkan juga meliputi ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat dalam semua tingkatan. Pengertian sistem peradilan pidana dalam tesis dipahami sebagai sistem administrative dan sistem peradilan pidana merupakan konkritisasi (struktur yang kongkrit) dari hukum pidana materiil dan formil.
Sebagai suatu sistem , sistem peradilan pidana mempunyai komponen-komponen penyelenggara atau sering disebut sebagai sub sistem yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang semua sub sistem ini akan saling terkait satu sama lain dan diharapkan ada suatu kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada salah satu sub sistem tersebut, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi demikian. ( Mien Rukmini, 2003:77)

Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) Sebuah Pemikiran
Sistem Peradilan Pidana Terpadu terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP) merupakan sistem terpadu yang menunjukkan proses keterkaitan antar instansi/pihak yangberwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pihak-pihak yang terkait dalam SPPT-PKKTP adalah relawan pendamping, psikolog, dan penasehat hokum, penyedia layanan rumah sakit, penyedia layanan rumah aman (Women Crisis Center/WCC), instansi kepolisian atau awak ruang pelayanan khusus (RPK), para Jaksa dan instansi Kejaksaan, Panitera, Para Hakim dan Instansi Kehakiman, serta instansi rumah tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan.(Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum, 2005:51).
Kebutuhan dan kepentingan korban dengan memacu pada nilai-nilai yang adil jender menjadi dasar dari upaya membangun SPPT-PPKTP. Dengan demikian SPtt-PPKTP bertitik tekan pada perspektif korban yang mensyaratkan korban menjadi atau diletakan pada pusat berjalalannya system peradilan. Selama ini, korban diposisikan sebagai pelengkap (objek). Penderitaan dan kekerasan yang dialmi serta tuntutan keadilan yang didasarkan ats penderitaan korban seringkali diabaikan oleh para penegak hokum yang menanganai kasus kekerasan yang dialaminya. Dengan SPPT-PKKTP, korban akan diposisikan sebagai pelaku utama (subjek), bukan sebagai pelengkap (objek) yang hanya diambil pengakuannya saja. Sebagai subjek ia berhak didengar keterangannya, mendapatkan informasi atas upaya-upaya hokum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak-haknya ydan kekerasan yang dialamainya. Hak-hak inilah yang menurut Van Boven dapat dikategorikan kedalam tiga bagian yaitu: pertama, hak untuk mendapat informasi; kedua, hak atas keadilan; ketiga, hak untuk mendapat reparasiatau hk untuk mendapatkan pemulihan dan pemuasan yangadil terhadap kerugian yang dideritany.(Theo Van Boven, 2000:13).
Memposisikan perempuan korban sebagai subjek pada SPPT-PKKTP diharapkan sudahdilakukan sejak terjadinya kasus, pada pendampingan dan penangnan pertama terhadap korbn (medis, sosisl, dan psikologis), penyidikan pemeriksaan ditingkat peradilan, putusan peradilan, dan ekskusi putusan peradilan.
Upaya untuk mengubah system peradilan pidana dengan meletakan pengalaman perempuan ketika bersentuhan dengan system hkum adalah sebuah proses panjang demi terciptanya hokum yang lebih memberi akses, peluang, dan manfaat yang sama untuk semua pihak. Harapanya hokum menjadi alat yang tangguh untuk mencapai rsa keadilan dan bukan menciptakan alat yang justru melegitimasi ketidakadilan. Hukum kemudian didorong agar lebih peka dan melindungi kelompok-kelompok rentan, antar lain perempuan korban kekerasan. System peradilan Yang Dibangun adalah system peradilan yang mudah, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan dalam penanganan korban.
Prinsip utama yang terdapat di dalam UU no. 7 Tahun 1984 tentang Retifikasi Konvensi penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, UU no. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam Rumh Tangga, ataupun perundang-undang lainnya yang berkaitan dengan hak azasi manusia (HAM) , diadopsi dalam SPPT-PKKTP.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Perlindungan dan penegakan atas Hak Asasi manusia
Konsep SPPT-PKKTP ini harus dilandasi oleh semangat untuk pemenuhan hak asasi mnusia khususnya HAM yang paling mendasar sepertihak hidup, hak atas kebebasan dan hak atas keamanan. Konsep ini dibuat untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap korban, dalan hal ini perempuan dan dalm rangka memenuhi hak-hak asasi manusia itu.
b. Kesetaraan dan keadilan jender
Jender adalah suatu konsep yang mengacu pada system hubungan social yang membedakan peranan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yng dibangun atau dikonstrusikan secara social dan cultural. Selama ini dalam pelaksanaannya seringkali perempuan menjadi korban dari ketidakadilan jender ini. Oleh karena itu konsep ini harus didasri oleh semangat utama untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender khususnya bagi perempuan korban kekerasan.
c. Perlindungan Terhadap Korban
Konsep ini dilandasi oleh semangat terhadap perlindungan dan penegakkan hak hak korban yakni hak untuk memperoleh kebenaran, keadilan dan reparasi.
d. Prinsip Non Diskriminasi
Ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki adalh hasl dari konstruksi social, karena itu harus ada usaha untuk menghapuskannya agar tidak terjadi diskriminasi . CEDAW sendiri mendefinisikan diskriminasi sebagai setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin.

Wujud dan Cara Mewujudkan SPPT-PKKTP
Berdasarkan perempuan korban kekerasan dan pendamping korban kekerasan ketika bersinggungan dengan sistem hukum dan pengalaman penegak hukum dalam menagani kasus kekerasan terhadap perempuan, ditemukan bahwa sistem hukum belum memberikan perlindungan hokum yang cukup bagi korban kekerasan . setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam system hokum, maka perlu dilakukan terobosan atau pembaharuan system hokum kearah system hokum yang lebih memberikan perlindungan hokum bagi perempun korban kekerasan.
System peradilan pidana sekarang ini, sebenarnya SPPTPKKTP dapat diwujudkan dalam berbagai cara. Table dibawah ini setidaknya telah mengidentifikasi wujud dan cara mewujudkan, sebagai berikut:( disarikan dari serial publikasi kemitraan perempuan dan penegak hokum,2005:55-60)

No Wujud SPPT-PKKTP Cara Mewujudkannya
1 Bercermin pada apa yang selama ini dialami oleh para korban kekerasan terhadap perempuan, SPPT-PKKTP memberikan ruang yang besar untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan korban. Korban ditempatkan sebagai subyek dan memiliki akses informasi dalam setiap proses peradilan. Jika korban membutuhkan bantuan pendampingan atau bantuan hokum, korban berhak untuk didampingi relawa pendamping dan penasehat ukum. Memperlakukan korban sebagai subyek dalam proses pemeriksaan degan cara:
a. Mendengarkan keterangn dan keluhan yang disampaikn korban dan “pelaku”
b. Memberkan kesempatan kepada korban untuk memperlajari draff surat dakwaan maupun draf surat tuntutan;
c. Menyediakan fasilitas ruang yang aman dan nyaman bagi korban dalam setiap pemeriksaan perkara;
d. Memasukkan kondisi dan situasi korban dalam menyususn pertimbangan hokum putusan pengadilan.
e. Memberikan kemudahan bagai korban/pendamping/psikolog untuk mengakses informasi proses pemeriksaan atas perkara yang diajukan oleh korban;
f. Membangun jaringan dengan lembaga advokat untuk yang menyediakan jasa advokat dengan Cuma-Cuma.
2 Ada konsep pemasyarakatan yang berperspektif jender. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menyususn konsep tentang system pemasyarakatan yang berperspektif jender sebagai berikut:
a. Melakukan studi literature ntuk mengidentifikasi bahan-bahan yang dapat dipergunakanuntuk merumuskan konsep system pemasyarakatan yang berperspektif jender;
b. Merumuskan bersama-sama dengan konsep system pemsayarakatan yang berperspektif jender;
c. Merumuskan bersama-sama program ekonomi yang dapat diterapkan pada “pelaku” sejak berada diLapas sampai pelaku kembali ke Masyarakat.
3 Ada koordinsi dan mekanisme kerja antar pihak/instansi yang berwenang dalam memberikan pelayanan terhadap korban yang cepat dan peka atas kebutusan korban. Peran yang jelas dari setiap instansi untuk menjamin hak-hak korban harus dibarengi pula dengan koordinasi dan mekanisme kerja yang baik sehingga tidak terjadi upaya saling melempar tanggungjawab. Koordinasi dan mekanisme kerja antar pihak/instansi dapat terweujud melalui:
a. Merumuskan bersama tentang konsep koordinasi dan mekanisme kantar instansi/pihak yang terkait.
b. Merumuskan bersama tentang peran dan wewenang yang jelas anatar instansi/pihak terkait.


No Wujud SPPT-PKKTP Cara Mewujudkannya
4 Adanya alokasi dana yang cukup bagi pihak/instansi yang berwenang untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, dimulai dari proses pendampingan, penyidikan, pemeriksaan dan pemulihan korban. Setiap instansi/pihak terkait dalam penanganan kasus kekerasan terhdap perempuan dan anak, harus melakukan kegiatan pengadaan dana, melalui:
a. Menyususn angaran yang akan dialokasikan untuk penanganan Koran dan “pelaku”
b. Mengatur mekanisme penggunaan dan monitoring penggunaan anggaran tersebut;
c. Melakukan upaya-upaya pencarian dana.
5 Ada keterlibatandari pihak petugas Rutan dan Lapas didalam Sistem peradilan pidana Terpadu yang berkeadilan jender bersama dengan para penegak hokum yang lainnya. Keterlibatan Rutan dan lapas dalam penanganan kasus kekerasan etrhadap perempuan dan anak, melalui:
1. Ikut serta dalam merumuskan SPPT-PKKTP:
a. Mensosialisasikan akar masalah kekerasan terhadap perempuan;
b. Merumuskan bersama-sama tentang konsep system pemasyarakatan yang berperspekif jender;
c. Merumuskan bersama kegiatan-kegiatan yang dapat diterapkan untuk pelaku;
2. Melakukan dialog atau komunikasi dengan Dirjend Pemasyarakatan untuk membahaspermasalahan yang dihadapi “Pelku” ketika berada di LP serta bersama-sama mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut, sehingga kebutuhan pelaku didalam LP dapat terpenuhi;
3. memberikan kesempatan dan peluang kepada pensehat hokum/pendamping/psikolog untuk bertemu dan berkomunikasi secara bebas dengan pelaku.
6 Ada sumber daya manusia SDMyang teleh memahami akar masalah kekerasan terhadap perempuan, sehingga mampu memberikan pelayanan ketika menangani korban atau “pelaku” Sumber daya manusia (SDM) dapat ditingkatkan dengan:
a. melakukan pendekatan atau dialog secara rutin dengan instansi penegak hokum untuk mensosialisasikan isu kekerasan terhadap perempuan;
b. bersama-sama dengan instansi penegak hokum melakukan diskusi atau pelatihan tentang materi ajar yang akan diterapkan dalam kurikulum pendidikan isntansi tersebut;
c. mengikutsertakan penegak hokum dalam kegiatan pelatihan-pelatihan diskusi, dialog public atau seminar.


No Wujud SPPT-PKKTP Cara Mewujudkannya
d. melakukan diskusi rutin dengan apart penegak hokum tenangakar permasalahan kekerasan terhadap perempuan;
e. mendesak diterbitkannya surat penetapan Ketua Mahkamah Agung tentang majels hakim khusus menangani kekerasan terhadp perempuan.

Mekanisme dan Koordinasi Penegak Hukum dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Penanganan terhadap Perempuan Sebagai korban

Pemeriksaan ditingkat penyidikan
Pihak-pihk yang diharapka dapat menjalin kerjuasama dan koordinasi : (1) kepolisian; (2) korban; (3) advokat/ relawan pendamping; (4) jaksa.

Dalam hal pembuatan berkas perkara /BAP dari penyidikan dan penyelidikan.

Selama ini, tugas diatas merupakan kerja dari pihak kepolisia. Ada banyak kendala yang ditemui pihak kepolisian ketika menangani kasus kekerasan Terhadap Perempuan sebagaimna telah diuraikan diatas. Karena itu berikut ada beberapa usul perbaikan, sebagai berikut:
a. Agar pembuatan berkas perkara lebih cepat sebaliknya penyidik segera membuat dan mengirim Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) kepada kejaksaan dalam waktu 1x 24 jam sejak penyidikan perkara dilakukan. Dengan adanya SPDP maka kejaksaan segera menunjuk jaksa yang menangani kasus Kekerasan Terhadap perempuan (KTP). Dengan demikian koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum dalam pengunpulan fakta dan bukti dapat terjalin. SPDP belum menjamin adanya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam pra penuntutan. Oleh karena itu, SKB antara instansi penegak hokum untuk mengatur tentang prosedur tentang penanganan kasus Kekerasan terhadap Perempuan beserta kewajiban dan kewenangan masing-masing instansi, masih dibutuhkan.
b. Pihak kepolisian agar segera mengeluarkan perlindungan sementara bagi korban dan dapat dengan segera mengajukan perintah penetapan perlindungan dari ketua pengadilan. Dan berkoordinasi dengan pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani serta LSM untuk memberikan pelayanan untuk menguatkan korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban melalui penyediaan rumah aman/ shelter.
c. Dalam hal pengungkapan fakta-fakta yng terjadi, pihak polri dapat melibatkan relawan pendamping/advokat. Untuk itu pihak polri dapat membuat kerjasama dengan lembaga-lembaga pebyedia layanan pendampingan korban agar setiap kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dapat dengan segera didampingi oleh relawan pendamping/advokat. Diharapkan dengan kehadiran dari relawan pendamping/advokat ini, korban dapat lebih terbuka untuk mengungkapkan fakta yang terjadi, tanpa merasa takut karena adanya suatu suasana yang kondusif yang diciptakan oleh petugas polisi dan relawan pendamping/advokat. Pendampingan ini bertujuan memudahkan tuags polisi untuk membuat berkas perkara. Adanya kerjasama ini juga membuka peluang bagi pemecahan masalah bagi terhambatnya arus informasi yang selama ini dirasakan oleh korban/ keluarga/ relawan pendamping korban/ advokat.
d. Menbuat surat keputusan bersama antara Kejaksaan agung R.I., kapolri dan Mahkamah Agung serta Organisasi Advokat yang mengatur bahwa jaksa bersama-sama penyidik dan relawan pendamping/ advokat dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam penyusunan berkas perkara.Surat keputusan bersama ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi dibentuknya Tim Advokasi Bersama bagi penanganan kasus perkara kekerasan terhdap perempuan yang korbannya adalah perempuan dan diterapkan dalam semua tingkat pemeriksaan.
e. Berkas perkara kekerasan Terhdap Perempuan harus disertakan dengan hasil Visum et Repertum atau rekam medis atas diri korban yang dikeluarkan oleh rumah sakit milik pemerintah maupun milik masyarakat. Harus ada anggaran dari pemerintah terutama Departemen Kesehatan agar pelayanan pemeriksaan kesehatan atau pemeriksaan fisik atas kekerasan yang dialami korban, sehingga korban tidak dikenai biaya pemeriksaan. Hal ini dapat dilakukan dengan mebuat kesepakatan bersma Kapolri dan menteri Kesehatan (sebagai wakil dari rumah sakit) serta pemerintah daerah masing-masing untuk dapat mengalokasikan anggaran untuk pembebasan biaya pembuatan visum et repertum atau rekam medis bagi koraban.
f. Apabila korban membutuhkan rumah aman untuk tinggal sementara, pihak kepolisian harus menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat atau instansi pemerintah yang menyediakan ruang untuk itu.

Dalam hal Pembuata Surat Dakwaan
Pihak yang diharapkan bekerja sama: (1) penuntut umum; (2) relawan pendamping korban/advokat; dan (3) korban.
1. Ada kebijakan atau petunjuk yang menetapkan jaksa yang telah memahami perspektid jender dalam menangani kasus Kekerasn Terhadap Perempuan melalui Keputusan Jaksa Agung atau Surat Edaran Jaksa Agung.
2. Ada koordinasi antara jaksa dengan korban dan relawan pendamping/advokat sebelum jaksa menyusun Surat Dakwaan. Untuk ini perlu ada administrasi khusus perkara tindak pidana kejahatan dan kekerasan Terhadap perempuan yang memberikan ruang bagi jaksa untuk memanggil dan bertemu dengan korban dan relawan pendamping/advokat.
3. Jaksa wajib menginformasikan tentang substansi surat dakwaan dan meminta masukn dari korban dan relawan pendamping/advokat tentang substansi surat dakwaan.
Pemeriksaan ditingkat Pengadilan
1. Pihak yang diharapkn membuat kerjasama adalah: (1) penuntut umum;(2) hakim; (3) panitera; (4) advokat/ relawan pendamping.
2. kebijakan yang diharapkan adalah adanya kebijakan yang mengatur tentang penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam pemeriksaan tingkat pengadilan yang memuat tentang:
a. Ketua pengadilab harus menunjuk majelis hakim yang telah memiliki sensitifitas jender dalam penanganan kasus-ksus kekerasan terhadap perempuan.
b. Majlis hakim/hakim bersama-sama jaksa dan korban serta relawan pendamping/advokat menentukan jadwal sidang yang tetap sehingga korban tidak menunggu waktu terlalu lama untuk bersidang.
c. Pengadilan menyediakan ruang tunggu khusus untuk korban dan relawan pendamping/advokat. Ruang tunggu hkusus ini sangat perlu untuk menghindari adanya konflik atau tekanan dari terdakwa/keluarga terdakwa/pihak yang mendukung atau pro dengan terdakwa pada diri korban, serta menghindari korban dari publik.
d. Majlis hakim/hakim memperkenankan korban untuk didampingi oleh relawan pendamping/pekerja sosial/advokat korban dalam pemeriksaan terhadap diri korban. Dalam setiap proses persidangan kasus kekerasan terhadap perempuan, hakim hendaknya aktif untuk menanyakan tentang keberadaan diri pendamping dan memperbolehkn keberadaan pendamping disamping korban selama proses persidangan berlangsung. Hakim pun diharapkn dapat menerima masukan-masukan dari pendamping mengenai kondisi kejiwaan diri korban sehingga pada saat persidangan hkim dapat mengetahui dengan jelas bagimana memperlakukan korban dengan ‘baik’ dalam rangka mengungkapkan fakta-fakta yang sebenar-benarnya selama proses persidangan kasus berlangsung.
e. Majlis hakim/hakim harus mereima interupsi diajukan oleh jaksa atas pertanyaan-pertanyaan dari pembela terdakwa/terdakwa yang menyudutkan atau memojokan diri korban; yang merendahkan harkat dan martabat korban sebagai manusia, dll yang sifat pertanyaan mengarah kepada ‘kehidupan pribadi’ korban (misalnya, korban adalah pekerja seks komersil; korban adalah perempuan yang menjadi stigma bias jender dari masyarakat, dll).
f. Majlis hakim/hakim harus metetapkan pemeriksaan atas diri korban dilakukan tanpa kehadiran terdakwa diruang persidangan apabila korban menginginkannya atau apabila relawan pendamping/psikolog yang mendampingi korban menyatakan untuk itu. Pembela/hakim tersebut.
g. Majlis hakim/hakim harus menerima penangguhan persidangan yang diajukan jaksa (penuntut umum) apabila menurut penuntut umum setelah mendapat masukan dari relawan pendamping korban/advokat korban mengenai kondisi korban yang dianggap tidak mampu untuk diperiksa.
h. Majlis hakim/hakim harus menerima permohonan jaksa yang ingin menghadiri saksi psikolog atau relawan pendamping korban yang sejakterjadinya kekerasan telah melakukan konseling atas diri korban guna mengetahui tentang kondisi atau situasi (penderitaan atau trauma) yang dialami korban setelah mengalami kekerasan dari terdakwa.
3. Kebijakan harus mengalokasikan dana untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan, seperti untuk pemanggilan korban dan saksi-saksi kepersidangan.
4. Dalam Penyusunan Surat Tuntutan, jaksa harus menginformasikan tentang subtansi Surat Tuntutan dan meminta masukn diri korban dan relawan pendamping /advokat korban atas substnsi Surat Tuntutan tersebut. Hal ini sangat penting, agar jaksa dapat memahami tentang kondisi dan situsi (penderitaan dan trauma) yang dialami korban dan memasukannya ke dalam hal-hal yang memberatkan terdakwa.
5. Dalam menyusun pertimbangan hukum dan pertimbangan atas fakta-fakta dipersidangan, majlis hakim/hakim harus mempertimbangkan kondisi atu situasi (penderitaan dan trauma) yang dialami korban sebagai akibat dari kekerasan yang dialminya.
6. panitera harus mencatat dengan baik dan lengkap semua fakta yang terungkap dipersidangan terutama keterangan saksi dan korban serta tidak menambahkan maupun sekedar dari perhitungan dampk fisik korban.
7. Dalam hal menetapkan biaya rehabilitasi bagi korban, hakim pun turut memperhitungkan penderitaan psikis dari pelaku (biaya immaterial) dan bukan hanya sekedar dari perhitungan dampk fisik korban.
8. Dalam hal waktu penahanan pelaku telah habis, pihak Rutan dan lapas dapat segera memberitahukan kepada penuntut umum, keluarga ataupun kepada relawan pendamping korban serta kepada korban sendiri.


Penanganan terhadap perempuan Sebagai “Pelaku”
Pemeriksaan di Tingkat penyidikan
Dalam Proses Pembuatan Berkas Perkara di Kepolisian.
Pihak yang diharapkan dapat bekerjasama dan berkoordinasi (1)polisi; (2) penasehat hukum “pelaku”(3)relawan pendamping/psikolog; (4)psikiater; (5)jaksa; (6) Rutan/Lapas.
Koordinasi yang diharapkan adalah:
1. Pada saat polisi menangkap “pelaku’, diharapkan polisi segera memberitahukan hak-hak tersangka seraya mencarikan pendamping bagi “pelaku”. Apabila tersangka berasal dari keluarga tidak mampu, petugas kepolisian dapat dengan segera mencarikan penasehat hukum bagi “pelaku” dari organisasi advokat atau dari LBH-LBH yang peduli dengan penegakan hak-hak perempuan.
2. Kepolisian memberikan kemudahan kepada “pelaku”/penasehat hukum “pelaku” untuk mendapatkan turunan BAP untuk pembelaan.
3. Tersedianya advokat-advokat yang berspektif jender dan dapat memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma kepada “pelaku” yang tidak mampu membayar jasa advokat.
4. Dalam hal jaksa mengetahui”pelaku” tidak mempunyai penasehat hokum, jaksa mendesak kepada pihak kepolisian untuk mengupayakan kehadiran penasehat hukum pada saat pemeriksaan dikepolisian.
5. Dalam hal “pelaku” melakukan tindak pidana karena sebelumnya korban sering memperlakukan “pelaku” dengan tidak baik dan korban tidak meninggal dunia, penasehat hukum dari “pelaku”diharapkan secara langsung menganjurkan kepada “pelaku”untuk juga melaporkan perbuatan korban terhadap dirinya.
6. Penasehat hokum “pelaku”segera mengajukan permohonan kepada kepolisian untuk melakukan visum et repartum dn visum at psikiatricum atas diri korban ats kekerasan yang dilakukan oleh korban terhadap”pelaku”.
7. Dalam hal penyidikan terhadap “pelaku”, penyidik harus memberikan informasi kepada jaksa tentang latar belakang peristiwa yang dilakukan ”pelaku dan meminta masukan berkaitan dengan penggalian akar permasalahan kasus dengan sebenar-benarnya.
8. Penyidik dapat menghargai keberdaan pendamping bagi “pelaku” bahkan mampu menyediakan relawan pendamping/psikolog yang memahami kekerasan terhadap perempuan bagi ‘pelaku”apabila melihat kondisi “pelaku”dalam keadaan shock berat. Pendamping dianggap sebagai mitra dan dapat saling mendukung.
9. Pada saat “pelaku” masuk ke Rutan/Lapas selama proses pemberkasan, kesempatan bagi “pelaku” untuk bertemu dan berkomunikasi secara bebas dengan penasehat hukum/relawan pendamping ( pihak-pihak diluar keluarga korban)tidak dibatasi.
10. Jaksa dapat menyarankan kepada kepolisian untuk menghentikan pennyidikan perkara atas kasus pencemaran nama baik atau perbuatan yang tidak menyenangkan yang dituduhkan kepada “pelaku” yang sebelumnya telah melapor kepada penyidik bahwa “pelaku” mengalami kekerasan dari korban dan oleh penyidik, laporan “pelaku” dihentikan karena tidak cukup bukti terutama keterangan saksi.

Dalam Proses Penyusunan Surat Dakwaan
Pihak yang diharapkan dapat bekerjasama dan berkoordinasi: (1)Penasehat hukum “pelaku”; (2) relawan pendamping/psikolog; (3) psikiater; (4) jaksa; (5) Rutan/Lapas.

Koordinasi yang diharapkan adalah:
1. Penyidik dan penasehat hukum “pelaku”harus saling berkomunikasi pada saat penyidik akan melimpahkan berkas perkara dan melimpahkan “pelaku’kepada kejaksaan.
2. Jaksa harus menyerahkan salinan atau copy Surat Dakwaan dan berkas perkara kepada penasehat hukum ‘pelaku”bersamaan dengan saat jaksa menyerahkan berkas perkara kepengadilan sehingga penasehat hukum/advokat “pelaku”dapat segera mempelajari dan mempersiapkan tangkisan atau bantahan atas Surat dakwaan.
3. Jaksa harus mengeluarkan surat keterangan dapat mengunjungi “pelaku” diruang tahanan atas permintaan penasehat hukum/advokat “pelaku”dan relawan pendamping “pelaku.
4. Jaksa harus mempertimbangkan surt penangguhan atas diri “pelaku” yang diajukan oleh penasehat hukum/advokat “pelaku” atau keluarga “pelaku”. Untuk itu perlu dirumuskan kriteria tentang kondisi “pelaku” sehingga dapat permohonan penangguhan penahanan dapat diterima.
5. Jaksa harus segera menyerahkan atau mengirimkan salinan surat penahanan atas diri ‘pelaku” kepada penasehat hukum/advokat “pelaku’atau keluarga “pelaku” dan relawan pendamping “pelaku”. Demikian juga sebaliknya, penasehat hukum “pelaku”harus aktif bertanya kepada jaksa tentang salinan surat penahanan atas diri ‘pelaku”
6. Ada Surat Edaran jaksa Agung (SEJA)tentang jaksa khusus tentang penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, jaksa yang menangani perkara “pelaku’ dapat menggali dan mempertimbangkan latar belakang kekerasan yang dialami “pelaku” yang dilakukan “korban”.

Pemerikasaan di Tingkat Pengadilan
Pihak yang diharapkan dapat bekerjasama: (1) penuntut umum;(2) advokat/pendamping; (3) Rutan/Lapas; dan (4) pengadilan.
1. Apabila “pelaku” ditahan selama proses pemeriksaan ditingkat pengadilan, pengadilan harus menyediakan ruang yang cukup bagi “pelaku”untuk bertemu dengan penasehat hokum/advokat, relawan pendamping dan keluarga korban selama menunggu jadwal persidangan dan menunggu waktu untuk “dikembalikan” ke ruang tahanan.
2. Majlis hakim/hakim harus menerima permohonan penasehat hukum/ advokat “pelaku”untuk memeriksakan kondisi psikolog “pelaku” ke psikiater apabila “pelaku” tidak didampingi penasehat hukum/advokat jadwal pada saat pemeriksaan ditingkat penyidikan.
3. Majlis hakim/hakim harus mendesak jaksa untuk menyerahkan salinan berkas perkara kepada penasehat hukum/advokat “pelaku” apabila ada permohonan dari penasehat hukum/advokat “pelaku”untuk mendapat salinan berkas perkara guna kepentingan pembelaan.
4. Jaksa dan penasehat hokum “pelaku”harus saling berkomunikasi mengenai adanya informasi tentang jadwal persidangan sehingga penasehat hukum “pelaku” dan relawan pendamping dapat memberi penguat moril kepada “pelaku”dan keluarga “pelaku”.
5. Dalam hal membuat tuntutan, jaksa/penuntut umum mempertimbangkan latar belakang permasalahan atau akar masalah perkara berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh “pelaku”, saksi, psikolog atau relawan pendamping dan psikiater yang disampaikan didalam persidangan.
6. Penetapan jadwal sidang harus mempertimbngkan waktu untuk menyampaikan kepada “pelaku”, penasehat huokum/advokat “pelaku”dan keluarga “pelaku” serta Lapas. Masing-masing pihakpun mempunyai inisiatif untuk saling memberi informasi yang didapat setelah yang bersangkutan mendapat surat dari pihak pengadilan.
7. Hakim dapat menggunakan kewenanganny untuk menangguhkan hari siding apabila “pelaku” dianggap belum mampu untuk melakukan persidangan atas kasusnya. Untuk hal ini diharapkan pihak penuntut umum pun dapat juga memahaminya dan juga memberikan waktu untuk dapat menangguhkan waktu siding.
8. Apabila “pelaku” merasa tidak sanggup secara psikologis untuk dapat menghadiri siding, penasehat hukum/advokat “pelaku” dan pendamping dapat langsung memberikan arguman kepada hakim dan dapat disertai dengan surat hasil pemeriksaan psikolog/psikiater mengenai kondisi “pelaku”. Diharapkan hakim dapat menyetujui hal tersebut.
9. Hakim menyetujui permohonan dari penasehat hokum/advokat “pelaku” yang ingin menghadirkan saksi ahli untuk penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
10. Ada kebijakan untuk menugaskan hakim-hakim perempuan dan hakim-hakim yang telah berspektif jender dan memahami kekerasan terhadap perempuan dalam menangani kasus-kasus yang dihadapi “pelaku”, (sebagai korban kekerasan terhadap perempuan sebelumnya).
11. Putusan yang dijatuhkan dapat memberikan rasa keadilan bagi “pelaku” dengan mempertimbangkan latar belakang yang dialami ‘pelaku” sehingga harus didudukan sebagai “pelaku” dalam persidangan.
12. Majlis hakim/hakim dapat mempertimbangkan masukan/dukungan yang diberikan oleh masyarakat pemantau peradilan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dengan harapan dapat lebih menggali latar belakang kasus tersebut.
13. Majlis hakim/ hakim dapat menerima kehadiran masyarakat yang sedang melakukan pemantauan terhdap proses peradilan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
14. Panitera harus mendengarkan dengan seksama dan mencatat secara lengkap tentang fakta-fakta yang ada diruang persidangan, dengan tidak mengurangi atau menambhkan dari keterangan yang ada.
15. Selama menjalani proses persidangan, pihakRutan/Lapas dpat memperlakuakn “pelaku”secara manusiawi dengan menghargai hak-hak yang masih dimiliki oleh “pelaku” dan tidak memperlakukan “pelaku” sama dengan penghuni Rutan/Lapas lainnya yang bukan kasus kekerasan terhadap perempuan atupun yang telah memiliki keputusan hakim tetap.
16. panitera dapt secara cepat mengirimkan salinan putusan mengeni kasus “pelaku” kepada jaksa, “pelaku”, penasehat hokum/advokat “pelaku”,dan keluarga “pelaku” serta Lapas agar dapat segera menjalankan tugas dn wewenangnya baik itu untuk membebaskan ataupun menahan “pelaku” maupun untuk mengajukan upaya hukum lainnya.

Dalam Proses Eksekusi atau menjalani Putusan pengadilan
1. Salinan putuasan dapat segera dikirimkan oleh ketua panitera kepada masing-masing pihak tidak terbatas pada penasehat hokum dan penuntut umum serta Rutan/Lapas namun jug buat keluarga atau pendamping dari “pelaku”. Apabil salinan keputusan belum juga diberikan kepada pihak dari Rutan/Lapas, maka baik pihak Ruatn/Lapas mupun penasehat hukum /pendamping dapat secara aktif untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan salinan putusan tersebut.
2. Pihak pengadilan dapat segera menurunkan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan langsung kepada jaksa, kepala Rutan/lapas serta kepada penasehat hukum/ pendampind dari korban untuk dapat dengan segera dilaksanakan.
3. Pihak pengdilan menunjuk dan mengirimkan hakim pengawas dan pengamat untuk mengawasi pelaksanaan putusan kasus tersebut.
4. Penandatanganan berita acara pelaksanaan putusan haruslah dihadiri oleh jaksa, ketua Rutan/Lapas, dan terpidana, dengan mengikutsertakan penasehat hukum dan pendamping dengan disaksikan oleh hakim pengawas dan pengamat.
5. Apabila diputus bersalah, pihak rutan/Lapas dapat memberikan program pembinaan kepada terpidanan sesuai dengan kebutuhan korban bukan hanya ketrampilan dan pembinaan kerohanian, seperti yang biasa diberikan kepada terpidana lainnya.
6. Dapat selalu memberikan kebebasan kepada terpidana untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dengan bebas baik dengan keluarga, pendamping maupun semua pihak yang berusaha untuk menolong terpidana.
7. Pihak Rutan/Lapas dan hakim pengawas dan pengamat wajib selalu memantau keadaan diri terpidana dan dapat melaporkan perkembangan-perkembangan yang terjadi kepada penasehat hukum/pendamping

















DAFTAR PUSTAKA

Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem peradilan Pidana, Edisi Pertama, Jakarta: Pusat pelayanan Keadilan dan pengambdian Hukum
Sanford H kadist, 1983, Enciclopedia of crime and justice, New York: The Free Press
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM melalui asas praduga tak bersalah dan asas persamaan kedudukan dalam hokum pada system peradilan pidana Indonesia, Bandung: Alumni
(Made darma Wedha, 1996:11)
(J.E. Sahetapy, 1979:1).
(Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum, Kertas kebijakan, 2005;19).
.( Nursyahbani, 2004:22)
.(Theo Van Boven, 2000:13).



Peraturan perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No.8 Tahun 1981
UU Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tan

Tidak ada komentar: